Jenis pakan ikan lele yang diberikan pada kelompok tani LPPMPU adalah keong sawah dan pelet kasar merek Hiprovit untuk pakan induk ikan lele, sedangkan jenis pakan
yang diberikan pada benih ikan lele adalah cacing sutra, dan pelet halus pelet 99 merek Hiprovit. Dosis yang diberikan pada ikan lele adalah 3 kali dalam satu hari yaitu pada
pagi hari, siang hari, dan malam hari. Keong tidak dapat diberikan langsung pada induk ikan lele, tetapi harus terlebih dulu dipisahkan cangkang dan dagingnya yaitu dengan cara
memecahkan cangkang ditumbuk kemudian diambil dagingnya. Setelah bersih dari cangkang, daging keong bisa langsung diberikan pada induk ikan lele.
2.6. Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya perikanan seperti lobster air tawar, udang dan budidaya ikan konsumsi maupun
ikan hias. Salah satunya adalah Perdana 2007 yang meneliti tentang “Analisis Kelayakan Usaha secara Partisifasif pada Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Gurame
Studi Kasus Kelompok Tani Tirta Maju, Desa Situgede”. Analisis kelayakan usaha yang dilakukan menunjukkan bahwa usaha keseragaman budidaya pembesaran ikan gurame
pada Kelompok Tani Tirta Maju layak untuk diimplementasikan dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen maupun finansial. Analisis pendapatan usahatani
menunjukkan nilai keuntungan sebesar Rp 16.238.500,00 dan RC sebesar 1,29, sedangkan dalam analisis penilaian investasi usaha diperoleh nilai NPV, PI, IRR dan PBP
masing-masing sebesar Rp 10.433.512,00 : 1,67 ; 28,9 persen ; dan 2,9 periode. Namun demikian, usaha ini masih termasuk kurang profitable dan menarik bagi bank atau
investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini dikarenakan keuntungan per bulan usaha ini selama 5 periode berjalan hanya sebesar Rp 260.838,00. Selain itu, pendapatan per
bulan setiap anggota yang terlibat berdasarkan nilai keuntungan satu periode hanya sebesar Rp 225.535,00 dan lebih rendah dari kebutuhan rumah tangga yang mencapai Rp
450.000,00 per bulan. Hasil perhitungan dari analisis sensitivitas menunjukkan bahwa kelayakan usaha
Tirta Maju cukup peka terhadap perubahan yang terjadi pada faktor harga jual ikan gurame dan volume produksi. Sementara itu, perubahan pada faktor harga pakan buatan
pelet tidak terlalu berpengaruh terhadap kelayakan usaha ini. Pada kenaikan harga pelet mencapai 61 persen dapat menyebabkan usaha ini menjadi tidak layak.
Afni 2008 yang melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Kelayakan Pengusahaan Lobster Air Tawar Kasus K’BLAT’S Farm, Kecamatan Gunung Guruh,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”. Penelitian ini menggunakan 3 skenario yaitu, sekenario I pada usaha pembenihan lobster air tawar arus penerimaan diperoleh dari hasil
penjualan benih lobster air tawar dan nilai sisa biaya investasi berupa tanah dan bangunan. Tiap induk betina dapat menghasilkan 200 ekor telur dengan tingkat kematian
SR telur menjadi benih lobster berumur 2 bulan adalah 15 persen. Jadi, pada tiap produksi didapatkan 10.000 butir telur dengan jumlah benih hidup sebanyak 8.500 ekor.
Hasil analisis kriteria investasi terhadap usaha pembenihan lobster diperoleh NPV sebesar Rp 73.792.135,00. Net BC sebesar 3,47 dan IRR sebesar 33 persen.
Menyatakan bahwa usaha pembenihan lobster air tawar layak untuk diusahakan. Pola usaha pembenihan lobster air tawar memiliki periode pengembalian biaya investasi
selama 4,04 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha pembenihan lobster air tawar, apabila terjadi penurunan produksi, kenaikan harga pakan, dan penurunan harga jual yang
masing-masing adalah 23,8 persen, 774,95 persen, dan 23,8 persen. Besarnya penurunan produksi dan harga jual sebesar 23,8 persen menunjukkan bahwa usaha pembenihan
lobster air tawar ini masih layak apabila penurunan yang terjadi terhadap produksi dan harga jual tidak lebih besar dari 23,8 persen. Sementara itu, besarnya kenaikan harga
pakan yang masih dapat mendatangkan keuntungan bagi usaha pembenihan lobster air tawar adalah 774,95 persen. Hal ini berarti bahwa kenaikan harga pakan memiliki
pengaruh yang kecil terhadap kelangsungan usaha. Pada usaha pembesaran lobster air tawar dengan menggunakan skenario II, arus
penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan lobster ukuran konsumsi dan diperoleh dari hasil nilai sisa biaya investasi proyek berupa lahan serta bangunan. Jumlah benih
yang ditebar adalah 3.545 ekor dengan tingkat kematian benih SR adalah 25 persen, sehingga jumlah lobster yang dapat di panen hanya 75 persen dari total benih yang
ditebar. Hasil analisis kriteria investasi terhadap usaha pembesaran lobster air tawar diperoleh NPV sebesar Rp 112.563.989,00. Net BC sebesar 4,22 dan IRR sebesar 41
persen. Hal ini menyatakan bahwa usaha pembesaran lobster air tawar layak untuk diusahakan. Pola usaha pembesaran lobster air tawar memiliki periode pengembalian
biaya investasi selama 3,40 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha pembesaran lobster air tawar menunjukkan
bahwa perubahan terhadap penurunan produksi, kenaikan harga pakan dan harga jual masih layak apabila besarnya penurunan produksi dan harga jual tidak melebihi 23,11
persen. Jika penurunan yang terjadi lebih besar dari 23,11 persen, maka usaha pembesaran lobster air tawar ini menjadi tidak layak. Sementara itu, kenaikan harga
pakan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap kelayakan usaha. Hal ini dapat dilihat dari besarnya perubahan kenaikan harga pakan yang mencapai 571,77 persen, sehingga
dapat dilihat bahwa usaha pembesaran lobster air tawar sangat sensitif terhadap perubahan produksi dan harga jual karena dapat mengubah tingkat kelayakan usahanya.
Pada pola usaha III yaitu usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar, arus pemasukan diperoleh dari penjualan benih lobster dan penjualan lobster konsumsi.
Hasil analisis kriteria investasi terhadap usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar diperoleh nilai NPV sebesar Rp 138.280.330,00, Net BC sebesar 5,14 dan IRR
sebesar 52 persen. Hal ini menyatakan bahwa usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar layak untuk diusahakan. Pola usaha pembenihan dan pembesaran lobster air
tawar memiliki periode pengembalian biaya investasi selama 2,79 tahun. Hasil analisis sensitivitas pada usaha pembenihan dan pembesaran lobster air
tawar diperoleh apabila perubahan terhadap penurunan produksi dan penurunan harga jual yang terjadi melebihi 34,87 persen, maka usaha pembenihan dan pembesaran lobster
air tawar ini menjadi tidak layak. Dengan perubahan kenaikan harga yang masih dapat mendatangkan keuntungan bagi usaha ini adalah sebesar 828,33 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa kenaikan harga pakan memiliki pengaruh yang kecil terhadap kelayakan usaha pembenihan dan pembesaran lobster air tawar.
Anggraini 2008 melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis Kelayakan Finansial Usaha Ikan Mas Cyprinus carpio dengan cara Pemberokan Kasus : Desa
Selajambe, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat”. Berdasarkan hasil perhitungan analisis kelayakan finansial pada tingkat diskonto sebesar 5,5 persen
dan umur ekonomis selama 10 tahun menunjukkan bahwa usaha ikan Mas dengan cara pemberokan pada ketiga skala usaha kecil, menengah, dan besar di daerah penelitian
layak diusahakan. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPV pada skala kecil sebesar Rp 112,293 juta, pada skala menengah sebesar Rp 1.588,601 juta, dan pada skala besar
sebesar Rp 6.772,189 juta. Sementara itu nilai IRR yang diperoleh pada skala kecil adalah 14 persen, pada skala menengah sebesar 59 persen, dan pada skala besar diperoleh
IRR sebesar 55 persen. Nilai Net BC yang diperoleh pada skala usaha kecil adalah 1,511, pada skala menengah adalah 4,45, dan pada skala besar adalah 4,19, sedangkan payback
period pada skala kecil yaitu 9 tahun 3 bulan, pada skala menengah adalah selama 2
tahun 10 bulan, dan pada skala besar adalah selama 3 tahun 7 bulan. Jika dilihat dari nilai IRR, Net BC, dan payback period pada ketiga skala usaha
tersebut, dapat disimpulkan bahwa usaha ikan Mas dengan cara pemberokan pada skala menengah adalah yang paling efisien untuk diusahakan. Hal tersebut dikarenakan usaha
yang dilakukan pada skala menengah merupakan yang paling optimal di mana produksi ikan Mas per meter perseginya sudah lebih sesuai dengan kondisi ideal menurut dinas
perikanan. Sementara itu untuk skala usaha kecil dan skala usaha besar, produksi ikan Mas per meter perseginya belum mencapai kondisi ideal. Jumlah tenaga kerja yang
kurang seimbang dengan luas usaha yang diolah mengakibatkan sistem budidaya pada skala usaha besar, khususnya cara pemupukan dan pemberian pakan, tidak dilakukan
secara optimal. Pada skala usaha kecil, penggunaan benih yang kurang berkualitas menyebabkan usaha ikan Mas pada skala tersebut memiliki tingkat kelayakan lebih
rendah dibandingkan dengan skala lainnya. Beberapa penelitian lain yang terkait dengan kelayakan usaha budidaya
komoditas perikanan juga dilakukan oleh Sugama 2008 yang melakukan penelitian mengenai ”Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan Gerokgak,
Kabupaten Buleleng, Bali”. Berdasarkan hasil analisis finansial diperoleh nilai NPV pada usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek, kerapu sunu dan masing-
masing hasilnya adalah Rp 330.405.688,00, Rp 448.428.815,00, dan Rp 206.600.377,00 keuntungan yang diperoleh pada selama 10 tahun. Nilai IRR yang diperoleh yaitu pada
ikan kerapu macan sebesar 72 persen, ikan kerapu bebek sebesar 96 persen, dan ikan kerapu sunu sebesar 46 persen, sedangkan nilai Net BC yang diperoleh pada usaha
pembenihan ikan kerapu macan sebesar 3,179, pembenihan ikan kerapu bebek diperoleh 4,867, dan pembenihan ikan kerapu sunu diperoleh nilai sebesar 2,431. Payback period
yang diperoleh dalam usaha pembenihan ikan kerapu macan adalah 3 tahun, pembenihan ikan kerapu bebek adalah 2 tahun 2,9 bulan dan untuk pembenihan ikan kerapu sunu
adalah 3 tahun 3,36 bulan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka usaha pembenihan ikan kerapu secara
masing-masing layak untuk diusahakan. Dari hasil analisis sensitivitas, diperoleh bahwa usaha pembenihan ikan kerapu macan paling sensitif dan tidak layak diusahakan jika
terjadi pada penurunan harga benih, diikuti dengan pembenihan gabungan, pembenihan kerapu bebek, dan pembenihan kerapu sunu tetapi masih layak untuk dilaksanakan. Jika
terjadi penurunan tingkat kematian SR, usaha pembenihan ikan kerapu sunu dan ikan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif dan tidak layak untuk dilaksanakan,
diikuti dengan pembenihan kerapu gabungan, dan kerapu bebek tetapi masih layak untuk dilaksanakan. Jika terjadi kenaikan harga telur, usaha pembenihan ikan kerapu sunu
merupakan usaha yang paling sensitif diikuti pembenihan ikan kerapu macan, pembenihan ikan kerapu bebek, pembenihan ikan gabungan tetapi usaha masih tetap
layak untuk dilaksanakan. Surahmat 2009, meneliti mengenai Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan
Larva Ikan Bawal Air Tawar Ben’s Fish Farm Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Berdasarkan kriteria kelayakan finansial pada skenario I dengan tingkat diskonto 7,25 persen usaha pembenihan larva ikan bawal Ben’s Fisha Farm di cabang usaha yang ke 24,
diperoleh NPV lebih besar dari nol yaitu sebesar Rp 587.596.184,05 artinya usaha ini layak untuk dilaksanakan, sedangkan nilai Net BC rasio yang diperoleh sebesar 4,15
lebih besar dari satu yang berarti dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 4,15 rupiah dan usaha ini layak
untuk dilaksanakan. Nilai IRR sebesar 61 persen lebih besar dari tingkat suku bunga deposito, sedangkan waktu yang diperlukan untuk pengembalian total investasi selama 2
tahun 3 bulan. Hasil analisis finansial dengan skenario II yang berasal dari modal pinjaman
diperoleh nilai NPV sebesar Rp 9.501.982,34 yang artinya usaha pembenihan larva Ben’s Fish Farm di cabang yang ke 24 memberikan manfaat yang positif pada tingkat suku
bunga kredit 14 persen. Usaha tersebut jika dilaksanakan akan masih memperoleh keuntungan yang sangat kecil yaitu sebesar Rp 9.501.982,34. Nilai Net BC rasio sebesar
3,9 lebih besar dari satu yang berarti dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 3,9 rupiah dan usaha ini layak
untuk dilaksanakan. Nilai IRR sebesar 21 persen lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman sebesar 14 persen, artinya investasi di usaha ini masih menguntungkan dan
usaha ini layak untuk dilaksanakan. Waktu pengembalian modal investasi melebihi dari 10 tahun yang lebih besar dari umur proyek, sehingga usaha tersebut tidak layak.
Dari hasil analisis switching value untuk mengetahui tingkat perubahan harga jual larva, penurunan produksi larva, dan kenaikan harga input ovaprim, sehingga
keuntungan mendekati normal, dimana NPV mendekati atau sama dengan nol atau bisa juga dengan menggunakan parameter IRR sama dengan tingkat suku bunga. Skenario I
dengan modal sendiri, penurunan harga jual larva yang masih dapat ditolerir sebesar 7,04 persen yaitu dari harga Rp 8 per ekor menjadi Rp 7,43 per ekor. Pengusahaan
pembenihan larva ikan bawal masih layak diusahakan apabila penurunan jumlah produksi tidak melebihi 42,1 persen yaitu dari 29.030.400 ekor menjadi 16.810.661 ekor,
sedangkan untuk peningkatan harga input agar usaha tersebut masih layak diusahakan sampai 95,89 persen. Untuk skenario II dengan modal pinjaman, tidak dilakukan
switching value karena dengan modal pinjaman usaha tidak layak untuk dilaksanakan
berdasarkan waktu pengembalian modal investasi yang lebih besar dari umur proyek. Dengan demikian dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial,
bahwa skenario I dengan modal sendiri usaha tersebut layak untuk dilaksanakan, sedangkan dengan modal pinjaman tidak layak untuk dilaksanakan, hal ini dikarenakan
waktu pengembalian investasi lebih besar dari umur proyek. Hasil analisis switching value
usaha tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga jual larva ikan bawal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, persamaan penelitian yang dilakukan
dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada kriteria analisis kelayakan usaha yaitu menggunakan alat analisis data seperti NPV, Net BC, IRR, Payback Period dan analisis
Switching value. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
mengambil topik dan komoditi yang berbeda yaitu analisis kelayakan usaha ikan lele dan tempat yang berbeda dengan yang sebelumnya. Narasumber dalam penelitian ini
merupakan kelompok tani LPPMPU Lembaga Pemberdayaan Pemuda dan Masyarakat Peduli Umat yang melakukan pengusahaan ikan lele di daerah Kecamatan Babelan yang
melakukan kegiatan pembenihan dan pembesaran ikan lele. Modal awal yang ditanamkan dalam pengusahaan ikan lele dumbo merupakan modal sendiri, selain itu juga yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah membandingkan jenis pengusahaan yang dilakukan oleh kelompok tani yaitu pengusahaan pembenihan ikan lele
dumbo dengan pengusahaan pembesaran ikan lele dumbo, serta merencanakan untuk mengembangkan skala usaha kecil menjadi skala usaha besar. Data diolah dengan
menggunakan Sofware Microsoft Excel dan interpretasi data secara deskriptif untuk melihat apakah investasi usaha ini nantinya akan layak untuk dilaksanakan atau tidak.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Studi Kelayakan Proyek
Proyek adalah suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan benefit, atau suatu aktivitas di mana dikeluarkan uang
dengan harapan untuk mendapatkan hasil return di waktu yang akan datang, yang dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai satu unit Kadariah et al. 1999.
Menurut Umar 2007 suatu kegiatan yang berbentuk proyek adalah berbeda dengan kegiatan yang berbentuk operasional rutin. Kegiatan proyek dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan, sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas dengan alokasi sumberdaya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah
digariskan dengan jelas. Misalnya, membagun pabrik, membuat produk baru, atau mengikuti pameran perdagangan.
Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek, biasanya proyek investasi dilaksanakan dengan berhasil Husnan dan Suwarsono 2000.
Kriteria keberhasilan suatu proyek dapat dilihat dari manfaat investasi yang terdiri dari : 1.
Manfaat ekonomis proyek terhadap proyek itu sendiri sering juga disebut sebagai manfaat finansial.
2. Manfaat proyek bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan disebut juga manfaat
ekonomi nasional. 3.
Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat di sekitar proyek.
3.1.2. Aspek-Aspek Studi Kelayakan
Melakukan studi kelayakan perlu memperhatikan aspek-aspek yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman
investasi tertentu. Sementara itu, sesuai dengan definisinya bisnis memiliki kegiatan- kegiatan yang tidak hanya membangun proyek, tetapi yang utama justru
operasionalisasinya sehingga menjadi beberapa aspek perhatian, termasuk mengenai layanan pada pasar potensial, kepuasan konsumen dan persaingan bisnis menjadi hal yang
penting. Proses analisis setiap aspek saling berketerikatan antara satu aspek dan aspek
lainnya, sehingga hasil analisis aspek-aspek tersebut menjadi terintegrasi. Disesuaikan dengan konsep bisnis serta aspek-aspek studi kelayakan bisnis yang akan dianalisis.
Menurut Gittinger 1986 pada proyek pertanian ada enam aspek yang harus