45
Tabel 6 Jenis tanaman di setiap penggunaan lahan
No Penggunaan Lahan
Strata Bawah Strata Atas
1 Pekarangan Jahe, Kencur, Kopi, Cokelat, Vanili,
Nenas, Jeruk, Pisang, Salak, Jaranan sebagai pagar, Pepaya
Cengkeh, Apukat, Mangga, Nangka, Kelapa, Pinang, Dadap,
Rambutan, Durian, Kelengkeng. 2 Kebun
Kopi, Cokelat, Vanili, Jeruk, Markisa
Kemiri, jambu mete, Asam, Dadap, Ampupu.
3 Ladang Padi, Ketela Pohon, Ubi Jalar,
Sargum, Sayur, Empon empon -
4 Hutan Rakyat Pisang, Mulwo, Juwet, Rumput gajah, Empon empon.
Ampupu, Kemiri, Bambu, Randu, Aren, Tarap, Ficus, kayu Manis,
Durian, Suren, Kayu Masohi. Sumber: RPJP TN Kelimutu Periode 2009-2029
Dari data pada Tabel 7 nampak bahwa lahan tergarap sudah dikurangi hutan negara adalah 6.852 Ha, dengan jumlah keluarga 3.337 KK. Oleh karena
itu lahan tergarap hanya 2.0 haKK atau setengahnya dari luas penguasaan lahan.
Tabel 7 Data penggunaan lahan Kecamatan Detusoko
No Tata Guna Lahan
Luas Ha Keterangan
1 Sawah
935 6,60
Jumlah KK = 3.337 2
Pekarangan 1.403
10,02 Lahan tergarap = 6.852 Ha
3 Kebun
1.502 10,73
4 Ladang
1.205 8,60
5 Padang
204 1,40
6 Tak diusahakan
1.167 8,30
7 Hutan rakyat
401 2,80
8 Hutan Negara
7.145 51,00
9 Perkebunan
5 0,03
10 Rawa
10 0,06
11 Empang
5 0,03
12 Lain-lain
15 0,09
Jumlah 13.997
100,00
Sumber: RPJP TN Kelimutu Periode 2009-2029
4.4. Adat Istiadat dan Budaya Masyarakat di Sekitar Kawasan
Keberadaan masyarakat Lio tidak bisa dilepaskan dengan kawasan TNKL. Ikatan batin keduanya sudah terjalin sejak dulu. Masyarakat Lio
mempunyai kepercayaan atau keyakinan, bahwa di kawasan Kelimutu di puncak dan di danaunya merupakan tempat tinggal arwah nenek moyangnya, juga
tempat tinggal para arwah nantinya. Karena adanya keterikatan batin dan keterikatan wilayah yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut, menyebabkan
masyarakat Lio sangat tergantung pada kawasan ini. Sangatlah mustahil apabila masyarakat akan merusak kawasan ini, sebaliknya akan menjaga, merawat, dan
46
mempertahankannya, apabila terdapat gangguan dari luar. Oleh karena itu, pihak BTNKL perlu melibatkan masyarakat Lio, untuk diajak berpartisipasi mengelola
kawasan ini. Untuk itu perlu suatu upaya untuk memanfaatkan kearifan tradisional masyarakat, demi meningkatkan potensi kawasan TNKL agar lebih
dikenal dunia serta lebih banyak dikunjungi wisatawan. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio, yang berada di
sekitar kawasan TNKL. Saat ini masyarakat Lio berada pada masa transisi, masa perubahan, masa peralihan, sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Lio
adalah masyarakat transisional. Kondisi dimana sebuah masyarakat di satu sisi telah menginjak dunia atau alam modernkemajuan, namun di sisi lain juga
belum sepenuhnya meninggalkan alam tradisional, dunia adat mereka. Masyarakat Lio sudah mengenal produk teknologi tinggi seperti handphone,
televisi, sepeda motor, parabola, serta barang-barang elektronik lainnya. Namun, masyarakat Lio tetap melaksanakan tradisi, ritual adat dalam berbagai aspek
kehidupannya seperti penentuan hari baik, ritual yang berkaitan dengan kematian, kelahiran, dan lain-lain.
Potensi yang begitu luar biasa, baik potensi budaya maupun potensi alamnya, apabila dikelola secara profesional akan menjadi daya tarik yang luar
biasa. Potensi budaya masyarakat Lio yang eksotis, merupakan modal untuk mengembangkan dan melibatkan masyarakat adat untuk berperan aktif. Wisata
budaya dapat dikembangkan dengan cara menggali potensi budaya di setiap desa,
baik berupa
kesenian, ritual,
dan kerajinan.
Wisatawan setelah
mengunjungi Danau Kelimutu, diarahkan agar berkeliling ke desa-desa di sekitar kawasan TNKL. Hal ini merupakan kontribusi TNKL secara langsung agar dapat
dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan TNKL, namun harus didukung dengan semacam pembekalanpelatihan di bidang pariwisata, jasa, bahasa,
ketrampilan, pengetahuan agar wisatawan dapat mendapatkan informasi yang memuaskan.
Upaya yang
telah dilakukan
BTNKL yaitu
memfasillitasi pelaksanaan upacara adat tahunan di puncak Kelimutu yang disebut pati ka du’a
bapu ata mata. Upacara ritual ini dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang suku Lio yaitu dengan memberikan makanan persembahan Gambar
10.
47
Gambar 10 Tari adat Gawi yang dilaksanakan setelah upacara adat Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata oleh para ketua adat Mosalaki.
Keberadaan kepala desa yang rata-rata juga merupakan seorang ketua adat mosalaki, memberikan keuntungan ganda baik bagi pemerintah daerah
maupun bagi masyarakat Lio sendiri. Masyarakat Lio masih taat dengan ketentuan-ketentuan adat, dengan peraturan-peraturan adat, dengan pimpinan
adat mereka, maka jabatan rangkap tersebut sangat tepat dilaksanakan. Program-program
pemerintah akan
banyak mendapatkan
dukungan, mendapatkan sambutan yang baik, berhasil dilaksanakan berkat peranan kepala
desa yang juga seorang mosalaki. Masyarakat akan lebih mau mendengarkan perintah-perintah pimpinan adat mereka, dibandingkan dengan pihak luar yang
belum mengerti serta mendalami adat mereka. Oleh karena itu pihak BTNKL bisa lebih mengintensifkan hubungan dengan para kepala desa yang berada di
sekitar kawasan taman nasional, agar masyarakat Lio bisa benar-benar ikut menjaga, mengamankan, melestarikan aset nasional yang sangat berharga ini.
Kehidupan beragama masyarakat Lio bisa sejalan dengan kehidupan adat mereka. Hal ini terlihat seperti halnya dalam acara keagamaan Katolik yaitu
komuni suci pertamasambut baru, kegiatan ini biasanya disejalankan dengan ritual dalam menyambut seorang anak menjelang masa akil baliq inisiasi.
Kegiatan tersebut dilaksanakan secara adat, dengan acara pembunuhan babi yang ditusuk dengan sebatang besi yang membara, agar darah tidak banyak
keluar sehingga rasa dagingnya lebih enak. Padahal kegiatan keagamaan Katolik
tidak ada acara seperti itu,
namun masyarakat masih tetap melaksanakan tradisi merekakepercayaan dalam mengungkapkan rasa syukur
48
kepada penguasa langit dan bumi Du’a Ngga’e, seperti dalam ungkapan adat Du’a Ghale, Lulu Wula, Gha’e Ghale dan Wana Tana.
Kearifan tradisional masyarakat Lio dalam pengolahan atau penggarapan lahan, sawah, seperti yang tercermin dalam sistem kebe kolo yakni sistem
terasering, salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya. Masyarakat Lio dalam mengolah ladangsawah, selalu menjaga keharmonisan
dengan alam
lingkungannya. Mereka
sadar kehidupan
tergantung dari
bagaimana memperlakukan alam, serta bagaimana memperlakukan lingkungan di sekitarnya. Hal ini juga terlihat dari kesadaran mereka berkaitan dengan
pembangunan rumah adat, yang membutuhkan kayu adat wowo, najubalu, mbu yang berada di kawasan TNKL, mereka sedikit demi sedikit berusaha
menggantikan dengan kayu lain nangka, kelapa. Juga adanya upaya pembibitanpembudidayaan kayu-kayu adat tersebut untuk ditanam di luar
kawasan TNKL, sehingga nantinya kawasan TNKL benar-benar terjaga, lestari, dan tidak mengalami kerusakanpengrusakanperambahan dari masyarakat di
sekitarnya.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian yang dibahas pada bab ini dimulai dengan bagaimana penerapan prinsip co-management dalam pengelolaan TNKL saat ini. Bahasan selanjutnya
yaitu hasil identifikasi stakeholders serta bagaimana kepentingan interest dan aspirasi stakeholders terkait dengan fungsi ekosistem TNKL dan program
pengelolaan TNKL, kemudian bagaimana nilai penting importance dan pengaruh
stakeholders berperan
dalam pengelolaan
TNKL. Selanjutnya
diuraikan juga
tentang penyusunan
strategi pengelolaan
TNKL melalui
pendekatan co-management.
5.1. Penerapan Prinsip Co-management dalam Pengelolaan TNKL pada Saat Ini
Dalam rangka menyusun strategi pengelolaan TNKL, perlu diketahui terlebih dahulu sejauh mana penerapan prinsip co-management dijalankan
dalam pengelolaan TNKL. Pengelolaan kawasan konservasi terutama taman nasional melalui pendekatan co-management ditentukan oleh beberapa faktor
penting yang sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing taman nasional. Untuk penelitian ini khusus mengkaji sejauhmana prinsip dasar co-
management telah diterapkan dalam pengelolaan TNKL pada saat ini. Prinsip dasar yang dimaksud yaitu partisipasi komunitas lokal, pengakuan terhadap hak
masyarakat adat, ada proses negosiasi, kejelasan hak dan tangggung jawab komunitas lokal dengan BTNKL, serta ada konsensus yang disepakati
stakeholders inti. Penerapan prinsip dasar co-management di Desa Saga dan Wologai Tengah dalam pengelolaan TNKL pada saat ini dijelaskan seperti uraian
di bawah ini.
5.1.1. Partisipasi komunitas lokal
Partisipasi komunitas lokal sebagai salah satu prinsip dasar co- management dianalisis penerapannya dalam pengelolaan TNKL pada kondisi
sekarang. Gambar 11 menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKL di Desa Wologai Tengah tergolong tinggi, sedangkan di Desa
Saga memperlihatkan partisipasi yang sedang. Partisipasi masyarakat yang tinggi di Desa Wologai Tengah mengindikasikan bahwa penerapan prinsip co-
management dalam pengelolaan TNKL pada saat ini baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Wologai Tengah
merasa turut dilibatkan dalam pengelolaan TNKL terutama pada program