Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

13 sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan perasaan masyarakat tentang dirinya, fungsi keamanan dari hutan selama musim paceklik, dan banyak sekali hubungan lainnya. Selama cara hidup masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang berakibat pada kerusakan hutan itu sendiri. Faktor defisit kekuasaan berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar, sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak.

2.5. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Partisipasi merupakan sikap kesediaan dan ikut serta untuk terlibat dalam kegiatan dan proses pengambilan keputusan dalam mencapai tujuan bersama, serta ikut bertanggung jawab atas hasil yang dicapai. Sementara itu Dephut 2006 mendefinisikan partisipatif sebagai keterlibatan dalam keseluruhan tahapan proses pembangunan kehutanan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dan pemanfaatan hasil pembangunan dengan memberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dan dilaksanakan bersama masyarakat setempat. Terkait dengan partisipasi, Nanang dan Devung 2004 dalam Kassa 2009 mengembangkan konsep Wilcox menjadi beberapa tingkat, yaitu:  Tingkat 6. Mobilisasi dengan kemauan sendiri self-mobilization yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri, jika perlu dengan bimbingan dan bantuan pihak luar. Mereka memegang kontrol atas keputusan dan pemanfaatan sumberdaya, sedangkan pihak luar memfasilitasi mereka.  Tingkat 5. Bermitra partnership yaitu masyarakat mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama dengan pihak luar, seperti studi kelayakan perencanaan, implementasi, evaluasi, dan lain-lain. Partisipasi merupakan hak mereka dan bukan kewajiban untuk mencapai sesuatu, ini disebut “partisipasi interaktif”.  Tingkat 4. Plakasiberkonsiliasi placationconsilliation yaitu masyarakat ikut dalam proses pengambilan keputusan yang biasanya sudah diputuskan sebelumnya oleh pihak luar, terutama menyangkut hal- hal penting. Mereka mungkin terbujuk oleh insentif berupa uang, barang dan lain-lain. 14  Tingkat 3. Berunding consultation yaitu pihak luar berkonsultasi dan berunding dengan masyarakat melalui pertemuan atau public hearing dan sebagainya. Komunikasi dua arah, tetapi masyarakat tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan.  Tingkat 2. Memberi informasi information gathering yaitu masyarakat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang luar. Komunikasi searah dari masyarakat ke luar.  Tingkat 1. Mendapat informasi informing yaitu hasil yang diputuskan oleh orang luar pakar, pejabat, dan lain-lain diberitahukan kepada masyarakat. Komunikasi terjadi satu arah dari luar ke masyarakat setempat. Tingkat partisipasi masyarakat tersebut bermanfaat sebagai alat untuk menilai partisipasi nyata di lapangan. Pada dasarnya partisipasi yang sesungguhnya terdapat pada Tingkat 5 dan Tingkat 6. Banyak upaya partisipatif beranggapan bahwa para stakeholders lokal merupakan kelompok-kelompok homogen yang memiliki kepentingan bersama dalam mengelola hutan. Namun, sering kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perebedaan-perbedaan antar kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi, menurut Kusumanto et al. 2006 tantangan terbesar dalam upaya-upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi. Upaya desentralisasi pemerintah dan meningkatnya kekuatan pasar menjadi faktor-faktor penting terjadinya pergeseran pengelolaan yang dulunya tidak mampu menghadapi perbedaan tuntutan atas hutan dan ketidakpastian, menjadi pengelolaan hutan bersama atau kolaboratif. Akibatnya diperlukan pelibatan berbagai kelompok kepentingan yang lebih luas. Disamping itu, munculnya kelompok-kelompok kepentingan baru dan berubahnya pola-pola hubungan antar kelompok, menjadikan kerjasama merupakan kebutuhan pokok. 15

2.6. Kolaborasi dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi