11 keputusan yang bersifat top down mengakibatkan nilai dan kepentingan dari
pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya
ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan stakeholders lainnya terutama komunitas–komunitas
lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut. Akhir-akhir ini berbagai wujud konflik sumberdaya alam dari aspek ekologi,
sosial dan ekonomi, telah timbul menjadi konflik yang sulit terselesaikan. Tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan yang sama pada
akhirnya menimbulkan konflik yang tidak terhindarkan Fuad Maskanah 2000. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, keberanian
komunitas lokal dalam melakukan penjarahan masal atas sumberdaya di dalam kawasan konservasi merupakan indikasi meningkatnya power yang dimiliki
masyarakat di satu sisi, serta melemahnya power yang dimiliki pihak pengelola kawasan. Pada akhirnya memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan
kawasan. Dalam
rangka menyelesaikan
konflik dan
berbagai permasalahan
pengelolaan sumberdaya, diperlukan pendekatan logis melalui partnerships kemitraan yang disebut dengan co-management Carlsson Berkes 2005.
Menurut Natcher et al. 2005 dalam Berkes 2009, co-management tidak hanya pengelolaan sumberdaya saja, melainkan juga pengelolaan relationships.
Lockwood 2010 menambahkan
bahwa perubahan
bentuk penguasaan
kawasan konservasi, dari tanggung jawab pemerintah menjadi pengelolaan bersama antara stakeholders pemerintah, swasta dan masyarakat, disebabkan
oleh meningkatnya pengetahuan ilmiah atas peran manusia dalam membentuk lingkungannya; kesadaran masyarakat lokal atas aspek sosial dan budaya,
pengakuan terhadap hak asasi manusia, pengakuan hak masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhinya; demokratisasi dan
peralihan power pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; serta kebangkitan kekuatan ekonomi politik.
2.4. Analisis Stakeholders
Stakeholders merupakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan taman nasional, yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh
tujuan pengelolaan taman nasional tersebut, baik individu, kelompok ataupun organisasi. Sementara itu, Eden and Ackermann dalam Bryson 2004
12 menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang
mempunyai power kekuatan untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi.
Dalam menentukan para stakeholders, harus dilakukan secara teliti. Hal ini dikarenakan berpotensi mengesampingkan kelompok yang sebenarnya relevan
dengan permasalahan utama, yang berakibat pada biasnya hasil penelitian. Oleh karena itu Reed et al. 2009 menyebutkan bahwa analisis stakeholders perlu
dilakukan dengan: 1 mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2 mengidentifikasi
individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3 memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat
dalam proses pengambilan keputusan. Lebih lanjut, analisis stakeholders mempelajari bagaimana manusia
berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan suberdaya alam dengan cara memisahkan peran stakeholders ke dalam rights hak, responsibilities tanggung
jawab, revenues pendapatan serta relationship menilai hubungan antar peran tersebut Mayers 2005; Reed et al. 2009.
Colfer et al. 1999a, 1999c menyebutkan bahwa untuk menentukan siapa yang perlu dipertimbangkan dalam analisis stakeholders, dilakukan dengan
mengidentifikasi dimensi yang berkaitan dengan interaksi masyarakat terhadap hutan, dimana stakeholders dapat ditempatkan berdasarkan faktor: kedekatan
dengan hutan,
hak-hak yang
sudah ada,
ketergantungan, kemiskinan,
pengetahuan lokal, integrasi hutanbudaya, dan defisit kekuasaan. Faktor kedekatan dengan hutan merupakan jarak tinggal masyarakat yang berhubungan
dengan kemudahan akses terhadap hutan. Masyarakat yang memiliki akses yang mudah terhadap hutan akan menguntungkan jika dilibatkan dalam
pengelolaan. Faktor hak-hak masyarakat yang sudah ada pada suatu kawasan hutan hendaknya diakui dan dihormati. Faktor ketergantungan merupakan
kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak mempunyai pilihan yang realistis untuk kelangsungan hidupnya, sehingga mereka sangat bergantung dengan
keberadaan hutan. Faktor kemiskinan mengandung implikasi serius terhadap kesejahteraan manusia, sehingga masyarakat yang miskin sangat perlu
dilibatkan dalam pengelolaan. Faktor pengetahuan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat lokal menjadikan pengelolaan hutan lebih baik. Faktor integrasi
hutanbudaya berkaitan dengan tempat-tempat keramat dalam hutan, sistem-
13 sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan sangat erat dengan
perasaan masyarakat tentang dirinya, fungsi keamanan dari hutan selama musim paceklik, dan banyak sekali hubungan lainnya. Selama cara hidup
masyarakat terintegrasi dengan hutan, kelangsungan budaya mereka terancam oleh kehilangan hutan, sehingga mempunyai dampak kemerosotan moral yang
berakibat pada
kerusakan hutan
itu sendiri.
Faktor defisit
kekuasaan berhubungan dengan hilangnya kemampuan masyarakat lokal dalam melindungi
sumberdaya atau sumber penghidupan mereka dari tekanan luar, sehingga mereka terpaksa melakukan praktik-praktik yang merusak.
2.5. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi