51 lahan untuk anak cucu mereka di masa yang akan datang. Hal tersebut di atas
memberikan gambaran bahwa partisipasi masyarakat Saga masih pada tahap dialog dan dapat dikatakan sebagai proses menuju co-management sebab masih
berpeluang untuk menimbulkan konflik sebagai akibat dari kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang belum terakomodir.
Jumbe and
Angelson 2007
menyebutkan bahwa
tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hutan akan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan, seperti yang terjadi di Desa Wologai Tengah. Namun pada situasi yang kompleks, seperti di Desa Saga, maka ketergantungan
terhadap hutan belum tentu menyebabkan tingginya partisipasi. Hal ini mungkin disebabkan proses pembuatan keputusan dalam pengelolaan tersebut masih
bersifat top down. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, pengelolaan secara
co-management harus
dapat memenuhi
kebutuhan aktual
bagi masyarakat serta memberikan insentif Jumbe Angelson 2007; Nuggehalli
Prokopy 2009, seperti pengembangan lebah madu dan pengelolaan camping ground. Terkait hal tersebut maka dapat disebutkan bahwa penerapan prinsip co-
management berdasarkan partisipasi masyarakat di Desa Wologai Tengah sudah pada kategori tinggi, sedangkan di Desa Saga masih dalam kategori
sedang.
5.1.2. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat
Salah satu prinsip dasar dari co-management yang dianalisis sejauh mana penerapannya adalah pengakuan terhadap hak masyarakat adat terutama
mengenai lahan masyarakat adat. Gambar 12 menunjukkan bahwa dalam pengelolaan TNKL, telah ada pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang
bermukim di Desa Wologai Tengah, dengan presentase masyarakat yang menyatakan bahwa telah ada pengakuan terhadap hak masyarakat adat di desa
tersebut tergolong tinggi. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat di Desa Wologai Tengah memberikan dampak positif terhadap kelestarian fungsi
ekosistem TNKL, dengan tidak adanya kegiatan perambahan kawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Wologai Tengah turut menjaga
fungsi ekosistem kawasan dengan menjaganya dari gangguan pihak lain. Hal ini menurut responden disebabkan oleh pengakuan pihak BTNKL terhadap kearifan
dan pengelolaan tradisional, disamping itu pihak BTNKL juga melakukan perbaikan atas hak masyarakat lokal, seperti memberikan kelonggaran untuk
mengambil air bersih dari dalam kawasan.
52
87 13
30 13
57
telah ada pengakuan tidak memberikan pendapat
belum diakui
Pengakuan terhadap Hak Masyarakat Adat
Desa Wologai Tengah Desa Saga
Gambar 12 Persentase pendapat responden tentang pengakuan terhadap hak masyarakat dalam pengelolaan TNKL.
Peran serta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik akan menunjukkan
hasil yang
baik dimana
produktivitas tercapai
tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat
lokal. Hal ini berbeda dengan kondisi di Desa Saga yaitu persentase responden yang menganggap hak masyarakat adat belum diakui oleh pihak BTNKL
tergolong tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan berbagai usulan dan pendapat yang diajukan oleh masyarakat setiap penyuluhan dan koordinasi yang
dilaksanakan oleh pihak BTNKL. Mereka mengusulkan perlunya pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas sebagian lahan yang berada dalam kawasan
TNKL. Berdasarkan dokumen yang ada, sekitar tahun 2002 telah dilakukan kesepakatanperjanjian adat tidak tertulis antara Bupati Ende dengan masyarakat
Saga, yang dikenal dengan istilah torajaji. Isi kesepakatan tersebut adalah petani kopi dalam kawasan TNKL diperkenankan untuk memanen hasil kopi yang telah
ada sejak kesepakatan dibuat, tetapi tidak diperkenankan untuk meremajakan atau memeliharanya. Namun, seiring perkembangan waktu, petani kopi tetap
melaksanakan peremajaan dan pemeliharaan kopi tersebut serta memperluas lahan kopi, dan bahkan beberapa warga lainnya ikut merambah kawasan. Oleh
karena itu, masyarakat sering memperjuangkan haknya melalui forum pertemuan di tingkat desa agar dapat diakui. Namun, hingga saat ini belum ada pengakuan
secara resmi terhadap hak masyarakat adat untuk memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah adatnya yang terdapat di dalam kawasan.
Pengakuan hak
yang belum
diperoleh masyarakat
Desa Saga,
merupakan implikasi
dari kebijakan
sentralistik sehingga
kepentingan
53 pengelolaan kawasan tidak searah dengan kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Akibatnya terjadi ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pihak BTNKL dengan komunitas lokal yang bermukim
di sekitar kawasan. Sasaran yang tidak sejalan inilah yang membutuhkan suatu pendekatan agar kepentingan dan kebutuhan stakeholders dapat disinergikan
untuk menghindari terjadinya konflik yang dapat berimplikasi negatif terhadap kelestarian taman nasional. Oleh sebab itu untuk menjaga kelestarian ekosistem
TNKL dan sekitarnya maka pengakuan terhadap hak masyarakat yang bermukim di Desa Saga seyogyanya diberikan oleh pihak BTNKL. Hal ini sesuai dengan
pendapat Borrini-Feyerabend et al. 2000 yang menyebutkan bahwa salah satu penerapan co-management adalah masing-masing pihak membagi dengan adil
fungsi manajemen, kepemilikan dan tanggung jawab atas suatu wilayah tertentu atau seperangkat sumberdaya alam.
5.1.3. Proses negosiasi