78 Wologai Tengah, 8 BTNKL, 9 BAPPEDA, 10 Dishutbun, 11 Disbudpar, 12
Unflor, 13 Swisscontact, dan 14 Tananua Flores. Gambar 17 menunjukkan bahwa sub elemen lembaga dan pelaku yang
terlibat dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management yaitu petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga, masyarakat Wologai Tengah,
BTNKL, lembaga adat Saga, dan lembaga adat Wologai, terletak pada sektor IV independent yang merupakan sub elemen lembaga dan pelaku yang sangat
berpengaruh dan mempunyai kekuatan penggerak driver power yang besar dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management. Sub elemen
lembaga pada sektor ini memiliki ketergantungan dependence yang rendah terhadap lembaga lainnya.
Sementara itu sub elemen Kepala Desa Saga, Kepala Desa Wologai Tengah, BAPPEDA, Dishutbun, Disbudpar, Unflor, dan Tananua Flores, terletak
pada sektor II dependent yang merupakan sub elemen bergantung terhadap lembaga lainnya dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan TNKL secara co-
management. Dengan kata lain apabila beberapa sub elemen lembaga lainnya seperti tersebut di atas ikut dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan TNKL
maka lembaga ini menjadi penting terhadap keberhasilan pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management.
Gambar 17 Posisi sub elemen lembaga dan pelaku yang terlibat dalam
pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-management pada Grafik Driver Power – Dependence.
Sub elemen yang terletak pada sektor I autonomus adalah Swisscontact. Sub elemen yang berada pada sektor I merupakan sub elemen yang tidak terkait
1, 2, 3, 8
4, 5 6, 7
11, 12,14 9, 10
13
DEPENDENCE
79 dengan sistem, walaupun terdapat hubungan dengan sub elemen lembaga
lainnya. Model struktur elemen lembaga dan pelaku yang terlibat sebagaimana hasil
ISM Gambar 18 terdiri dari 5 tingkat. Petani kopi dalam kawasan, BTNKL, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah merupakan elemen kunci
lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL. Keempat stakeholders tersebut disebut sebagai stakeholders inti pengelolaan TNKL
karena menjadi penggerak utama dan mempengaruhi stakeholders pada tingkat di bawahnya, terkait dengan pelaksanaan co-management dalam pengelolaan
TNKL. Level 1
Level 4 Level 2
Level 3 Kepala desa
Saga Kepala desa
Wologai Tengah
Lembaga adat Wologai
Lembaga adat Saga
Masyarakat Wologai Tengah
Petani kopi dalam kawasan
Masyarakat Saga
BTNKL BAPPEDA
Dishutbun
Tananua Flores Unflor
Disbudpar
Level 5
Gambar 18 Diagram model struktural dari elemen lembaga dan pelaku yang terlibat dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-
management. Hasil pengelompokan ini Gambar 17 dan 18 memberikan makna bahwa
petani kopi dalam kawasan, BTNKL, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah merupakan peubah bebas independet yang mempengaruhi pelaku dan
lembaga lembaga adat, kepala desa, Disbudpar, Unflor, Tananua Flores, BAPPEDA, dan Dishutbun. Kemitraan antara stakeholders inti yaitu BTNKL,
80 masyarakat sekitar TNKL dan petani kopi dalam kawasan, merupakan hal yang
mutlak dilakukan dalam pengelolaan dengan pendekatan co-management. Petani kopi dalam kawasan, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah
bertempat tinggal
berdekatan dengan
kawasan TNKL
serta memiliki
ketergantungan terhadap keberadaan TNKL. Oleh karena itu mereka menjadi prioritas bermitra dengan BTNKL untuk merencanakan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan pengelolaan sesuai dengan kesepakatan yang disusun bersama. Disamping itu, untuk mencapai pengelolaan bersama maka BTNKL
sebagai stakeholders inti juga perlu mengubah struktur, budaya organisasi, sikap, keahlian dan program kerja, demi pengelolaan kawasan bersama.
Kesediaan komponen masyarakat untuk bermitra dalam pengelolaan harus didukung oleh partisipasi lembaga adat. Lembaga adat memiliki keterikatan nilai-
nilai adat dan budaya dengan TNKL, sehingga keterlibatan lembaga adat akan mendukung
masyarakat untuk
berpartisipasi menjaga
kelestarian fungsi
ekosistem TNKL. Pelaku yang menjadi prioritas selanjutnya yaitu kepala desa. Kepala desa sebagai pemimpin masyarakat di tingkat desa berkepentingan
menjaga stabilitas keamanan wilayah dan juga kebijakan kepala desa perlu disinergikan dengan aturan adat. Hal ini sesuai dengan pendapat Borrini-
Feyerabend et al. 2004 yang menyebutkan bahwa pemimpin lokal, dalam hal ini tokoh adat dan kepala desa, dapat mendorong peningkatan kapasitas dalam hal
sikap warganya untuk membangun motivasi dan kesediaan untuk beraksi dalam pengelolaan bersama.
Ketigabelas pelaku
dan lembaga
mencerminkan keadaan
bahwa pengelolaan TNKL membutuhkan keterlibatan dan peran banyak stakeholders
mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat lokal dan adat, LSM, maupun perguruan tinggi. Hal ini karena banyaknya aspek pengelolaan
yang sebenarnya tidak dapat ditangani hanya oleh BTNKL saja melainkan harus melibatkan lembaga lain jika tujuan pengelolaan ingin dicapai sesuai dengan
yang diharapkan bersama. Hal ini semakin memberikan indikasi bahwa pendekatan co-management dalam pengelolaan TNKL sangat diperlukan.
Untuk mengetahui bentuk dan tingkat keterlibatan ketigabelas stakeholders yang mungkin dilaksanakan dalam pengelolaan TNKL melalui pendekatan co-
management, maka dilakukan analisis menggunakan matrik partisipasi Tabel 14. Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan TNKL dianalisis dari tingkat
yang terendah
yaitu hanya
sekedar mendapatkan
informasi, kemudian
81 konsultasiperundingan yaitu stakeholders berkonsultasi dan berunding melalui
pertemuan dan terjadi komunikasi dua arah, tetapi ada stakeholders yang tidak ikut serta dalam menganalisis atau mengambil keputusan. Tingkat keterlibatan
stakeholders yang lebih tinggi yaitu kemitraan dimana setiap stakeholders mengikuti seluruh proses pengambilan keputusan bersama, sampai dengan
stakeholders memegang kontrol secara penuh atas keputusan dan tindakan dalam siklus pengelolaan, sedangkan pihak luar memfasilitasi mereka.
Tabel 14 Strategi keterlibatan stakeholders dalam siklus pengelolaan TNKL
melalui pendekatan co-management
Siklus pengelolaan
Tingkat partisipasi Informasi
Konsultasi perundingan
Kemitraan Kontrol
Identifikasi pengamatan
LW, TF PTK, MS, MW,
LS BTN
Perencanaan BPD,DHB,
DBP, UF, KS, KW
PTK, MS, MW, BTN, LS, LW,
TF Pelaksanaan
BPD,DHB TF, UF
PTK, MS, MW, BTN, LS,LW,
DBP, KS, KW Pemantauan
dan evaluasi BPD, DHB
DBP, KS, KW, UF, TF
PTK, MS, MW, LS,LW,
BTN
Keterangan: PTK: Petani kopi dalam kawasan; MS: Masyarakat Saga; LS: Lembaga Adat Saga; KS: Kepala Desa Saga; MW: Masyarakat Wologai Tengah; LW: Lembaga Adat Wologai; KW:
Kepala Desa Wologai Tengah; BTN: BTNKL; BPD: Bappeda; DHB: Dishutbun; DBP: Disbudpar; UF: Unflor; TF: Tananua Flores
Strategi yang
disusun yaitu
masyarakat dilibatkan
sebagai mitra
pengelolaan. Masyarakat, walaupun merupakan stakeholders yang cukup homogen, namun terdapat beragam kepentingan dan kebutuhan. Pada suatu
saat mereka akan satu suara, namun diwaktu yang berbeda mereka bisa banyak suara. Oleh karena itu, stakeholders masyarakat yang terdiri dari petani kopi
dalam kawasan, masyarakat Saga dan masyarakat Wologai Tengah, perlu dilibatkan sebagai mitra pengelolaan yaitu dengan meningkatkan kapasitas
dalam hal keterwakilannya dalam pengambilan keputusan dan penentuan tindakan pada setiap tahapan pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi konflik kepentingan antara pihak BTNKL dengan masyarakat, dan bahkan antar masyarakat sendiri. Carlsson and Berkes 2005 menyebutkan
bahwa salah satu kompleksitas dalam pengelolaan secara co-management adalah kompleksitas masyarakat. Hal ini menyebabkan pengelolaan TNKL tidak
82 dapat diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat mengingat beragamnya
kepentingan serta ego antar kelompok masyarakat dan lembaga adat di lokasi penelitian.
BTNKL memegang kontrol secara penuh terhadap keputusan dan tindakan pada tahap identifikasipengamatan pengelolaan, serta pemantauan dan evaluasi
pengelolaan. Hal ini dikarenakan kepentingan BTNKL untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem TNKL disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar, sehingga diharapkan pengelolaan TNKL akan berkelanjutan. Sementara itu pada tahap perencanaan dan pelaksanaan, BTNKL terlibat sebagai mitra
yang duduk bersama stakeholders lainnya dalam menentukan keputusan dan tindakan pengelolaan ke depan. Berdasarkan hal tersebut, dalam pengelolaan
secara co-management hendaknya BTNKL tidak mengkontrol secara penuh pengelolaan kawasan, namun juga tidak membiarkan dan tidak melakukan
intervensi dan kontribusi sama sekali terhadap pengelolaan. Borrini-Fayerabend et al. 2004 menyebutkan bahwa posisi pemerintah adalah di tengah, dimana
terjadi pembagian tugas dan tanggung jawab yang berimbang antara pemerintah dengan stakeholders.
Lembaga adat Saga sebagaimana masyarakat perlu dilibatkan sebagai mitra dalam setiap tahapan pengelolaaan. Hal ini dikarenakan kepentingan
mereka yang tinggi terkait kebutuhan kayu dalam kawasan. Sementara itu lembaga adat Wologai, Kepala Desa Saga dan Wologai Tengah perlu dilibatkan
dalam konsultasi dan kemitraan terkait kepentingannya dalam menjaga stabilitas keamanan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Stakeholders pemerintah daerah BAPPEDA, Dishutbun, dan Disbudpar Unflor, dan Tananua Flores dilibatkan dalam penyampaian informasi dan
konsultasi baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dilibatkan dalam kemitraan pengelolaan terkait
pengembangan kegiatan kepariwisataan alam dan budaya di sekitar TNKL. Sementara itu Tananua Flores dilibatkan untuk konsultasi pada tahap
identifikasipengamatan kemungkinan alternatif pengembangan usaha ekonomi masyarakat agar tidak bergantung terhadap kawasan TNKL.
5.4.2. Kebutuhan dari program pengelolaan TNKL