15
2.6. Kolaborasi dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia merupakan salah satu tumpuan terakhir dalam upaya menyelamatkan biodiversitas tropika yang masih
tersisa. Keberhasilan
pengelolaannya sangat
dipengaruhi oleh
berbagai perubahan situasi dan setting politik, pemerintahan serta sosial-ekonomi-budaya
masyarakat. Seringkali kebijakan pemerintah di bidang konservasi sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya tidak mampu mengimbangi kecepatan
perubahan tersebut, sehingga banyak hal terkait dengan kebijakan dan paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang tidak lagi relevan dengan
situasi terkini. Hal ini menyebabkan kondisi tidak menentu dalam pendekatan pengelolaan kawasan yang mengakibatkan ketidakpastian sistem manajemen di
lapangan. Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang masih kental dengan
pengaruh pendekatan Yellowstone, terjadinya gap kesenjangan pemahaman terhadap konservasi bagi pelaku konservasi serta instrumen regulasi yang
kurang relevan dengan perubahan situasi terkini, dapat mengakibatkan potensi kegagalan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini diindikasikan oleh
semakin menurunnya apresiasi dan dukungan para pihak terhadap pengelolaan kawasan konservasi. Di sisi lain, degradasi keanekaragaman hayati di kawasan
konservasi juga semakin memprihatinkan. Keraguan pengelola kawasan dalam melakukan tindakan manajemen di lapangan seringkali kontra-produktif terhadap
upaya konservasi
itu sendiri.
Oleh karenanya,
diperlukan pendekatan
pengelolaan yang mampu mengakomodasikan kepentingan para pihak tanpa melupakan tujuan utama pengelolaan, yaitu keberlanjutan keberadaan, fungsi,
dan manfaat sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya bagi kesejahteraan rakyat.
Departemen Kehutanan telah menanggapi permasalahan di atas dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.19Menhut-II2004 tentang
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kolaborasi pengelolaan ini bertujuan untuk mewujudkan efektivitas pengelolaan
kawasan yang dilindungi, terpenuhinya kebutuhan kesetaraan, keadilan dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta terpenuhinya keinginan
para pihak untuk mengakhiri konflik tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan Dephut 2004. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Carlsson and Berkes 2005
16 bahwa co-management merupakan pendekatan logis untuk menyelesaikan
permasalahan pengelolaan sumberdaya melalui kemitraan. Istilah collaborative management atau kolaborasi pengelolaan dalam
bahasa Inggris sering digunakan bergantian dengan berbagai istilah lainnya seperti
co-management, participatory
management, joint
management pengelolaan bersama, shared management, multistakeholder management,
atau round-table management Kusumanto et al. 2006. Di Indonesia istilah co- management diartikan sebagai pengelolaan kolaboratif, pengelolaan bersama,
pengelolaan berbasis kemitraan atau pengelolaan partisipastif. Borrini-Feyerabend et al. 2000, 2004 menyebutkan bahwa co-
management merupakan suatu kondisi dimana dua atau lebih stakeholders bernegosiasi, menetapkan dan memberikan jaminan di antara mereka serta
membagi secara adil mengenai fungsi manajemen, hakwewenang dan tanggung jawab atas suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu.
Co-management dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya yang kegiatannya didasarkan pada kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat yang berorientasi pada optimalisasi pencapaian tujuan organisasi dengan mempertimbangkan pembagian wewenang, manfaat
dan tanggung jawab. Knigt and Tighe 2003 dalam Kassa 2009 menyebutkan bahwa konsep co-management antara masyarakat dan pemerintah merupakan
mitra yang bekerja bersama-sama dalam pengelolaan sumberdaya alam di suatu kawasan. Pengembangan konsep kerjasama antara pemerintah dan masyarakat
dalam menjalankan suatu program pengelolaan sumberdaya alam, memiliki peran dan fungsi yang jelas antara masing-masing pihak.
Gambar 2 mengilustrasikan wilayah pengelolaan kolaboratif yang berada di antara manajemen di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali
penuh stakeholders. Arah kerja co-management tersebut mencakup berbagai cara menerapkan manajemen kerjasama yang adaptif, mulai dari konsultasi aktif,
mencari konsensus, negosiasi, sharing otoritas dan transfer otoritas Borrini- Feyerabend 1996 dalam Purwanti 2008.
Selanjutnya Borrini-Feyerabend et al. 2004 menyebutkan bahwa modal co-management adalah keberagaman pelaku sosial, dengan berbagai ragam
tingkatan, bagian dan disiplin. Co-management didasarkan pada negosiasi dengan pengambilan keputusan dilakukan secara bersama, serta terjadi power
sharing dan pembagian pendapatan diantara semua pelaku yang terlibat. Co-
17 management mencoba mencapai keadilan dalam pengelolaan sumberdaya.
Keadilan disini bukan berarti kesamaan.
Kontrol penuh pemerintah
Kontrol bersama Kontrol penuh
stakeholders
Sharing otoritas
tanggung jawab secara
formal
COLLABORATIVE MANAGEMENT
Konsultasi secara aktif
Mencari konsensus
terbaik Negosiasi
keterlibatandalam pengambilan
keputusandan mengembangkan
kesepakatan
Tidak ada interfensi dan kontribusi
stakeholders Tidak ada interfensi
dan kontribusi pemerintah
Tingkat Keterlibatan Stakeholders
Rendah Tinggi Kuat
Sedang
Kontribusi,komitmen akuntabilitas stakeholders meningkat Harapanstakeholders meningkat
Tingkatpartisipasistakeholders meningkat Transfer
otoritas dan
tanggung jawab
Sumber: Borrini-Feyerabend 1996 dalam Purwanti 2008
Gambar 2 Arah kerja co-management.
Kunci keberhasilan co-management Kusumanto et al. 2006 yaitu bahwa para stakeholders kunci tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan saja,
tetapi dalam
semua tahapan
pengelolaan yang
meliputi pengamatan,
perencanaan, aksi, pemantauan dan refleksi. Selain itu, pengembangan minat, keterampilan dan kemampuan lokal yang dapat membantu para stakeholders
menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang sangat cepat. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan para stakeholders dalam menanggapi
perubahan adalah dengan mengikuti pembelajaran yang berkelanjutan dan terstruktur yang dapat membantu dalam mengadaptasi pendekatan pengelolaan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dirangkum beberapa faktor pendukung co-management seperti Tabel 1.
Pada dasarnya konsep pengelolaan co-management berbeda dengan pengelolaan partisipatif lainnya atau dengan pengelolaan berbasis masyarakat,
karena ada mekanisme pelembagaan yang menuntut kesadaran dan distribusi tanggung jawab pemerintah dan stakeholders. Berdasarkan pengertian tersebut
di atas maka dapat disimpulkan bahwa co-management di taman nasional merupakan
kemitraan antara
pemerintah dengan
stakeholders yang
berkomitmen dan konsisten dalam berbagi hakwewenang dan tanggung jawab
18 pada tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan
suatu kegiatan dalam kawasan taman nasional. Tabel 1 Faktor pendukung co-management
No Indikator
Dephut 2004
Borrini- Fayerabend 2000
Knigt and Tighe 2003
Kusumanto et al. 2006
1 Kemitraan
2 Pembagian wewenang dan
tanggung jawab
3
Kesepakatan
4
Kerjasama
5
Partisipasi
6
Pengakuan hak, sederajat
7 Saling percaya dan menghargai
8
Berbagi keuntungan
9
Peningkatan ketrampilan dan kemampuan lokal
Beberapa jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan dengan masyarakat dalam taman nasional Dephut 2004 antara lain kegiatan rehabilitasi kawasan,
wisata alam, pelaksanaan perlindungan dan pengamanan, serta program peningkatan
kesejahteraan dan
kesadaran masyarakat.
Pada kegiatan
rehabilitasi kawasan, bentuk kemitraan bersama stakeholders bisa dilakukan dalam hal penyediaan jenis bibit sekaligus kegiatan penanamannya. Pada
kegiatan wisata alam, bentuk kemitraan bersama stakeholders bisa dilakukan dalam hal penyusunan rencana aktivitas wisata alam yang dikaitkan dengan
wisata adat budaya, beserta program interpretasinya. Selain itu, keterlibatan stakeholders dalam kegiatan wisata alam dapat dilakukan dengan pembentukan
guidepemandu wisata lokal yang menguasai interpretasi wisata alam taman nasional. Pada kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, kemitraan
bersama stakeholders dilakukan dengan perencanaan dan pembentukan kelompok pengamanan swakarsa oleh masyarakat setempat. Di samping itu,
pemerintah dan
stakeholders juga
mempunyai tanggung
jawab untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat sekaligus turut merencanakan program peningkatan kesejahteraannya. Kegiatan dalam hal ini berupa berbagai kegiatan
penyuluhan dan pelatihan yang direncanakan bersama masyarakat.
2.7. Teknik Interpretative Structural Modeling ISM