Konsep Strategi Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Strategi

Konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau konsep selama tiga dekade terakhir. Menurut Chandler 1962 dalam Rangkuti 2006 strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumberdaya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Sementara itu Fisher et al. 2001 menyebutkan bahwa strategi merupakan serangkaian langkah yang saling terkait secara logis ke arah seluruh tujuan, yang dapat diuji dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi. Strategi yang digunakan dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah mewujudkan tujuan konservasi seperti tercantum dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1990 yaitu melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga kegiatan ini saling berintegrasi, tidak ada yang lebih utama dari yang lainnya Soemarwoto 2008. Artinya jika yang dilakukan hanya satu aspek, misalnya perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan pemanfaatan, maka akan menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat tinggi, dengan tanpa memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan tersebut hanya memfokuskan pada aspek pemanfaatan dengan tanpa memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan, maka yang akan terjadi tentu saja pemusnahan sumberdaya alam hayati tersebut. Salah satu strategi pengelolaan TNKL dapat dilakukan dengan pengembangan konsep co-management. Co-management diperlukan dalam pengelolaan kawasan konservasi, karena menyangkut kompleksnya aspek ekologi, budaya, ekonomi dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing aspek tersebut.

2.2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan atau mengurangi peluang generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya Soemarwoto 2008. Munasinghe 1993 dalam Kassa 2009 mengemukakan bahwa konsep pembangunan akan berkelanjutan apabila memenuhi tiga dimensi yaitu: secara 8 ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari. Makna pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kualitas modal alam yang dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara eknomis dan jasa lingkungan termasuk estetika. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan yang bermakna bahwa eksploitasi atau pemanfaatan sumberdaya tidak melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau dihasilkan dalam kurun waktu yang sama. Keraf 2002 menyebutkan bahwa gagasan terhadap tiga aspek pembangunan yaitu aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup, harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya. Soemarwoto 2008 menyebutkan bahwa pembangunan yang hanya memperhatikan faktor ekonomi tidak akan dapat berkelanjutan. Untuk itu perlu memperhatikan faktor sosial-budaya, seperti halnya sejarah menunjukkan, bahwa faktor sosial budaya telah menyebabkan tak berkelanjutannya pembangunan di banyak negara. Faktor sosial budaya berhubungan dengan keterikatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Perwujudan pengelolaan kawasan konservasi hanya dapat dicapai oleh masyarakat yang hidup dengan prinsip berusaha untuk tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi serta menghormati dan memelihara komunitas kehidupan Djajadiningrat 2001. Prinsip ini mengandung arti bahwa orang atau sekelompok masyarakat harus peduli kepada orang atau kelompok masyarakat lain dimanapun, baik sekarang maupun di masa mendatang. Untuk mencapai hal tersebut perlu diciptakan dan dikembangkan kemitraan yang saling menguntungkan dan dinamis semua unsur pelaku pembangunan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dalam pasal 37 Undang-undang nomor 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan dalam pasal 68 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 meliputi: 1 masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan; 2 masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan 9 sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan; dan 3 masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses atau hak atas tanah miliknya.

2.3. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam