Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam

9 sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan; dan 3 masyarakat berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses atau hak atas tanah miliknya.

2.3. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dalam suatu interaksi antara satu pihak dengan pihak lain dalam hal apa saja jika sudah menimbulkan ketidakcocokan atau ketidaksetujuan satu pihak dengan yang lainnya, maka pada saat itulah benih konflik mulai dapat berkembang Suporahardjo 2000. Selanjutnya tinggal menunggu apakah akan menjadi konflik yang terbuka atau konflik tersembunyi yang belum muncul menjadi sengketa. Pada dasarnya konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh ketidakpastian hak penguasaan property right Basuni 2003, perebutan akses Colfer et al. 1999a, perbenturan nilai dan rasa keamanan Kartodihardjo Jhamtani 2006, serta perbedaan kepentingan Fuad Maskanah 2000. Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak, ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak, di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komoditi yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Menurut Suparmoko 1989 ketidakpastian hak penguasaan akan memunculkan keputusan perorangan untuk mengambil sumberdaya tersebut secara boros, yang berarti bersifat deplisi. Adapun bentuk-bentuk hak penguasaan property right sumberdaya alam menurut Hanna et al. 1996 seperti dikutip Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 adalah dikuasai oleh negara state property, diatur bersama didalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu common property, dan berupa hak individu private property. Pengalokasian sumberdaya yang tidak efisien serta ketidakpastian property right dapat mengakibatkan terjadinya free access Basuni 2003, yang mana dampak selanjutnya dimungkinkan terjadi konflik. Akses merupakan kemampuan memperoleh manfaat dari sumberdaya alam Ribot Peluso 2003. Penekanan ini berarti bahwa akses bukan hanya hak penguasaan, melainkan juga hubungan sosial yang memampukan seseorang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikannya. Konflik yang terjadi yaitu ketika terjadi perubahan 10 terhadap akses sumberdaya. Hutan yang dialokasikan sebagai state property, pengelolaannya diatur berdasarkan regulasi negara demi tercapainya kemakmuran seluruh rakyat. Regulasi pengelolaan taman nasional yang berdasarkan zonasi dimaksudkan untuk meningkatikan efektifitas pengelolaan tersebut. Namun kenyataan yang ada bahwa masyarakat masih melakukan aktifitas ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Secara etis, akses masyarakat terhadap makanan merupakan pertimbangan penting. Secara praktis, masyarakat yang anaknya lapar karena mereka tidak diberi akses terhadap hutan mungkin tidak akan menghormati batas-batas hutan. Perubahan penguasaan dan akses pada sumberdaya alam dari common resources menjadi state property milik negara jelas akan menimbulkan berbagai masalah, mulai dari ketidakacuhan masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan hutan sampai pada peningkatan konflik Colfer et al. 1999a. Nilai-nilai spiritual dalam masyarakat menjalin ikatan batin dan emosional yang kuat dengan keberadaan sumberdaya alam. Keraf 2002 menyebutkan bahwa masyarakat tradisional memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai hubungan antara semua penguhuni komunitas ekologis. Nilai-nilai dalam masyarakat ini dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari. Sementara itu, negara percaya bahwa pembangunan ekonomi adalah alat utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Untuk itu negara akan menerapkan sistem ekonomi yang mengadopsi paradigma pasar untuk menghasilkan devisa sebesar-besarnya Kartodihardjo Jhamtani 2006. Demi mencapai tujuan pembangunan secara nasional, keberadaan masyarakat lokal sering diabaikan, tidak diakui, dan bahkan dipinggirkan atau dengan sengaja dimusnahkan hingga terjadi erosi nilai-nilai tradisional. Erosi ini berakibat lebih jauh pada degradasi perilaku, dan hilangnya rasa aman bagi masyarakat lokal yang ingin mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Tentu saja perubahan- perubahan nilai sosial itu akan memunculkan perlawanan dan menimbulkan konflik. Paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang lebih menitikberatkan pada aspek ekologi semata, tanpa memperhatikan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya menghasilkan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang salah arah Kassa 2009. Hal ini disebabkan karena pengelolaan kawasan yang sentralistik dengan perencanaan dan keputusan- 11 keputusan yang bersifat top down mengakibatkan nilai dan kepentingan dari pengelolaan kawasan konservasi tidak searah dengan nilai dan kepentingan masyarakat di sekitar kawasan. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya ketidakstabilan yang ditandai dengan terjadinya konflik kepentingan antara pengelola kawasan dengan stakeholders lainnya terutama komunitas–komunitas lokal yang berada di sekitar kawasan tersebut. Akhir-akhir ini berbagai wujud konflik sumberdaya alam dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi, telah timbul menjadi konflik yang sulit terselesaikan. Tumpang tindihnya kepentingan pada suatu wilayah hutan yang sama pada akhirnya menimbulkan konflik yang tidak terhindarkan Fuad Maskanah 2000. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, keberanian komunitas lokal dalam melakukan penjarahan masal atas sumberdaya di dalam kawasan konservasi merupakan indikasi meningkatnya power yang dimiliki masyarakat di satu sisi, serta melemahnya power yang dimiliki pihak pengelola kawasan. Pada akhirnya memicu intensitas terjadinya konflik pengelolaan kawasan. Dalam rangka menyelesaikan konflik dan berbagai permasalahan pengelolaan sumberdaya, diperlukan pendekatan logis melalui partnerships kemitraan yang disebut dengan co-management Carlsson Berkes 2005. Menurut Natcher et al. 2005 dalam Berkes 2009, co-management tidak hanya pengelolaan sumberdaya saja, melainkan juga pengelolaan relationships. Lockwood 2010 menambahkan bahwa perubahan bentuk penguasaan kawasan konservasi, dari tanggung jawab pemerintah menjadi pengelolaan bersama antara stakeholders pemerintah, swasta dan masyarakat, disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan ilmiah atas peran manusia dalam membentuk lingkungannya; kesadaran masyarakat lokal atas aspek sosial dan budaya, pengakuan terhadap hak asasi manusia, pengakuan hak masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhinya; demokratisasi dan peralihan power pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; serta kebangkitan kekuatan ekonomi politik.

2.4. Analisis Stakeholders