Selanjutnya, berdasarkan karakteristik lingkungan daerah penangkapan ikan, komposisi jenis dan ukuran ikan yang tertangkap, kelayakan biologis-teknis
sero, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan sero di Kabupaten Wajo.
4 KONDISI UMUM PERIKANAN SERO
DI KABUPATEN WAJO
4.1 Statistik Perikanan Kabupaten Wajo
Nelayan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo menggunakan enam jenis alat penangkapan ikan, yaitu sero, jaring insang permukaan surface gillnet,
rawai dasar bottom longline, jaring insang hanyut drift gillnet, pancing ulur handline, dan bagan liftnet. Pada tahun 2008, sero adalah jenis alat yang
paling banyak dioperasikan sehingga perikanan Kabupaten Wajo dicirikan oleh perikanan sero dengan nama lokal belle’. Perikanan sero adalah penyumbang
produksi ikan terbesar ketiga setelah perikanan jaring insang dan perikanan bagan perahu Gambar 3. Pada tahun 2003 produksi perikanan sero meningkat tajam
menjadi 1126,5 ton dari 911,7 ton pada tahun 2002, namun pada tahun berikutnya 2004 produksi menurun tetapi sejak tahun 2005 produksi terus meningkat
sampai tahun 2008. Adanya 71 unit sero di perairan sepanjang pesisir Pitumpanua menjadikan sero sebagai jenis alat penangkapan ikan yang paling
dominan di kawasan tersebut KKP Wajo 2009
250 500
750 1000
1250 1500
1750 2000
2250 2500
2002 2003
2004 2005
2006 2007
2008
Tahun P
ro d
u ksi
h asi
l tan
g kap
an to
n
Jaring Insang Tetap Bagan Perahu
Sero
Gambar 3 Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo.
Jumlah kapal ikan yang berpangkalan di di Kecamatan Pitumpanua pada tahun 2003 secara keseluruhan mencapai 202 unit. Sebagian besar di antaranya
70 adalah perahu bermotor tempel 147 unit, sisanya adalah 22 unit perahu tidak bermotor dan 33 unit kapal motor. Kapal ikan yang umum digunakan untuk
mengoperasikan sero di Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo tergolong sebagai perahu bermotor tempel namun sebagian nelayan kecil masih
menggunakan dayung saja. Perahu-perahu ini lebih berfungsi sebagai pengangkut nelayan menuju lokasi sero ketika mereka memeriksa dan mengangkat ikan, serta
kembali mengangkut nelayan dan ikan ke darat. Perahu-perahu tersebut mempunyai panjang yang berkisar dari 7-10 m, lebar 0,7-2,0 m dan dalam 0,8-1,5
m. Perahu-perahu yang bermotor tempel umumnya menggunakan mesin berkekuatan 8–25 PK Gambar 4. Perahu-perahu sero ini biasanya dilengkapi
dengan katir atau alat penjaga keseimbangan yang terbuat dari kayu atau bambu di kedua sisi kapal atau perahu. Hingga saat ini belum ada sarana tempat pelelangan
ikan TPI sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di tepi sungai.
Gambar 4 Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone.
4.2 Kondisi Geografis
Panjang garis pantai Pitumpanua ± 15 km terbentang mulai dari perairan Pantai Paojepe Desa Paojepe sampai pada Sungai Buriko Desa Tellesang.
Topografi perairan pantai Pitumpanua rata-rata pada ketinggian 5 m dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.017,7 mmtahun dengan suhun
udara 37
o
C. Sepanjang pantai Pitumpanua bermuara sungai-sungai pendek sebagai aliran pembuangan persawahan yang ada di kaki-kaki bukit. Panjang
sungai rata-rata 2-4 km dan lebar rata-rata 25 m serta dapat di lalui oleh perahu- perahu kecil jika laut laut sedang pasang. Bentuk muara sungai yang berbentuk
outlet air persawahan hampir tidak mengendapkan lumpur Ludiro et al. 1999. Wilayah pantai Pitumpanua sebagian besar mempunyai jenis tanah alluvial
hidromorf kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat-debu. Fisiografi daerah ini merupakan daratan pasang surut pesisir. Medan pada umumnya
berlereng 0-2. Perairan laut yang berhadapan dengan pesisir pantai Pitumpanua rata-rata kedalaman lautnya dangkal 2-20 m. Gelombang laut yang terjadi di
daerah ini umumnya di bawah 1 m dan tinggi pasang surut air laut di pesisir sekitar 3 m, dengan pasang tertinggi tepat di batas pematang pertambakan Ludiro
et al. 1999. Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal dan semi diurnal. Pasang tertinggi terjadi pada jam 8.00-11.00 Wita. Rata-rata pasang tertinggi
mencapai 82,71 cm dan pasang terendah pada titik -133,86 cm. Gerakan spektra dari fluktuasi pasang surut di daerah ini menunjukkan bahwa jenis harian diurnal
terjadi selama 23,74 jam, sama halnya dengan semi diurnal yang bertahan selama 11,87 jam Prioharyono et al. 2003.
Ketinggian gelombang di perairan pantai Pitumpanua H110 memiliki kisaran dengan nilai terendah 0,07 cm dan tertinggi 72,89 cm, periode gelombang
minimum 1,52 detik dan maksimum 4,66 detik. Ketinggian gelombang paling tinggi 99,08 cm dan paling rendah 29,20 cm. Kecepatan arus berkisar antara 10-
62,64 cmdetik. Hal ini dipengaruhi oleh kecepatan angin yang relatif kencang sering terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret. Gerakan perputaran udara
yang kuat ini juga terjadi pada musim pancaroba atau musim peralihan, dari musim kemarau atau sebaliknya. Salinitas perairan pantai berkisar antara
31-31ppm, dengan suhu antara 28-35
o
C Prioharyono et al. 2003.
4.3 Konstruksi Sero
Sero yang dioperasikan di lokasi penelitian terdiri dari 5 bagian, yaitu bagian penaju, bagian sayap, bagian perut, bagian badan, dan bagian bunuhan.
Setiap bagian tersebut memiliki fungsi yang berbeda; penaju berfungsi untuk menghadang ruaya ikan dan mengarahkan ikan agar menuju crib bunuhan sero,
bagian sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju, sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini mempunyai
ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya. Bagian perut dan badan berfungsi
menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam bunuhan, dan bagian bunuhan berfungsi sebagai tempat terakhir berkumpulnya ikan agar ikan
tidak lepas atau meloloskan diri dan ikan akan mudah diambil kemudian. Bagian terakhir ini merupakan zone of retention Nikonorov 1975. Jika dilihat dari atas
atau udara, sero berbentuk segitiga dimana penaju leader net berada lebih dekat dengan garis pantai dibandingkan dengan bunuhan crib yang terletak di tempat
yang lebih jauh dari pantai Gambar 5. Nelayan lokal menggunakan waring berwarna hitam dengan mesh size sebesar 0,5 cm sebagai bahan bunuhan crib.
Panjang bagian penaju rata-rata adalah 90–100 m, panjang sayap adalah 20–25 m dengan lebar pintu masuk sekitar 2 m, panjang bagian badan sekitar 3,5–4 m
dengan lebar pintu masuk sebesar 0,7 m, panjang bagian perut adalah 3–3,5 m dengan lebar pintu masuk sekitar 0,5 m berbentuk segitiga tidak sama sisi
sedangkan pada bagian bunuhan crib berbentuk persegi empat Gambar 5. Bagian bunuhan ini memiliki panjang, lebar dan tinggi rata-rata masing-masing
sebesar 4m, 5m dan 4,5 m dengan ukuran pintu masuk selebar 0,2 m.
5 m
4 m 0.2 m
2.5 m 3 m
0.5 m 1 m
3.5 m 0.7 m
1 m 20 m
2 m 10 m
100 m A = Bunuhan crib
Exp. Crib Crib asli
B = Perut belly C = Badan body
D = Sayap wing E = Penaju
D
E
Crib asli
A
B
C
Gambar 5 Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero: bagian penaju A, bagian sayap B, bagian perut C, bagian badan
D, dan bagian bunuhan E