Selektivitas Alat Tangkap Perikanan sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone suatu kajian ekologis

menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring. Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1 Girth optimum = 1,25 kali keliling jaring, 2 Panjang ikan = 20 lebih panjang atau lebih pendek dari panjang optimum yang sering tertangkap. Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring mesh size, beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio, dan kecepatan penarikan alat tangkap Fridman 1986. Lebih lanjut dijelaskan oleh Treshchev 1974 dalam Fridman 1986 bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan alat tangkap dengan baik Fridman 1986. Lebih lanjut Pope et al. 1975 menyatakan bahwa selain ukuran mata jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas benang jaring menyangkut bahan dan tebal benang, bentuk badan dan tingkah laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring. Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema 1999 bahwa selektivitas dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. 1999 bahwa umur ikan termuda yang tertangkap age at first capture akan menentukan yield per recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap jenis ikan tersebut. Oleh karena itu pendekatan teknis berupa pengetahuan tentang mata jaring merupakan salah satu cara dalam manajemen sumberdaya perikanan. Sementara Matsuoka 1995 membagi dua komponen selektivitas yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Regier dan Robson 1966 menentukan pengaruh ukuran mata jaring terhadap selektivitas dapat dilakukan dengan 3 tiga metode yaitu: langsung, tidak langsung dan iteratif. Metode langsung memerlukan data komposisi ukuran dari populasi dan kemudian mengestimasikan selektivitas dengan membandingkan komposisi ikan yang tertangkap dengan komposisi populasi. Pendekatan ini dapat dilaksanakan jika komposisi ikan dalam populasi ikan diketahui. Metode tidak langsung membutuhkan asumsi matematika untuk kurva selektivitas, yakni ketergantungan antara selektivitas dengan ukuran mata jaring. Data hasil tangkapan yang digunakan terdiri dari beberapa kelas ukuran ikan yang tertangkap oleh mata jaring yang berbeda ukuran. Metode iteratif memerlukan asumsi matematika tertentu berbasiskan pada data yang diperoleh pada interval yang panjang atau pada beberapa interval ulangan. Hal utama dalam metode ini adalah memperkirakan hubungan antara selektivitas terhadap bukaan mata jaring dan nilai tengah panjang ikan yang diulang-ulang berdasarkan jumlah relatif ikan pada suatu populasi sampai menghasilkan sebaran titik-titik yang memadai untuk membuat kurva. Lebih lanjut Matsuoka 1995 mengemukakan bahwa selektivitas umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam perhitungan tidak langsung indirect estimation method nilai selektivitas 100 bukan berarti bahwa semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut menandakan suatu nilai efisiensi relatif tertinggi. Kebanyakan alat penangkapan ikan memiliki selektivitas size selectivity yang digambarkan dalam kurva selektivitas yaitu : 1 kurva yang berhubungan dengan efisiensi tertinggi disekitar puncak, menurun pada kedua sisi dengan dua buah ekor a modal curvenormal curve dan 2 kurva satu ekor dengan efisiensi tertinggi pada ikan-ikan yang berukuran besar, seperti kurva model logiistik a on tail curve. Alat tangkap passif seperti gillnet, perangkap, dan pancing memiliki kurva selektivitas yang berbentuk normal curve, sedangkan pada alat tangkap yang aktif seperti trawl dan jenis jaring yang lain dimana proses selektivitasnya terjadi dengan penyeleksian maka alat tangkap tersebut memiliki bentuk a one tail curvelogistic curve. Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a dengan notasi L a a-selective length misalnya L 25 atau L 50 dan berkaitan dengan masing-masing ukuran mata jaring Matsuoka 1995. Perhitungan tentang selektivitas dapat menggunakan beberapa metode antara lain metode McCombie dan Fry’s, metode girth inference dan metode Kitahara Reis Pawson 1992. Pada metode Kitahara, selektivitas diestimasi dari fungsi LM panjang ikan dibagi ukuran mata jaring dan GM keliling lingkar tubuh ikan dibagi ukuran mata jaring, diantilog-kan kurva master dan puncak kurva diperoleh ketika efisiensi relatif mencapai 100. Metode ini pada dasarnya mirip metode yang dideskripsikan oleh Pope et al. 1975 dan Jones 1976 yaitu secara cover-net, dimana cover-net tersebut mempunyai ukuran mata jaring yang lebih kecil dari ukuran mata jaring cod-end. Pada prinsipnya membandingkan jumlah hasil ikan yang berada di cover-net dengan jumlah seluruh ikan yang ada di bagian cod-end dan cover-net yang menutupi cod-end.

2.8 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem

Pendekatan ekosistem dapat dipahami sebagai pendekatan yang mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Pengertian ini juga menyangkut pengelolaan perilaku manusia untuk menjaga tingkat tertentu keragaman, kepadatan, dan produktivitas ekosistem laut. Dalam beberapa pengertian lain seperti dijelaskan oleh Mathew 2001 bahwa pendekatan dapat dipahami sebagai cara untuk memahami interaksi yang terjadi pada spesies ikan target, predator, kompetitor, dan spesies mangsanya, serta berbagai interaksi dan dampak ekploitasi organisme tersebut terhadap lingkungan. Permasalahan yang mendasar dalam pengkajian stok untuk pengelolaan perikanan saat ini adalah orientasi yang berbasis pada spesies tunggal atau sumberdaya ikan target saja. Widodo dan Suadi 2008 mengemukakan dampak kebijakan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis pada spesies target tunggal saja telah meninggalkan permasalahan baru bagi spesies target sendiri, spesies ikan lainnya, dan organisme lain yang memiliki hubungan dengan jenis tersebut, serta lingkungan. Hal ini sering memunculkan pertanyaan bahwa perubahan dan dampak apa yang dapat terjadi sebagai akibat dari kegiatan perikanan tersebut?. Kondisi ini telah menarik perhatian internasional tentang pengembangan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-based fisheries management EBFM. Dengan berbasis pada pendekatan ini, pengelolaan perikanan ke depan perlu diupayakan ke arah pendekatan yang bersifat multidisiplin dengan mengoptimalkan pemanfataan ilmu pengetahuan yang ada seperti oseanografi, biologi perikanan, sosial ekonomi, hukum, teknologi informasi sistem informasi geografis dan penginderaan jauh, dan lain-lain, serta pendekatan ini dapat dipadukan berbagai informasi yang tersedia tentang sistem sumberdaya ikan seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan utama dan berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan dapat digunakan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada ekosistem perairan. Dalam rangka menguatkan pendekatan ini, FAO pada bulan Oktober 2001 di Reykjavik Iceland, melakukan suatu pertemuan ilmiah internasional dan menghasilkan Deklarasi Reykjavik tentang perikanan berkelanjutan pada ekosistem laut Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem. Dalam deklarasi Reykjavik dipaparkan isu kunci perlunya mengumpulkan dan mereview berbagai pengetahuan terbaik tentang isu ekosistem laut terkait dengan kegiatan perikanan tangkap dan mengintegrasikannya dalam berbagai aktivitas baik di tingkat regional maupun internasional untuk pengelolaan perikanan. Pertemuan- pertemuan dunia tentang pembangunan dan lingkungan berikutnya seperti pertemuan di Johannesburg 2002 juga semakin mempertegas kebutuhan untuk membangun dunia yang lebih berpedoman pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Lebih jauh FAO juga melengkapi dengan berbagai panduan teknis menuju perikanan berkelanjutan. Perikanan sero merupakan perikanan pantai yang terdiri dari beberapa ekosistem yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penerapan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem- based fisheries management EBFM sangatlah tepat untuk diterapkan. Mengingat bahwa pemanfaatan perikanan dunia saat ini terkonsentrasi pada perairan dangkal pada kedalaman antara 0-200 m Pauly dan Christensen 2002. Dipertegas bahwa produktivitas perairan di daerah pantai paparan yang tinggi telah menghasilkan suatu produktivitas perikanan yang juga tinggi. Ekosistem ini diperkirakan menyumbang lebih dari 90 sumber ikan dunia. Daerah terumbu karang dapat memproduksi 10-12 dari total hasil tangkapan di negara tropis dan sekitar 20- 25 di negara berkembang. Tingginya tingkat produktivitas di daerah pantai dibandingkan pada daerah lain digambarkan oleh Wolff 2004 dalam Widodo dan suadi 2008 seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling Habitat Laut Terbuka Pantai Upwelling Persentase luas perairan 90 9,9 0,1 Rata-rata produktivitas primer g.Cmtahun 50 100 300 Total Produksi 10 9 ton Ctahun 16,3 3,6 0,1 Jumlah energi yang ditranfer antara berbagai tingkat trofik 5 3 1,5 Rata-rata efisiensi ekologi 10 15 20 Rata-rata produksi ikan mg Cm 2 tahun 0,5 340 36.000 Total produksi ikan 10 6 ton Ctahun 0,2 12 12 Tabel 3 menunjukkan bahwa perairan laut terbuka lepas pantai walaupun memiliki luas area yang terbesar mencapai 90 dari total perairan laut, namun total produksi ikan yang dapat didukung oleh wilayah ini hanya mencapai 200.000 ton Ctahun. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi yang mampu dihasilkan oleh dua habitat perairan laut lainnya yaitu paparan pantai dan daerah upwelling yaitu mencapai 12 juta ton Ctahun, walaupun luas areanya sangat kecil. Interaksi yang terjadi antar organisme yang hidup pada tiga habitat tersebut juga cukup berbeda. Di antara tiga habitat utama perikanan, interaksi biologi yang terjadi