Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan

9 Tingkat III yaitu penyaring dimaksudkan ikan-ikan penyaring yang terdapat disekitar rumpon, seperti ikan baronang, remora, Abaliste sp, eteman, kurisi dan ikan lainnya. 9 Tingkat IV yaitu ikan predator yang bersifat karnivora dan omnivora merupakan pemangsa ikan penyaring, seperti ikan selar bentong, selar kuning, selar hijau, ikan kembung, ikan tongkol, lumba-lumba, serta ikan lainnya. 9 Tingkat V yaitu ikan predator tinggi adalah ikan yang memangsa ikan predator dan merupakan top level dalam rantai makanan yang terdapat di sekitar rumpon, seperti tuna, cakalang, setuhuk, hiu serta ikan pelagis lainnya. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Amiruddin 2006 bahwa pada alat tangkap bagan berlangsung pemangsaan selama proses penangkapan. Terlihat komposisi makanan teri hitam Stolephorus insularis yaitu fitoplankton 6 dan zooplankton 94 menunjukkan bahwa teri lebih memilih zooplankton sebagai makanan utamanya dibandingkan dengan fitoplankton. Sementara pemangsa dari teri adalah selar, dimana proporsi volume teri dalam lambung selar antara 77,8-91,3 dengan frekuensi kejadian pemangsaan antara 80-100. Hal ini diperkuat oleh Hutomo et al. 1987 bahwa ikan teri adalah termasuk ikan pemakan plankton. Lebih lanjut bahwa ikan teri pada ukuran 40 mm umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil sedangkan pada ukuran 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton copepoda berukuran besar. Lebih lanjut Hatta 2010 menyatakan bahwa ikan planktivor terutama ikan teri menunjukkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem pelagis di dalam daerah penangkapan bagan rambo. Ikan planktivor berperan penting dalam transfer makanan dari plankton ke populasi ikan omnivor dan ikan karnivor pada trofik level lebih tinggi. Biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor sehingga harus melewati ikan planktivor. Posisi strategis ikan planktivor sebagai item makanan ikan omnivor dan ikan karnivor jelas akan mempengaruhi jalur rantai makanan pada trofik level di atasnya. Aranchibia dan Neira 2005 mengemukakan hasil penelitiannya di pusat pendaratan ikan Chili bahwa selama 20 tahun 1979-1999 terjadi penurunan trofik level rata-rata ikan yang lebih besar yaitu 17,5 pertahun. Lebih lanjut Pauly et al. 1998 dalam Hatta 2010 mengemukan hasil penelitiannya yang berdasarkan data pendaratan ikan yang diteliti diberbagai negara, bahwa telah terjadi penurunan trofik level rata-rata sebesar 10 per tahun. Hatta 2010 mengelompokkan beberapa jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu ikan teri dan ikan tembang merupakan ikan pemakan plankton planktivor karena di dalam ususnya hanya ditemukan fitoplankton dan zooplankton saja. Lebih lanjut dikatakan bahwa ternyata dalam isi usus ikan teri terdapat komposisi fitoplankton berkisar 26,32-94,87 dari total plankton dengan rata-rata 64,65, sementara ikan tembang berkisar antara 42,86-97,14 dengan rata-rata 62,80. Ikan pepetek, layang, dan kembung tergolong ikan omnivor karena mengkonsumsi nekton berupa jenis ikan kecil, ikan teri, dan udang halus selain plankton dan ikan selar tergolong ikan karnivor yang memakan nekton berupa berbagai jenis ikan kecil, teri, udang, cumi-cumi dan sebagian kecil zooplankton. Menurut Weatherley dan Gill 1987 bahwa ada 11 prinsip mengenai hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1 jumlah ikan yang dimakan oleh piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan; 2 ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa; 3 pemangsa memiliki kesukaan preverensi pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu; 4 pemangsa umumnya mengambil bermacam-macam mangsa; 5 pemangsaan terhadap suatu jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa; 6 pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu kesetimbangan biologi; 7 jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh tekanan pemangsa; 8 komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa; 9 populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas pemangsa; 10 persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan densitas populasi; dan 11 pemangsaan terhadap mangsa tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat penambahan keragaman komunitas mangsa. Jenis ikan yang tertangkap pada alat tangkap sero tidak hanya ikan-ikan demersal yang hidupnya di muara sungai, mangrove, dan lamun bahkan ada diantaranya ikan-ikan demersal yang hidupnya di daerah terumbu karang. Ikan ikan karang dapat dibagi menjadi 2 dua kelompok yaitu ikan-ikan diurnal dan ikan-ikan nocturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti dari famili Pomacentridae, Labridae, Achanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Sedangkan ikan- ikan nocturnal adalah kelompok ikan-ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Di siang hari, kelompok kedua ini menetap pada gua-gua dan celah-celah karang, seperti dari famili Holocentridae, Apongonidae, Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae Allen dan Steenes, 1990 dalam Sadarun 2011. Menurut Gladfelter dan Gladfelter 1978 dalam Arami 2006 bahwa struktur trofik ikan-ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi 6 enam grup trofik yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacean, ikan piscivora, dan pemakan lain-lain Tabel 2. Tabel 2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik Grup trofik Jumlah Famili Famili Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan Kyphosidae Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae, Ostraciontidae, Cahetodontidae, Monacathidae, Gobiidae, Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae Plakton feeders 7 Apongonidae, Pomacentridae, Holocentridae, Grammidae, Priacanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae Pemakan crustacean dan ikan 9 Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, Scorpaenidae, Sciaenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Spyraenidae, Muraenidae, Synodontidae, dan Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Pemakan lain-lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae Sumber : Gladfelter Gladfelter 1978 dalam Arami 2006

2.7 Selektivitas Alat Tangkap

Gulland 1974 mendefinisikan selektivitas adalah kemampuan dari alat tangkap untuk meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO 1999 menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran unwanted catch atau ikan- ikan tangkapan yang tidak diinginkan incidential catch dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Losanes et al. 1990 mendefinisikan lebih jauh tentang selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu. Kemampuan tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses penentu peluang tertangkapnya ikan. Peluang ini bervariasi sesuai dengan karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata jaring. Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas menurut Matsuoka 1995 dibagi dalam dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Menurut FAO 1999 bahwa penagkapan ikan yang selektif meliputi; a. Umur dan Ukuran ikan yang tertangkap; perubahan penangkapan yang dilakukan dengan menangkap ikan yang umurnya sudah tua, memungkinkan untuk memperbaiki hasil tangkapan dengan tingkat upaya tertentu sehingga hasil tangkapan sebanding dengan bobot ikan yang menguntungkan secara ekonomis. b. Selektivitas spesies; perikanan yang banyak melibatkan spesies menimbulkan banyak masalah optimasi distribusi bagi upaya tangkap dengan berbagai macam alat tangkap yang berbeda. Hal ini diikuti dengan tingkat upaya tangkap yang berbeda bagi beberapa spesies secara profesional. Dengan adanya aturan yang dibuat untuk menangkap spsesies dan ukuran tertentu akan membantu pengembangan perikanan lestari. Fridman 1986 menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, tetapi juga tergantung pada parameter desain alat seperti mata jaring, benang jaring dan ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik. Lebih lanjut Treshchev 1974 dalam Fridman 1986 mengatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Menurut Nielsen dan Lampton 1983 menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring. Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1 Girth optimum = 1,25 kali keliling jaring, 2 Panjang ikan = 20 lebih panjang atau lebih pendek dari panjang optimum yang sering tertangkap. Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring mesh size, beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio, dan kecepatan penarikan alat tangkap Fridman 1986. Lebih lanjut dijelaskan oleh Treshchev 1974 dalam Fridman 1986 bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan alat tangkap dengan baik Fridman 1986. Lebih lanjut Pope et al. 1975 menyatakan bahwa selain ukuran mata jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas benang jaring menyangkut bahan dan tebal benang, bentuk badan dan tingkah laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring. Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema 1999 bahwa selektivitas dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. 1999 bahwa umur ikan termuda yang tertangkap age at first capture akan menentukan yield per recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap