Latar Belakang Perikanan sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone suatu kajian ekologis

adalah kemudahan akses oleh para nelayan. Jarak yang dekat dari pantai dan karakteristik oseanografi yang tidak terlalu ekstrim menyebabkan lebih mudah diakses oleh nelayan dengan teknologi dan peralatan armada penangkapan yang untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada dalam wilayah teluk. Berbeda dengan perairan terbuka yang membutuhkan armada penangkapan yang lebih maju dan skala yang lebih besar. Ekosistem teluk dan beberapa ekosistem pesisir lainnya memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terhadap berbagai sumberdaya hayati laut, termasuk jenis-jenis ikan ekonomis penting yang banyak menjadi target penangkapan selama ini. Fungsi ekologis yang penting ekosistem teluk dan pesisir lainnya diantaranya sebagai daerah pemijahan spawning ground, daerah perlindungan, tempat mencari makan feeding ground, dan penyebaran larva dan wilayah pembesaran berbagai biota laut Dahuri 2003. Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yakni ramah lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku. Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas, maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan. Keanekaragaman hayati di kawasan pantai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan terbuka atau perairan yang lebih dalam. Perbedaan ini lebih disebabkan karena keragaman ekosistem dan variabilitas parameter lingkungan yang relatif lebih tinggi di wilayah pantai. Wilayah pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan kegiatan di wilayah darat mampu mempengaruhi fluktuasi dan perubahan parameter lingkungan yang tidak terjadi dalam ekosistem perairan terbuka. Ekosistem perairan pantai merupakan perairan dangkal yang memiliki fungsi ekologis penting seperti penyebaran larva, wilayah pemijahan, pembesaran, dan perlindungan yang tidak terdapat dalam fungsi ekologi perairan terbuka. Ukuran biota laut yang menghuni perairan pantai umumnya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran biota yang sama yang menghuni perairan dalam. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan organisme atau biota yang menghuni perairan terbuka, dimana hal tersebut terkait dengan perubahan lingkungan dan habitat yang terjadi di wilayah ekosistem perairan pantai. Faktanya bahwa ikan dan biota laut lainnya yang berukuran lebih kecil adalah memudahkan dimangsa oleh berbagai jenis ikan dan biota lain yang berukuran lebih besar. Hubungannya dengan rantai dan jaring makanan maka ada kecenderungan jalur rantai makanan lebih banyak dalam jaring makanan di wilayah pantai tetapi panjang rantai makanan relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan pada sistem perairan terbuka Widodo dan Suadi 2008. Tingginya keanekaragaman hayati dengan ukuran individu ikan yang umumnya lebih kecil dan banyaknya jalur rantai makanan dan penangkapan yang sangat intensif menyebabkan pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan. Aktivitas penangkapan yang dalam perspektif rantai makanan dapat dianggap puncak predator sangat berpotensi menyebabkan kerusakan keseimbangan ekologis dalam ekosistem pantai. Dampak negatif yang dapat disebabkan dari aktivitas tersebut adalah terputusnya sistem rantai makanan akibat penangkapan terhadap sumberdaya tertentu yang memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Terputusnya rantai makanan tersebut mungkin saja terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung dapat terjadi jika spesies yang berperan penting dalam rantai makanan itu menjadi target penangkapan dan ditangkap melebihi daya dukung lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung dapat terjadi ketika jenis atau spesies tersebut bukan menjadi ikan target tetapi ikut tertangkap dalam suatu alat tangkap dan bukan menjadi target dari alat tangkap itu. Mengingat betapa pentingnya mengkaji posisi trofik dan peranan spesies ikan dalam sistem rantai makanan di perairan pantai dalam kaitannya dengan sistem penangkapan sero sehingga sangat diperlukan dalam rangka pengembangan sistem perikanan berbasis ekosistem. Sampai saat ini kajian seperti ini masih sangat terbatas khususnya dalam sistem perikanan pantai dan hal ini menjadikan kajian dengan tema seperti ini sebagai topik terkini yang sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai Ecosystem Based Fisheries Management EBFM Widodo dan Suadi 2008. Isu degradasi populasi pada beberapa daerah penangkapan tidak jarang mendiskreditkan masalah pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, dan keramahan suatu alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang umum dilakukan adalah kajian parsial yang kadang menyorot masalah ekosistem dan alat tangkap secara tersendiri dalam bagian yang terpisahkan. Sementara untuk menjelaskan secara obyektif bagaimana gejala degradasi populasi itu terjadi mutlak diperlukan kajian komprehensif dengan melihat pengaruh simultan dari berbagai faktor. Apalagi dalam kasus alat tangkap sero yang daerah penangkapannya pada berbagai tipe habitat, tidak mudah untuk digeneralisasikan karena mungkin saja ramah pada suatu habitat tapi tidak ramah pada habitat lainnya. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa alat tangkap sero yang dioperasikan nelayan saat ini dengan mata jaring 0,5 cm, terbukti tidak selektif dan ukuran mata jaring 4 cm yang terbukti selektif dan ramah dalam penangkapan berbagai jenis ikan target Tenriware 2005. Meskipun dalam kajian tersebut menunjukkan ukuran mata jaring 4 cm selektif pada secara umum, namun belum diketahui secara spesifik tingkat selektivitasnya pada habitat yang berbeda, bukan hanya dilihat dari jumlah yang diloloskan tetapi juga mengkaitkan dengan trofik level ikan berdasarkan rantai dan jaring makanan dalam daerah penangkapan sero. Mengkaji trofik level ikan dalam daerah penangkapan sero maka akan melengkapi hasil analisis selektivitas yang terbatas pada aspek kuantitas yang diloloskan. Hal ini penting sekali karena bisa saja terjadinya degradasi populasi bukan karena pengaruh lingkungan maupun selektivitas alat tangkap, tetapi karena penangkapan berlebih terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang menjadi fraksi makanan penting bagi beberapa ikan target sero. Hal tersebut penting untuk dilaksanakan dengan harapan memberikan informasi mengenai karakteristik daerah penangkapan sero dan struktur trofik level ikan serta mengevaluasi penerapan bunuhan crib bermata jaring 4 cm pada berbagai habitat.

1.2 Perumusan Masalah

Perikanan sero dari tahun ke tahun di perairan pantai Pitumpanua mengalami banyak perubahan dari segi bahan yang digunakan dan terjadi penambahan alat tangkap. Perubahan yang signifikan yaitu alat tangkap ini berubah dari bahan bambu menjadi bahan waring dengan ukuran mata jaring 0,5 cm. Kecilnya ukuran mata jaring sero yang digunakan nelayan menimbulkan sorotan dari berbagai pihak bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif, terlebih lagi karena alat tangkap sero dipasang di daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan spawning ground, daerah perlindungan, tempat mencari makan feeding ground, penyebaran larva nursery ground, dan wilayah pembesaran berbagai biota laut Dahuri 2003. Permasalahan yang dialami oleh nelayan sero adalah menurunnya hasil tangkapan KKP Wajo 2009. Penurunan hasil tangkapan diduga terkait dengan degradasi populasi ikan yang mungkin disebabkan oleh rusaknya ekosistem daerah penangkapan sero dan tidak selektifnya alat tangkap sero, atau karena penangkapan yang cukup intensif terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang merupakan komponen makanan dari populasi ikan target. Tingginya intensitas penangkapan sero di daerah pantai akan berakibat secara ekologis terhadap beragam komunitas biologis yang ada di dalamnya. Diketahui bahwa daerah pantai mempunyai tingkat keanekaragaman sumberdaya ikan yang tinggi dan fungsi ekosistem yang sangat vital, tentunya perlu kehati- hatian agar sumberdaya hayati yang ada tetap terjaga. Hasil tangkapan sero dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : parameter lingkungan, selektivitas alat tangkap sero, dan terjadinya interaksi pemangsaan dalam ekosistem tersebut pada masing-masing habitat. Faktor-faktor tersebut dalam kaitannya dengan hasil tangkapan sero belum banyak diteliti sampai saat ini. Bahkan kajian mengenai rantai dan jaring makanan yang membentuk struktur trofik level dalam daerah penangkapan sero belum pernah dilakukan sampai saat ini. Sangat dibutuhkan adanya kajian yang mempelajari bagaimana hubungan karakteristik ekosistem dengan hasil tangkapan, struktur trofik level, dan determinasi parameter yang paling berkontribusi besar terhadap hasil tangkapan pada beberapa tipe habitat di daerah penangkapan sero di pantai. Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua Tenriware 2005, namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda seperti estuaria muara sungai mangrove, dan lamun. Hasil tangkapan sero yang multispecies dengan ukuran yang sangat bervariasi pada berbagai habitat menimbulkan pertanyaaan bahwa apakah ukuran mata jaring 4 cm selektif untuk semua habitat perairan pantai dan semua jenis target tangkapan. Hal ini merupakan suatu pertanyaan dan masalah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi.