Keterpaduan Demokrasi Dengan Ajaran Islam

121 dan telah ditempuhnya. Islam meneguhkannya dengan ajarannya yang menempatkan setiap manusia adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. 2. Rotasi kekuasaan, dalam demokrasi peluang terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Islam telah mencontohkan kepemimpinan khulafa al-Rasyidin, yang memberikan hak kebebasan kepada rakyatnya. Yang kemudian hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan kepada sistem kerajaan dibawah kekuasaan Muawiyah pendiri monarki umayyah. 3. Rekruitmen politik terbuka, memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan satu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Dalam politik Islam sebagaimana Mawardi menyatakatan bahwa : ―kekuasaan imamah adalah kontrak sosial yang riil‖, dan Ibnu Hazm menambahkan : ―jika seorang penguasa tidak mau menerima teguran boleh diturunkan dari kekuasaannya dan diganti dengan yang lain‖. 4. Pemilihan umum, demokrasi menysaratkan, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Sedangkan dalam Islam pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa, dengan sikap adil, jujur dan dilarang menjadi saksi palsu. 5. Menikmati hak-hak dasar, suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas. Islam dengan tegas meyatakan tidak ada suatu kekuatanpun yang dapat membatasi kemerdekaan setiap orang, kecuali Allah. Maka apapun yang diciptakan Allah, dimuka bumi adalah untuk manusia semuanya. Huwaidi, menyatakan bahwa Islam adalah negara keadilan dan persamaan didepan hukum.

12.3 Keterpaduan Demokrasi Dengan Ajaran Islam

Masyarakat Islam telah memberi pengalaman berharga dalam pemilihan khlaifah ke empat, yakni pada masa pemerintahan Ali bin Abithalib. Dimana kaum muslimin tidak mampu beradaptasi terhadap hasil pemilihan, yang ketika itu Ali terpilih sebagai khalifah keempat. Namun pengikut Muawiyah bin Abishafyan, mengangkat Muawiyah sebagai khalifah tandingan yang mengakibatkan terjadi perang saudara. Ketika pendukung Muawiyah akan dikalahkan, mereka mengangkat al- Qur‘an sebagai permintaan gencetan senjata dan kembali kepada kebenaran hakiki. Ali segera menyambut dan memerintahkan supaya kembali kepada ajaran al- 122 Qur‘an yaitu musyawarah. Namun dalam musyawarah itu tidak konsisten terhadap ajaran agama yaitu kejujuran. Amru bin Ash berhianat atas kesepakatan dari hasil musyawarah dan mengakibatkan kekacauan lebih besar, dan perpecahan yang berkepanjangan. Kerena keluar dari nilai-nilai Islam, maka politik yang keluar dari kejujuran, keadilan dan keterbukaan mengakibatkan umat Islam sulit untuk bersatu. Kondisi ini mestinya menjadi cermin bagi setiap manusia yang menghendaki kedamaian, ketentraman dan keharmonian. Terutama bagi umat Islam yang menghendaki tegaknya ajaran Islam, yakni persatuan guna menjadi umat yang terbaik. Natsi r, menyatakan bahwa : ― Umat Islam Indonesia akan dapat berbuat positif dan konstruktif terhadap bangsa dan negara dalam suasana kehidupan yang demokratis‖. Demokratisasi sebagai metode bermusyawarah dalam menghargai hak sesama manusia, dapat mewujudkan ajaran Islam menjadi suatu kekuatan perjuangan. Dari beberapa kasus pemilihan kepala daerah sampai saat ini, menunjukan bahwa secara praktis rakyat Indonesia belum siap untuk mewujudkan nilai-nilai demokratis yang diinginkan. Demikian pula umat Islam belum mampu mewujukan ajarannya sebagai rujukan khususnya dalam berpolitik sehingga umat Islam masih terkotak-kotak yang riskan akan perpecahan. Inilah bukti bahwa demokrasi memerlukan ajaran Islam yang memperjuangkan nilai keadilan, sebab ajaran Islam menemp atkan umatnya sebagai ―umatan wasathan‖ yakni umat yang adil rakyat tidak akan arogan, jika jiwanya telah didasari oleh ajaran Islam, dan ajaran Islam telah menjadi kriteria dalam proses demokrasi. Rakyat akan berjuang untuk bersifat arif dan bijaksana dalam memahami berbagai fenomena yang ada, dengan mengembangkan musyawarah dan mengambil hikmah dari berbagai macam perbedaan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah sekarang ini perlu mencontoh sifat kepemimpinan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Sekarang ini saatnya kita kembali kepada nilai-nilai ajaran Islam sebagai tolok ukur dan sekaligus demokrasi sebagai metode dalam pelaksanaan pilkada demi meraih keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. KPU diharapkan mampu mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam menjadi beberapa butir persyaratan bagi bakal calon, tim sukses, maupun pemilih itu sendiri. Tentu saja proses pemilihan dilaksanakan berdasarkan kerakyatan secara langsung demokratis. Proses pemilihan yang demikian memerlukan sikap persatuan seluruh rakyat, yang akan tercapai apabila seluruh rakyat memperhatikan kemanusiaannya, keadilan, dan peradaban sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Menitik beratkan manusia sebagai makhluk Tuhan mengandung peryaratan mampu mengadaptasikan kepentingan pribadi dan golongan terhadap aturan dalam proses pemilihan. Ajaran Islam yang dikembangkan melalui demokrasi berfungsi sebagai pengikat untuk berintegrasi seluruh komponen bangsa dan senantiasa berorientasi 123 dan terkontrol oleh kebenaran dari Tuhannya. Melalui jalan ini keadilan akan tegak di bumi Indonesia tecinta. Islam datang untuk seluruh manusia yang berfungsi menyempurnakan kitab susci sebelumnya, dan menegakkan kemerdekan setiap manusia dengan tidak melupakan Tuhannya. Sedangkan demokrasi mengangkat kemerdekaan setiap manusia dengan melupakan Tuhan, sebagai pencipta, penguasa dan penentu semua kehidupan manusia. Kesadaran terhadap pernyataan tersebut di atas, memiliki aspek positip baik bagi bakal calon kepala daerah, atau tim sukses untuk memenangkan, bahkan untuk seluruh pendukungnya, mereka tidak akan terlalu jor-joran berhianat pada dirinya sendiri maupun terhadap orang lain mengikuti hawa nafsunya, sebab ada perasaan terkontrol serta takut tidak dapat keridoan dari Tuhan Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar yang akan mengadili semua perbuatannya. Bahkan apabila terpilihpun takut tidak dapat melaksanakan amanat dengan baik yang hanya akan mendatangkan malapetaka baik di dunia maupun di akhirat. Inilah modal kejujuran, keadilan, dan keterbukaan. Prinsip semacam ini kecil kemungkinan muncul dalam perilaku politik yang berjiwa demokrasi semata tanpa dilengkapi ajaran Islam, karena hanya mengikuti hawa nafsu untuk menuntut hak dan umumnya melupakan kewajiban, tidak ada perasaan terkontrol dari Yang maha Kuasa. Sebagaimana diperjuangkan bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai era reformasi ini, merupakan potensi untuk mengingkari kekuasaan Tuhan, meskipun banyak pemikir Islam menyatakan, bahwa Islam menghormati dan menerima demokrasi. Namun pengertian demokrasi sebagai kekuasaan ada ditangan rakyat adalah jelas merupakan syirik aqidah. Maryam Jameelah 1977 : 16- 17 menyatakan, bahwa : ―semua ideologi modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Sedangkan pemujaan manusia paling sering muncul dibaw ah kedok sains‖. Dermokrasi merupakan ideologi modernis yang diangkat dari perjuangan klasik bangsa Yunani, dan dikembangkan melalui sains, karena itu merupakan persimpangan jalan kehidupan yang tidak akan pernah mencapai akhir yang dibanggakan dan dianggap ideal. Tuhan tidak pernah dijadikan ukuran untuk menentukan kekuasaan. Karena lupa terhadap Tuhan maka tidak pernah dirasakan adanya kontrol yang melekat dari yang selalu mengetahui, mendengar, semua maksud dan upaya yang dilakukan manusia, serta akan senantiasa meminta pertanggung jawaban dan membalas semua perbuatan. Pemilihan oleh rakyat dengan berbasis ajaran Islam merupakan pemilihan yang berlangsung dengan bebas, jujur, dan adil, serta menyadari adanya kehendak Allah. Sebabnya setiap pemilih dan yang dipilih mempunyai kesamaan pamrih yakni memperoleh keridoan Tuhan dan itulah nilai tertinggi yang diperjuangkan manusia beriman, yang mampu berintegrasi. Timbul persoalan mengapa umat Islam tidak 124 menjadi pelopor dalam kebersatuan, bahkan justru menjadi terpecah dalam beberapa golongan ?. Persoalan tersebut dapat di jawab yakni karena umat Islam menjadikan ajaran Islam sebagai alat untuk memenuhi kehendak nafsunya sehingga tidak mampu mewujudkan integritas umat. Hal ini berkembang sejak berdirinya monarki Umayyah, dan diwarisi sampai sekarang. Mereka menggunakan egoisme yang membawa kedengkian untuk mewujudkan dirinya. Tidak menggunakan kriteria- kriteria yang dicontohkan melalui sifat Rasul, misalnya sidik berbuat selalu benar atau paling benar, amanah dapat dipercaya atau paling dapat dipercaya, pathonah cerdas atau paling cerdas sehingga dapat membedakan antara yang benar dan salah. Sifat ke empat adalah tablig mampu menerima dan menyampaikan informasi yang tepat atau yang paling mampu menerima dan menyampaikan informasi. Sekalipun pemilihan dilaksanakan oleh umat Islam dan dalam oraganisasi yang berbasis Islam, apabila melupakan keempat kriteria tersebut adalah bukan Umat Islam sejati. Melalui demokratisasi sebagai metode penegakan kekuasaan mengandung makna Umat Islam dikembalikan kepada masa khulafa al-Rasyiddin. Dalam ajaran Islam istilah demokrasi tidak begitu nampak, bahkan terkesan bertentangan, karena demokrasi tidak menjungjung tinggi nilai ketuhanan, namun bukan berarti tidak ada, justru nilai yang diperjuangkan oleh demokrasi itu merupakan perhatian ajaran Islam. 1. Demoratisasi akan membawa kemajuan jika, menempatkan Allah sebagai penguasa tertinggi, sedangkan rakyat merupakan makhluk yang diberi kekuasaan dan sekaligus ditugaskan untuk menggunakan kekuasaannya itu. Allah menetapkan manusia berpahala atau berdosa adalah tergantung kepada usaha menggunakan kekuasaan yang diberikannya itu. Allah tidak akan mendholimi makhluknya, kecuali makhluk itu sendiri yang mendholimi dirinya. 2. Banyak pemikir Islam yang dengan tegas menyatakan bahwa Islam menghormati demokrasi, bahkan demokrasi merupakan perwujudan ajaran Islam dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini menunjukan bahwa Umat Islam dalam bernegara membutuhkan sistem pemerintahan yang dapat menghargai hak dasar setiap manusia. Sebab di dalam ajaran Islam setiap manusia dihargai sebagai pemimpin yang masing-masing akan mempertanggungjawabkan dari apa yang dipimpinnya. Sedangkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan memerlukan ajaran Islam agar tidak berlebihan dan tidak tersesat dalam memperjuangkan hak masing- masing. 3. Dengan bimbingan ajaran Islam demokrasi memperoleh kekuatan dalam menempatkan setiap manusia sesuai proporsinya, berdasarkan aturan yang kokoh hingga keadilan, kejujuran, dan keterbukaan dapat tercapai. 125 126 1. Pertemuan Ke 13 2. Pokok Bahasan : Pengendalian Sosial 3. Materi Perkuliahan KEGIATAN KEAGAMAAN ISLAM SEBAGAI OBAT PENAWAR VIRUS F 7

9.5 Pendahuluan