112
rendah  sehingga  kekayaan  pun  tercipta  dan  terakumulasi  wealth  creation  and accumulation.
Ekonomi jaringan berbasis komunikasi dan informasi juga kontrol terhadap kekayaan  tersebar  semakin  luas.  Kontrol  tidak  lagi  dilakukan  bergerak  dari  para
pemilik  tanah  kepada  kepala-kepala  penyamun  robber  barons  yang  mengontrol sumber-sumber  langka  baru  yaitu  kredit,  seperti  di  era  awal  industri.  Kontrol  juga
tidak  hanya  dilakukan  oleh  para  manajer  terhadap  kekayaan  perusahaannya  tanpa harus  memilikinya  seperti  pada  era  industri  selanjutnya.  Teknologi  informasi  telah
melahirkan  demokratisasi  informasi  finansial,  setiap  individu  dapat  lebih berpartisipasi  dan  bertanggungjawab  dalam  mengelola  kekayaannya  dengan  cara
mengakses  secara “on-line”  kepada  aset-aset  yang  masih  tersembunyi  atau  yang
terdapat di dalam keuntukngan mereka sendiri. Dengan kata lain, pada era ekonomi jaringan kontrol terhadap kekayaan tidak lagi dilakukan oleh intitusi melainkan oleh
individu-individu.  Oleh  karena  itu  jumlah  dan  pertumbuhan  penduduk  menjadi penting
11.3  Pertumbuhan Penduduk
Kepincangan  pertumbuhan  penduduk  yang  tidak  seimbang  dengan kemakmuran  yang  lebih  diandalkan  dari  kekayaan  sumber  daya  alam,  merupakan
pokok  kajian  yang  menarik  dari  berbagai  profesi  pada akhir abad  kedelapan  belas. Seorang rohaniawan terpelajar Inggris Robert Malthus pada tahun 1789 menuangkan
pikirannya  dalam  buku  yang  berjudul “Easy  on  Population”.  Buku  ini  membuat
dirinya menjadi populer mengingat kajiannya walaupun pesimistik, namun realistik dalam pendekatan yang matematis, bahwa kekuatan penduduk pasti jauh lebih besar
daripada  kekuatan  alam  untuk  memberi  penghidupan  bagi  manusia  Malthus, 1996:13.
Tentu  saja  tidak  dengan  serta  merta  teori  Malthus  itu  akurat  tanpa kelemahan.  Dalam  beberapa hal terdapat  dari  beberapa  anggapannya  tidak  terbukti
akurasinya, seperti akan terjadinya kelaparan yang dahsyat di Inggris pada abad ke- 19  itu  meleset.  Akan  tetapi  relevansinya  teori  Malthus  dengan  perspektif  jauh  ke
depan,  teori  tersebut  begitu  relevan,  yang  pasti  beberapa  negara  Eropa  Barat termasuk Inggris merasakan dampak negatif dari ledakan penduduk, walaupun pada
kwartal  ketiga  abad  ke-19  Inggris  dan  koloni-koloninya  Amerika  Utara  dan Australia menunjukkan
“Kekuatan di dalam bumi mampu mengimbangi kekuatan penduduk”.  Disinilah  kontroversialnya  teori  Malthus,  apalagi  dua  abad  sebelum
dirinya menulis Essay-nya itu. Inggris memasuki tahap pertama Revolusi Industri, di mana  terjadi  lompatan  besar  produktivitas  yang  sangat  tinggi  dan  ditunjang  oleh
saran trasportasi, efisiensi penambangan batubara dan biji besi, serta adanya sistem lembaga-lembaga  keuangan  dan  perbankan  yang  memadai.  Sehingga  pada  akhir
113
abad  ke-18  dan  abad  19  Inggris  betul-betul  merupakan  negara  yang  kaya  raya, dengan pendapatan dari kenaikan ekspor Inggris senilai 40 juta poundsterling.
Singkatnya rakyat Inggris luput dari perangkap Malthus melalui tiga pintu : migrasi, revolusi pertanian, dan revolusi industri. Tetapi juga pendapat malthus itu
benar untuk memahami bahwa pelipatgandaan penduduk negeri setiap 25 tahun akan melibatkan perlombaan antara konsumsi dan sumber daya, sayangnya ia melupakan
kekuatan sains dan teknologi untuk menciptakan perbaikan dalam trasportasi barang dan jasa.
Mungkin contoh-contoh di negara Eropa Barat kurang tepat, tetapi seperti di  India,  Cina,  Afrika,  lebih  mendekatkan  model  Malthus.  Penduduk  India  telah
menjadi lipat dua di abad 19  dengan produktivitas yang sangat sedikit. Begitu juga di  Afrika  yang  merupakan  benua  miskin,  pada  tahun  2000  mempunyai  650  juta
orang,  tapi  diperkirakan  tahun  2025  mencapai  pertumbuhan tiga  kali  lipat menjadi 1,58 milyar, khususnya seperti Nigeria, Tanzania, Kenya, Zaire.
Timbul  pertanyaan,  mengapa  penduduk  negara-negara  tersebut  tumbuh dengan  cepat?  Jawabannya  sederhana  bahwa  mereka  dalam  posisi  masyarakat
agraris.  Secara  historis  tingkat  kesuburan  dalam  masyarakat  agraris  sangat  tinggi, begitu  pula  tingkat  kematian  dikalangan  usia  dini  muda.  Menurut  Copolla
1978:90,  dari  1000  orang  anak  yang  baru  lahir,  200  sampai  400  orang  biasanya meninggal  dalam  setahun.  Faktor  pendorong  laju  pertumbuhan  yang  cepat  lainnya
adalah anggapan-anggapan bahwa tiap anak akan bertambah tenaga kerja keluarga, karena itu mereka berusaha memperoleh banyak anak.
Laju  pertumbuhan  penduduk  itu  makin  tinggi  terutama  adanya  kemajuan bidang  kesehatan  medis  khususnya  makin  meluasnya  penggunaan  imunisasi  dan
antibiotika  maupun  pemakaian  berbagai  macam  obat  nyamuk  untuk  mengurangi penyebaran  nyamuk  malaria,  demam  berdarah  dan  linnya.  Dengan  merosotnya
angka  kematian  sesudah  tahun  1960,  jumlah  anak-anak  meningkat,  hal  itu  tidak lepas  dari  adanya  peningkatan  gizi.  Kecendrungan  ini  tidak  hanya  melibatkan
jumlah penduduk, tetapi juga perubahan sosio-kultural terutama di kota-kota besar. Selama  ribuan  tahun,  kota-kota  seperti  Nineveh,  Roma  Tyre,  Constantinopel,
Venesia,  Amsterdam  ,  London,  merupakan  pusat  kreativitas,  kekayaan  dan  budaya masyarakat.  Sebaliknya  juga  kota-kota  megah  Asia  dan  Amerika  Latin,  seperti,
Jakarta,  Tokyo,  Nanking,  Beijing,  Bombay,  Madras,  Rio  de  Jeneiro,  Buens  Aires, Montevideo, makin berjubel dan sulit dipahami kota itu dapat memberikan manfaat
bagi  pemukimnya.  Sehingga  wajar  bila  aspek-aspek  sanitasi,  transportasi, perumahan.  Fasilitas  publik,  pendidikan,  dan  pusat  perbelanjaan  makin  dirasakan
mendesak  untuk  ditata  secara  ketat.  Belum  lagi  dalam  perjalanan  waktu,  faktor urbanisasi  ikut  memberikan  sejumlah  masalah-masalah  sosial  seperti  :
pengangguran, kriminalitas, kemerosotan kesehatan, epidemi AIDS yang disebabkan
114
oleh  virus  HIV  yang  melemahkan  sistem  kekebalan  tubuh  melawan  penyakit. Semuanya  itu  diproyeksikan  menambah  beban,  pemikiran  kita  bagaimana  kita
mengantisipasinya dan memperbaiki kehidupan mendatang. Masalah ―pertumbuhan
penduduk dan ekonomi‖ ini telah menyebabkan banyak perbedaan pendapat antara ahli  demografi  dan  ahli  ekonomi.  Pada  tahun  1960-an  sudah  lazim  dikemukakan
korelasi negatif antara pertumbuhan demografis dan perkembangan ekonomi : lebih banyak  penduduk  berarti  lebih  buruk,  karena  untuk  membesarkan  anak  itu
memerlukan biaya yang tinggi. Tetapi pada tahun 1980-an muncul aliran revisionis dan  pro-natalis  berpendapat  bahwa  mendidik  anak  dalam  jangka  panjang  akan
dihasilkan  pekerja-pekerja  produktif  yang  lebih  besar  antara  usia  15  sampai  64 tahun,  karena  itu  mereka  berkeyakinan  lebih  baik  mempunyai  penduduk  100  juta
daripada  1  juta.  Sebenarnya  tidak  semua  argumen  kelompok  pro-natalis  dan revisionis  itu  salah,  karena  dalam  beberapa  hal  pertumbuhan  penduduk  dapat  juga
berdampak  pada  pertumbuhan  dan  perluasan  ekonomi.  Akan  tetapi  pertumbuhan yang terjadi dibanyak negara miskin dan berkembang dan sudah melampaui tingkat
moderat  yang  diyakini  kelompok  natalis  dan  revisionis,  tidak  cukup  bukti  untuk diyakini  bahwa  pertumbuhan penduduk  tersebut  membawa  pengaruh  positif  dalam
pertumbuhan ekonomi.
11.4  Demokratisasi Kekayaan