Agama Sebagai Unsur Dominan Sistem Sosial budaya Indonesia

39 1. Pertemuan Ke 5 2. Pokok Bahasan : Unsur Dominan Sistem Sosial Budaya Indonesia 3. Materi Perkuliahan : Unsur-unsur Dominan Sistem Sosial Budaya Indonesia UNSUR DOMINAN SISTEM SOSIAL BUDAYA INDONESIA 5.1 Tradisi Teori Sosial Dalam konteks teori sosial, banyak sumber tradisi yang dapat diuraikan sebanyak tradisi yang berbeda. Salah satu dari berbagai kemungkinannya terdapat dalam uraian berikut. Beberapa pakar teori menarik perhatiannya kepada tradisi Marxian. Keunggulan tradisi Marxian yang masih berpengaruh besar sampai sekarang ini adalah memandang masyarakat secara berkelas Klas sosial dan memandang kekuasaan tertinggi terdapat pada manusia yang membentuk kehidupan bersifat sekular. Karena itu perkembangan pemikiran para ahli teori melihat perubahan sosial sebagai perhatian utama sosiologi, bukan ketentuan pola dan tata hidup sosial yang dikenali sebagai perhatian kunci tradisi teori sosial. Apa yang diharapan akan muncul, bagaimanapun, diskusi berproses, ketentuan dan perubahan tidak lain adalah sisi berbeda dari mata uang yang sama, untuk memahami yang satu sekaligus memahami yang lain. Jauh sebelum masa hidup Karl Marx, ahli pikir terdahulu telah mengemukakan kelas sosial di dalam masyarakat seperti Aristoteles, Ibnu Kholdun, dan ahli pikir lainnya, namun karena tidak di angkat secara khusus maka dilupakan, Sementara budaya ilmu pengetahuan positivisme bersifat sekularis-meterialis, maka ilmu yang berbau keagamaan di anggap tidak ilmiah, dan disisihkan dari konteks budaya ilmiah. Kendatipun demikian karena agama menjangkau ranah materialis dan non materialis, menyangkut kehidupan dunia sampai sebrang dunia, secara berkelanjutgan, maka senantiasa kajian ilmiah membentur kajian agama dan menuntut pertimbangan moral agama, sehingga ajaran agama dapat menarik perhatian para ilmuwan dan ahli teori sosial. Tradisi sosial yang berdasarkan kepada tradisi Marxian telah banyak menimbulkan konplik sosial, bahkan konplik telah menjadi sarana mencapai dinamika sosial yang tidak pernah mencapai harapan. Sementara kehidupan manusia selalu mendambakan kehidupan kebersamaan yang harmonis aman stabil, dan berkelanjutan. Atas dasar tersebut tradisi sosial memerlukan daya prerkat yang menciptakan kedamaian, keharmonisan dalam kehidupan bersamaintegrasi dalam suatu wadah negara bangsa.

3.2 Agama Sebagai Unsur Dominan Sistem Sosial budaya Indonesia

40 Salah satu unsur dari sistem sosial yang mampu berperan sebagai perekat sistem sosial itu adalah agama. Dalam kehidupan bermasyarakat agama memiliki fungsi penting dalam menciptakan dinamika sosial, stabilitas sosial,integrasi sosial dan kehidupan sosial yang berkelanjutan sebagai kajian materi pokok sistem sosial budaya Indonesia. Diantara fungsi agama itu adalah sebagaimana dinyatakan Truner 1991 : 109 menya takan, bahwa : ―agama sebagai perekat sosial yang mempersatukan individu yang memiliki potensi untuk saling bertentangan‖. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa agama merupakan ―sebuah kekuatan sosial yang mampu menekan konflik kepentingan antara kelompok sosi al yang saling bertentangan‖. Djamari 1993 : 67- 68 mengemukakan, bahwa fungsi agama bagi individu adalah : 1. ―Manusia dalam menghadapi lingkungannya sering merasa tidak berdaya. Malinowski mengemukakan, dalam situasi bahaya manusia melahirkan ritus. Ritus melindungi manusia dari rasa ragu dan bahaya dengan mengantisipasikan dan mengatasinya secara simbolis. Ritus menenangkan kecemasan, memberikan kelegaan emosional dan mempertebal keyakinan sehingga seseorang merasa mampu mengerjakan sesuatu pekerjaan. 2. Melalui ajaran agama manusia terbimbing mengembangkan interpretasi intelektual yang membantu manusia dalam mendapatkan makna dari pengalaman hidupnya. 3. Agama membantu manusia memecahkan persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh manusia sendiri, seperti persoalan mati, nasib baik dan buruk. 4. Agama memberikan makna moral dalam pengalaman kemanusiaan 5. Agama memperlemah rasa penderitaan, bahkan penderitaan yang berat yang dialami seseorang individu akan diterima dengan ikhlas sehingga penderitaan jasmani yang bernilai empirik dan duniawi diterima dan diubah kedalam rasa ikhlas yang bernilai sakral. 6. Agama menyajikan suport psikologis dan memberi rasa percya diri kepada penganutnya dalam menghadapi kehidupan yang serba tidak menentu. 7. Agama memberi jawaban terhadap masalah-masalah kehidupan manusia yang memeluknya‖. Selain ketujuh fungsi agama tersebut, Djamari menggolongkan fungsi agama bagi individu ke dalam dua fungsi. Dengan mengutif Weber Djamari 1993 : 73-74 menyatakan : ―Fungsi agama bagi individu adalah fungsi maknawi dan fungsi identitas. Fungsi maknawi atau meaning function agama bagi kehidupan individu dalam masyarakat merupakan fungsi penting. Weber memandang fungsi maknawi sebagai dasar bagi semua agama. Agama menyajikan wawasan dunia atau kosmos, karena segala ketidak adilan, penderitaan dan kematian, dapat dipandang sebagai yang penuh makna, yang termasuk juga kedalam makna antara lain adalah konsep idea, tuntunan dan kewajiban‖. Dalam kehidupan bermasyarakat, agama berfungsi ―mendukung dan melestarikan masyarakat, merekatkan persatuan atau kebersamaan dan solidaritas sosial‖ Scharf, 1995 : 93. Agama sebagai sumber-sumber nilai peradaban 41 mengarahkan kehidupan bermasyarakat secara beradab dan memberikan dorongan untuk berbudaya atau berkarsa kuat, karena itu agama menjadi rujukan bagi orientasi nilai. Parsons , menyatakan: ― kita ketahui bahwa pola-pola orientasi nilai sangat penting bagi sistem sosial. Karena fakta ini dan cara kita mengembangkan implikasi- implikasinya melalui penggunaan skema variabel pola‖Dalam Adiwikarta, tt, Hal. 232. Kelompok Subtansialis memandang agama dari subtansinya. Agama mengandung esensi atau sifat esensial yang dapat diketahui oleh orang-orang tertentu melalui intuisi al-Wahyu al-Ilham dan introspeksi al-Tafakur. Otto 1950 : 141, menyatakan bahwa agama sebagai : “… primal element of our psychical nature that needs to be grasped purely in its uniqueness and cannot itself be explained from anything els ‖. Otto menekankan kepada sifat unik yang dialami oleh manusia pada umumnya. Kebanyakan ilmuwan sosial memandang agama lebih menekakan kepada karakter tertentu dari agama. Misalnya Spiro 1966 : 96 menyatakan agam a adalah ―an intitution consisting of culturally pattened interaction with culturally postulated superhuman beings ‖. Menurut Arifin 2004 : 29 menyatakan ― tidak semua ilmuwan sosial mempertahankan definisi dengan rujukan kepada karakter ―manusia luarbiasa superhuman being‖. Ia menberi contoh seorang antropolog lain yakni Worsley 1957 : 311 mendefinisikan agama sebagai ― a dimension beyond the empirical-technical realm”. Sedangkan Robertson 1970 : 47 mengemukakan agama sebagai : ―. . . Religious culture is that set of beliefs and symbols … pertaining to a distinction between an empirical and a super- empirical, transcendent reality: the affairs of the empirical being subordinated in significance to the non-empirical. Second, we define religious action simply as action shaped by an acknowledgement of the empirical super-empirical distinction. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan agama dalam kehidupan sosial adalah sebagai salah satu unsur pokok dari sistem sosial yang memiliki peran sebagai sumber, motivator, barometer, perekat dan sekaligus sebagai kendali sistem sosial budaya. Khusunya agama Islam dengan mengedepankan ilmu pengetahuan mewajibkan menuntut ilmu pengetahuan dari buaian sampai masuk liang lahad menciptakan kehidupan sosial yang berkarsa kuat dan beradab tinggi. Berkarsa memiliki arti berilmu pengetahuan dan berdaya juang kuat. Sedangkan beradab tinggi memiliki makna kesadaran hukum sadar akan nilai-nilai dan norma- norma kehidupan sosial yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut Natsir, mengutip pernyataan Gibb, bahwa : Sesungguhnya agama Islam itu ―much more than a system of theology, it is complete civilisation ‖. 42 Berdasarkan uraian di atas, maka uraian dalam bab-bab selanjutnya demi tercapainya empat sasaran pokok dinamika, stabilitas, integritas, dan kontinuitas dikaji dengan menggunakan pendekatan agama. 43 1. Pertemuan Ke 6 2. Pokok Bahasan : Moralitas Daerah 3. Materi Perkuliahan : Moralitas Etnik Jawa MORALITAS ETNIK JAWA Sudut pandang etnik Jawa didasari oleh “budaya kejawaan” yang sering dikenal dengan istilah kejawen. Atas dasar hal tersebut maka seyogiaannya dikemukakan bagaimana kejawen ini disosialisasikan kepada generasi berikutnya, dan bagaimana relevansinya ajaran Islam dalam perkembangan moral yang dilandasi dengan budaya kejawen. Dalam tulisan ini didasarkan pada studi dua orang antropolog, yaitu, yaitu Hildred Geertz Keluarga Jawa, 1982 dan Nicls Mulder Kepribadian Jawa dan pembangunan Nasional, 1986, serta “Individual and Society in Java – A Cultural Analysis”, 1992. Selanjutnya sudut pandang tradisi Jawa tentang perkembangan moral tersebut akan digunakan untuk menginterpretasikan kembali temuan empirik hasil penelitian tentang perkembangan moral di Indonesia. Kemudian dirujukkan dengan Al Qur‘an dan sunah Rasul sebagai sumber ajaran Islam, dan sebagai manifestasi dari filsafat hidup bangsa yaitu Pancasia dalam sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan alasan bahwa al- Qur‘an adalah Firman Tuhan Yang Maha Esa, sebagai petunjuk hidup seluruh umat manusia bukan hanya untuk orang Islam.

5.1 Sosialisasi budaya jawa Kejawen