memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain agen bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan
langsung dengan pihak ketiga. Pola kemitraan keagenan adalah hubungan kemitraan antara
petanikelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang didalamnya petanikelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa
usaha perusahaan mitra Direktorat Jenderal Peternakan, 1996. Selanjutnya Sumardjo 2001 menerangkan bahwa perusahaan besarmenengah
bertanggungjawab atas mutu dan volume produk barang atau jasa, sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa tersebut,
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.
KELOMPOK MITRA
Memasarkan Memasok
PERUSAHAAN MITRA
KONSUMEN MASYARAKAT
Gambar 5. Pola Kemitraan Keagenan
Sumber : Sumardjo, 2001 Dari gambar 5 dapat diketahui bahwa kepiawaian kelompok mitra dalam
memasarkan produk dan mempertahankan pelanggan merupakan keberhasilan bagi perusahaan mitra. Hal ini tentunya dapat terjadi bila perusahaan mitra tetap
menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas dari produk yang dipasok kepada kelompok mitra. Selain itu perusahaan perlu memperhitungkan komisi yang akan
diberikan kepada kelompok mitra karena dalam pola kemitraan ini keuntungan kelompok mitra hanya diperoleh dari komisi penjualan produk.
2.5.5. Kerjasama Operasional Agribisnis KOA
Pola KOA adalah hubungan kemitraan antara petanikelompok mitra dengan perusahaan mitra, yang di dalamnya petanikelompok mitra menyediakan
lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal serta sarana untuk mengusahakan dan membudidayakan
suatu komoditi pertanian Direktorat Jenderal Peternakan, 1996. Pola KOA ini
dapat dilihat pada Gambar 6.
PERUSAHAAN MITRA
KELOMPOK MITRA
- LAHAN - SARANA
- TENAGA -
BIAYA -
MODAL -
TEKNOLOGI -
MANAJEMEN
Pembagian Hasil Sesuai Kesepakatan
Gambar 6. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan, 1996
K
elompok mitra dan perusahaan menggabungkan sumberdaya yang dimilikinya untuk membudidayakan suatu komoditi. Perusahaan mitra sering kali
berperan sebagai penjamin pasar, diantaranya juga mengolah produk tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan Sumardjo, 2001. Kemudian hasil
yang diperoleh dari kerjasama tersebut akan dibagi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak. Selain memperhitungkan pembagian
hasil, kelompok mitra dan perusahaan mitra pun harus memperhitungkan resiko usaha pada saat membuat kesepakatan agar tidak ada pihak yang merasa
dirugikan.
2.5.6. Waralaba
Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259MPPKep71997 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba ditetapkan bahwa pengertian waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak
untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan
berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Sedangkan pengertian
pola waralaba dijelaskan oleh Pasal 27 Huruf d Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 bahwa pola waralaba adalah hubungan kemitraan yang didalamnya
pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai
bantuan bimbingan manajemen. Penjelasan yang sama dipaparkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan 1996 bahwa pola Waralaba adalah hubungan
kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikah hak lisensi, merek dagang dan saluran distribusinya kepada penerima waralaba yang disertai
dengan bantuan bimbingan manajemen Pola kemitraan ini dapat dilihat pada Gambar 7.
Kemitraan PEMILIK
WARALABA PENERIMA
WARALABA Hak Lisensi
Merek Dagang Bantuan Manajemen
Saluran Distribusi
Gambar 7. Pola Kemitraan Waralaba
Sumber : Sumarjo, 2001 Gambar 7 tentang pola kemitraan waralaba memperlihatkan bahwa
pemilik waralaba menyerahkan hak lisensi, merek dagang, bantuan manajemen dan saluran distribusi kepada pengelola waralaba. Namun, pemilik waralaba
tetap bertanggung jawab terhadap sistem operasi, pelatihan, program pemasaran dan hal-hal lain yang diserahkannya kepada penerima waralaba.
Pemegang usaha waralaba, hanya mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh pemilik serta memberikan sebagian dari pendapatannya berupa royalty dan
biaya lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut Sumardjo, 2001. Penetapan pola tersebut pada akhirnya membuat pemegang usaha menjadi
ketergantungan dalam hal teknis dan aturan-aturan pelaksanaan usaha. Sementara pemilik waralaba tidak dapat secara bebas mengendalikan usaha
tersebut terutama dalam hal kuantitas penjualan produk. Dengan menjaga pelaksanaan kewajiban dan hak masing-masing maka
perusahaan pewaralaba dan perusahaan terwaralaba sama-sama mendapatkan keuntungan. Menurut Sumardjo 2001 keuntungan tersebut dapat berupa
adanya alternatif sumber dana, penghematan modal dan efisiensi. Selain itu pola