Inti Plasma Pola Kemitraan

2. Komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang diharapkan. 3. Petani yang tergabung dalam kelompok atau koperasi belum mampu untuk mewakili aspirasi dan kepentingan anggotanya. 4. Belum ada kontrak kemitraan yang benar-benar menjamin hak dan kewajiban dari komoditi yang dimitrakan, serta belum ada pihak ketiga yang secara efektif berfungsi sebagai arbitrator atas penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja. Agar pandangan ini dapat dirubah maka perlu dilakukan sosialisasi hak dan kewajiban plasma dan inti kepada masyarakat. Jika perlu, dibuat peraturan yang memihak kepada plasma di dalam kontrak yang akan ditetapkan sehingga tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tapi juga oleh peternak. Dibalik pandangan-pandangan tersebut, Sumarjo 2001 mengemukakan beberapa keunggulan dari pola kemitraan inti plasma ini, diantaranya adalah : 1. Memberikan manfaat timbal balik antara pengusaha besar atau menengah sebagai inti dengan usaha kecil sebagai plasma melalui pembinaan serta penyediaan sarana produksi, pengolahan hasil serta pemasaran, sehingga tercipta saling ketergantungan dan saling memperoleh keuntungan, 2. Membangun pemberdayaan pengusaha kecil di bidang teknologi, modal, kelembagaan, sehingga pasokan bahan baku dapat lebih terjamin dalam jumlah dan kualitas sesuai standar yang ditetapkan, 3. Beberapa usaha kecil yang dibimbing usaha besar atau usaha menengah mampu memenuhi skala ekonomi, sehingga dapat dicapai efisiensi, 4. Pengusaha besarmenengah yang mempunyai kemampuan dan kawasan pasar yang lebih luas dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang mempunyai keunggulan dan mampu bersaing di pasar nasional, regional maupun pasar internasional, 5. Keberhasilan kemitraan ini dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha besarmenengah lainnya sebagai investor swasta nasional maupun asing dan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang sehingga membantu pemerataan pendapatan untuk mengurangi kesenjangan sosial. Agar pelaksanaan kemitraan ini sesuai dengan manfaat dan keunggulan yang dimilikinya maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini : 1. Persiapan dan tahapan awal kemitraan merupakan proses yang memakan waktu, perhatian, upaya terus-menerus serta kesabaran hingga menjadi pola yang berhasil dan saling menguntungkan, 2. Jenis kegiatan usaha dari pengusaha besarmenengah sama atau saling terkait dengan apa yang dihasilkan usaha kecil 3. Kemitraan ini dapat berhasil bila dilaksanakan pada skala ekonomi yang layak, dan 4. Kemitraan harus didasarkan pada perjanjian kerja yang merinci secara jelas kewajiban dan tugas masing-masing pihak yang bermitra.

2.5.2. Subkontrak

Penjelasan Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 menyatakan bahwa pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, yang didalamnya usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya. Selanjutnya Sumardjo 2001 menyatakan bahwa pola subkontraktor adalah suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk parent firm meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan komponen dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Pola kemitraan ini biasanya ditandai dengan kesepakatan mengenai kontrak bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Dalam pola kemitraan ini kelompok mitra memproduksi komponen produksi yang diperlukan oleh perusahaan mitra. Karena hasil produksi sangat berguna bagi perusahaan mitra maka pembinaan dilakukan dengan intensif. PERUSAHAAN MITRA KELOMPOK MITRA KELOMPOK MITRA KELOMPOK MITRA KELOMPOK MITRA Gambar 3. Pola Kemitraan Subkontrak Sumber : Sumardjo, 2001 Pola kemitraan ini sangatlah bermanfaat dan kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun, dari berbagai manfaat yang dimilikinya, pola kemitraan ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu : 1. Hubungan subkontrak cenderung mengisolasi produsen kecil sebagai subkontrak pada suatu bentuk yang mengarah kepada monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran, 2. Kecenderungan tersebut bisa menyebabkan berkurangnya nilai-nilai kemitraan seperti saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling menghidupi, 3. Kecenderungan kontrol kualitas produk secara ketat, namun tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tepat, dan timbulnya gejala eksploitasi tenaga untuk mengejar target produksi 4. Belum ada pihak yang berperan secara efektif dalam mengatasi persoalan hubungan kemitraan ini. Menurut Sumardjo 2001 kelemahan yang dimiliki oleh pola ini dapat diminimalisasi dengan usaha-usaha pengembangan sebagai berikut : 1. Perlu dikembangkan asosiasi kelompok mitra, khususnya usaha kecil yang berfungsi sebagai produsen sehingga mempunyai posisi tawar yang layak, terutama di dalam kesepakatan penetapan harga, mutu produk, volume dan waktu, dalam hubungan kemitraan dengan perusahaan mitra agar senantiasa mengikuti win-win principle. 2. Perlu mendapat perhatian atas komponen yang berperan penting dalam pelaksanaan kemitraan semacam ini, yaitu pengembangan sumberdaya manusia, inovasi teknologi, manajemen dan permodalan kearah terwujudnya kemampuan menjaga mutu dan daya saing produk dan pelayanan. 3. Masing-masing pihak yang bermitra perlu saling menjaga kepercayaan trust, baik antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra, maupun sesama anggota kelompok mitra dalam mengembangkan kesepakatan bermitra dengan pola subkontrak tersebut.