Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana

1.4. Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana

a. Gugurnya Kewenangan Penuntutan Pengaturan mengani gugurnya kewenangan penuntutan dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut: 1. apabila seorang terdakwa meninggal dunia, maka tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap perkara tersebut. Tidak dilakukannya penuntutan karena kesalahan seseorang tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Demikian pula halnya apabila putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum terpidana meninggal dunia, maka pidana denda, barang yang dirampas, dan biaya perkara dapat dipertanggung-jawabkan kepada para ahli waris terpidana. 2. bagi tindak pidana ringan yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I atau Kategori II, dinilai cukup apabila terhadap orang yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dilakukan penuntutan, asal membayar denda maksimum yang diancamkan.Penuntut umum harus menerima keinginan terdakwa untuk memenuhi maksimum denda tersebut. 3. bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III, jika penuntut umum menyetujui terdakwa dapat memenuhi maksimum denda untuk menggugurkan penuntutan. 4. amnesti dan abolisi adalah hak prerogatif Presiden, setelah memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pemberian amnesti maka semua akibat hukum pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menjadi hapus. Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana ditiadakan. 5. terhadap tindak pidana yang hanya dapat dituntut berdasarkan aduan, maka apabila pengaduan ditarik kembali dianggap tidak ada pengaduan, asalkan dilakukan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan Meskipun tindak pidana yang dilakukan terlebih dahulu sudah gugur hak penuntutannya, namun apabila terdakwa mengulangi perbuatannya, maka terhadap tindak pidana yang Naskah Akademik RUU KUHP | 200 kedua dan selanjutnya tetap berlaku ketentuan pemberatan ancaman pidana bagi pengulangan tindak pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu. Apabila seseorang melakukan tindak pidana dan putusan pengadilan terhadap tindak pidana dan alasan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap orang tersebut dalam perkarayang sama tidak dapat lagi dilakukan penuntutan pidana ne bis in idem. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum. Ketentuan mengenai dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum terhadap status tindak pidana yang dilakukan. Di samping itu dengan lewatnya jangka waktu tersebut pada umumnya sulit untuk menentukan alat-alat bukti. Penentuan jangka waktu tenggang kedaluwarsa disesuaikan dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan. Bagi tindak pidana yang lebih berat, tenggang waktu kedaluwarsa lebih lama daripada tenggang waktu bagi tindak pidana yang lebih ringan. Sedangkan tenggang waktu kedaluwarsa terhadap tindak pidana yang dilakukan anak di bawah umur 18 delapan belas tahun lebih singkat daripada tindak pidana yang dilakukan orang dewasa, hal ini disesuaikan dengan prinsip dalam hukum pidana yang memperlakukan secara khusus bagi anak di bawah umur tertentu. Adapun waktu gugurnya penuntutan, apabila korban sampai dibunuh maka dihitung mulai hari berikutnya dari waktu matinya korban. Hal ini sesuai dengan sifat tindak pidana yang bersifat berlangsung voorduurend, maka selesainya tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut ialah pada waktu korban yang dilarikan, diculik, atau dirampas kemerdekaannya, dan dilepaskan. Demikian pula halnya dengan “sengketa hukum” hal ini dimaksudkan apabila terdapat perbedaan pendapat mengenai persoalan hukum yang harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan lain sebelum perkara pokok diputuskan.

b. Gugurnya Pelaksanaan Pidana