penerbangan, tindak pidana asuransi pesawat udara dan kejahatan terhadap saranaprasarana penerbangan.
Terkait dengan tindak pidana penerbangan yang juga diatur dalam Undang-Undang tentang Pemeberantasan Tindak Pidana
Terorisme, maka perlu dipisahkan dan dimasukkan dalam bab yang mengatur mengenai Tindak Pidana Penerbangan dan Tindak
Pidana Terhadap Sarana Serta Prasarana Penerbangan. Ketentuan mengenai masa transisi sebagaimana diterangkan di atas untuk
tindak pidana korupsi, berlaku juga untuk tindak pidana terorisme.
Dengan demikian, permasalahan mengenai duplikasi norma hukum pidana nantinya tidak akan terjadi lagi dan menghindari
terjadinya perbedaan interpretasi dalam praktik penegakan hukum yang menyebabkan terjadinya perampasan hak seseorang
yang menjadi tersangkaterdakwaterpidana karena alasan kekeliruan dalam penerapan hukum.
2.35. Tindak Pidana Pencucian Uang, Penadahan, Penerbitan, dan Pencetakan
Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berasal dari Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak pidana pencucian ini berlaku juga masa transisi yang seperti tindak
pidana korupsi dan tindak pidana terorisme.
Tindak pidana penadahan, pada dasarnya merupakan tindak pidana yang sebelumnya sudah ada dalam KUHP, namun
kesepannya masih
diperlukan, didasarkan
atas seringnya
dijumpai dalam
kehidupan masyarakat
pembelian atau
penerimaan atau menjualmenukar barang-barang yang berasal dari hasil tindak pidana atau menarik keuntungan dari hasil
suatu benda yang diketahui akan patut diduga diperoleh dari tindak pidana. Demikian juga terhadap tindak pidana penerbitan
dan pencetakan.
2.36. Tindak Pidana Berdasarkan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
Pemberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat yang mengatur perbuatan yang dilarang dan mengancam sanksi
pidana, diakui sebagai tindak pidana dan diancam dengan sanksi
Naskah Akademik RUU KUHP | 257
pidana hukum
pidana adalah
merupakan pengecualian
pemberlakuan asas legalitas dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Pemberlakuan hukum yang hidup tersebut sebagai
bentuk formulasi ke dalam norma hukum pidana untuk menjamin kepastian hukum di masa datang bahwa Indonesia mengakui
adanya asas legalitas formil dan legalitas materiil dan untuk menguatkan perkembangan hukum pidana dan praktik penegakan
hukum pidana.
KUHP telah mengatur asas legalitas sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, kemudian dalam perkembangannya
diberlakukan hukum pidana adat secara limitatif sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Nomor 1Drt1951. Dikatakan
limitatif, karena dalam pemberlakukan hukum pidana adat norma hukum pidana materiilnya mendasarkan kepada hukum pidana
adat, sedangkan acaman sanksi pidananya menggunakan Undang-undang Nomor 1Drt1951 yang dibatasi tidak boleh
lebih dari 3 tiga bulan penjara. Pemberlakuan hukum pidana adat tersebut kemudian dikuatkan dalam yurisprodensi yang telah
menjadi yurisprodensi tetap yang, menurut doktrin hukum, kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang. Di samping
itu, melalui yurisprodensi telah memperluas makna pemberlakuan tersebut, juga termasuk penyelesaian pelanggaran hukum pidana
adat yang telah diselesaikan melalui lembaga adat. Jadi, jika suatu
perkara pelanggaran
hukum pidana
adat sudah
diselesaikan melalui lembaga adat dan telah dilaksanakan, tidak dapat diajukan lagi ke pengadilan dengan alasan hukum Pasal 76
KUHP, yaitu ne bis in idem. Oleh karena itu kedepannya perlu diformalkan dalam bentuk aturan.
2.37. Tindak Pidana Umum Lain