diadakan pengaturan tentang kerja paksa bagi pecandu alkohol dan
gelandangan. Pidana
perampasan kemerdekaan
dipertimbangkan sebagai “exeptional measure”, namun bukan atas dasar teori rehabilitasi melainkan atas dasar tujuan prevensi
umum. Jadi lebih banyak dititikberatkan pada beban narapidana daripada terhadap keuntungannya.
Pembaharuan sanksi juga melanda negara-negara sosialis. Sebagai contoh adalah konsep sosialis reedukasi muncul di
Jerman Timur dan Polandia pembatasan kemerdekaan dikenal sebagai pidana. Selanjutnya beberapa tindakan keamanan bagi
anak-anak muda dan pelaku tindak pidana yang terganggu jiwanya serta bagi pelaku tindak pidana yang berbahaya juga
diatur. Demikian pula, Polandia mengenal pula “probation”, parole, judicial determination of guilt without sentence, nolocontendere
pleas and extra ordinary mitigation of punishment”.
Di beberapa negara, usaha untuk menghindarkan akibat buruk pidana perampasan kemerdekaan juga sudah difikirkan
pada proses penuntutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini apa yang dinamakan “suspension of prosecution” sebagaimana
diatur di dalam Pasal 248 Japanese Criminal Procedure Law yang menyatakan:
“If, after considering the character, age and situation of the offender, the grafity of offence, the circumstances under which the
offence was commited, and the conditions subseqount to the commission of the offence, prosecution is deemed unnecessary,
prosecution need not be instituted”.
171
Dengan mempertimbangkan karakter, usia dan situasi pelaku, beratnya tindak pidana, keadaan di mana kejahatan
tersebut dilakukan,
dan kondisi
setelah pelanggaran,
dimungkinkan penuntutan dianggap tidak perlu dilakukan.
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Konsep RUU KUHP
1.
Ide Dasar Sistem Pemidanaan
Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam RUU KUHP, dilatarbelakangi oleh berbagai prinsip-prinsip sebagai berikut.:
171
Hiroshi Ishikawa, Characteristic Aspects of Japanse Criminal Justice System, A successful Example of Integrated Approach, Jakarta, 1984, hlm. 11 –
12.
Naskah Akademik RUU KUHP | 118
1. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat umum dan kepentingan individu
2. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social
defence”; 3.
ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku”offender”
individualisasi pidana
dan “victim”
korban; 4.
ide penggunaan
“doubel track
system” antara
pidanapunishment dengan tindakantreatmentmeasures; 5.
ide mengefektifkan “non custodial measures alternatives to imprisonment”;
6. ide elastisitasfleksibilitas pemidanaan “elasticityflexibility of
sentencing”; 7.
ide modifikasi perubahanpenyesuaian pidana “modification of sanction”; the alterationannulmentrevocation of sancion”;
“redertemining of punishment”;
8. ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
9. ide permaafan hakim “rechterlijk paedon””judicial pardon”;
10. ide mendahulukanmengutamakan keadilan dari kepastian hukum;
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam pembaharuan KUHP ke depan ada ketentuan-ketentuan yang tidak ada dalam
KUHP WvS yang berlaku saat ini, yaitu antara lain: 1. Penegasan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” asas
culpabilitas yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability”;
2. Pembatasan usia pertanggungjawaban pidana anak “the age of criminal responssibility”;
3. Pengaturan khusus tentang pemidanaan terhadap anak; 4. adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan
atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak asas diversi;
5. adanya pidana mati bersyarat; 6. dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh
pelepasan bersyarat; 7. adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi,
dan pemenuhan kewajiban adat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup;
Naskah Akademik RUU KUHP | 119
8. adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturanpedoman pemidanaannya atau penerapannya;
9. dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi pidana dan tindakan
10. dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri;
11. dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercamtum dalam perumusan delik yang hanya diancam
dengan pidana tunggal; 12. dimungkinkannya
hakim menjatuhkan
pidana secara
kumulatif walaupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif;
13. dimungkinkannya hakim
memberi maafpengampunan
“rechterlijk pardon” tanpa menjatuhkan pidanatindakan apapun terhadap terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya
tindak pidana dan kesalahan;
14. adanya kewenangan
hakim untuk
tetap mempertanggungjawabkan memidana si pelaku walaupun
ada alasan
penghapus pidana,
jika sipelaku
patut dipersalahkan dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi
alasan penghapus pidana tersebut dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”;
15. dimungkinkannya perubahanmodifikasi
putusan pemidanaan, walaupun sudah berkekuatan tetap;
2. Perkembangan Formulasi Tindak Pidana
Dengan semakin banyaknya UU dan RUU di luar KUHP yang dalam perkembangannya seperti “tumbuhanbangunan liar” dan
tidak berpola tidak bersistem, bahkan “menggerogotimencabik- cabik” sistembangunan induk,
172
maka RUU KUHP berkeinginan melakukan
“rekodifikasi dan
reunifikasi nasional”
yang menyeluruh. Rekodifikasi dan reunifikasi dilakukan dengan
mengacu pada : 1. perkembangan pengaturan tindak pidana dalam undang-
undang di luar KUHP yang secara khusus mengatur tindak pidana yang bersifat “kejahatan” dan tindak pidana
administrasi lihat lampiran tentang Daftar Undang-undang
172
Lihat “Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia”, bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi ke VII. Di UBAYA, 2005.
Naskah Akademik RUU KUHP | 120
yang memuat ketentuan pidana dimuat pada lampiran Naskah Akademik ini.
2. bersifat adaptif
terhadap perkembangan
kejahatan internasional, dengan bersumber pada belbagai Konvensi
yang sudah maupun yang belum diratifikasi, antara lain: - Tindak pidana Penyiksaan atas dasar ratifikasi terhadap
“Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment” 1984;
- Kejahatan Perang War Crimes yang bersumber pada Statuta Roma 1998 tentang “The International Criminal
Court”; - Perluasan tindak pidana Korupsi Suap terhadap Pejabat
Asing yang bersumber pada “UN Convention Against Corruption” 2003.
3. memperhatikan dasar pemikiran “gender sensitive”, untuk melindungi harkat dan martabat perempuan.
Dalam memilih delik-delik yang ada dalam undang-undang di luar KUHP, pembentukan kitab undang-undang hukum pidana
kedepan mendasarkan kepada kriteria “tindak pidana yang bersifat umum” generic crines, independent crimes yang acapkali
disebut kejahatan dengan bertolak dari rambu-rambu sebagai berikut:
1. merupakan perbuatan jahat yang bersifat independen a.I.
tidak mengacu atau tergantung pada pelanggaran terlebih dahulu terhadap ketentuan hukum administrasi dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan;
2. daya berlakunya relatif lestari, artinya tidak dikaitkan dengan berlakunya prosedur atau proses administrasi specific crimes,
administrative dependent crimes, dan 3. ancaman hukumannya lebih dari 1 satu tahun pidana
perampasan kemerdekaan penjarakurungan. Bertolak dari rambu-rambu tersebut, perlu dimasukkan delik-
delik tertentu antara lain : 1.
terorisme; 2.
genocide; 3.
kejahatan terhadap kemanusiaan; 4.
kejahatan perang war crimes; 5.
penyiksaan;
Naskah Akademik RUU KUHP | 121
6. kejahatan computer computer crimes di dalam Rancangan
disebut TP Informatika Telematika 7.
tindak pidana lingkungan 8.
penyuapan pejabat publik asing dan organisasi internasional; 9.
tindak pidana narkotika dan psikitropika 10. tindak pidana pornografi
11. tindak pidana perdagangan orang human trafficking; 12. dimasukkannya kembali pembunuhan berencana;
13. tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga 14. tindak pidana terhadap cagar budaya;
15. tindak Pidana pencucian uang money laundering; Dengan masuknya tindak pidana tersebut yang sebagian
diantaranya telah diatur dalam undang-undang tersendiri di luar KUHP diharapkan pada masa datang melalui kebijakan kodifikasi
menyeluruh dapat menguatkan ide pembentukan sistem hukum pidana nasional Indonesia yang utuh sebagai parameter keadilan
dalam bidang hukum pidana dan pemidanaan guna menjamin kepastian hukum dan keadilan serta penegakan hukum yang
standar normal. Konsekuensi kebijakan kodifikasi menyeluruh tersebut, adalah mencegah diterbitkannya undang-undang yang
memuat tindak pidana di luar KUHP dalam tatanan sistem hukum pidana Indonesia karena akan berpotensi terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia bagi tersangkaterdakwa dan terpidana dan mendorong terjadinya penyimpangan dalam praktik penegakan
hukum pidana.
Naskah Akademik RUU KUHP | 122
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Penyusunan konsep RUU KUHP pada hakikatnya merupakan suatu upaya pembaruan keseluruhan sistem hukum pidana yang
terdapat dalam KUHP lama dan undang-undang di luar KUHP yang di dalamnya mencantumkan ketentuan pidana, termasuk
undang-undang hukum pidana yang dikenal dengan tindak pidana khusus yang diatur di luar KUHP.
Pembaruan hukum pidana berbeda dengan penyusunan UU pada umumnya yang dibentuk selama ini, karena hanya mengatur
delik khusustertentu, yang sudah barang tentu pembentukannya masih terikat dengan sistem induknya, yakni KUHP lama dan
pembentukannya tidak utuh serta merupakan sub-sistem dari hukum pidana itu sendiri. Pembaharuan ke depan bersifat
menyeluruh, terpadu, integral, dan mencakup semua aspek atau bidang, bersistem, berpola, serta menyusun dan menata ulang
rancang bangun sistem hukum pidana nasional yang terpadu.
Restrukturisasi mengandung arti penataan kembali yakni menata ulang bangunan sistem hukum pidana Indonesia.
Restrukturisasi di dalamnya juga mempunyai makna rekonstruksi yakni membangun kembali sistem hukum pidana nasional. Jadi
kedua istilah itu sangat berkaitan erat dengan masalah law reform dan law development, khususnya berkaitan dengan pembaruan
atau pembangunan sistem hukum pidana, yang di dalamnya meliputi antara lain penal system reformdevelopment. Dilihat dari
sudut sistem hukum legal system yang terdiri atas legal substance, legal structure, dan legal culture, maka pembaruan
sistem hukum pidana dapat meliputi:
- Pembaruan substansi hukum pidana yang meliputi pembaruan hukum pidana materiel KUHP lama dan UU di luar KUHP.
- Pembaruan struktur hukum yang meliputi antara lain pembaruan
atau penataan
institusilembaga, sistem
Bahan dalam bab ini diolah dari Laporan Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Pemidanaan Politik Hukum dan
Pemidanaan, BPHN, Tahun 2008 dan 2012.
Naskah Akademik RUU KUHP | 123