2. Pidana Tutupan Kajian Teoritis 1. Rekonstruksi, Reformulasi dan Konsolidasi

primitis ini dengan yang lebih baik belum dapat dilakukan. 48 Sehubungan dengan ini pula Moeller menyatakan, bahwa :“We have taken the postion throgh that prisons as we know them ini our culture have failed ini rehabilitation and, in fact, have been the instruments in hardening meny of their victims in antisocial attitudes. But we are not prepared to abolish the all at this time, though we are convinced that the awing eventually be in that direction”. Sehubungan dengan kanyataan-kenyataan di atas, perlu kiranya dihayati prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh baik di dalam pengaturan maupun di dalam pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan yang antara lain adalah: menetapkan preferensi pada alternatif pidana perampasan kemerdekaan alternatives to imprisonment seperti denda dan pidana bersyarat pidana pengawasan, jangan menggunakan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, sejauh mungkin diusahakan untuk menerapkan The Standard Minimum Rules for The Treatment Of Prisoners SMR yang telah diadopsi oleh Kongres PBB I tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku pada tahun 1955 dengan perubahan-perubahannya, selalu berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan dan program-program pembinaan narapidana di luar lembaga the institutionalization of corrections.

a.2. Pidana Tutupan

Pidana tutupan tidak dikenal oleh Wvs tahun 1915. Undang- Undang RI 1946 Nomor 20 Berita RI tahun II Nomor 24 1 dan 15 Nopember 1946 menambahkan Pasal 10 KUHP Tahun 1946, yaitu pidana tutupan. Pasal 2 Ayat 1 UU tersebut menyatakan, bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Hukuman tutupan ini tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya ayat 48 Sudarto, Pemidanaa, Pidana dan Tindakan, op. cit, hlm. 15 Naskah Akademik RUU KUHP | 47 2. Tempat untuk menjalankan hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan Undang-Undang RI 1946 Nomor 20 diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948 Peraturan pemerintah tentang Rumah Tutupan. Dalam peraturan ini kelihatan, bahwa yang lebih baik daripada penjara biasa, sebab terpidana tutupan bukan terpidana biasa karena perbuatan yang dilakukan didorong oleh motif yang patut dihormati. Perlakuan yang istimewa misalnya nampak dari Pasal 33 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1948, yang menentukan, bahwa makanan orang hukuman tutupan harus lebih baik daripada makanan orang hukuman penjara. Selanjutnya dalam ayat 5 dinyatakan bahwa buat orang tidak merokok, pemberian rokok diganti dengan uang seharga barang-barang itu. Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat 1 dinyatakan, bahwa orang- orang hukuman tutupan diperkenankan memakai pakaian sendiri dan pada ayat 3 disebutkan bahwa pada orang-orang hukuman tutupan yang tidak mempunyai pakaian sendiri dan juga tidak mempunyai uang cukup untuk membelinya, diberi pakaian seperlunya menurut aturan yang diterapkan oleh Menteri Pertahanan. Pakaian harus lebih baik dari pada pakaian guna orang hukuman penjara. Kemudian pada Pasal 37 ayat 2 dinyatakan, bahwa jika mungkin berhubung dengan keadaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban dan keamanan, maka orang-orang hukuman tutupan boleh memakai alat tidurnya sendiri. Menurut Sudarto 49 pidana ini terkait pada pidana penjara. Jadi tidak ada tindak pidana yang diancam secara khusus dengan pidana tutupan. Pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Dalam perkembangannya, privileged treatment yang biasa disebut sebagai custodia honesta ini dikenal di dalam Sistem Hukum Kontinental Eropa dan di Inggris english division system dan asalnya adalah dari perlakuan khusus yang diberikan kepada terpidana politik. Posisi istimewa dari terpidana politik dalam sejarah pemidanaan dianggap merupakan suatu keharusan. Di sisi lain seringkali sebaliknya kita lihat terdapat kecenderungan yang kuat untuk memperlakukan mereka lebih keras daripada 49 Ibid, hlm. 16 Naskah Akademik RUU KUHP | 48 narapidana biasa. Penguasa tidak akan mentolerir gangguan terhadap keamanannya, sekalipun motif yang mendasari pelaku didasarkan atas idealisme yang terpuji. Perkembangan terjadi setelah Revolusi Perancis, yang mengubah pandangan terhadap terpidana politik atas dasar asas- asas hukum internasional, yang menyatakan, bahwa “political crime are on principle not regorded as dishonourble”. 50 Usulan agar supaya asas ini mendasari perlakuan istimewa terhadap terpidana politik, termasuk di dalamnya pengaturan di negara- negara yang menjadi korban tindak pidana politik tersebut state against tidak direalisasikan sampai waktu yang lama. Namun akhirnya nampak, bahwa hal tersebut memperoleh tanggapan, dimana KUHP Jerman Tahun 1871 mengatur bahwa bilamana hakim harus memilih – di dalam kasus-kasus politik – antara pidana kerja paksa penal servitude dan custodia honesta festungshaft, maka yang pertama hanya diijinkan bilamana dapat dibuktikan, bahwa tindak pidana yang dilakukan didasarkan atas motif yang keji. Hal yang sama bisa ditemui di dalam KUHP Norwegia Tahun 1902 yang mengatur, bahwa pidana perampasan kemerdekaan tidak terbatas hanya pada tindak pidana politik dapat digantikan dengan pidana custodia honesta, bilamana keadaan-keadaan khusus yang berkaitan dengan tindak pidana menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut tidak dilakukan atas dasar motif yang jahat wicked motives. Setelah perang Jerman, muncul gerakan-gerakan dan pemikiran untuk memperluas pemikiran yang terdapat dalam KUHP Jerman 1871 di atas, di luar ruang lingkup tindak pidana politik yakni dengan menegaskan, bahwa pidana yang seharusnya diterapkan hendaknya custodia honesta dan bukan pidana kerja paksa atau pidana penjara, apabila Pengadilan memandang pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatannya atas dasar keyakinan bahwa hal tersebut merupakan tugas moral, agama atau politik. Hal ini nampak pula di dalam “Priciples regulating the execution of penalties involving loss of liberty” tanggal 7 Juni 1923 yang menyatakan bahwa terpidana sejak permulaan menjalankan pidananya dapat mengklaim untuk memperoleh perlakuan- perlakuan istimewa bilamana Pengadilan yang telah memidananya 50 Herman Mannheim, The Dilemma of Penal Reform, Unwin Brothers Ltd. London, 1939, hlm. 123 Naskah Akademik RUU KUHP | 49 secara eksplisit menyatakan bahwa perbuatannya dilakukan atas dasar motif-motif di atas. Pemerintahan Nazi Jerman melalui Act of 26,5,1933 telah membatasi berlakunya ketentuan di dalam KUHP Jerman tahun 1871 di atas, yakni dengan membatasi pada sejumlah kecil tindak- tindak pidana politik dan menyatakan, bahwa pidana costudia honesta dapat diterapkan hanya apabila perbuatan tersebut tidak ditujukan against the weal of the people. Perlu dipertimbangkan di sini adalah sampai seberapa jauh ukuran-ukuran “maksud yang patut dihormati” yang akan dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana tutupan. Apakah terbatas pada tindak pidana politik ataukah mencakup pula alasan-alasan lain misalnya alasan moral, agama dan tindak- tindak pidana lain asal tidak dilakukan atas dasar motif yang keji.

a.3. Pidana Pengawasan.