METODOLOGI HASIL DAN DISKUSI

March J.G. 1991. Exploration and exploitation in organizational learning. Organization Science 2 1: pp 71-87. Mukerji B., Fantazy K., Kumar U., dan Kumar V. 2010. The impact of various dimensions of manufacturing capability on commercialization performace: evidence from Canadian manufacturing sector. Global Journal of Flexible Systems Management, 11 3: 1-10. Teece D., Pisano G. 1994. The dynamic capabilities of firms: an introduction. Industrial and Corporate Change 3 3: pp 537-556. 174 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Entrepreneurship dan Daya Saing IKM MEMBANGUN BISNIS MASYARAKAT BERBASIS INOVASI BERORIENTASI PASAR Pelajaran Bisnis Pengalengan Ikan Kayu Pada KIMBis Cakradonya di Banda Aceh DEVELOPING INNOVATION-BASED, MARKET-ORIENTED COMMUNITY BUSINESS A Lesson from Dried Bonito Canning Business in KIMBis Cakradonya, Banda Aceh Armen Zulham 1 , Freshty Yulia Arthatiani 2 1 Pusat Penelitan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, email: keude_bingyahoo.co.id 2 Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, email:freshty.arthatianigmail.com Keyword A B S T R A C T dried bonito, market, innovation, business scale Dried Bonito, also known as “Keumamah”, is a form of traditional processed fish in Acehnese Community. “Keumamah” was initially produced in household as a subsistence product from coastal community in Banda Aceh and Aceh Besar. At that time, those product was rare to find in traditional market in Banda Aceh due to limited demand. During 1990s, “Keumamah” was explored by local business, through packaging innovation. And thoses traditional processing product was begun to sold in souvenir shops and supermarket in Banda Aceh. Packed “Keumamah” still had to be processed, which again led to limited consumer. Literature mentioned “Keumamah”, which is made from fresh fish of “Tongkol” and “Cakalang” is almost similar to “Arabushi” and “Katsuobushi”. The last two products were very dynamic on their innovation and became popular as the culinary products in Japan. “Keumanah” with innovation in the process and packaging is expected to become tradable Aceh culinary product. Some entrepreneurs have started the effort towards it in Banda Aceh, with the support from the researchers. This paper is a result from socioeconomic observation of “Keumamah” business innovation development in Banda Aceh from 2012 to 2015. Some breakthroughs are needed to make “Keumamah” become an instant product fulfilling market standard. This is to make Keumanah able to grab market share especially for pilgrims from Aceh and as ransom for natural disaster casualties. This paper recommends producer to apply food safety standard in processing, change the business to commercial rather than household industry, and improvement of processing technology to make “Keumamah” fit in the market and able to compete with other instant product.. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N Ikan kayu, pasar, inovasi, skala usaha Di Aceh Ikan Kayu dikenal sebagai Keumamah, merupakan bentuk olahan ikan tradisional. Keumamah awalnya dihasilkan oleh rumah tangga sebagai produk subsisten pada masyarakat pesisir di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Produk subsisten ini, saat itu, jarang ditemukan di pasar Kota Banda Aceh, karena permintaannya terbatas. Pada periode 1990-an produk Keumamah mulai dieksplorasi oleh pelaku bisnis, melalui inovasi kemasan, sehingga produk Keumamah mulai diperdagangkan di toko souvenir dan pasar swalayan di Banda Aceh. Keumamah kemasan yang diperdagangkan, masih harus diolah, sehingga konsumennya tetap terbatas. Studi pustaka, menunjukkan Keumamah yang berbahan baku Tongkol dan Cakalang hampir sama dengan produk Arabushi dan Katsuobushi. Dua produk yang terakhir, inovasinya sangat dinamis dan menjadi kuliner populer di Jepang. Keumamah dengan inovasi proses dan kemasan diharapkan dapat menjadi kuliner Aceh yang diperdagangkan. Upaya kearah itu tersebut telah dilakukan di Banda Aceh oleh beberapa enterpreneur yang didukung dengan peneliti. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan aspek sosial ekonomi terhadap pengembangan inovasi bisnis Keumamah di Banda Aceh dari tahun 2012 sampai dengan 2015. Namun, menjadikan Keumamah menjadi produk siap saji yang memenuhi standar pasar perlu beberapa terobosan, agar dapat merebut pangsa pasar terutama para Jemaah Haji dan Umrah asal aceh serta sebagai salah satu bahan ransum bantuan kepada korban bencana alam di Aceh. Tulisan ini 175 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENDAHULUAN Ikan kayu Keumamah merupakan produk derivatif Tongkol dan Cakalang yang terkenal di Aceh. Penelitian yang diilakukan Zuraidah, 2014 tentang Keumamah ini, menunjukkan produk tersebut dihasilkan melalui proses pembersihan, perebusan dan pengeringan. Proses ini berbeda dengan pembuatan Arabushi dengan cara pembersihan, pengukusan atau perebusan, pengasapan dan penjemuran Ardianto et al, 2014. Di Indonesia produksi Arabushi untuk pasar Jepang sudah dilakukan oleh PT. Sari Cakalang dan PT. Celebes Mina Pratama di Bitung Utomo dan Dewi, 2010. Fermentasi kapang pada produk Arabushi seperti yang disampaikan Sunahwati 2000 menghasilkan produk Katsuobushi. Bentuk fisik dari ketiga produk tersebut dapat dikatakan sama. Proses pengasapan pada Arabushi dan Katsuobushi menimbulkan aroma yang khas yang tidak terdapat pada Keumamah. Tulisan ini melihat, produk ikan kayu Keumamah adalah produk introduksi dari luar Aceh. Informasi ini, diperoleh dalam hikayat dagang dan perang Aceh yang ditulis Snouck Hugronje 1906. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darussalam mengimpor Keumamah dari Maladewa. Interaksi perdagangan Aceh – Maladewa melalui pedagang India dan Persia, menyebabkan masyarakat pesisir Banda Aceh mampu memproduksi Keumamah. Studi lain menunjukkan Keumamah merupakan produk olahan Aceh. Produk ini digunakan untuk logistik perang, dan ketika tentara Jepang berada di Aceh 1942 – 1945 membentuk Batalyon 110 Seulawah, maka untuk menjamin pasokan logistik, mereka mempelajari cara membuat ikan kayu di Pidie Basral, 2013 dan setelah kembali ke Jepang mereka memodifikasi dan mengembangkannya menjadi Arabushi tanpa fermentasi dan Katsuobushi dengan fermentasi. Namun, artikel lain mengungkapkan produk ikan kayu merupakan asli Jepang, karena irisan atau serbuk ikan kayu yang disebut dashi, telah digunakan dalam masakan jepang Ackroff, et al, 2013. Faktor pendukung pembuatan Keumamah di Banda Aceh adalah tersedianya suplai ikan Cakalang dan Tongkol di Banda Aceh. Terdapat berbagai jenis ikan yang didaratkan di Banda Aceh, seperti: Selar, Kuwe, Tongkol, dan Cakalang. Suplai Tongkol per tahun mencapai 12,8 dan ikan Cakalang mencapai 20,6 dari total 6 ribuan Ton ikan yang didaratkan. Usaha pengolahan ikan kayu di Banda Aceh, saat ini berkembang sebagai industri kecil yang mampu menyerap pasokan ikan Tongkol dan Cakalang yang didaratkan nelayan. Industri kecil pengolahan ikan kayu ini lebih eksis dibandingkan dengan usaha pengolahan ikan kayu skala besar dalam menghadapi fluktuasi suplai dan harga Tongkol dan Cakalang. Sebagai catatan, pada tahun 1980-an di Banda Aceh terdapat 1 industri pengolahan ikan kayu skala besar untuk tujuan ekspor ke Jepang. Industri ini hanya beroperasi satu tahun karena suplai Tongkol dan Cakalang tidak stabil, sementara kapasitas industri tersebut mencapai 100 Ton per bulan. Setelah bencana Tsunami, industri pengolahan ikan kayu yang terletak pada beberapa desa, di Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Kuta Alam; dan Kecamatan Kutaraja mulai bangkit kembali, dengan adanya program rekontruksi pasca tsunami dimulai Tahun 2005. Industi ini akhirnya menghasilkan produk derivatif dalam bentuk Keumamah yang diiris merekomendasikan agar produk keumamah tersebut layak pasar maka: pengolah harus menerapkan prosedur standar keamanan pangan dalam proses produksi, manajemen pengolah Keumamah harus bergeser dari usaha yang dikelola keluaga menjadi usaha yang dikelola profesional, teknologi proses pembuatan bahan baku Keumamah siap saji harus kompetitif sehingga dapat bersaing dengan produk siap saji lainnya. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 176 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 tipis dalam kemasan. Produk Keumamah irisan ini belum siap saji, karena masih diperlukan perlakuan tambahan agar produk tersebut siap dikonsumsi. Peluang mengembangkan dan menumbuhkan usaha baru dari produk ini cukup potensial. Saat ini, Keumamah telah dapat dikemas sebagai produk layak pasar dan siap konsumsi sesuai dengan inovasi produk Reniati, 2013. Evolusi ini adalah hasil eksplorasi berbagai pihak dalam pengembangan produk, dan memperluas serapan serta akses pasar produk. Eksplorasi Keumamah siap saji telah membentuk segmen pasar baru produk Keumamah di Banda Aceh. Oleh sebab itu, saat ini usaha pengolahan Keumamah harus berorientasi pada demand driven market, dan cerdas menangkap selera konsumen. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mempelajari aspek sosial ekonomi dinamika bisnis produk Keumamah menjadi produk layak pasar dan konsumsi. Pengamatan tentang dinamika bisnis produk ini di Banda Aceh terus diamati sejak 2012 sampai 2016. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Dalam pengembangan perekonomian dan pemanfaatan potensi pasar, inovasi sangat diperlukan. Seperti yang diungkapkan oleh Schumpeter 1934, inovasi, entrepreneur dan kelembagaan merupakan kunci penting dalam pengembangan ekonomi atau pengembangan produk. Secara teoritis, inovasi dilakukan untuk mentransformasi produk Keumamah menjadi produk siap saji, dengan melakukan perubahan sajian produk, serta tampilan produk menjadi produk modern yang siap konsumsi dan bersaing di pasar. Transformasi ini dilakukan dengan melakukan pendampingan pada entrepreneur tertentu yang siap mengembangkan produk Keumamah siap saji. Entrepreneur tersebut dipersiapkan untuk mengembangkan produk Keumamah, membangun akses terhadap pasar dan sumber pendanaan serta teknologi. Agar inovasi yang ditargetkan tersebut dapat berkembang maka dibentuk kelembagaan, yang disebut Klinik IPTEK Mina Bisnis. Klinik ini memiliki peran yang besar untuk mengembangkan inovasi produk, proses, inovasi pasar dan inovasi organisasi. Keputusan untuk mengembangkan produk Keumamah, dilakukan melalui assessment oleh wadah klinik tersebut. Asessment inilah yang mendorong bahwa pasar Keumamah perlu inovasi. Tiga konsepsi yang disebutkan diatas, ditelusuri melalui pendekatan rantai manfaat Vermeulen, et al, 2008. METODE PENELITIAN Kegiatan ini merupakan kegiatan penelitian aksi, yang dilakukan untuk mempelajari transformasi produk kuliner keumamah masuk ke pasar Anonim, 2007 a . Pengamatan telah dimulai pada tahun 2012, namun kajian mendalam dilakukan pada Tahun 2015. Untuk memperoleh data yang terkait dengan hal tersebut, maka dilakukan wawancara terhadap 10 pelaku pembuat ikan kayu yang tersebar pada 3 Kecamatan, yaitu: Kecamatan Kecamatan Kuta Alam, Kuta Raja dan Kecamatan Meuraksa. Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik usaha, kemampuan penguasaan aset serta input output usaha pembuatan ikan kayu. Analisis data dilakukan dengan statistik sederhana, dipadukan dengan analisis rantai manfaat, untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan dari simpul bahan baku sampai produk ikan kayu akhir. Sehingga diketahui potensi pengembangan produk lanjutan Anonim, 2007 b dan Anonim, 2007 c . HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Suplai Bahan Baku Cakalang dan Tongkol merupakan bahan baku utama untuk membuat ikan kayu Keumamah. Tongkol dan Cakalang yang didaratkan di Banda Aceh ditangkap dengan menggunakan alat tangkap Purse Seine. Alat tangkap ini dioperasikan oleh Kapal Motor 177 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 ukuran 20 GT - 30 GT jumlahnya sekitar 110 unit dan 30 GT – 50 GT jumlahnya sekitar 5 unit. Produksi ikan yang didaratkan di Banda Aceh pada Tahun 2012 dan 2013 adalah 6.849,2 Ton dan 6.210,1 Ton. Pada Tahun 2012, Tongkol mencapai 11,3, dan Cakalang sekitar 34,9 serta Tuna Mata Besar 18,8. Pada Tahun 2013 tercatat Tongkol 12,8, Cakalang 20,6 dan Tuna Mata Besar 5,6. Tongkol, Tuna dan Cakalang tersebut sebagian dipasarkan segar ke konsumen lokal, dan pengolah ikan kayu, tetapi daya serap pasarnya terbatas. Pasar utama ikan-ikan kualitas premium termasuk Tongkol, Tuna dan Cakalang adalah Belawan Sumatera Utara, karena pada lokasi itu, terdapat beberapa pedagang besar eksportir dan industri pengolahan ikan yang membeli dengan harga yang lebih baik. Harga ikan Cakalang dan Tongkol yang mampu di beli pengolah ikan kayu, saat musim ikan rata-rata sekitar Rp. 9.000 per Kg dan pada saat tidak musim ikan paceklik sekitar Rp. 15.000 per Kg. di Banda Aceh, hanya beberapa konsumen yang mau membeli ikan kualitas premium dengan harga paling rendah Rp. 30.000 per Kg dan maksimal Rp. 50.000 per Kg dan untuk kasus yang terakhir ini diduga untuk hotel dan restoran. Perkembangan harga Tongkol dan Cakalang merupakan salah satu kendala pada industri yang memproduksi ikan kayu. Untuk mendapatkan bahan baku ikan Tongkol atau Cakalang pengolah harus bersaing memperoleh ikan dengan konsumen lokal dan bercermin pada harga ikan di Belawan. Jika harga ikan Tongkol atau Cakalang di Belawan diatas Rp. 15.000 per Kg, maka Tongkol dan Cakalang akan sulit diperoleh di Banda Aceh, semua ikan Tongkol dan Cakalang tersebut akan dikirim ke Belawan. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan ikan Tongkol atau Cakalang sebagai bahan baku, maka pengolah harus membangun jaringan sosial dengan nelayan – toke bangku pemilik ikan yang didaratkan nelayan atau dengan perebus ikan. Dengan relasi ini para pengolah akan terjamin mendapat pasokan bahan baku ikan Tongkol dan Cakalang sesuai yang dibutuhkan. Keragaan ikan Cakalang yang dibeli pengolah dapat diperhatikan pada Gambar 1. Secara visual ikan cakalang tersebut terlihat merupakan ikan yang masuk dalam katagori mutu 2. Hal ini terjadi, karena penangganan ikan sejak di kapal dan setelah di bongkar terlihat kurang baik. Es yang seharusnya mrnjadi bahan baku untuk mengawetkan ikan belum membudaya penggunaannya saat transportasi dan sebelum pengolahan. Sumber: Koleksi Pengurus KIMBis, Cakradonya 2015 Gambar 1. Ikan Cakalang, Bahan Baku Pembuatan Ikan Kayu, 2015 Harga, Pasokan bahan baku dan Evolusi Bisnis Keumamah Pembentukan harga ikan kayu pada tingkat pengolah tergantung pada harga bahan baku ikan. Perkembangan kebutuhan bahan baku Tongkol dan Cakalang, harga ikan kayu glondongan pada tingkat pengolah, harga beli bahan baku ikan pada tingkat pengolah serta seta margin harga pada tingkat Pengolah dapat dipelajari pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan perkiraan kebutuhan ikan Tongkol dan Cakalang untuk pembuatan ikan kayu. Kebutuhan ikan tersebut berfluktuasi, pada musim paceklik ikan Tongkol dan Cakalang sulit ditemukan sekitar bulan November, Desember dan Januari suplai hanya tersedia sekitar 60 Ton sampai dengan 90 Ton per Bulan. Pada Musim Paceklik tersebut, margin harga pada pengolah cukup tinggi, namun 178 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 ketersediaan ikan sangat terbatas. Pada bulan Februari sampai dengan Bulan Oktober kebutuhan bahan baku Tongkol dan Cakalang sekitar 250 Ton per bulan. Harga jual ikan kayu glondongan ikan kering utuh pada tingkat pengolah pada musim paceklik Nopember, Desember dan Januari relatif tinggi, berkisar antara Rp. 50.833 sampai Rp. 57.500 per Kg. Sementara itu, harga ikan kayu glondongan pada bulan yang lain berkisar antara Rp. 30 ribuan per Kg. Margin harga ikan kayu pada tingkat pengolah yang ditunjukkan pada Tabel 2, dan Gambar 1, memberi isyarat bahwa pada bisnis ikan kayu ini pengolah cenderung berperilaku sebagai penjual ikan kayu gelondongan tanpa inovasi ke pasar, kepada pengolah yang lain atau konsumen. Perilaku ini terjadi pada 75 dari usaha pengolah. Hal ini terjadi karena mereka belum memiliki perangkat untuk mengembangkan inovasi dari bisnis produk olahan mereka. Fakta ini ditunjukkan oleh beberapa pengolah ikan kayu yang menjadi pemasok ikan kayu untuk pengolah lain terutama untuk UD Tuna – Kapal Tsunami dan UD Thunnus Saputra. Pasokan ini diperlukan terutama oleh UD Tuna untuk memenuhi permintaan pasar ikan kayu irisan. Sementara UD Thunnus Saputra saat ini sudah tidak lagi menerima pasokan tuna glondongan dari pengolah lain untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan, tetapi tetap memproduksi ikan kayu irisan dengan mutu yang terjamin. Ketergantungan pasokan ikan kayu gelondongan pada pengolah ikan kayu lain, memiliki beberapa kelemahan, seperti: kualitas bahan baku tidak terkontrol, ikan kayu gelondongan tidak bebas dari bahan pencemar serta jamur, bahkan ukuran ikan kayu gelondongan tidak seragam. Untuk memperbesar pangsa pasar dan meningkatkan margin, pada bisnis Keumamah di Banda Aceh diperlukan inovasi lanjutan agar usaha tersebut menjadi sebuah industri yang besar dan dapat memasok keperluan pasar. Dengan demikian, usaha pengolahan ikan kayu di Banda Aceh harus berorientasi demand driven market. Demand driven market ini terbentuk setelah eksplorasi inovasi produk derivatif ikan kayu yang dilakukan melalui kajian dan uji coba oleh berbagai pihak. Eksplorasi inovasi ini terus dilakukan karena potensi pasar ikan kayu di Aceh cukup besar terutama untuk pasokan jamaah haji dan umrah asal Aceh serta sebagai bagian dari pasokan logistik korban bencana alam di Aceh. Tabel 1. Perkembangan Harga dan Margin Pengolah Ikan Kayu di Banda Aceh, 2015 Bulan Bahan Baku Ton Harga Jual Ikan kayu Glondong an RpKg Harga Bahan baku RpKg Margin Pengolah Rpkg Januari 80,9 56.815 15.413 10.576 Februari 255,0 34.167 11.000 1.167 Maret 255,0 31.667 9.000 4.667 April 233,8 30.883 9.000 3.883 Mei 281,6 30.556 8.233 5.857 Juni 195,8 26.667 8.233 1.968 Juli 241,3 31.667 9.000 4.667 Agustus 268,7 29.000 8.333 4.001 September 258,3 30.556 9.333 2.557 Oktober 275,0 30.000 8.667 3.999 Nopember 63,8 50.833 14.833 6.334 Desember 64,7 57.500 18.163 3.011 Rata-rata 206,2 36.692,6 10.767,3 4.390,6 Sumber: Data diolah dari hasil Survey Desember 2015 Perubahan orientasi pasar dengan inovasi lanjutan, saat ini mulai terlihat pada dua pengolah di Banda Aceh. Perubahan itu terlihat dari transformasi produksi produk keumamah irisan menjadi produk keumamah siap saji. Perubahan ini dilakukan melalui pendekatan jaringan sosial antara pengolah di Banda Aceh – KIMBis Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan 179 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Perikanan – Balai Proses dan Kimia LIPI Gunung Kidul. Produk siap saji ini telah dicoba dikemas dalam kaleng agar dapat disimpan dalam waktu lama. Namun, usaha ini terkendala peralatan dan bahan baku kemasan Zulham dan Arthatiani, 2015. Pada tahun 2015, produk Keumamah siap saji dalam kaleng dikemas di LIPI Gunung Kidul Jogjakarta. Namun, proses ini tidak efisien karena biaya produksinya cukup besar dan harga ikan kayu siap saji untuk ukuran 200 gram mencapai Rp. 35 ribu, sementara harga ikan sarden kaleng di Banda Aceh sekitar Rp. 25 ribu untuk ukuran yang sama. Oleh sebab, itu inovasi kemasan lanjutan sedang dilakukan dengan menggunakan kemasan plastik, yang dapat memenuhi kriteria keamanan pangan dengan harga berkisar Rp. 12 ribu sampai Rp. 15 ribu per 200 gram. Namun untuk mengembangkan Keumamah siap saji dalam kemasan plastik ini, harus melalui jaringan sosial baru. Jaringan sosial yang sedang dibangun adalah antara pengolah ikan kayu – Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dan pengusaha yang memiliki modal dan pasar – travel haji dan umrah di Banda Aceh dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Aceh. Inovasi, Manfaat dan Kendala Bisnis Keumamah Lambatnya perkembangan bisnis Keumamah di Banda Aceh, diperkirakan terkait dengan terbatasnya informasi terkini tentang berbagai bentuk inovasi dan produk olahan Keumamah, termasuk peralatan untuk memproduksi Keumamah, serta produk turunan Keumamah sesuai dengan permintaan pasar. Faktor utama dari lambatnya informasi inovasi pada bisnis Keumamah di Banda Aceh diduga terkait dengan: a. margin harga Keumamah pada tingkat pengolah, b. profil pengolah dalam mendapat teknologi dan informasi pasar. a. Margin harga Margin harga Keumamah pada tingkat Pengolah selisih antara harga jual Keumamah gelondongan dengan harga bahan baku Tongkol Cakalang dalam satuan yang sama pada Gambar 2, menunjukkan insentif bisnis pada usaha pengolahan Keumamah saat ini kurang menarik. Hal ini ditunjukkan juga oleh tidak berkembangnya usaha ini sebagai sebuah industri menengah. Investasi skala besar belum melirik usaha ini walaupun pasarnya cukup menjanjikan. Gambar 2, menunjukkan margin harga pada pengolah Keumamah gelondongan relatif kecil, rata-rata margin harga tersebut adalah Rp. 4.390 per Kg. Pada margin tersebut masih terdapat upah tenaga kerja yang harus dibayarkan untuk proses lanjutan, biaya penyimpanan dan susut, serta ongkos kirim. Kecilnya margin tersebut ditunjukkan oleh perilaku pengolah dalam menentukan bentuk upah pekerja. Semua upah pekerja yang terlibat dalam usaha pengolah ikan kayu ini dilakukan dengan sistim borongan. Sistim ini berkembang pada masyarakat dengan kelebihan suplai tenaga kerja dan tingkat produktivitas pekerja yang rendah. Sebagai catatan upah buruh kasar laki-laki di Banda Aceh adalah sekitar Rp. 75 ribu sampai Rp. 100 ribu per hari. Pada usaha pengolahan ikan kayu ini tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja perempuan, tenaga kerja ini kelebihan di Banda Aceh. Kecilnya margin harga tersebut membuat terjadinya segmentasi usaha, segmentasi ini membangun jaringan sosial bisnis baru antar sesama pengolah. Segmentasi ini menyebabkan tumbuhnya usaha yang: a. hanya melakukan kegiatan perebusan dan penjemuran dan b usaha pengolahan dengan produksi ikan kayu irisan. Dan c, sekarang sedang tumbuh usaha pengolahan ikan kayu kuliner dalam kemasan dengan jaringan sosial seperti yang disebutkan diatas. 180 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Gambar. 2. Perkembangan Harga Ikan Kayu dan Bahan Baku Per Bulan di Banda Aceh, 2015 b. Profil pengolah dalam mendapat teknologi dan informasi pasar. Profil pengolah terhadap teknologi dan pasar punya peran penting dalam membangun respon pengolah terhadap berbagai aspek dalam pengembangan bisnis Keumamah di Banda Aceh. 60 responden pengolah mendapat pengetahuan pembuatan Keumamah secara turun temurun, dan sisanya belajar secara otodidak dengan melihat dan mencoba. Kesempatan untuk mengikuti pameran dan pelatihan bisnis yang lebih advance sangat langka dan terbatas. Kesempatan tersebut hanya didapatkan oleh pengolah tertentu saja terutama pengolah yang telah membangun jaringan sosial dengan instansi pemerintah. Padahal, jika dipelajari Tabel 3, pengusaha pengolahan ikan kayu di Banda Aceh merupakan pengusaha dengan omzet yang cukup besar Rp. 30 Juta sampai Rp. 60 Juta per Bulan. Dengan omzet tersebut pengusaha dapat mempelajari dan mengembangkan usaha pengolahan kearah yang lebih maju serta membangun sistem bisnis yang dikelola oleh professional. Sampai saat ini usaha pengolahan ikan kayu yang maju dan dikelola oleh professional belum terwujud di Banda Aceh. Pengelola bisnis dilakukan konvensional. Ciri-ciri bisnis pengolahan ikan kayu konvensional adalah: lokasi usaha masih bergabung dengan tempat tinggal, pengelola usaha dilakukan sendiri atau anggota keluarga, peralatan masih manual, pengembangan bisnis mengandalkan bantuan dan asistensi dari pemerintah, pengelolaan bisnis hanya mempertahankan pangsa pasar yang ada dan tidak mengembangkan pangsa pasar baru. Permasalahan pengembangan inovasi pada bisnis Keumamah di Banda Aceh tidak hanya terletak pada aspek teknis semata tetapi terdapat aspek sosial ekonomi yang belum diketahui dengan baik. Permasalahan pengembangan bisnis dan inovasi pada usaha pengolahan Keumamah ini dapat dipelajari melalui analisis rantai manfaat bisnis Keumamah pada Gambar 3. Analisis rantai manfaat pada Gambar 3, menunjukkan, dalam bisnis ikan kayu di Banda Aceh terdapat beberapa manfaat yang diperoleh dari keberadaan usaha tersebut. Namun manfaat tersebut sulit diwujudkan jika inovasi tidak dikembangkan mulai dari hulu sampai hilir. Hal ini disebabkan margin harga pada setiap simpul bisnis tersebut sangat tipis dari simpul bentuk produk ke simpul kemasan misalnya, margin harga per kg adalah sebesar Rp.3.229. Tabel 3. Rata- Rata Omzet Penjualan, Jumlah Tenaga Kerja dan Sistem Upah padaPengolahan Ikan Kayu di Banda Aceh, 2015 Kecamatan Rata-rata Omzet, Jumlah Pekerja dan Upah pekerja per Bulan Omzet Rp Jumlah TK Org Sistem Upah Kuta Alam Rp. 30 Juta sd Rp. 50 Juta 2 sampai 5 Borongan Meuraksa Rp. 30 Juta sd Rp. 50 Juta 2 sampai 5 Borongan Kuta Raja 50 Rp. 5 Juta - 10 Juta 2 sampai 5 Borongan 50 Rp. 30 Juta - 50 Juta 2 sampai 5 Borongan Sumber : diolah dari data hasil survey Oktober 2015 Oleh sebab itu, inovasi bisnis yang harus dikembangkan antara lain: inovasi kelembagaan dalam bentuk Asosiasi Pengolahan Keumamah. Asosiasi ini diperlukan untuk mempersiapkan pengembangan bisnis Keumamah menjadi - 20.000 40.000 60.000 R UPIA H TAHUN 2015 Harga Ikan Kayu Gelondongan RpKg Biaya Bahan baku Ikan RP 181 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 industri skala menengah dan besar, menghimpun informasi tentang produk derivatif Keumamah lainnya, membantu penerapan standar keamanan pangan keumamah memperbaiki proses pembuatan Keumamah agar mutunya premium, dengan . Inovasi kelembagaan dapat mempercepat pengolah, membangun dan memperluas jaringan pasar. Selain itu inovasi produk harus terus dikembangkan, untuk mendapat produk turunan baru dari Keumamah, sehingga terbentuk segmen pasar baru yang dapat memperbesar pangsa pasar Keumamah. Inovasi yang terakhir ini hanya dapat dilakukan oleh entrepreneur yang mempunyai kemampuan intelijen pasar yang baik. PENUTUP 1. Ikan kayu atau Keumamah merupakan produk olahan tradisional yang terdapat dalam masyarakat aceh sejak lama. Kajian sejarah menunjukkan produk ini merupakan produk introduksi karena interaksi dagang antara masyarakat aceh dengan dunia luar. Namun kajian lain menunjukkan Keumamah merupakan produk asli aceh yang digunakan saat perang Aceh. Saat ini, produk Bahan Baku Proses P d k i Bentuk Produk Kemasan Mutu Bahan Baku tidak standar Ukuran ikan Tidak Standar Proses Produksi Tidak Standar Mengabai kan Keamanan Pangan Rupa kurang menarik dan ukuran produk tidak standar Kurang menarik, dan tidak unik. daya tahan terbatas, berjamur Kebutuha n pasokan 206 Ton per Bulan Harga ≈ ikan kayu Kg Rp 32.302 Harga ikan kayu glondongan Rp 36.692 Kg Harga ikan kayu irisan Rp 150.000 per Kg Perebus sebagai pemasok ikan kayu pengolah lain Pasokan Tersedia setiap Bulan Harga Beli masih Realistis Menyerap 2 sd 5 TK per Unit Usaha Bulan Gelondongan dan irisan, bentuk kuliner baru muncul Kemasan Kotak berjendela dan kemasan plastic biasa Gambar 3. Analisis Rantai Manfaat Inovasi pada Usaha Pembuatan Keumamah di Banda Aceh, 2015 182 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Keumamah di Banda Aceh menjadi bagian bisnis yang mulai berkembang, namun perkembangnnya masih memerlukan terobosan perubahan. 2. Bisnis ikan kayu keumamah di Banda Aceh belum menjadi sebuah industri skala menengah. Industri ini masih dikatagorikan sebagai industri kecil skala rumah tangga, karena pengelolaannya masih konvensional dan perkembangannya inovasinya berjalan sendiri tanpa dukungan penuh dari pemerintah. Padahal potensi pasar lokalnya cukup baik dan jika industri ini berkembang dengan berbagai inovasi, akan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10 orang per pengolah bahkan memberi multiplier efek pada tumbuhnya usaha baru lainnya. 3. Dari analisis rantai manfaat, masih diperlukan aksi yang lebih kongrit terhadap pengembangan bisnis ini terutama oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Banda Aceh dan Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM. Kegiatan aksi yang harus dilakukan adalah memperbaiki proses pembuatan ikan kayu pada tingkat perebus, agar proses tersebut mengikuti standar keamanan pangan. Membuat regulasi supaya industri pengolahan ikan kayu mempunyai prosedur standar operasi baku sehingga produk tersebut konsisten dan dapat masuk dalam sistem pasar global. 4. Memperbaiki kemasan dan branding produk kemasan disertai dengan etiket dalam multi bahasa, sehingga produk tersebut dapat dipasarkan keberbagai segmen pasar dan di ekspor. 5. Membentuk asosiasi pengolah ikan kayu, untuk mempercepat inovasi dalam menghasilkan produk derivatif Keumamah dalam kemasan siap saji, dengan pendekatan membangun relasi jaringan sosial antara pengusaha yang punya pasar dengan pengolah. Asosiasi ini diharapkan dapat mempercepat transfer teknologi tentang cara membuat produk baru. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Sosial Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan yang telah mengalokasikan anggaran sehngga kegiatan ini dapat dilaksanakan. Data untuk mendukung kegiatan penelitian ini dikumpulkan atas bantuan pengurus Klinik IPTEK Cakradonya Banda Aceh. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007 a . Value Chain Analysis of Free Range Chicken in Cambodia. Value Chain Analysis Report. Linking Small Farmers To Market Project. Asean Fondation and Asia DHRRA _______. 2007 b . Value Chain Analysis of Calamansi in The Philippines. Value Chain Analysis Report. Linking Small Farmers To Market Project. Asean Fondation and Asia DHRRA _______. 2007 c . Value Chain Analysis of Tea in Thai Nguyen Province Vietnam. Value Chain Analysis Report. Linking Small Farmers To Market Project. Asean Fondation and Asia DHRRA. Ardianto.C, F. Swastawati, P.H Riyadi. 2014. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Asap Cair Terhadap Karakteristik Arabushi Ikan Tongkol Euthynnus affinis. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Vol.3 No, 4 2014. UNDIP. http: www.e-journal- s1.undip.ac.idindex.phpjpbhp Arkroff, K. T. Kondoh and A. Scalafani. 2013. Dried Bonito Dashi: A Prefered Fish Broth Without Pastoral Reward Action in Mice. Download from: http:chemse . Oxford .journal.org. January 13, 2016. Basral, AN. 2013. Napoleon dari Tanah Rencong. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Hugronje. S 1906. The Achehnes. Dalam Hikayat dagang dan Perang dalam Kari Aceh http:properti.kompas.comread2013040 308291935hikayat.dagang. dan . perang.dalam. kari.aceh diunduh. 15 juni 2016. Renniati. 2013. Kreativitas Organisasi dan Inovasi Bisnis. Inplementasi Pada IKM Berbasis Kreativitas dan Budaya Menuju Keunggulan Bersaing Global. Alfabeta. Bandung. Schumpeter, J.A. 1934. The Fundamental Fenomenon of Economic Development, in Mc. Spechler Perspective in Economic 183 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Thought. Mc. Graw-Hill International Edition, Sunahwati, E 2000. Studi Karakteristik Arabushi Ikan Cakalang Kashuwonus pelamis setelah Fermentasi Kapang. Skripsi Fakultas Kelautan dan Perikanan, IPB. tidak dipublikasi. Utomo, BSB dan FR, Dewi. 2010. Kondisi dan Permasalahan Industri Pengolahan Cakalang di Bitung Kasus Pengembangan Unit Pengolah Ikan di Bitung. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Pengolah Hasil Perikanan dan Kelautan, Balai Besar Pengolahan Produk dan Bioteknologi KP. Jakarta. Zuraidah, S. 2014.Strategi Pemasaran Produk Ikan Kayu Arabushi di Kota Banda Aceh. Thesis Master Univ. Hasanudin. tidak di Publikasi. Vermeulen, S. Woodhill, J. Froctor, FJ and Delnoye, R. 2008. Chain-Wide Learning for Inclusive agrifood market development: a guide to multi-stakeholder processes for linking small scale producers with modern markets. Iied – Wageningen Univ. Research Center. Zulham, A dan FY. Arthatiani. 2015. Laporan Akhir. Kegiatan Klinik IPTEK Mina Bisnis Cakradonya. BBPSEKP. tidak dipublikasi. 184 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Innovation Network sebagai Basis Penguatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah UKM di Jawa Timur Innovation Network as A Competitiveness Strengthening Basis of Small and Medium Enterprises SMEs in East Java 1 Edy Wahyudi Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember, Jl. Kalimantan 37, Jember, 68121 Keyword A B S T R A C T Innovation Network, competitiveness, small and medium enterprises Small businesses Medium Enterprises SMEs often get weak when demanded to perform continuous innovation. The innovation process often gains obstacles because of the absence of studies of various aspects, the low market response to the results of innovation, limited funds, and low motivation of business actors to innovate. Product differentiation and marketing innovation requires a process of cooperation either with local governments, larger businesses, or with other similar businesses. This study aimed to determine a competitiveness model of SMEs by emphasizing on aspects of innovation Network. The study focused on elaborating the perspective of the mechanism in the networking process, elements of strength and networking dependence, and some unique characteristics accompanying them. The research used descriptive qualitative approach to see the real conditions of how SMEs actors did networking and increased their competitiveness. The research locations were in East Java with four regencies, namely Trenggalek, Tulungagung, Blitar and Banyuwangi. Based on the study, the innovation network was still limited to the efficiency of production and market access and had not reached the stage of networking that generated continuous innovation. The mechanism of the process of networking was mostly influenced by trust, profit sharing and product quality assurance. Levels of business strength, partner resources and levels of market uncertainty also influenced networking strength and dependence made. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N Innovation Network, daya saing, usaha kecil menengah Usaha kecil Menengah UKM seringkali lemah ketika dituntut untuk melakukan inovasi berkelanjutan. Proses inovasi seringkali terhambat karena tidak disertai dengan penelitian dari berbagai aspek, respon pasar yang rendah terhadap hasil inovasi, keterbatasan dana, dan motivasi pelaku usaha yang rendah dalam berinovasi. Diferensiasi produk dan inovasi pemasaran membutuhkan suatu proses kerjasama baik dengan pemerintah daerah, pelaku usaha yang lebih besar, ataupun dengan sesama pelaku usaha sejenis. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model daya saing UKM dengan menekankan pada aspek innovation Network. Penelitian ini akan fokus mengurai dari perspektif mekanisme dalam proses networking, elemen kekuatan dan ketergantungan networking, dan beberapa karakteristik unik yang menyertainya. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk dapat melihat kondisi nyata bagaimana pelaku UKM melakukan networking dan meningkatkan daya saingnya. Lokasi Penelitian di Jawa Timur di empat Kabupaten yaitu di Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil penelitian, innovation network masih terbatas pada efisiensi produksi dan akses pasar, belum sampai pada tahap networking yang menghasilkan inovasi berkelanjutan. Mekanisme proses networking lebih dipengaruhi faktor kepercayaan, berbagi keuntungan dan jaminan kualitas produk. 185 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 LATAR BELAKANG Merujuk penelitian World Bank pada tahun 2010, nilai potensi ekonomi sektor informal di Indonesia sekitar Rp. 2000 trilliun sampai dengan Rp. 2.500 trilliun. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya peran UMKM bagi perekonomian Jawa Pos, 3 Oktober 2016. Akhir tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami peningkatan 6,67. Besarnya pertumbuhan ini melebihi nasional yang hanya 6,10 pada 2010. Jawa Timur saat ini menduduki posisi kedua penyumbang Produk Domestik Regional Bruto sebesar 15,41 pada 2010 setelah DKI Jakarta sebesar 17,81. Jatim juga memiliki jumlah industri kecil yang sangat dominan 97,80, sementara industri menengah 2,09 dan usaha besar 0,10. Dominasi industri kecil ini ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja 60,12, sementara industri menengah 31,73 dan industri besar hanya 8,15. Data terbaru 2016 menunjukan bahwa UMKM di Jatim sebesar 6.825.931 dengan menyerap lapangan kerja sebesar 11.117.439 jiwa. diskopumkm.jatimprov.go.id Meskipun usaha kecil tersebut menggunakan teknologi rendah, namun kunci kesuksesan usaha kecil tersebut adalah kreativitas, baik dalam hal menghasilkan kreasi produk, teknologi tepat guna yang sederhana, citarasa dan packaging yang khas mamin khas, dan kreativitas dalam memasarkan produk mereka Wahyudi, 2014 Wahyudi 2014 menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku usaha menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksi dan pemasaran produk mereka. Penggunaan teknologi tinggi itu ditandai dengan menggunakan mesin otomatis, yang mampu mengontrol kualitas mulai dari tingkat presisi ukuran produk, kualitas rasa jika itu terkait dengan mamin, dan juga dari produktivitas kecepatan produksi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti menemukan bahwa pelaku usaha yang menggunakan teknologi tinggi adalah perusahaan yang mampu secara kontinyu melakukan produksi dan melayani permintaan pasar Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wahyudi 2015 faktor market pull dan technology push masih menjadi faktor kunci dalam mengembangkan pasar dan melakukan inovasi. Pelaku usaha tidak gegabah melakukan market created tanpa melakukan penelitian pasar. Penelitian pasar tersebut bukan seperti yang dilakukan perusahaan besar, namun setidaknya pelaku usaha melakukan inovasi dengan melakukan produk baru, harus dilandasi dengan pertimbangan yang matang, seperti kestabilan permintaan produk yang sudah ada secara kontinyu. Artinya, inovasi produk yang dilakukan tidak akan berdampak terhadap pesanan yang sudah ada, sehingga kalaupun inovasi produk baru tersebut gagal, tidak berdampak pada pesanan produk yang sudah berjalan sebelumnya. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa karakteristik usaha kecil yang unik membuat penelitian terkait pemberdayaan dan daya saing tiada habisnya untuk di eksplorasi. Problematika peningkatan daya saing ini akan terus ada, ketika preferensi keinginan konsumen senantiasa berubah dan berkembang, peta persaingan yang terus meningkat, dan berkembangnya teknologi informasi. Berangkat dari fakta inilah, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, karena berupaya meneliti usaha kecil dalam melakukan innovation network dan meningkatkan daya saingnya. Kekuatan skala besarnya usaha, sumberdaya mitra dan tingkat ketidakpastian pasar juga memberikan pengaruh kekuataan ketergantungan networking yang dilakukan. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 186 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Penelitian ini difokuskan di empat Kabupaten yaitu di Banyuwangi, Tulungagung, Trenggalek dan Blitar dengan pertimbangan memiliki potensi produk unggulan bervariasi dan karakteristik kepariwisataan yang masih memungkinkan untuk dilakukan akselerasi. Kabupaten Banyuwangi memiliki produk unggulan barupa batik, tari gandrung, kaos, olahan buah dan wisata pantai yang ada di berbagai tempat di Banyuwangi. Kabupaten Tulungagung memiliki produk unggulan konveksi, onyx, logam, makanan dan minuman khas dan wisata pantai popoh. Kabupaten Blitar memiliki produk unggulan emping blinjo, batik, pisau komando skala nasional, asesoris india berorientasi ekspor, kerajinan batok kelapa, gula kelapa, gendang dan usaha sapi perah. Kabupaten Trenggalek memiliki produk unggulan meubel kayu, genteng, batik dan kripik tempe. Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan Julianto 2013 berhasil mengungkap bahwa usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah non High tech dapat melakukan inovasi dan kreatifitas berdasarkan keunikan produk yang mereka buat, dan mampu meredusir biaya produksi dengan menggunakan alat-alat sederhana yang digunakan. Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi, meskipun pelaku usaha mengakui bahwa dengan adanya teknologi yang lebih canggih akan mampu mempercepat kapasitas produksi dan mampu melayani pasar yang lebih luas. Meskipun berdasarkan data data yang ada peran UMKM dalam meningkatkan APBN cukup tinggi, beberapa kendala terkait dengan kemampuan daya saing UMKM senantiasa menjadi permasalahan. Banyak pelaku usaha yang merasa tidak didampingi, tidak difasilitasi, dan kurang didekati pemerintah dalam menjalankan usahanya. Penelitian ini akan mengidentifikasi proses networking, dan elemen kekuatan dan kelemahan networking. Harapan dari penelitian ini adalah dapat mengurai model daya saing usaha kecil dengan menekankan pada aspek innovation network agar dapat menciptakan inovasi berkelanjutan. Sebenarnya, networking usaha kecil dapat dilakukan lebih terbuka terhadap inovasi open innovation dengan menjalin networking dengan universitas terkait riset dan pengembangan, perusahaan besar terkait dengan partnership produk dan standardisasi kualitas produk, antar usaha kecil sendiri dalam berkolaborasi untuk dapat mereduksi biaya pengadaan bahan baku atau melayani permintaan yang lebih luas, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat lainnya. Networking yang dilakukan harus disertai dengan strategi pengembangan kapabilitas yang jelas, sehingga networking yang dilakukan dapat lebih sustainable dan meningkatkan daya saing usaha kecil itu sendiri Wahyudi, 2014. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan deskriptif, untuk dapat mendiskripsikan proses innovation network dan menemukan model peningkatan daya saing yang dilakukan usaha kecil di Jawa Timur. Objek penelitian ini adalah usaha kecil dan menengah yang memproduksi berbagai jenis produk yang sudah melakukan kerjasama kemitraan partnership atau membuat jaringan network dan kolaborasi dengan berbagai sektor, baik dengan sesama pengusaha, perusahaan yang lebih besar, perusahaan yang lebih kecil, buyer, pemerintah, saluran distribusi ataupun pemasaran. Varian produk UKM tersebut meliputi makanan dan minuman khas mamin khas, logam, konveksi, batik dan kerajinan craft. Lokasi penelitian ini adalah di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model daya saing UKM dengan menekankan pada aspek innovation Network. Penelitian ini akan fokus mengurai dari perspektif mekanisme dalam proses networking, elemen kekuatan dan ketergantungan networking, dan beberapa karakteristik unik yang menyertainya. Proses kedalaman informasi didapatkan peneliti melalui indepth interview dengan key informan kepala dinas UMKM atau yang relevan di instansi pemerintahan terkait dan pemilik perusahaan untuk mendapatkan data primer. Peneliti juga melakukan observasi dan penelitian dilapangan 187 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dengan melakukan pengamatan langsung proses inovasi yang dilakukan, kerjasama kerjasama yang dilakukan, inovasi teknologi yang digunakan, dan mencermati akses pasar dan pemasaran di lapangan. KERANGKA TEORITIK Absorptive Capacity dan Network Kemampuan usaha kecil menyerap absorptive capacity penting untuk memperoleh nilai dari informasi baru, berproses assimilate dan mengaplikasikan untuk di komersialisasikan. Pembelajaran teknologi menjadi hal penting dalam keberhasilan inovasi, namun tidak mudah ditengah keterbatasan usaha kecil. Sumber pembelajaran teknologi adalah dengan meningkatkan networking. Networking memungkinkan usaha kecil berinteraksi dengan perusahaan lain yang lebih bervariasi dan berkelanjutan. Interaksi dengan supplier ataupun konsumen, dan juga infrakstruktur teknologi adalah kunci mengelola inovasi sebagai proses pembelajaran sosial. Networking dalam konteks ini adalah adanya hubungan kerjasama yang saling menguntungkan secara kelembagaan, dan bukan secara individu. Tingkatan dari kerjasama ini dapat secara non formal ataupun formal. Penguatan network dapat mengembangkan market linkage yang lebih luas, diantaranya jumlah pelanggan dan supplier. Networking usaha kecil dapat dilakukan dengan melakukan interaksi antara perusahaan, kerjsama bisnis, vendors, supplier dan konsumen, atau dalam bahasa lain stakeholders. Melalui network ini, perusahaan dapat bertukar, berkolaborasi berbagi pengetahuan, informasi dan komunikasi. Wahyudi 2013 mengatakan bahwa networking juga berbagi risiko, mendapatkan teknologi dan pasar baru, produk lebih cepat sampai ketangan konsumen, dan saling melengkapi keahlian. Networking membuka akses pengetahuan eksternal yang lebih luas meliputi vendors, partner, pesaing dan teknologi. Fierro 2011 mengatakan bahwa proses kerjasama bisnis ataupun inovasi memungkinkan munculnya innovation network, baik berupa inovasi produk, inovasi pemasaran ataupun meningkatnya proses kerjasama antar pengusaha sendiri sehingga meningkatkan skala produksi. Networking dan kolaborasi juga memungkinkan pengembangan investasi, fleksibilitas organisasi dan meningkatnya kinerja secara keseluruhan. Co Innovation Model Co Innovation merupakan konsep dari Bitzer and Bijman 2015 yang meneliti rantai nilai inovasi usaha pangan di Afrika. Konsep ini dinilai sebagai upaya koordinatif strategis dimana Co innovation ini di urai menjadi 3 proses yaitu collaboration, complementary dan coordination. Fierro et all. 2011. Value creation dalam kerjasama bisnis 188 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Collaboration meliputi multi aktor yang terlibat dalam proses inovasi. Kolaborasi yang dimaksud adalah bagaimana kerjasama public privat partnership dalam promosi, pelatihan, inovasi produk dan pemasaran dapat dilakukan. Sinergi ini secara teoritik sudah banyak di analisis keberhasilannya, namun lemah dalam keberlanjutan kerjasamanya. Hal ini terjadi karena seringkali terjadi perbedaan pandangan soal kerjasama tersebut, perbedaan visi dan orientasi pengembangan, permasalahan politis di level birokrasi dan berbagai macam permasalahan lainnya. Kolaborasi tidak hanya dengan sektor pemerintah, melainkan dapat dilakukan kerjasama dengan mitra atau kelompok usaha yang memungkinkan dilakukan dengan orientasi keberdayaan. Adanya kolaborasi ini akan memungkinkan terjadi peningkatan kekuatan daya saing, mulai dari pengadaan bahan baku, pengadaan alat produksi yang digunakan bersama, penguatan akses pasar, dan pemasaran bersama ataupun bundling strategy. Complementary atau komplementer adalah bagaimana perusahaan yang dalam hal ini usaha kecil mampu mengkombinasikan dengan cerdas antara kondisi faktor faktor produksi yang dimiliki perusahaan dengan keberanian pemimpin perusahaan yang dalam hal ini pelaku usaha kecil untuk mengadopsi teknologi, baik itu teknologi tinggi high tech ataupun teknologi sederhana non high tech. Makna komplementer disini adalah inovasi membutuhkan perubahan mendasar tidak hanya dalam pengembangan produk, namun juga mindset, sehingga ketika inovasi dilakukan, ia akan membawa potensi ikutan perubahan lain yaitu teknologi, saluran distribusi, strategi pemasaran dan akses pasar. Imbasnya adalah adanya perubahan dalam desain kemasan, inovasi kelembagaan yang lebih efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan daya saing usaha kecil itu sendiri. Coordination dimaknai sebagai upaya internal untuk mempersiapkan mulai tahap operasional produksi hingga proses pemasaran. Koordinasi dibutuhkan sebagai upaya memudahkan langkah implementasi program yang sudah ada. Koordinasi ini juga dimaknai sebagai fungsi kontrol pada penahapan dalam implementasi proses inovasi. Dalam hal ini terdapat transfer pengatahuan dan kapabilitas inti dari sumberdaya yang ada. Pertukaran informasi juga dimungkinkan dalam proses ini sehingga menjaring peluang peluang melakukan efektivitas distribusi ataupun pemasaran. Tahap koordinasi ini juga membuat mekanisme kelembagaan yang sudah dibentuk menjadi semakin kuat. Kesuksesan dalam networking tidak cukup hanya karena dua organisasi melakukan pekerjaan yang sama. Burdon 2015 menekankan beberapa tahapan dalam proses networking dan kolaborasi usaha kecil, yaitu fase tradisional, dimana proses kerjasama yang dilakukan hanya pada menjalankan aktivitas bersama atau secara outsourcing, kemudian berlanjut kepada kepercayaan melakukan kolaborasi dan kerjasama, dan terakhir pada peningkatan kerjasama strategik. Belajar dari beberapa kasus, Burdon 2015 mencatat bahwa 1 kesuksesan networking dalam meningkatkan inovasi tidak semudah yang dibayangkan karena melibatkan kerjasama dua organisasi. Harus ada dukungan visi dan proses dan meningkatkan keunggulan inter organisasional dalam kolaborasi. 2 responden mengatakan berdasarkan innovating experience environment bahwa proses detail kontrak justru membuat mereka merasa terhambat dalam melakukan inovasi. 3 pelaku usaha mengingatkan 189 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 perubahan radikal ketika inovasi dilakukan dari staf, sumberdaya perusahaan, perencanaan, sistem manajemen untuk menghadapi tantangan. 4 symmetric partnership dimana dukungan informasi dibutuhkan untuk menyamakan orientasi pengembangan inovasi yang sama. Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Liu and Zhang 2012 mengatakan bahwa lingkungan yang bergejolak atau dikenal dengan istilah hyper competitive environment digambarkan sebagai kondisi dimana tingkat persaingan semakin pesat yaitu suatu kondisi yang mencakup pertarungan posisi antara harga dan kualitas, penciptaan ilmu baru, dan pengembangan manfaat sebagai pioner first mover advantage. Stabilitas pasar akan terancam dengan kehadiran produk baru, teknologi baru dan pesaing baru secara konstan Humphreys, 2005. Desain organisasi pada usaha kecil yang fleksibel memungkinkan usaha kecil beradaptasi terhadap perubahan orientasi pasar Feigenbaum and Karnani, 1991. Apabila diperbandingkan dengan usaha besar, usaha kecil mampu mengimplementasikan secara baik manajemen praktis seperti fleksibilitas promosi, contohnya mendapatkan subkontrak kerja, menggunakan tenaga kerja paruh waktu, dan pembuatan regulasi pekerja sesuai dengan kemampuan usaha kecil tersebut Ruigrok et al., 1999 Persaingan yang semakin ketat mendorong perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya. Daya saing strategis dicapai ketika perusahaan berhasil memformulasikan dan menerapkan strategi penciptaan nilai a value creating strategy. Perusahaan yang berhasil mengimplementasikan suatu strategi yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain atau terlalu mahal untuk menirunya, perusahaan ini memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan sustainable competitive advantageHitt et al., 2001. Inovasi merupakan faktor penting sebagai upaya perusahaan untuk mendiferensikan produk, sehingga inovasi harus dikelola dengan lebih baik daripada pesaingnya Kotler dan Armstrong, 2009. Menurut Drucker 1991 inovasi adalah cara-cara yang digunakan pengusaha untuk menciptakan sumber daya baru yang memproduksi kekayaan atau mendayagunakan sumber daya yang sudah ada dan merupakan sumber kompetitif dalam perekonomian global, dan daya saing strategis perusahaan. Menurut Gilbert, 2003 dalam Elitan dan Anatan, 2009 inovasi adalah perubahan yang dilakukan dalam organisasi yang didalamnya mencangkup kreatifitas dalam menciptakan produk baru, jasa, ide, atau proses baru. Menurut Ellitan dan Anatan 2009 produk baru sering dilihat sebagai cutting edge of innovation di pasar, proses inovasi berperan sebagai strategic role. Sehingga keberhasilan membuat sesuatu lebih baik dari pesaingnya, hal tersebut merupakan sumber keunggulan yang penting. Peningkatan daya saing usaha kecil sering menemui kendala karena skala ekonomi dan sumberdaya mereka yang kecil dibandingkan dengan perusahaan besar. Kompensasi dari kelemahan tersebut, usaha kecil mampu menerapkan fleksibilitas karena organisasi internal mereka yang sederhana, yang memungkinkan mereka merespon dan beradaptasi dengan perubahan Sanchez and Marin, 2005. Tidd 2000 mengatakan bahwa ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki usaha kecil yaitu kompetensi teknologi, organisasi dan pasar. Sedikit berbeda dari hasil riset yang dikemukakan Ritter 2006 yang mengatakan bahwa kompetensi harus mencakup kompetensi produk, proses, pasar dan kompetensi komunikasi. Hill and Jones 1998 menjelaskan langkah-langkah sistematis menuju keunggulan kompetitif the roots of competitive advantage yang dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut: 190 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Suatu perusahaan dapat saja memiliki banyak kekuatan dan kelemahan dibandingkan dengan para pesaingnya, tetapi ada dua tipe dasar keunggulan bersaing yang dapat dimilikinya: biaya rendah low cost atau diferensiasi defferentiation Porter, 1985. Perusahaan memilih satu atau beberapa atribut yang oleh banyak pembeli dalam industri ini dipandang penting, dan menempatkan dirinya secara unik untuk memenuhi kebutuhan ini. Karena posisi yang unik khas itu, perusahaan yang layak untuk menetapkan harga premium premium price. Menekan biaya tidak harus selalu mengorbankan diferensiasi. Banyak perusahaan berhasil menemukan cara menekan biaya tanpa mengorbankan diferensiasi, bahkan meningkatkan diferensiasi dengan menggunakan teknologi yang berbeda. Perusahaan yang dapat mencapai keunggulan biaya dan diferensiasi secara simultan, imbalan yang akan dinikmati akan sangat besar karena manfaat kedua strategi ini saling melengkapi. Diferensiasi memungkinkan harga premium dan pada saat yang sama keunggulan biaya berarti biaya yang lebih rendah. HASIL PENELITIAN Karakteristik Unik Usaha Kecil di Jawa Timur Berdasarkan hasil penelitian di lokasi penelitian, keunikan UKM yang ada adalah pada kemampuan mereka bertahan hidup. Survei yang dilakukan pada empat Kabupaten di berbagai varian usaha menunjukkan bahwa kemampuan rata rata UKM yang hidup adalah pelaku usaha yang mampu melakukan diferensiasi produk, mampu menekan ongkos produksi dan menguasai pasar secara berkelanjutan. Hal ini menarik karena tidak semua UKM menggunakan teknologi tinggi seperti mesin otomatis yang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu singkat dan dengan tingkat presisi yang tinggi. Beberapa hal terkait dengan deferensiasi produk nampak pada usaha makanan dan minuman khas mamin khas yang mampu membuat jajanan khas daerah masing masing, yang tidak saja unggul dalam rasa, namun juga dikemas dengan desain yang menarik. Beberapa mamin khas dari masing masing daerah memiliki kesamaaan nama namun berbeda dalam kemasan dan rasanya. Seperti madumongso, geti, kripik tempe, sale pisang, krupuk rambak tidak hanya di produksi di satu daerah saja, namun bisa di beberapa daerah. Menyadari hal tersebut, pembeda dari produk itu adalah dari rasa dan kemasan yang mudah dilihat oleh konsumen. Wahyudi 2014 mengatakan, meskipun usaha kecil tersebut menggunakan teknologi rendah, namun kunci kesuksesan usaha kecil tersebut adalah kreativitas, baik dalam hal menghasilkan kreasi produk, teknologi tepat guna yang sederhana, citarasa dan packaging yang khas mamin khas, dan kreativitas dalam memasarkan produk mereka. Zuhal 2010 menandaskan bahwa usaha kecil seringkali harus melalui proses mencari searching, memutuskan decision dan mencoba trial. Kemampuan bertahan usaha kecil di Trenggalek, Tulungagung, Blitar, dan Banyuwangi juga didasari dengan tahapan mencari search, tidak serta merta produk produk mereka bisa diterima dengan mudah di pasar. Meskipun search yang Sumber : Hill and Jones 1998 The Roots of Competitive Advantage Resources Distinctive Competencies Capabilitas Superior Efficiency Quality Innovation Low cost Differentiation Value Creation Higher Profits 191 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dilakukan dilakukan secara tradisional hanya dengan melihat produk pesaing, perbandingan harga, dan melihat daya beli, ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap luaran produk yang mereka hasilkan. Beberapa pengusaha alat alat dapur di Kabupaten Tulungagung menuturkan bahwa proses searching mereka adalah dengan bekerja ikut orang sebagai pegawai biasa di perusahaan besar, kemudian memberanikan diri membuka usaha sendiri dengan teknologi sederhana yang dimiliki dengan kapasitas produksi yang juga terbatas. Kebanyakan pelaku usaha kerajinan alat dapur yang sekarang sukses adalah pernah menjadi pegawai. Mereka mengatakan bahwa pangsa pasar yang masih terbuka luas membuat mereka berani membuka usaha sendiri. Proses pengambilan keputusan ini beriringan dengan proses trial tergolong unik. Proses eksekusi bentuk produk, cara mengemas packaging, hingga penentuan harga yang mereka lakukan menunjukkan proses trial yang mengandung risiko kegagalan yang tinggi. Ketiga hal inilah yang membuat daya saing mereka teruji, sehingga produk mereka sukses. Diferensiasi yang dilakukan UKM sangat beragam, tergantung dari produk yang mereka hasilkan. Pak Suwarni yang memproduksi gamelan di Trenggalek mengatakan bahwa usaha yang dia lakukan cukup jarang yang memproduksi sejenis. Pak suwarni melengkapi dengan memproduksi wayang, jaranan, pakaian tari, blankon dan pernik pernik pertunjukan lainnya. Tidak semua pengusaha gamelan yang melengkapi produknya dengan beragam pilihan pendukung, sehingga sering mendapat pesanan dari berbagai daerah dan sekolah sekolah yang mengembangkan kesenian tradisional. Kerajinan batik dari berbagai daerah penelitian juga melakukan deferensiasi dengan mengembangkan desain produk yang unik berdasarkan kekhasan daerah dan juga ikon ikon daerah. Usaha batu fossil juga memiliki tingkat diferensiasi yang tinggi, dimana Pak Nanang selaku pengusaha batu fossil mengatakan bahwa usaha ini berorientasi ekspor karena peminat dalam negeri justru rendah. Berorientasi ekspor karena buyer luar negeri berani mematok harga lebih mahal dari pada pasar domestik. Produk tersebut unik, karena proses mencari batu fossil yang cukup sulit yaitu harus di gunung gunung purba dengan menggali hingga kedalaman empat meter. Proses produksi mulai dari penggalian, pemindahan batu, pemotongan hingga finishing membutuhkan waktu lama dan proses yang sulit. Tidak heran jika produk batu fossil memiliki harga premium karena tingkat keunikan yang tinggi. Inisiasi Innovation Network Proses innovation network masih dalam tahapan inisiasi. Tidak semua pelaku usaha menganggap penting melakukan innovation network. Innovation network dalam proses yang paling mendasar seperti melakukan kolaborasi saja, masih banyak pelaku usaha yang enggan melakukannya. Berdasarkan hasil penelitian, banyak UKM yang tidak melakukan kolaborasi. Ada banyak alasan mengapa pelaku usaha enggan untuk melakukan kolaborasi dengan pelaku usaha lain. 1 perusahaan menganggap tidak ada alasan mendesak melakukan kolaborasi dengan perusahaan lain, karena merasa telah memiliki semua kapabilitas dan semua sumberdaya untuk melakukan pengembangan atau inovasi. 2 perusahaan khawatir lepasnya pengusaan teknologi mereka, jika mereka melakukan kolaborasi. Penggunaan teknologi yang digunakan ingin dikuasai secara eklusif, sehingga dengan berkolaborasi, teknologi yang digunakan akan dengan mudah di tiru. 3 keengganan melakukan kolaborasi juga disebabkan mereka yakin bahwa inovasi yang dihasilkan dari kekuatan sendiri adalah bagian dari proses perusahaan dalam mengembangkan dirinya. Beberapa pelaku usaha dilokasi penelitian menunjukkan hal tersebut. Banyak pelaku usaha yang menggunakan teknologi hasil rekayasa mereka sendiri, sehingga tidak semua orang dapat masuk kelokasi perusahaan, karena itu merupakan kunci efisiensi proses produksi yang mereka lakukan. Ada juga perusahaan yang dengan prinsipnya memandang bahwa lebih baik berjalan dengan kekuatan sendiri. Hal ini senada dengan temuan dari Wahyudi 2013 dan Wahyudi dan Djulianto 2013 yang mengatakan bahwa usaha kecil tidak mau ribet dengan urusan yang mengganggu proses keseharian produksi mereka, jangankan melakukan kolaborasi, 192 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 mengikuti program pelatihan dari pemerintah saja mereka enggan karena akan mengganggu produktifitas mereka dalam bekerja. Fakta bahwa berkolaborasi menguntungkan dari berbagai sisi, Schilling 2015 mengatakan keuntungan berkolaborasi diantaranya: 1 berkolaborasi dapat memampukan sebuah perusahaan memperoleh keahlian atau sumber daya yang diperlukan secara lebih cepat dibanding dengan melakukan pengembangan sendirian. 2 memperoleh sebagian dari kapabilitas dan sumberdaya yang diperlukan dari mitra, sehingga dapat menghemat penggunaan aset dan meningkatkan fleksibiltasnya. 3 menjadi sumber pembelajaran penting bagi perusahaan, transfer pengetahuan, dan mengembangkan sumberdaya dan kapabilitas secara lebih cepat, 4 berbagi biaya pengembangan, 5 menciptakan standar bersama terkait produk baru. Fakta dilapangan menunjukan bahwa kolaborasi yang dilakukan pelaku usaha masih sebatas pengadaan bahan baku agar lebih murah, hal itu dilakukan perusahaan alat dapur di Tulungagung yang mendatangkan bahan baku logam secara berkelompok. Kendala lain dalam berkolaborasi adalah karena para pelaku usaha sejenis memiliki orientasi individu yang berbeda dalam melihat pasar dan mengembangkan usahanya. Hal itu dirasakan pelaku usaha genteng Uye kayen yang menggunakan teknologi press dan melapisi genteng dengan lapisan keramik sehingga kualitas keramik lebih bagus, tahan lama, dan anti lumut. Ajakan berkolaborasi dengan pengusaha genteng di sekitar wilayah Trenggalek tidak mendapat respon positif, sehingga perusahaan Uye Kayen seakan menjadi produsen tunggal genteng berlapis porselen. Keengganan tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah 1 harga genteng menjadi lebih mahal, sehingga ada kekhawatiran berdampak terhadap respon pasar, 2 keengganan mencoba hal hal baru yang belum pasti, 3 tidak suka mengambil risiko take a risk. Koordinasi innovation network yang dilakukan UKM di Jawa Timur masih tradisional dimana proses kerjasama yang dilakukan masih sebatas bekerja bersama menjalankan aktivitas bersama atau secara outsourcing, kemudian berlanjut kepada kepercayaan melakukan kolaborasi dan kerjasama. Orientasi kearah kerjasama strategik dengan menghasilkan inovasi masih belum dilakukan. Konsep Gardet and Mothe 2012 mengatakan bahwa koordinasi inter organisational relationship dapat dilakukan dengan mekanisme 1 type of exchange, 2 trust, 3 sharing of benefits, 4 guarantees, 5 conflict resolution tidak mudah dilakukan karena karakteristik UKM yang ada masih dikelola dengan manajerial tradisional. Mekanisme proses networking lebih didasari faktor kepercayaan, berbagi keuntungan dan jaminan kualitas produk. Survey kebeberapa pelaku usaha di lokasi penelitian menemukan hal tersebut. Pak Narto pelaku usaha kripik kentang dari Tulungagung UD. Graha Food yang produknya dikirim ke Malaysia dan Singapura mengatakan bahwa proses networking yang dilakukannya dengan memberikan sampel produknya ke TKI yang kebetulan juga menjadi pengusaha di sana. Even dalam negeri di ikuti Pak Narto dengan mengikuti pameran ataupun kegiatan kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah. Proses mendapatkan buyer dari luar negeri melalui sistem maklon, dimana proses pengiriman produk tanpa label merek. Jadi proses pelabelan di Malaysia dan Singapura menggunakan merek lain. Network seperti ini hanya didasarkan atas kepercayaan trust dan melalui mekanisme jual beli seperti biasa. Kontrol kualitas memang dilakukan, namun hanya diawal ketika proses transaksi akan dilakukan, sehingga lebih didasarkan atas kepercayaan. Hal yang sama juga terjadi di beberapa pelaku usaha kripik singkong di Trenggalek mengirim kripik singkong dan kripik pisang ke Lumajang dengan sistem maklon. Perusahaan kelas menengah seperti kacang shanghai Gangsar di Tulungagung juga bekerjasama dengan retail modern indomaret dengan sistem maklon. Pelaku usaha menuturkan bahwa sistem maklon menjadi pilihan karena pelaku usaha tidak memiliki akses pasar jaringan pemasaran sehingga dengan sistem ini mereka dapat secara kontinyu berproduksi. Sistem ini juga memberikan keuntungan bagi buyer karena mereka dapat berhemat tempat produksi dan tidak berfikir tentang pengelolaan tenaga kerja think as a trader. 193 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Networking yang ada cukup bervariasi, meskipun masih tradisional dan seringkali informal, sudah ada kerjasama antar pengusaha sejenis, perusahaan yang lebih besar, perusahaan yang lebih kecil, buyer, pemerintah, jaringan distribusi dan pemasaran. Berbeda dengan networking level dalam negeri, untuk produk orientasi ekspor, UKM tetap harus sesuai prosedur ekspor. Pak Narto pengusaha kripik dan Pak Nanang pengusaha batu fossil mengatakan bahwa prosedur ekspor mulai kelengkapan surat perijinan, packaging, hingga quality control menjadi syarat yang harus dipenuhi, meskipun demikian terkait dengan innovation network, mereka mengatakan bahwa seharusnya pemerintah supporting dengan fasilitasi alat produksi atau akses pasar, tidak hanya sekedar melakukan pelatihan manajemen, keuangan ataupun teori teori tentang pemasaran. Kekuatan dan Ketergantungan Networking dan Kolaborasi Networking pelaku usaha meskipun masih dalam level tradisional memberikan kekuatan bertahan hidup bahkan dapat meningkatkan daya saing usaha kecil mereka. Kelancaran dalam proses produksi dan efisiensi bahan baku membuat pelaku usaha dapat menciptakan inovasi produk baru. Pak Narto yang awalnya hanya membuat kripik kentang, juga membuat inovasi produk baru dengan membuat kripik singkong dan sukun. Inovasi proses juga dilakukan dengan membuat wajan yang lebih efektif dan efisien dalam penggorengan. Kekuatan networking dalam skala ini seringkali juga memaksa pelaku usaha melakukan inovasi berdasarkan pesanan innovation by order. Proses imitation dengan menerima pesanan sesuai contoh yang dibawa buyer sering dilakukan oleh pengusaha alat alat dapur. Pak Haji Ilyas dan Pak Yoyon sering menerima pesanan melalui sampel produk yang dibawa buyer, mereka dituntut untuk segera memutuskan apakah produk pesanan tersebut dapat dikerjakan atau tidak, termasuk dengan harga grosirnya pada hari itu juga. Hal ini jarang dapat dilakukan oleh pelaku usaha lain, bahwa proses pengambilan keputusan berinovasi dan memutuskan harga grosir dapat dilakukan, bahkan sebelum barangnya di produksi. Network akan terbentuk sesuai dengan karakter produk dengan segala keunikan dalam proses kerjasamanya. Networking dan partnership yang dilakukan usaha kecil menciptakan ketergantungan di beberapa aspek. Gardet and Mothe 2012 mengatakan bahwa ketergantungan tersebut dipengaruhi beberapa faktor, 1 partner size, biasanya semakin besar partner mempunyai kecenderungan kekuatan negosiasi yang lebih besar. 2 partner resources, kerjasama dilakukan dengan penyedia sumberdaya, baik dari aspek tangible seperti finance, keahlian dan kepakaran maupun dari aspek intangible seperti reputasi dan network relation. 3 kepentingan strategis proyek, dimana semakin tinggi proses bisnis yang melibatkan innovation network, semakin tinggi ketergantungan dengan anggota lain. Hal ini merupakan kelemahan karena tingkat ketergantungan yang semakin tinggi membuat kekuatan kemandirian usaha kecil semakin rendah. 4 ketidakpastian, kekuatan kerjasama jangan diliputi ketidapastian. Hal ini sering terjadi pada pola networking ketika perilaku partner sulit diketahui perilakunya. 5 urgensi dari kerjasama, dimana faktor waktu kehadiran menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kerjasama. Kehadiran saat proses produksi ataupun hal lain sangat penting untuk mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi, sehingga dapat dikomunikasikan secara langsung. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa ketergantungan yang timbul dari proses networking itu adalah dari sisi partner resources dan ketidakpastian uncertainty. Keterbatasan finansial seringkali membuat kemampuan berproduksi mereka terbatas, karena keterbatasan modal yang dimiliki, juga gagal memberikan kepercayaan kepada bank untuk memberikan kredit lebih besar. Pola kerjasama outsourcing biasanya dilakukan dengan memberikan pekerjaan kepada karyawan untuk dapat dikerjakan dirumah. Outsourching ini sebenarnya lebih tepat dengan istilah karyawan yang bekerja borongan. Karyawan model ini dapat mengerjakan tugas perusahaan di rumah dan menyetorkan kepada 194 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 perusahaan disaat tertentu dan mendapatkan gaji setiap minggu berdasarkan hasil kerjanya. Pola kerja sistem ini sebenarnya menciptakan sinergisitas produktivitas dan efisiensi disaat yang bersamaan, karena pelaku usaha tidak perlu menyediakan tempat usaha yang luas. Risiko ketergantungannya adalah dengan sistem ini kontrol terhadap kualitas harus dilakukan, karena tentu lebih sulit mengawasi kualitas kerja karyawan karena mereka mengerjakannya diluar areal perusahaan. Risiko lainnya adalah ketergantungan yang tinggi terhadap karyawan apabila mereka keluar dari perusahaan karena alasan pindah keperusahaan pesaing ataupun mendirikan usaha sendiri. Hal tersebut rentan terjadi karena rata rata pelaku usaha yang sukses saat ini juga berawal dari karyawan biasa. Risiko ketidakpastian juga sering terjadi karena pelaku usaha tidak memiliki kekuatan dari aspek legal formal berupa kesepakatan tertulis. Kesepak atan kerjasama sering terjadi secara informal karena didasari rasa saling percaya. Pelaku usaha mengatakan bahwa mereka tidak terlalu mempermasalahkan proses kerjasama informal seperti ini, meskipun beberapa pelaku usaha pernah di tipu atau kemudian order dibatalkan sepihak, namun mereka hanya menyadari bahwa itu bagian dari risiko bisnis yang mereka jalankan. Innovation Network sebagai Basis Penguatan Daya Saing Innovation network yang ada pada usaha kecil di Jawa Timur masih terbatas pada efisiensi produksi dan akses pasar. Network yang dilakukan masih belum pada taraf kolaborasi menghasilkan inovasi baru baik inovasi produk, proses maupun inovasi teknologi. Dinas instansi terkait sebenarnya sudah mengalokasikan anggaran pemberdayaan melalui pelatihan pelatihan dan fasilitasi, namun dirasakan pelaku usaha belum mampu membuat innovation network. Pelaku usaha seringkali merasakan bahwa kehadiran pemerintah masih sebatas membantu urusan perijinan usaha ataupun sesekali memberikan fasilitasi ruang pameran. Even even seperti pameran memang memberikan manfaat promosi dan akses pasar yang efektif, namun tidak semua pelaku usaha mendapat kesempatan mengikuti even tersebut, disamping even tersebut juga hanya dilaksanakan sesekali saja selama setahun. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten yang intensif mengajak pelaku usaha kecil mempromosikan produknya adalah Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi sudah memiliki kalender kegiatan selama setahun yang berkaitan dengan kepariwisataan dan selalu melibatkan usaha kecil dalam even tersebut. Network yang sudah dilakukan menjadi inisiasi proses innovation network yang potensial, meskipun saat ini proses tersebut belum memberikan hasil, upaya pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam mempromosikan daerah dan melibatkan UKM menjadi trigger proses innovation network. Berdasarkan hasil penelitian, sebenarnya peran pemerintah diharapkan dapat mendorong adanya innovation network. Pemerintah dapat mendorong berbagai elemen mulai dari pelaku usaha, perbankan, perguruan tinggi, dan perusahaan besar untuk bersinergi membuat pilot project innovation network. Peran pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati perlu memberikan dorongan di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD terkait untuk membuat program sinergi agar ada UKM unggulan sebagai contoh membentuk innovation network. Stimulasi ini penting karena seringkali masukan dari pelaku usaha adalah peran pemerintah yang minim dan terkesan bahwa program program pemberdayaan dan pelatihan hanya bernuansa proyek semata. Networking yang ada seringkali dilakukan secara informal dan mengandalkan kepercayaan saja. Adanya teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini sebenarnya memudahkan dalam mempromosikan dan meningkatkan akses pasar. Peran pemerintah dalam memfasilitasi promosi dan akses pasar harus dilakukan, karena tidak semua pelaku usaha memiliki kemampuan mengadopsi teknologi internet dalam pemasaran mereka. Setiap pemerintahan daerah setiap tahun seharusnya memiliki UKM unggulan yang benar benar dikelola dan di support penuh untuk memiliki daya saing yang tinggi, sehingga akan ada beberapa UKM unggulan dalam beberapa tahun berikutnya. Keseriusan pemerintah daerah 195 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dapat terlihat dari UKM unggulan tersebut apakah mempunyai kontinyuitas produksi, kualitas produk, jaminan akses pasar dan berorientasi ekport. Diferensiasi yang tinggi UKM yang ada di daerah, akan mampu bersinergi dengan kepariwisataan daerah. KESIMPULAN Karakteristik unik usaha kecil di Jawa Timur adalah upaya melakukan diferensiasi produk, menekan ongkos produksi meskipun tidak menggunakan teknologi tinggi. Proses search, decision dan trial yang panjang membuat banyak pelaku usaha dapat bertahan hidup. Proses innovation network masih dalam tahapanan inisiasi. Tidak semua pelaku usaha menganggap penting melakukan innovation network, dalam proses yang paling mendasar seperti melakukan kolaborasi saja, masih banyak pelaku usaha yang enggan melakukannya. Mekanisme proses networking lebih didasari faktor kepercayaan, berbagi keuntungan dan jaminan kualitas produk. Pelaku usaha mengatakan bahwa seharusnya pemerintah supporting dengan fasilitasi alat produksi atau akses pasar, tidak hanya sekedar melakukan pelatihan manajemen, keuangan ataupun teori teori tentang pemasaran. Networking pelaku usaha meskipun masih dalam level tradisional memberikan kekuatan bertahan hidup bahkan dapat meningkatkan daya saing usaha kecil mereka. Kelancaran dalam proses produksi dan efisiensi bahan baku membuat pelaku usaha dapat menciptakan inovasi produk baru. Kekuatan networking dalam skala ini seringkali juga memaksa pelaku usaha melakukan inovasi berdasarkan pesanan innovation by order. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten yang intensif mengajak pelaku usaha kecil mempromosikan produknya adalah Kabupaten Banyuwangi. Network yang sudah dilakukan menjadi inisiasi proses innovation network yang potensial, meskipun saat ini proses tersebut belum memberikan hasil, upaya pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam mempromosikan daerah dan melibatkan UKM menjadi trigger proses innovation network. DAFTAR PUSTAKA Bitzer, V and Bijman, J. 2015. From innovation to co-innovation? An exploration of African agrifood chains. British Food Journal Vol. 117 No. 8. pp. 2182- 2199.©Emerald Group Publishing Limited Burdon, S., Grant Richard, M and Kilidar, H. 2015. Navigating service sector innovation using co-creation partnerships Journal of Service Theory and Practice Vol. 25 No. 3. pp. 285- 303. Emerald Group Publishing Limited Drucker, P. F. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan dasar- dasar. Penerbit Erlangga Ellitan, L. dan Anatan, L. 2009. Manajemen Inovasi. Bandung : Alfabeta Feigenbaum, A. and A. Karnani. 1991. Output Flexibility. A Competitive Advantage for Small Firms. Strategic Management Journal. Vol 12, pp. 101-114 Fierro, J.C., Florin J., Perez L., Whitelock J. 2011. Inter-firm market orientation as antecedent of knowledge transfer, innovation and value creation in networks. Management Decision. Vol. 49 No. 3, pp. 444-467. Emerald Group Publishing Limited 0025-1747 Gardet, E. and Mothe, C. 2012. SME dependence and coordination in innovation networks. Journal of Small Business and Enterprise Development. Vol. 19 No. 2. pp. 263-280. Emerald Group Publishing Limited Hill, C.W. and Jones, G.L. 1998. Strategic Management: an Integrated Approach. New York: Houghton Miffhn Company. Hitt, M.A., Ireland. R.D. and Hoskisson, R.E. 2001. Strategic Management: 196 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Competitiveness and Globalization 4th Edition; Concepts. Thompson Learning, United States of America Humphreys, P., McAdam, R., and Leckey, J. 2005. Longitudinal evaluation of innovation implementation in SMEs. European Journal of Innovation Management. Vol. 8 No. 3. pp. 283-304 Kotler, P. Armstrong, G. 2009. Prinsip Prinsip Pemasaran Jilid 1. Indonesia : PT Dian Rakyat. Liu, M., Li, M., And Zhang, T. 2012. Empirical Research On China Smes Technology Innovation Engineering Strategy. System Engineering Procedia 5, Pp. 372-378 Porter, M. E. 1985. Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Penerbit Erlangga, Jakarta. Ritter, T. 2006. Communicating firm competencies: marketing as different levels of translation. Industrial Marketing Management. Vol. 35 No. 8, pp. 1032- 1036. Ruigrok, W.A. Pettigrew, S. Peck and R. Whittington. 1999. Corporate Restructuring and New Forms Europe. Management International Review. Vol. 39, pp. 41-46. Sanchez, A.M. and Marin, G.S. 2005. Strategic Orientation, Management Characteristics and Performance: A study of Spanish SMEs. Journal of Small Business Management. Vol. 43. No. 43, pp. 287-308 Schilling, M. A., 2015. Manajemen Strategis Inovasi Teknologi. Pustaka Pelajar, Yogjakarta Tidd, J. 2000. Measuring Strategic Competencies: Technological Market and Organizational Indicators of Innovation. Imperial College Press, London. Wahyudi, E Dan Julianto, D. E. 2013. Model Sistemik Inovasi Berkelanjutan Dan Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Teknologi Rendah Non high tech Di Jawa Timur. Tahun ke dua. Hibah Strategis Nasional. Dikti, DP2M Wahyudi, Edy. 2013. Model akselerasi Inovasi dan Daya Saing Usaha Kecil Non high tech Kajian Empiris Usaha Kecil di Jawa Timur. Seminar Nasional “Networking dan Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Mikro Berbasis Kreativitas”. FISIP, Universitas Jember Wahyudi, Edy. 2014. Improving Competitiveness And Innovation Capability Of Small Businesses On The Basis Of High Tech Versus Non-High Tech. Forum Tahunan Pengembangan Iptek Dan Inovasi Nasional Iv, Tahun 2014. Prosiding. Jakarta. Wahyudi, Edy. 2015. Innovation Acceleration Model For Creative Industries In East Java. Forum Tahunan Pengembangan Iptek Dan Inovasi Nasional V, Tahun 2015. Prosiding. Jogjakarta Zuhal, M. 2010. Knowledge Management and Innovation. Gramedia, Jakarta 197 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Peluang dan Tekanan untuk Berinovasi dalam Industri Jamu Opportunities and Pressures to Innovate in Herbal Medicine Industry Ikbal Maulana Pusat Penelitian Perkembangan Iptek PAPPIPTEK – LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Telp. 021- 5225206, Fax: 021-5201602 Email: ikbal_maulanahotmail.com Keyword A B S T R A C T Indonesian jamu industries, testing, innovation, traditional claim Industry of herbal medicines has high growth potential in Indonesia, because Indonesian biodiversity provides a huge amount of raw materials for the industry, and a large market which believe in the efficacy and safety of herbal medicine. The lack of requirement of proving the efficacy of herbal medicine, simply relying on the claims of the community, eases the industry to generate new products. But on the other hand, it is also easier for competitors from other industries e.g. industry of conventional medicine to enter herbal medicine industry, and in the long run unproven claims will reduce public confidence in the herbal medicine industry. New regulations have been enacted to increase public confidence in herbal medicine. The first regulation expects herbal medicine companies to implement good manufacturing practice. The second one introduces additional categories of preclinically and clinically tested herbal medicines: standardized herbal medicine and phytopharmaca. However, most of herbal medicine companies cannot implement good manufacturing practice. Even producers of conventional medicines are more ready to take advantages of both regulations due to their long experience in fulfilling the requirements of standardized production and testing. While the governments initiative of scientification of herbal medicine, which is expected to improve the reputation of herbal medicine among health practitioners does not attract herbal medicine industry because it only promote herbal medicines in the form of dried plant simplisia Kata Kunci S A R I K A R A N G A N industri jamu Indonesia, klaim turun-temurun, pengujian, inovasi. Industri jamu memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi di Indonesia, karena keanekaragaman hayati Indonesia menyediakan sumber bahan baku yang berlimpah bagi industri, serta besarnya pasar yang mempercayai khasiat dan keamanan jamu. Tiadanya persyaratan bagi pembuktian khasiat jamu, cukup hanya mengandalkan klaim dari masyarakat, memudahkan industri menghasilkan produk-produk baru. Namun di pihak lain, hal ini juga memudahkan pesaing dari industri lain industri obat konvensional untuk memasuki industri jamu, dan dalam jangka panjang klaim yang tidak terbukti akan menurunkan kepercayaan masyarakat pada industri jamu. Regulasi-regulasi baru sudah ditetapkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada jamu. Regulasi pertama menghendaki perusahaan jamu untuk menerapkan cara pembuatan obat tradisional yang baik CPOTB. Regulasi kedua memperkenalkan kategori baru dari obat herbal yang sudah diuji secara praklinis dan klinis, yakni obat herbal terstandar OHT dan fitofarmaka. Namun, mayoritas industri jamu tidak bisa menerapkan CPOTB. Bahkan produsen obat konvensional lebih siap mengambil manfaat dari kedua regulasi tersebut dikarenakan pengalaman panjang mereka dalam memenuhi persyaratan produksi baku dan pengujian. Sementara inisiatif pemerintah dalam saintifikasi jamu, yang diharapkan bisa menaikkan citra jamu di kalangan praktisi kesehatan, tidak menarik industri jamu karena ini hanya mempromosikan jamu dalam bentuk bahan tanaman yang dikeringkan simplisia. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 198 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016

1. PENDAHULUAN

Berbagai jenis tanaman telah dimanfaatkan masyarakat di berbagai belahan dunia untuk pengobatan jauh sebelum obat kimia dikenal. Menurut Ramawat et al. 2009, sistem pengobatan Ayurveda dari India diduga dikembangkan antara 2500 dan 500 SM. Sementara sistem pengobatan tradisional Cina seperti Yellow Emperor’s Inner Classic Hung Di Nei Jing dikembangkan antara 200 SM sampai 100 M; sedangkan Divine Husband-man’s Classic of Materia Medica Shen Nong Ben Cao Jing dikembangkan antara 25-220 M. Di Indonesia sendiri, obat herbal yang kini lebih dikenal sebagai jamu telah digunakan secara luas oleh berbagai suku di Indonesia. Meskipun pendokumentasiannya masih lemah, sehingga asal-usulnya sulit dilacak secara pasti, tapi sudah dikenal naskah-naskah kuno mengenai jamu, antara lain di Jawa disebut husodo, dan di Bali disebut Usada. Selain pasar dalam negeri yang besar, dan relatif tidak terganggu persaingan dari pemain asing, ekspor industri jamu juga meningkat. Pada tahun 2002 ekspor jamu Indonesia telah mencapai AS 29 juta Indonesian Commercial Newsletter; November 5, 2002 dikutip dalam ITC, 2005. Sedangkan menurut Sampurno 2007 pertumbuhan obat herbal selama 5 tahun terakhir rata-rata 15 persen dan sebagian besar dipasarkan di dalam negeri. Ini dikarenakan ketersediaan bahan baku lokal yang melimpah. Secara internasional peningkatan ekspor jamu atau obat herbal makin terbuka seiring dengan makin populernya di banyak masyarakat, termasuk di negara maju, untuk “kembali ke alam”. Ini bisa dibandingkan dengan ekspor obat moderen yang juga sudah lama dilakukan Indonesia, namun karena persaingan dengan Cina yang merupakan pemasok penting bahan baku obat, dan India yang unggul dalam produksi obat generik, ekspor obat dari Indonesia tidak begitu berarti sehingga BPS memasukkannya ke dalam lain-lain others dalam data statistik nasional ITC, 2005. Persyaratan yang lebih longgar untuk mendapatkan ijin edar bagi jamu atau obat herbal membuat pengembangan obat herbal lebih mudah dilakukan. Ini bisa dilihat dari jumlah obat herbal yang sudah diregistrasi di BPOM pada 23 April 2012 sebesar 10.526 yang jauh melampaui obat konvensional yang berjumlah 1.663 Laporan Tahunan Badan POM 2011, walaupun pada tahun 2013 jumlah obat yang teregistrasi sebesar 2596 melebihi obat herbal yang berjumlah 1756 2 . Dilihat dari pertimbangan ekonomi, obat konvensional merupakan tiruan dari obat Barat yang patennya sudah kadaluarsa namun masih menggantungkan bahan baku impor. Sementara obat obat herbal lebih mengandalkan pada bahan baku lokal. Pertumbuhan pasar internasional dari obat herbal tidak diimbangi dengan pengembangan standar yang diterima secara internasional dan metoda yang sesuai untuk mengevaluasinya, padahal isu keamanan dan manfaat obat herbal, termasuk masalah pengendalian kualitas menjadi perhatian baik otoritas kesehatan maupun masyarakat WHO, 2005, hal. iii. Tidak adanya standar yang diterima secara internasional, membuat pasar obat herbal lebih mengandalkan pertumbuhannya di negara asalnya masing-masing. Di satu sisi, pasar masing-masing jadi terlindungi dari persaingan dengan obat tradisional pihak luar. Namun, di sisi lain perluasan pasar juga sulit dilakukan. Tanpa standar internasional dan metoda pengujian obat herbal, persaingan terbesar bukan antar-obat herbal, tetapi antara obat herbal dengan obat konvensional atau kimia. Jika masalah standar dan metoda evaluasi ini tidak diselesaikan, cepat atau lambat masalah ini akan merugikan industri obat herbal, karena ketiadaan legitimasi dan pembuktian ilmiahnya. Setiap industri harus bisa bertahan, dan satu cara terpenting dalam bertahan adalah dengan melakukan inovasi. Industri jamu memiliki tantangan besar, yakni belum diterima oleh sistem pelayanan kesehatan nasional. Selain itu, industri jamu tidak akan bisa terus-menerus tumbuh jika hanya mengandalkan formulasi lama. Karena itu inovasi di berbagai aspek industri perlu dilakukan dalam industri ini. Tekanan terhadap industri jamu untuk melakukan 2 Dilihat dari yang ditayangkan di situs Badan POM www.pom.go.id pada 11 Desember 2013. 199 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 inovasi datang dari pasar, pesaing, baik intra- maupun antar-industri, serta regulator. Makalah ini akan mengupas peluang serta tekanan terhadap industri jamu untuk melakukan inovasi. Kondisi industri, persaingan di dalam maupun antar-industri, dan regulasi bisa memberi ruang sekaligus ancaman bagi pelaku-pelaku industri jamu. Peluang bagi satu perusahaan, bisa menjadi ancaman bagi perusahaan lain. Peluang yang terjadi saat ini bisa menjadi ancaman di masa mendatang. 2. STUDI PUSTAKA 2.1 Perkembangan Jamu di Beberapa Negara Jamu telah digunakan cukup lama oleh masyarakat. Cara pembuatan dan apa khasiatnya umumnya diajarkan secara lisan dari generasi ke generasi. Banyak masyarakat yang menyimpulkan dari sepanjang pengalaman mereka menggunakannya, jamu tidak memiliki efek samping. Kepercayaan ini lebih kuat lagi pada obat herbal yang pendokumentasiannya lengkap, seperti sistem pengobatan herbal India dan Cina, yang sudah dikembangkan dan dimanfaatkan sejak sebelum Masehi. Ciri utama dari obat herbal ini dibandingkan dengan obat konvensional Barat adalah efek multi-sasaran dari obat herbal ini pendekatan holistik yang merupakan basis mendasar dari penggunaannya Ramawat, 2009, hal. vii. Hal ini dikarenakan “Satu tanaman obat bisa mengandung ratusan penyusun alami, dan produk obat herbal campuran bisa mengandung beberapa kali dari jumlah tersebut. Jika setiap kandungan aktif harus diisolasi dari setiap bahan tanaman, waktu dan sumberdaya yang dibutuhkannya akan sangat besar. Analisis seperti itu dalam praktik adalah tidak mungkin, terutama dalam hal obat herbal campuran” 3 WHO, 2005, hal. iii. Pengobatan obat herbal yang multi-sasaran menuntut metoda evaluasi yang berbeda dari obat 3 “A single medicinal plant may contain hundreds of natural constituents, and a mixed herbal medicinal product may contain several times that number. If every active ingredient were to be isolated from every herb, the time and resources required would be tremendous. Such an analysis may actually be impossible in practice, particularly in the case of mixed herbal medicines.” konvensional yang bersasaran tunggal. Pendekatan obat herbal yang holistik ini di mata pendukungnya dianggap tepat karena sistem biologi dari tubuh manusia juga bersifat holistik. Karena itu pendekatan yang tepat adalah dengan melakukan pengamatan, pengukuran sebanyak mungkin parameter dalam sistem biologi dan sesudah itu menggunakan chemometrics untuk mengungkapkan makna dari data. Pendekatan ini telah berhasil digunakan untuk mempelajari tanaman obat-obatan dan obat-obatan berbasis alam klasik Verpoorte , 2009. Pendekatan yang multi-sasaran inilah yang membuat sistem pengobatan Ayurveda menarik perhatian untuk mengobati penyakit yang tidak ada obat moderen yang memadai untuk mengatasinya seperti penyakit yang disebabkan penyimpangan metabolik atau penyakit degeneratif. Penyakit-penyakit seperti ini memiliki penyebab multi-faktor. Dalam kondisi seperti ini kombinasi dari sejumlah obat yang bereaksi secara serentak dianggap lebih efektif daripada obat yang hanya mengarah pada satu sasaran Ramawat dkk, 2009, hal. 10. Obat tradisional baik Ayurveda, TCM maupun jamu menggunakan pendekatan multi-sasaran, karena setiap tanaman obat memiliki kandungan yang beragam. Selain karena filosofinya yang berbeda, cara evaluasi yang reduksionis dari metoda pengobatan Barat jika diterapkan pada jamu akan memakan waktu dan biaya yang sangat besar, karena cara pengobatan moderen ini dilakukan dengan mengisolasi senyawa dalam keadaan paling murni dan mengevaluasi sifat- sifat farmakologinya. Cara ini sudah diterapkan pada penemuan obat moderen dari bahan alami, termasuk herbal, yang diperkirakan bisa membutuhkan biaya sampai AS500 juta, dan sangat memakan waktu 5 sampai 6 tahun pada tahun 1980-an dan menjadi 15 sampai 22 tahun di abad 21 ini Ramawat et al., 2009, hal. 13. Ketiadaan standar pengujian internasional membuat obat herbal memiliki beragam status regulatory dan istilah. Ada negara yang bersedia menganggapnya sebagai obat untuk diresepkan prescriptive medicine, ataupun obat yang dijual bebas atau over-the-counter OTC, namun ada 200 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 yang hanya menganggapnya sebagai makanan pelengkap supplement, makanan kesehatan, makanan fungsional, phytoprotectant, atau istilah lain. Tidak ada konsistensi dalam penggunaan istilah ini dari satu negara ke negara lain Robinson Zhang, 2011, hal. 1. Beragamnya pengistilahan ini, menunjukkan beragamnya penerimaan obat herbal oleh otoritas kesehatan di berbagai negara WHO, 2002: 1 Ada negara yang memberlakukan sistem integratif, di mana obat herbal dan obat tradisional lainnya, terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan nasional, yang tersedia di rumah sakit dan bisa dibiayai perusahaan asuransi. Juga ada kegiatan litbang maupun pendidikan formal di bidang pengobatan tradisional ini. Negara yang menganut sistem ini adalah Cina, Korsel, Korut dan Vietnam. 2 Ada negara yang memberlakukan sistem inklusif, yakni mengakui sistem pengobatan tradisional, namun belum mengintegrasikannya secara penuh ke dalam semua aspek pelayanan kesehatan, pendidikan maupun pelatihan. Asuransi kesehatan masih belum mengganti perawatan dengan pengobatan tradisional, pendidikan pengobatan tradisional juga belum tersedia sampai tingkat universitas, dan tidak ada regulasi ataupun regulasinya masih parsial. Jadi, berbagai aspek ini masih dalam fase transisi, dan bisa mengarah menjadi sistem integratif. Negara berkembang yang menganut sistem inklusif adalah Equatorial Guinea, Nigeria dan Mali yang memiliki kebijakan pengobatan tradisional nasional namun tidak atau sedikit memiliki regulasinya. Sedangkan negara maju seperti Kanda dan Inggris tidak memiliki pendidikan tingkat universitas di bidang ini, namun membuat upaya terpadu untuk menjamin kualitas dan keamanan pengobatan tradisional. 3 Ada negara yang menganut sistem toleran, yang sistem pelayanan kesehatannya didasarkan sistem kedokteran moderen, namun tidak melarang penggunaan obat tradisional di masyarakat.

2.2 Perkembangan Jamu di Indonesia

Jamu memiliki sejarah panjang di Indonesia. Di Bali penulisan tentang jamu di daun lontar sudah dilakukan sejak abad 11, dan pada abad 14 dan 15 sudah tersebar luas di masyarakat Connor, 2008. Penulisan di daun lontar in rentan termakan waktu, karena itu setiap 30 tahun sekali dilakukan penulisan ulang di daun lontar yang baru. Di Jawa, buku yang berisi racikan jamu pertama kali muncul pada tahun 1831, yakni Serat Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi. Buku ini memuat 1700 jenis ramuan pengobatan Jumarani, 2009. Namun, masyarakat Jawa sudah mengenal jamu jauh sebelum ditulisnya buku ini. Namun, meskipun masyarakat telah terlebih dahulu mengenal jamu, reputasinya sebagai sesuatu yang bisa diandalkan untuk mengatasi masalah kesehatan, akhirnya dilampaui oleh cara pengobatan barat yang diperkenalkan Belanda yang mengandalkan obat kimia. Indonesia awalnya adalah negara yang menganut sistem toleran, namun kini mulai mengupayakan untuk menggunakan sistem inklusif. Ini ditunjukkan dengan diakomodasinya fitofarmaka dalam sistem kesehatan moderen, serta adanya upaya saintifikasi jamu. Dari segi bahan baku obat herbal, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang lebih kaya dari Cina atau India; secara tradisi penggunaan jamu sudah meluas di masyarakat, sehingga pasar dan industrinya tidak bisa diabaikan oleh pemerintah. Karena itulah, baik dari perspektif pelayanan kesehatan maupun ekonomi, Indonesia harus mengembangkan kebijakan dan strategi untuk mengoptimalkan pemanfaatan jamu. Dari 191 negara anggota WHO hanya 25 anggota yang mengembangkan kebijakan mengenai pengobatan tradisional WHO, 2002. Manfaat dari kebijakan ini adalah: “... memberikan dasar yang kuat untuk mendefinisikan peran pengobatan tradisional dalam pelayanan perawatan kesehatan nasional, memastikan agar mekanisme peraturan dan legal diciptakan untuk mempromosikan dan memelihara praktik baik, bahwa akses diperoleh dengan cara yang samaadil, dan keotentikan, keamanan 201 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dan manfaat dari terapi bisa dipastikan. Ini juga bisa membantu meyakinkan penyediaan sumberdaya finansial yang cukup bagi penelitian, pendidikan dan pelatihan” WHO, 2002, hal.3. Hal lain yang lebih menekan industri jamu dibandingkan pada industri obat konvensional adalah persoalan kelembagaan. Industri jamu dan obat konvensional ada di dalam lingkup Kementerian Kesehatan, bukan Kementerian Perindustrian. Kementerian Kesehatan lebih berfokus pada penyediaan sistem pelayanan kesehatan – termasuk di dalamnya adalah obat- obatan – yang bisa diandalkan sekaligus terjangkau, bukan pada menumbuhkan industri. Pernyataan “bisa diandalkan” mengimplikasikan adanya cara pengujian yang dianggap sahih, ataupun diterima secara internasional. Cara pengujian seperti ini tidak dimiliki industri jamu, oleh karena itu industri jamu saat ini masih belum menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjadi bagian dari kebijakan pemerintah.

2.3 Masalah-Masalah dalam Pengembangan Jamu

Ulasan pustaka menunjukkan bahwa dalam pengembangan industri jamu terdapat masalah- masalah sebagai berikut: Pertama, tidak adanya standar internasional menyebabkan pengembangan obat tradisional sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi dan bukti empiris yang dikenali masyarakat pengguna, sementara untuk menjadikannya bagian dari sistem pengobatan moderen diperlukan eksperimen dan studi klinis. Sejauh ini obat moderen menjadi fokus utama kebijakan dan regulasi yang menuntut pengembangannya didasarkan pada metoda evidence-based medicine EBM Melzer Saller, 2009, hal. 116. Bagi negara berkembang fokus pada pengobatan moderen ini tidak menjadi masalah karena obat moderen telah banyak diteliti dan dikembangkan di negara-negara maju dan sebagian besar obat konvensional yang dibutuhkan telah habis masa patennya sehingga negara berkembang tinggal menirunya. Namun, hal ini akan menyisihkan industri obat tradisional atau herbal di negara berkembang untuk tumbuh menjadi industri yang penting. Kedua, perlindungan hak kekayaan intelektual dalam pengembangan jamu. Upaya untuk meningkatkan legitimasi ilmiah jamu dilakukan dengan upaya uji pra-klinis, sehingga jamu bisa mendapatkan status sebagai obat herbal terstandar OHT, dan bisa ditingkatkan lagi dengan uji klinis, sehingga meningkat menjadi fitofarmaka. Namun, biaya uji pra-klinis dan klinis ini cukup mahal, sementara bentuk perlindungan intelektual hanya berupa pemberian label OHT atau fitofarmaka pada kemasan. Padahal pengujian ini memberikan bukti pada ramuan jamu yang ada, sehingga menguntungkan perusahaan lain yang memproduksi jamu yang sama walaupun tidak mendapatkan label OHT atau fitofarmaka. Bahkan, kalaupun perusahaan lain melakukan pengujian pada ramuan jamu sejenis, maka ia bisa melakukannya dengan mudah, dengan hasil yang bisa diduga, karena ramuan ini sudah terbukti berhasil diuji oleh perusahaan sebelumnya. Persoalan ini terjadi dikarenakan “UU paten saat ini menuntut penemuan yang inovatif dan tak terduga, pengembangan pengetahuan lama tidak memenuhi tuntutan ini. Oleh karena itu, untuk mendukung pengembangan obat tradisional berbasis-bukti, akan sangat menarik jika perlindungan bisa didapat perusahaan yang mengembangkan obat-obatan tersebut sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan dari investasi litbang yang besar yang telah mereka keluarkan” 4 Verpoorte, 2009, hal. 1. Ketiga, tingginya biaya, keahlian dan teknologi yang dibutuhkan. Saat ini industri jamu lebih mengandalkan pada formula yang sudah dikenali khasiatnya sejak lama secara turun-temurun. Keanekaragaman hayati di Indonesia mestinya memungkinkan penemuan jamu yang baru, namun ini membutuhkan kombinasi upaya dari banyak ilmuwan dengan berbagai latar belakang, seperti biologi, biologi molekuler, farmasi, kimia, dan lainnya untuk men-screening produk. 4 ...present-day patent laws require innovative and unexpected findings, the development of old knowledge does not fit this requirement. Therefore, to support the development of evidence-based traditional medicines, it would be of great interest if some sort of protection could be obtained for companies developing such medicines so that they could earn back their huge RD investments. 202 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Teknik-teknik yang perlu dikembangkan adalah teknik isolasi untuk analisa farmakologi, bagaimana menghasilkan sampel yang cukup banyak dari tanaman yang diidentifikasi secara benar untuk keperluan high-throughput screening HTS, pengaturan untuk uji pra-klinis farmakologi, toksikologi, pharmacokinectics dan drug delivery dan, terakhir, pengaturan untuk uji klinis, dan keseluruhan proses ini bisa membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun Ramawat et al., 2009, hal. 13. Lamanya waktu dan juga prosesnya yang lebih rumit dari metoda penemuan obat lainnya membuat banyak perusahaan farmasi yang menurunkan upaya dan pendanaan mereka untuk kegiatan penelitian produk alami. Keempat, pengembangan industri jamu tidak bisa dilakukan oleh industri jamu sendiri yang kebanyakan industri kecil dan menengah. Apa lagi banyak teknologi canggih yang diperlukan, antara lain teknologi untuk mengisolasi senyawa aktif secara cepat dalam jumlah besar untuk keperluan evaluasi ilmiah serta pengetahuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati Ramawat dkk., 2009, hal. 30. Karena hal ini tidak bisa dipenuhi oleh industri maka Ramawat dkk. menyarankan untuk membentuk kerja sama dengan kesepakatan bagi-keuntungan profit- sharing agreements antara lembaga utama leading institute, perusahaan farmasi di negara maju, organisasi di negara berkembang di mana banyak tanaman obatnya masih belum dieksplorasi. Masalah-masalah di atas membuat banyak negara kesulitan mendorong pengembangan jamu atau obat tradisionalnya. Walaupun jamu atau obat tradisionalnya telah digunakan secara luas di masyarakatnya masing-masing, sifatnya yang khas, membuatnya membutuhkan sistem pengujian sendiri yang sekaligus tidak melemahkan basis industri tradisionalnya yang umumnya UKM. Rumitnya pengembangan maupun evaluasi jamu membuat perhatian kemudian dialihkan pada pengendalian kualitas di rantai pasoknya. Namun, karena banyak penggiat jamu adalah industri kecil dan tradisional, pengendalian kualitas, keamanan dan manfaat dalam produksi ini cukup sulit dilakukan juga. Untuk itu “... WHO, bekerja sama dengan WHO Regional Office dan negara-negara anggota, telah menghasilkan seri dokumen teknis dalam bidang ini, termasuk penerbitan Good Agricultural and Collection Practices GACP dan Good Manufacturing Practices GMP, bersama dengan dukungan teknis lainnya, untuk membantu dengan penetapan standar dan penciptaan produk berkualitas tinggi” Robinson Zhang, 2011, hal. 1

3. METODE PENELITIAN

Penelitian tentang kegiatan inovasi di industri jamu masih jarang dilakukan. Tulisan berkenaan dengan jamu kebanyakan membahas jamu dari segi teknis, seperti mengenai khasiat atau berbagai pengujian lainnya. Ini yang, antara lain, terlihat pada tulisan-tulisan di Majalah Obat Tradisional yang diterbitkan Fakultas Farmasi UGM. Kalaupun ada yang membahas aspek bisnis dari industri jamu, yang dibahas adalah mengenai daya saing bisnis dan kegiatan pemasaran jamu. Ini bisa dimaklumi, karena di Indonesia kajian mengenai inovasi – tidak hanya di industri jamu, tetapi juga industri lainnya – relatif jarang dilakukan. Unit analisis dari kajian ini adalah industri jamu, bukan perusahaan jamu. Topik yang hendak dieksplorasi adalah peluang dan tekanan untuk berinovasi yang harus dihadapi keseluruhan industri yang disebabkan oleh kondisi pasar, internal ataupun antar-industri, dan regulasi. Terbatasnya pustaka dan data yang bisa diakses publik membuat studi ini harus mengandalkan informasi melalui wawancara dengan para pelaku industri maupun pihak lain – akademisi atau peneliti – yang berhubungan dengan jamufarmasi, yakni satu pengusaha jamu, dua manajer litbang dari dua perusahaan jamu yang berbeda, dua pengajar dari UGM di mana salah satunya banyak terlibat dalam proses harmonisasi peraturan jamu tingkat ASEAN. Pengumpulan data dan analisis dilakukan secara iteratif. Isu penting yang diangkat satu narasumber akan digali lebih lanjut dari narasumber lainnya, sehingga bisa dibandingkan dengan konfirmasi dan kontra-argumennya. Dalam melakukan analisa akan dilihat peluang 203 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dan tekanan terhadap industri, dan bagaimana para pelaku industri merespon peluang dan tekanan tersebut melalui inovasi. 4. DATA DAN ANALISIS 4.1 Inovasi Produk Secara tradisional jamu dijual dalam bentuk simplisia, yakni bahan tanaman yang telah dikeringkan, ataupun dijual dalam bentuk cair oleh bakul jamu gendong. Cara pengolahan yang sederhana ini membatasi ekspansi bisnis jamu, karena jamu menjadi cepat kadaluarsa ataupun ataupun mudah rusak pada saat pendistribusiannya. Bisnis jamu bisa tumbuh besar setelah jamu bisa diolah dalam bentuk serbuk dan dijual dalam kemasan-kemasan kecil. Di sebagian masyarakatnya awalnya jamu lebih dikenal dibandingkan dengan obat konvensional kimia, namun dalam perkembangannya, karena program kesehatan dari pemerintah hanya mengandalkan pada obat konvensional ini, penggunaan obat menjadi lebih dominan dibandingkan jamu. Ini yang kemudian mendorong industri untuk melakukan inovasi untuk menghasilkan jamu dalam berbagai bentuk sediaan, sebagaimana bentuk sediaan obat konvensional, seperti tablet, kapsul dan sirup. Selain itu, jamu yang awalnya dikenal memiliki rasa pahit, oleh industri juga telah diubah menjadi memiliki berbagai rasa, terutama untuk produk anak-anak. Dalam perkembangannya, pelaku-pelaku industri obat konvensional yang telah memiliki kemampuan teknologinya, lebih bisa memanfaatkan peluang inovasi produk ini dibandingkan dengan pelaku industri jamu. Misalnya produk andalan Soho Group berasal dari temulawak yang diturunkan menjadi beberapa produk, yaitu Curcuma® Curvit® untuk penambah nafsu makan, Curcuma® plus Emulsion Curvit® CL Emulsion® untuk pertumbuhan anak, Curmax® Curliv® hepato protector, Curcuma Plus Milk produk susu untuk anak-anak, dan Curcuma plus Imuns untuk meningkatkan imunitas tubuh. Persyaratan regulatori yang rendah dalam industri jamu, membuat peluang untuk melakukan inovasi produk lebih terbuka. Kesempatan ini juga dilihat oleh perusahaan-perusahaan yang sebelumnya dikenal sebagai produsen obat konvensional. Misalnya Soho Group, Kalbe, Dexa Medica yang bisnis utamanya adalah obat konvensional, juga masuk dalam sektor industri jamu dan ternyata sukses dalam memasarkan produk mereka. Peraturan Kepala BPOM Nomor: HK.00.05.41.1384 memungkinkan industri untuk mendaftarkan jamu dengan klaim baru dengan cara menyerahkan “dokumen yang mendukung klaim indikasi sesuai jenis dan tingkat pembuktian” Pasal 16 Ayat 1 hurud b. Karena persyaratan pembuktian ini tidak ketat, maka jamu dengan khasiat baru tetap bermunculan. Menurut Bapak Dr. L.B. Kardono dari LIPI, terjadi siklus 5 tahunan untuk jamuobat herbal baru. Misalnya di masyarakatnya kita pernah populer virgin coconut oil VCO, jamu dari buah mengkudu yang diubah dalam berbagai bentuk sediaan, lalu buah merah, dan lain-lain. Apa yang sempat dianggap berkhasiat dan memberikan harapan oleh masyarakatnya setelah sekian periode kehilangan daya tariknya lagi. Namun, kemudian muncul obat herbal baru lagi yang walaupun pembuktiannya belum jelas, tetapi disambut pasar dengan penuh antusias. Misalnya, saat ini berbagai produk herbal yang berasal dari kulit buah manggis beredar di pasaran. Hal ini merupakan mitos yang untuk sementara bisa dianggap sebagai peluang, namun dalam jangka panjang mitos-mitos yang tak terbukti ini bisa menggerus reputasi industri jamu itu sendiri.

4.2 Dari Jamu ke OHT ke Fitofarmaka

Khasiat jamu didasarkan atas klaim masyarakat luas secara turun-temurun yang oleh pelaku industri jamu disebut sebagai bukti empiris. Karena itulah pelaku industri tidak merasa perlu untuk melakukan pengujian pada jamu yang khasiatnya sudah dipercaya masyarakat sejak lama. Namun, dalam praktiknya industri juga menghasilkan jamu-jamu baru dengan klaim- klaim manfaat yang baru, yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat. Ini berarti masyarakat secara turun-temurun belum membuktikannya. Tiadanya keharus pembuktian terhadap jamu yang baru ini bisa merugikan masyarakat, walaupun tidak pernah ada gugatan dari masyarakat terhadap 204 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016