METODOLOGI HASIL DAN DISKUSI
March J.G. 1991. Exploration and exploitation in organizational learning. Organization
Science 2 1: pp 71-87. Mukerji B., Fantazy K., Kumar U., dan Kumar
V. 2010. The impact of various dimensions of manufacturing capability on
commercialization performace: evidence from Canadian manufacturing sector. Global
Journal of Flexible Systems Management, 11 3: 1-10.
Teece D., Pisano G. 1994. The dynamic capabilities of firms: an introduction.
Industrial and Corporate Change 3 3: pp 537-556.
174
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Entrepreneurship
dan
Daya Saing IKM
MEMBANGUN BISNIS MASYARAKAT BERBASIS INOVASI BERORIENTASI PASAR
Pelajaran Bisnis Pengalengan Ikan Kayu Pada KIMBis Cakradonya di Banda Aceh
DEVELOPING INNOVATION-BASED, MARKET-ORIENTED COMMUNITY BUSINESS
A Lesson from Dried Bonito Canning Business in KIMBis Cakradonya, Banda Aceh
Armen Zulham
1
, Freshty Yulia Arthatiani
2
1
Pusat Penelitan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, email: keude_bingyahoo.co.id
2
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, email:freshty.arthatianigmail.com
Keyword A B S T R A C T
dried bonito, market, innovation, business scale
Dried Bonito, also known as “Keumamah”, is a form of traditional processed fish in Acehnese Community. “Keumamah” was initially produced in household as a
subsistence product from coastal community in Banda Aceh and Aceh Besar. At that time, those product was rare to find in traditional market in Banda Aceh due to
limited demand. During 1990s, “Keumamah” was explored by local business,
through packaging innovation. And thoses traditional processing product was begun to sold in souvenir shops and supermarket in Banda Aceh. Packed
“Keumamah” still had to be processed, which again led to limited consumer. Literature mentioned “Keumamah”, which is made from fresh fish of “Tongkol”
and “Cakalang” is almost similar to “Arabushi” and “Katsuobushi”. The last two products were very dynamic on their innovation and became popular as the
culinary products in Japan. “Keumanah” with innovation in the process and packaging is expected to become tradable Aceh culinary product. Some
entrepreneurs have started the effort towards it in Banda Aceh, with the support from the researchers. This paper is a result from socioeconomic observation of
“Keumamah” business innovation development in Banda Aceh from 2012 to 2015. Some breakthroughs are needed to make “Keumamah” become an instant product
fulfilling market standard. This is to make Keumanah able to grab market share especially for pilgrims from Aceh and as ransom for natural disaster casualties.
This paper recommends producer to apply food safety standard in processing, change the business to commercial rather than household industry, and
improvement of processing technology to make “Keumamah” fit in the market and able to compete with other instant product..
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
Ikan kayu, pasar, inovasi, skala usaha
Di Aceh Ikan Kayu dikenal sebagai Keumamah, merupakan bentuk olahan ikan tradisional. Keumamah awalnya dihasilkan oleh rumah tangga sebagai produk
subsisten pada masyarakat pesisir di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Produk subsisten ini, saat itu, jarang ditemukan di pasar Kota Banda Aceh,
karena permintaannya terbatas. Pada periode 1990-an produk Keumamah mulai dieksplorasi oleh pelaku bisnis, melalui inovasi kemasan, sehingga produk
Keumamah mulai diperdagangkan di toko souvenir dan pasar swalayan di Banda Aceh. Keumamah kemasan yang diperdagangkan, masih harus diolah, sehingga
konsumennya tetap terbatas. Studi pustaka, menunjukkan Keumamah yang berbahan baku Tongkol dan Cakalang hampir sama dengan produk Arabushi dan
Katsuobushi. Dua produk yang terakhir, inovasinya sangat dinamis dan menjadi kuliner populer di Jepang. Keumamah dengan inovasi proses dan kemasan
diharapkan dapat menjadi kuliner Aceh yang diperdagangkan. Upaya kearah itu tersebut telah dilakukan di Banda Aceh oleh beberapa enterpreneur yang didukung
dengan peneliti. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan aspek sosial ekonomi terhadap pengembangan inovasi bisnis Keumamah di Banda Aceh dari tahun 2012
sampai dengan 2015. Namun, menjadikan Keumamah menjadi produk siap saji yang memenuhi standar pasar perlu beberapa terobosan, agar dapat merebut
pangsa pasar terutama para Jemaah Haji dan Umrah asal aceh serta sebagai salah satu bahan ransum bantuan kepada korban bencana alam di Aceh. Tulisan ini
175
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Ikan kayu Keumamah merupakan produk derivatif Tongkol dan Cakalang yang terkenal di
Aceh. Penelitian yang diilakukan Zuraidah, 2014 tentang Keumamah ini, menunjukkan
produk tersebut dihasilkan melalui proses pembersihan, perebusan dan pengeringan. Proses
ini berbeda dengan pembuatan Arabushi dengan cara pembersihan, pengukusan atau perebusan,
pengasapan dan penjemuran Ardianto et al, 2014. Di Indonesia produksi Arabushi untuk
pasar Jepang sudah dilakukan oleh PT. Sari Cakalang dan PT. Celebes Mina Pratama di
Bitung Utomo dan Dewi, 2010. Fermentasi kapang pada produk Arabushi seperti yang
disampaikan Sunahwati 2000 menghasilkan produk Katsuobushi. Bentuk fisik dari ketiga
produk tersebut dapat dikatakan sama. Proses pengasapan pada Arabushi dan Katsuobushi
menimbulkan aroma yang khas yang tidak terdapat pada Keumamah.
Tulisan ini melihat, produk ikan kayu Keumamah adalah produk introduksi dari luar
Aceh. Informasi ini, diperoleh dalam hikayat dagang dan perang Aceh yang ditulis Snouck
Hugronje 1906. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darussalam mengimpor Keumamah dari
Maladewa. Interaksi perdagangan Aceh – Maladewa melalui pedagang India dan Persia,
menyebabkan masyarakat pesisir Banda Aceh mampu memproduksi Keumamah. Studi lain
menunjukkan Keumamah merupakan produk olahan Aceh. Produk ini digunakan untuk
logistik perang, dan ketika tentara Jepang berada di Aceh 1942 – 1945 membentuk
Batalyon 110 Seulawah, maka untuk menjamin pasokan logistik, mereka mempelajari cara
membuat ikan kayu di Pidie Basral, 2013 dan setelah kembali ke Jepang mereka memodifikasi
dan mengembangkannya menjadi Arabushi tanpa fermentasi dan Katsuobushi dengan
fermentasi. Namun, artikel lain mengungkapkan produk ikan kayu merupakan asli Jepang, karena
irisan atau serbuk ikan kayu yang disebut dashi, telah digunakan dalam masakan jepang Ackroff,
et al, 2013.
Faktor pendukung pembuatan Keumamah di Banda Aceh adalah tersedianya
suplai ikan Cakalang dan Tongkol di Banda Aceh. Terdapat berbagai jenis ikan yang
didaratkan di Banda Aceh, seperti: Selar, Kuwe, Tongkol, dan Cakalang. Suplai Tongkol per
tahun mencapai 12,8 dan ikan Cakalang mencapai 20,6 dari total 6 ribuan Ton ikan
yang didaratkan.
Usaha pengolahan ikan kayu di Banda Aceh, saat ini berkembang sebagai industri kecil
yang mampu menyerap pasokan ikan Tongkol dan Cakalang yang didaratkan nelayan. Industri
kecil pengolahan ikan kayu ini lebih eksis dibandingkan dengan usaha pengolahan ikan
kayu skala besar dalam menghadapi fluktuasi suplai dan harga Tongkol dan Cakalang.
Sebagai catatan, pada tahun 1980-an di Banda Aceh terdapat 1 industri pengolahan ikan
kayu skala besar untuk tujuan ekspor ke Jepang. Industri ini hanya beroperasi satu tahun karena
suplai Tongkol dan Cakalang tidak stabil, sementara kapasitas industri tersebut mencapai
100 Ton per bulan.
Setelah bencana Tsunami, industri pengolahan ikan kayu yang terletak pada
beberapa desa, di Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Kuta Alam; dan Kecamatan Kutaraja
mulai bangkit kembali, dengan adanya program rekontruksi pasca tsunami dimulai Tahun 2005.
Industi ini akhirnya menghasilkan produk derivatif dalam bentuk Keumamah yang diiris
merekomendasikan agar produk keumamah tersebut layak pasar maka: pengolah harus menerapkan prosedur standar keamanan pangan dalam proses produksi,
manajemen pengolah Keumamah harus bergeser dari usaha yang dikelola keluaga menjadi usaha yang dikelola profesional, teknologi proses pembuatan bahan baku
Keumamah siap saji harus kompetitif sehingga dapat bersaing dengan produk siap saji lainnya.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
176
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
tipis dalam kemasan. Produk Keumamah irisan ini belum siap saji, karena masih diperlukan
perlakuan tambahan agar produk tersebut siap dikonsumsi.
Peluang mengembangkan dan menumbuhkan usaha baru dari produk ini cukup
potensial. Saat ini, Keumamah telah dapat dikemas sebagai produk layak pasar dan siap
konsumsi sesuai dengan inovasi produk Reniati, 2013. Evolusi ini adalah hasil eksplorasi
berbagai pihak dalam pengembangan produk, dan memperluas serapan serta akses pasar produk.
Eksplorasi Keumamah siap saji telah membentuk segmen pasar baru produk Keumamah di Banda
Aceh. Oleh sebab itu, saat ini usaha pengolahan Keumamah harus berorientasi pada demand
driven market, dan cerdas menangkap selera konsumen.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mempelajari aspek sosial ekonomi dinamika
bisnis produk Keumamah menjadi produk layak pasar dan konsumsi. Pengamatan tentang
dinamika bisnis produk ini di Banda Aceh terus diamati sejak 2012 sampai 2016.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Dalam pengembangan perekonomian dan pemanfaatan potensi pasar, inovasi sangat
diperlukan. Seperti yang diungkapkan oleh Schumpeter 1934, inovasi, entrepreneur dan
kelembagaan merupakan kunci penting dalam pengembangan ekonomi atau pengembangan
produk.
Secara teoritis, inovasi dilakukan untuk mentransformasi produk Keumamah menjadi
produk siap saji, dengan melakukan perubahan sajian produk, serta tampilan produk menjadi
produk modern yang siap konsumsi dan bersaing di pasar.
Transformasi ini dilakukan dengan melakukan pendampingan pada entrepreneur
tertentu yang siap mengembangkan produk Keumamah siap saji. Entrepreneur tersebut
dipersiapkan untuk mengembangkan produk Keumamah, membangun akses terhadap pasar
dan sumber pendanaan serta teknologi. Agar inovasi yang ditargetkan tersebut dapat
berkembang maka dibentuk kelembagaan, yang disebut Klinik IPTEK Mina Bisnis. Klinik ini
memiliki peran yang besar untuk mengembangkan inovasi produk, proses, inovasi
pasar dan inovasi organisasi. Keputusan untuk mengembangkan produk Keumamah, dilakukan
melalui assessment oleh wadah klinik tersebut. Asessment inilah yang mendorong bahwa pasar
Keumamah perlu inovasi. Tiga konsepsi yang disebutkan diatas, ditelusuri melalui pendekatan
rantai manfaat Vermeulen, et al, 2008.
METODE PENELITIAN
Kegiatan ini merupakan kegiatan penelitian aksi, yang dilakukan untuk
mempelajari transformasi produk kuliner keumamah masuk ke pasar Anonim, 2007
a
. Pengamatan telah dimulai pada tahun 2012,
namun kajian mendalam dilakukan pada Tahun 2015.
Untuk memperoleh data yang terkait dengan hal tersebut, maka dilakukan wawancara
terhadap 10 pelaku pembuat ikan kayu yang tersebar pada 3 Kecamatan, yaitu: Kecamatan
Kecamatan Kuta Alam, Kuta Raja dan Kecamatan Meuraksa.
Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik usaha, kemampuan penguasaan aset
serta input output usaha pembuatan ikan kayu. Analisis data dilakukan dengan statistik
sederhana, dipadukan dengan analisis rantai manfaat, untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan dari simpul bahan baku sampai produk ikan kayu akhir. Sehingga diketahui
potensi pengembangan produk lanjutan Anonim, 2007
b
dan Anonim, 2007
c
. HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Suplai Bahan Baku
Cakalang dan Tongkol merupakan bahan baku utama untuk membuat ikan kayu
Keumamah. Tongkol dan Cakalang yang didaratkan di Banda Aceh ditangkap dengan
menggunakan alat tangkap Purse Seine. Alat tangkap ini dioperasikan oleh Kapal Motor
177
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
ukuran 20 GT - 30 GT jumlahnya sekitar 110 unit dan 30 GT – 50 GT jumlahnya sekitar 5
unit.
Produksi ikan yang didaratkan di Banda Aceh pada Tahun 2012 dan 2013 adalah 6.849,2
Ton dan 6.210,1 Ton. Pada Tahun 2012, Tongkol mencapai 11,3, dan Cakalang sekitar 34,9
serta Tuna Mata Besar 18,8. Pada Tahun 2013 tercatat Tongkol 12,8, Cakalang 20,6
dan Tuna Mata Besar 5,6.
Tongkol, Tuna dan Cakalang tersebut sebagian dipasarkan segar ke konsumen lokal,
dan pengolah ikan kayu, tetapi daya serap pasarnya terbatas. Pasar utama ikan-ikan kualitas
premium termasuk Tongkol, Tuna dan Cakalang adalah Belawan Sumatera Utara, karena pada
lokasi itu, terdapat beberapa pedagang besar eksportir dan industri pengolahan ikan yang
membeli dengan harga yang lebih baik.
Harga ikan Cakalang dan Tongkol yang mampu di beli pengolah ikan kayu, saat musim
ikan rata-rata sekitar Rp. 9.000 per Kg dan pada saat tidak musim ikan paceklik sekitar Rp.
15.000 per Kg. di Banda Aceh, hanya beberapa konsumen yang mau membeli ikan kualitas
premium dengan harga paling rendah Rp. 30.000 per Kg dan maksimal Rp. 50.000 per Kg dan
untuk kasus yang terakhir ini diduga untuk hotel dan restoran.
Perkembangan harga Tongkol dan Cakalang merupakan salah satu kendala pada industri yang
memproduksi ikan kayu. Untuk mendapatkan bahan baku ikan Tongkol atau Cakalang
pengolah harus bersaing memperoleh ikan dengan konsumen lokal dan bercermin pada
harga ikan di Belawan. Jika harga ikan Tongkol atau Cakalang di Belawan diatas Rp. 15.000 per
Kg, maka Tongkol dan Cakalang akan sulit diperoleh di Banda Aceh, semua ikan Tongkol
dan Cakalang tersebut akan dikirim ke Belawan.
Oleh sebab itu, untuk mendapatkan ikan Tongkol atau Cakalang sebagai bahan baku,
maka pengolah harus membangun jaringan sosial dengan nelayan – toke bangku pemilik ikan yang
didaratkan nelayan atau dengan perebus ikan. Dengan relasi ini para pengolah akan terjamin
mendapat pasokan bahan baku ikan Tongkol dan Cakalang sesuai yang dibutuhkan.
Keragaan ikan Cakalang yang dibeli pengolah dapat diperhatikan pada Gambar 1.
Secara visual ikan cakalang tersebut terlihat merupakan ikan yang masuk dalam katagori
mutu 2. Hal ini terjadi, karena penangganan ikan sejak di kapal dan setelah di bongkar terlihat
kurang baik. Es yang seharusnya mrnjadi bahan baku untuk mengawetkan ikan belum
membudaya penggunaannya saat transportasi dan
sebelum pengolahan.
Sumber: Koleksi Pengurus KIMBis, Cakradonya 2015
Gambar 1. Ikan Cakalang, Bahan Baku Pembuatan Ikan Kayu, 2015
Harga, Pasokan bahan baku dan Evolusi Bisnis Keumamah
Pembentukan harga ikan kayu pada tingkat pengolah tergantung pada harga bahan baku ikan.
Perkembangan kebutuhan bahan baku Tongkol dan Cakalang, harga ikan kayu glondongan pada
tingkat pengolah, harga beli bahan baku ikan pada tingkat pengolah serta seta margin harga
pada tingkat Pengolah dapat dipelajari pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan perkiraan kebutuhan ikan Tongkol dan Cakalang untuk pembuatan
ikan kayu. Kebutuhan ikan tersebut berfluktuasi, pada musim paceklik ikan Tongkol dan
Cakalang sulit ditemukan sekitar bulan November, Desember dan Januari suplai hanya
tersedia sekitar 60 Ton sampai dengan 90 Ton per Bulan. Pada Musim Paceklik tersebut, margin
harga pada pengolah cukup tinggi, namun
178
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
ketersediaan ikan sangat terbatas. Pada bulan Februari sampai dengan Bulan Oktober
kebutuhan bahan baku Tongkol dan Cakalang sekitar 250 Ton per bulan.
Harga jual ikan kayu glondongan ikan kering utuh pada tingkat pengolah pada musim
paceklik Nopember, Desember dan Januari relatif tinggi, berkisar antara Rp. 50.833 sampai
Rp. 57.500 per Kg. Sementara itu, harga ikan kayu glondongan pada bulan yang lain berkisar
antara Rp. 30 ribuan per Kg.
Margin harga ikan kayu pada tingkat pengolah yang ditunjukkan pada Tabel 2, dan
Gambar 1, memberi isyarat bahwa pada bisnis ikan kayu ini pengolah cenderung berperilaku
sebagai penjual ikan kayu gelondongan tanpa inovasi ke pasar, kepada pengolah yang lain
atau konsumen. Perilaku ini terjadi pada 75 dari usaha pengolah. Hal ini terjadi karena
mereka belum memiliki perangkat untuk mengembangkan inovasi dari bisnis produk
olahan mereka.
Fakta ini ditunjukkan oleh beberapa pengolah ikan kayu yang menjadi pemasok ikan kayu
untuk pengolah lain terutama untuk UD Tuna – Kapal Tsunami dan UD Thunnus Saputra.
Pasokan ini diperlukan terutama oleh UD Tuna untuk memenuhi permintaan pasar ikan kayu
irisan. Sementara UD Thunnus Saputra saat ini sudah tidak lagi menerima pasokan tuna
glondongan dari pengolah lain untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan, tetapi tetap
memproduksi ikan kayu irisan dengan mutu yang terjamin.
Ketergantungan pasokan ikan kayu gelondongan pada pengolah ikan kayu lain,
memiliki beberapa kelemahan, seperti: kualitas bahan baku tidak terkontrol, ikan kayu
gelondongan tidak bebas dari bahan pencemar serta jamur, bahkan ukuran ikan kayu
gelondongan tidak seragam.
Untuk memperbesar pangsa pasar dan meningkatkan margin, pada bisnis Keumamah di
Banda Aceh diperlukan inovasi lanjutan agar usaha tersebut menjadi sebuah industri yang
besar dan dapat memasok keperluan pasar. Dengan demikian, usaha pengolahan ikan kayu di
Banda Aceh harus berorientasi demand driven market. Demand driven market ini terbentuk
setelah eksplorasi inovasi produk derivatif ikan kayu yang dilakukan melalui kajian dan uji coba
oleh berbagai pihak. Eksplorasi inovasi ini terus dilakukan karena potensi pasar ikan kayu di Aceh
cukup besar terutama untuk pasokan jamaah haji dan umrah asal Aceh serta sebagai bagian dari
pasokan logistik korban bencana alam di Aceh.
Tabel 1. Perkembangan Harga dan Margin Pengolah Ikan Kayu di Banda Aceh,
2015
Bulan Bahan
Baku Ton
Harga Jual Ikan
kayu Glondong
an RpKg
Harga Bahan
baku RpKg
Margin Pengolah
Rpkg
Januari 80,9
56.815 15.413
10.576 Februari
255,0 34.167
11.000 1.167
Maret 255,0
31.667 9.000
4.667 April
233,8 30.883
9.000 3.883
Mei 281,6
30.556 8.233
5.857 Juni
195,8 26.667
8.233 1.968
Juli 241,3
31.667 9.000
4.667 Agustus
268,7 29.000
8.333 4.001
September 258,3
30.556 9.333
2.557 Oktober
275,0 30.000
8.667 3.999
Nopember 63,8
50.833 14.833
6.334 Desember
64,7 57.500
18.163 3.011
Rata-rata 206,2
36.692,6 10.767,3
4.390,6 Sumber: Data diolah dari hasil Survey Desember 2015
Perubahan orientasi pasar dengan inovasi lanjutan, saat ini mulai terlihat pada dua pengolah
di Banda Aceh. Perubahan itu terlihat dari transformasi produksi produk keumamah irisan
menjadi produk keumamah siap saji. Perubahan ini dilakukan melalui pendekatan jaringan sosial
antara pengolah di Banda Aceh – KIMBis Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan
179
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Perikanan – Balai Proses dan Kimia LIPI Gunung Kidul. Produk siap saji ini telah dicoba
dikemas dalam kaleng agar dapat disimpan dalam waktu lama. Namun, usaha ini terkendala
peralatan dan bahan baku kemasan Zulham dan Arthatiani, 2015.
Pada tahun 2015, produk Keumamah siap saji dalam kaleng dikemas di LIPI Gunung Kidul
Jogjakarta. Namun, proses ini tidak efisien karena biaya produksinya cukup besar dan harga
ikan kayu siap saji untuk ukuran 200 gram mencapai Rp. 35 ribu, sementara harga ikan
sarden kaleng di Banda Aceh sekitar Rp. 25 ribu untuk ukuran yang sama. Oleh sebab, itu inovasi
kemasan lanjutan sedang dilakukan dengan menggunakan kemasan plastik, yang dapat
memenuhi kriteria keamanan pangan dengan harga berkisar Rp. 12 ribu sampai Rp. 15 ribu per
200 gram.
Namun untuk mengembangkan Keumamah siap saji dalam kemasan plastik ini, harus melalui
jaringan sosial baru. Jaringan sosial yang sedang dibangun adalah antara pengolah ikan kayu –
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dan pengusaha yang memiliki modal
dan pasar – travel haji dan umrah di Banda Aceh dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Aceh.
Inovasi, Manfaat dan Kendala Bisnis Keumamah
Lambatnya perkembangan bisnis Keumamah di Banda Aceh, diperkirakan terkait
dengan terbatasnya informasi terkini tentang berbagai bentuk inovasi dan produk olahan
Keumamah, termasuk peralatan untuk memproduksi Keumamah, serta produk turunan
Keumamah sesuai dengan permintaan pasar.
Faktor utama dari lambatnya informasi inovasi pada bisnis Keumamah di Banda Aceh
diduga terkait dengan: a. margin harga Keumamah pada tingkat pengolah, b. profil
pengolah dalam mendapat teknologi dan informasi pasar.
a. Margin harga Margin harga Keumamah pada tingkat
Pengolah selisih antara harga jual Keumamah gelondongan dengan harga bahan baku Tongkol
Cakalang dalam satuan yang sama pada Gambar 2, menunjukkan insentif bisnis pada usaha
pengolahan Keumamah saat ini kurang menarik. Hal ini ditunjukkan juga oleh tidak
berkembangnya usaha ini sebagai sebuah industri menengah. Investasi skala besar belum melirik
usaha ini walaupun pasarnya cukup menjanjikan.
Gambar 2, menunjukkan margin harga pada pengolah Keumamah gelondongan relatif
kecil, rata-rata margin harga tersebut adalah Rp. 4.390 per Kg. Pada margin tersebut masih
terdapat upah tenaga kerja yang harus dibayarkan untuk proses lanjutan, biaya penyimpanan dan
susut, serta ongkos kirim. Kecilnya margin tersebut ditunjukkan oleh perilaku pengolah
dalam menentukan bentuk upah pekerja. Semua upah pekerja yang terlibat dalam usaha pengolah
ikan kayu ini dilakukan dengan sistim borongan. Sistim ini berkembang pada masyarakat dengan
kelebihan suplai tenaga kerja dan tingkat produktivitas pekerja yang rendah. Sebagai
catatan upah buruh kasar laki-laki di Banda Aceh adalah sekitar Rp. 75 ribu sampai Rp. 100 ribu
per hari. Pada usaha pengolahan ikan kayu ini tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja
perempuan, tenaga kerja ini kelebihan di Banda Aceh.
Kecilnya margin harga tersebut membuat terjadinya segmentasi usaha, segmentasi ini
membangun jaringan sosial bisnis baru antar sesama pengolah. Segmentasi ini menyebabkan
tumbuhnya usaha yang: a. hanya melakukan kegiatan perebusan dan penjemuran dan b
usaha pengolahan dengan produksi ikan kayu irisan. Dan c, sekarang sedang tumbuh usaha
pengolahan ikan kayu kuliner dalam kemasan dengan jaringan sosial seperti yang disebutkan
diatas.
180
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Gambar. 2. Perkembangan Harga Ikan Kayu dan Bahan Baku Per Bulan di Banda Aceh,
2015
b. Profil pengolah dalam mendapat teknologi dan informasi pasar.
Profil pengolah terhadap teknologi dan pasar punya peran penting dalam membangun
respon pengolah terhadap berbagai aspek dalam pengembangan bisnis Keumamah di Banda Aceh.
60 responden pengolah mendapat pengetahuan pembuatan Keumamah secara turun temurun, dan
sisanya belajar secara otodidak dengan melihat dan mencoba. Kesempatan untuk mengikuti
pameran dan pelatihan bisnis yang lebih advance sangat langka dan terbatas. Kesempatan tersebut
hanya didapatkan oleh pengolah tertentu saja terutama pengolah yang telah membangun
jaringan sosial dengan instansi pemerintah. Padahal, jika dipelajari Tabel 3,
pengusaha pengolahan ikan kayu di Banda Aceh merupakan pengusaha dengan omzet yang cukup
besar Rp. 30 Juta sampai Rp. 60 Juta per Bulan. Dengan omzet tersebut pengusaha dapat
mempelajari dan mengembangkan usaha pengolahan kearah yang lebih maju serta
membangun sistem bisnis yang dikelola oleh professional.
Sampai saat ini usaha pengolahan ikan kayu yang maju dan dikelola oleh professional
belum terwujud di Banda Aceh. Pengelola bisnis dilakukan konvensional. Ciri-ciri bisnis
pengolahan ikan kayu konvensional adalah: lokasi usaha masih bergabung dengan tempat
tinggal, pengelola usaha dilakukan sendiri atau anggota keluarga, peralatan masih manual,
pengembangan bisnis mengandalkan bantuan dan asistensi dari pemerintah, pengelolaan bisnis
hanya mempertahankan pangsa pasar yang ada dan tidak mengembangkan pangsa pasar baru.
Permasalahan pengembangan inovasi pada bisnis Keumamah di Banda Aceh tidak
hanya terletak pada aspek teknis semata tetapi terdapat aspek sosial ekonomi yang belum
diketahui dengan baik. Permasalahan pengembangan bisnis dan inovasi pada usaha
pengolahan Keumamah ini dapat dipelajari melalui analisis rantai manfaat bisnis
Keumamah pada Gambar 3. Analisis rantai manfaat pada Gambar 3,
menunjukkan, dalam bisnis ikan kayu di Banda Aceh terdapat beberapa manfaat yang diperoleh
dari keberadaan usaha tersebut. Namun manfaat tersebut sulit diwujudkan jika inovasi tidak
dikembangkan mulai dari hulu sampai hilir. Hal ini disebabkan margin harga pada setiap simpul
bisnis tersebut sangat tipis dari simpul bentuk produk ke simpul kemasan misalnya, margin
harga per kg adalah sebesar Rp.3.229.
Tabel 3. Rata- Rata Omzet Penjualan, Jumlah Tenaga Kerja dan Sistem Upah
padaPengolahan Ikan Kayu di Banda Aceh, 2015
Kecamatan Rata-rata Omzet, Jumlah Pekerja dan Upah
pekerja per Bulan Omzet Rp
Jumlah TK Org
Sistem Upah
Kuta Alam Rp. 30 Juta sd Rp.
50 Juta 2 sampai 5
Borongan Meuraksa
Rp. 30 Juta sd Rp. 50 Juta
2 sampai 5 Borongan
Kuta Raja 50 Rp. 5 Juta -
10 Juta 2 sampai 5
Borongan 50 Rp. 30 Juta -
50 Juta 2 sampai 5
Borongan
Sumber : diolah dari data hasil survey Oktober 2015
Oleh sebab itu, inovasi bisnis yang harus dikembangkan antara lain: inovasi kelembagaan
dalam bentuk Asosiasi Pengolahan Keumamah. Asosiasi ini diperlukan untuk mempersiapkan
pengembangan bisnis Keumamah menjadi
- 20.000
40.000 60.000
R UPIA
H
TAHUN 2015
Harga Ikan Kayu Gelondongan RpKg Biaya Bahan baku Ikan RP
181
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
industri skala menengah dan besar, menghimpun informasi tentang produk derivatif Keumamah
lainnya, membantu penerapan standar keamanan pangan
keumamah memperbaiki proses
pembuatan Keumamah agar mutunya premium, dengan . Inovasi kelembagaan dapat
mempercepat pengolah, membangun dan memperluas jaringan pasar.
Selain itu inovasi produk harus terus dikembangkan, untuk mendapat produk turunan
baru dari Keumamah, sehingga terbentuk segmen pasar baru yang dapat memperbesar pangsa
pasar Keumamah. Inovasi yang terakhir ini hanya dapat dilakukan oleh entrepreneur yang
mempunyai kemampuan intelijen pasar yang baik.
PENUTUP
1. Ikan kayu atau Keumamah merupakan produk olahan tradisional yang terdapat
dalam masyarakat aceh sejak lama. Kajian sejarah menunjukkan produk ini merupakan
produk introduksi karena interaksi dagang antara masyarakat aceh dengan dunia luar.
Namun kajian lain menunjukkan Keumamah merupakan produk asli aceh yang digunakan
saat perang Aceh. Saat ini, produk
Bahan Baku Proses
P d k i
Bentuk Produk Kemasan
Mutu Bahan Baku tidak
standar Ukuran
ikan Tidak Standar
Proses Produksi
Tidak Standar
Mengabai kan
Keamanan Pangan
Rupa kurang menarik dan
ukuran produk tidak standar
Kurang menarik, dan tidak unik. daya
tahan terbatas, berjamur
Kebutuha n pasokan
206 Ton per Bulan
Harga ≈
ikan kayu Kg Rp
32.302
Harga ikan kayu glondongan Rp
36.692 Kg Harga ikan kayu
irisan Rp 150.000 per Kg
Perebus sebagai pemasok ikan
kayu pengolah lain
Pasokan Tersedia
setiap Bulan
Harga Beli
masih Realistis
Menyerap 2 sd 5 TK per
Unit Usaha Bulan
Gelondongan dan irisan,
bentuk kuliner baru muncul
Kemasan Kotak berjendela dan
kemasan plastic biasa
Gambar 3. Analisis Rantai Manfaat Inovasi pada Usaha Pembuatan Keumamah di Banda Aceh, 2015
182
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Keumamah di Banda Aceh menjadi bagian bisnis yang mulai berkembang, namun
perkembangnnya masih memerlukan terobosan perubahan.
2. Bisnis ikan kayu keumamah di Banda Aceh belum menjadi sebuah industri skala
menengah. Industri ini masih dikatagorikan sebagai industri kecil skala rumah tangga,
karena pengelolaannya masih konvensional dan perkembangannya inovasinya berjalan
sendiri tanpa dukungan penuh dari pemerintah. Padahal potensi pasar lokalnya
cukup baik dan jika industri ini berkembang dengan berbagai inovasi, akan dapat
menyerap tenaga kerja sekitar 10 orang per pengolah bahkan memberi multiplier efek
pada tumbuhnya usaha baru lainnya.
3. Dari analisis rantai manfaat, masih diperlukan aksi yang lebih kongrit terhadap
pengembangan bisnis ini terutama oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Banda Aceh
dan Dinas Perindustrian, Koperasi dan UKM. Kegiatan aksi yang harus dilakukan adalah
memperbaiki proses pembuatan ikan kayu pada tingkat perebus, agar proses tersebut
mengikuti standar keamanan pangan. Membuat regulasi supaya industri
pengolahan ikan kayu mempunyai prosedur standar operasi baku sehingga produk
tersebut konsisten dan dapat masuk dalam sistem pasar global.
4. Memperbaiki kemasan dan branding produk kemasan disertai dengan etiket dalam multi
bahasa, sehingga produk tersebut dapat dipasarkan keberbagai segmen pasar dan di
ekspor.
5. Membentuk asosiasi pengolah ikan kayu, untuk mempercepat inovasi dalam
menghasilkan produk derivatif Keumamah dalam kemasan siap saji, dengan pendekatan
membangun relasi jaringan sosial antara pengusaha yang punya pasar dengan
pengolah. Asosiasi ini diharapkan dapat mempercepat transfer teknologi tentang cara
membuat produk baru.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Sosial Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan yang telah mengalokasikan anggaran sehngga kegiatan ini dapat dilaksanakan. Data
untuk mendukung kegiatan penelitian ini dikumpulkan atas bantuan pengurus Klinik
IPTEK Cakradonya Banda Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007
a
. Value Chain Analysis of Free Range Chicken in Cambodia. Value Chain
Analysis Report. Linking Small Farmers To Market Project. Asean Fondation and
Asia DHRRA
_______. 2007
b
. Value Chain Analysis of Calamansi in The Philippines. Value Chain
Analysis Report. Linking Small Farmers To Market Project. Asean Fondation and
Asia DHRRA
_______. 2007
c
. Value Chain Analysis of Tea in Thai Nguyen Province Vietnam. Value
Chain Analysis Report. Linking Small Farmers To Market Project. Asean
Fondation and Asia DHRRA.
Ardianto.C, F. Swastawati, P.H Riyadi. 2014. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Asap Cair
Terhadap Karakteristik Arabushi Ikan Tongkol Euthynnus affinis. Jurnal
Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Vol.3 No, 4 2014. UNDIP. http:
www.e-journal- s1.undip.ac.idindex.phpjpbhp
Arkroff, K. T. Kondoh and A. Scalafani. 2013. Dried Bonito Dashi: A Prefered Fish Broth
Without Pastoral Reward Action in Mice. Download from:
http:chemse . Oxford
.journal.org. January 13, 2016. Basral, AN. 2013. Napoleon dari Tanah
Rencong. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Hugronje. S 1906. The Achehnes. Dalam Hikayat dagang dan Perang dalam Kari
Aceh http:properti.kompas.comread2013040
308291935hikayat.dagang. dan . perang.dalam. kari.aceh
diunduh. 15 juni 2016.
Renniati. 2013. Kreativitas Organisasi dan Inovasi Bisnis. Inplementasi Pada IKM
Berbasis Kreativitas dan Budaya Menuju Keunggulan Bersaing Global. Alfabeta.
Bandung.
Schumpeter, J.A. 1934. The Fundamental Fenomenon of Economic Development, in
Mc. Spechler Perspective in Economic
183
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Thought. Mc. Graw-Hill International Edition,
Sunahwati, E 2000. Studi Karakteristik Arabushi Ikan Cakalang Kashuwonus
pelamis setelah Fermentasi Kapang. Skripsi Fakultas Kelautan dan Perikanan,
IPB. tidak dipublikasi. Utomo, BSB dan FR, Dewi. 2010. Kondisi dan
Permasalahan Industri Pengolahan Cakalang di Bitung Kasus Pengembangan
Unit Pengolah Ikan di Bitung. Analisis Kebijakan Pengembangan Industri
Pengolah Hasil Perikanan dan Kelautan, Balai Besar Pengolahan Produk dan
Bioteknologi KP. Jakarta. Zuraidah, S. 2014.Strategi Pemasaran Produk
Ikan Kayu Arabushi di Kota Banda Aceh. Thesis Master Univ. Hasanudin. tidak di
Publikasi.
Vermeulen, S. Woodhill, J. Froctor, FJ and Delnoye, R. 2008. Chain-Wide Learning
for Inclusive agrifood market development: a guide to multi-stakeholder processes for
linking small scale producers with modern markets. Iied – Wageningen Univ.
Research Center.
Zulham, A dan FY. Arthatiani. 2015. Laporan Akhir. Kegiatan Klinik IPTEK Mina Bisnis
Cakradonya. BBPSEKP. tidak dipublikasi.
184
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Innovation Network sebagai Basis Penguatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah UKM di Jawa Timur
Innovation Network as A Competitiveness Strengthening Basis of Small and Medium Enterprises SMEs in East Java
1
Edy Wahyudi
Program Studi Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember, Jl. Kalimantan 37, Jember, 68121
Keyword A B S T R A C T
Innovation Network, competitiveness, small and
medium enterprises Small businesses Medium Enterprises SMEs often get weak when
demanded to perform continuous innovation. The innovation process often gains obstacles because of the absence of studies of various aspects, the
low market response to the results of innovation, limited funds, and low motivation of business actors to innovate. Product differentiation and
marketing innovation requires a process of cooperation either with local governments, larger businesses, or with other similar businesses. This
study aimed to determine a competitiveness model of SMEs by emphasizing on aspects of innovation Network. The study focused on
elaborating the perspective of the mechanism in the networking process, elements of strength and networking dependence, and some unique
characteristics accompanying them. The research used descriptive qualitative approach to see the real conditions of how SMEs actors did
networking and increased their competitiveness. The research locations were in East Java with four regencies, namely Trenggalek, Tulungagung,
Blitar and Banyuwangi. Based on the study, the innovation network was still limited to the efficiency of production and market access and had not
reached the stage of networking that generated continuous innovation. The mechanism of the process of networking was mostly influenced by trust,
profit sharing and product quality assurance. Levels of business strength, partner resources and levels of market uncertainty also influenced
networking strength and dependence made.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
Innovation Network, daya saing, usaha kecil menengah
Usaha kecil Menengah UKM seringkali lemah ketika dituntut untuk melakukan inovasi berkelanjutan. Proses inovasi seringkali terhambat
karena tidak disertai dengan penelitian dari berbagai aspek, respon pasar yang rendah terhadap hasil inovasi, keterbatasan dana, dan motivasi pelaku
usaha yang rendah dalam berinovasi. Diferensiasi produk dan inovasi pemasaran membutuhkan suatu proses kerjasama baik dengan pemerintah
daerah, pelaku usaha yang lebih besar, ataupun dengan sesama pelaku usaha sejenis. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model daya saing UKM
dengan menekankan pada aspek innovation Network. Penelitian ini akan fokus mengurai dari perspektif mekanisme dalam proses networking,
elemen kekuatan dan ketergantungan networking, dan beberapa karakteristik unik yang menyertainya. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif untuk dapat melihat kondisi nyata bagaimana pelaku UKM melakukan networking dan meningkatkan daya saingnya. Lokasi
Penelitian di Jawa Timur di empat Kabupaten yaitu di Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil
penelitian, innovation network masih terbatas pada efisiensi produksi dan akses pasar, belum sampai pada tahap networking yang menghasilkan
inovasi berkelanjutan. Mekanisme proses networking lebih dipengaruhi faktor kepercayaan, berbagi keuntungan dan jaminan kualitas produk.
185
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
LATAR BELAKANG
Merujuk penelitian World Bank pada tahun 2010, nilai potensi ekonomi sektor
informal di Indonesia sekitar Rp. 2000 trilliun sampai dengan Rp. 2.500 trilliun. Hal ini
menggambarkan betapa pentingnya peran UMKM bagi perekonomian Jawa Pos, 3 Oktober
2016. Akhir tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami peningkatan 6,67.
Besarnya pertumbuhan ini melebihi nasional yang hanya 6,10 pada 2010. Jawa Timur saat
ini menduduki posisi kedua penyumbang Produk Domestik Regional Bruto sebesar 15,41 pada
2010 setelah DKI Jakarta sebesar 17,81.
Jatim juga memiliki jumlah industri kecil yang sangat dominan 97,80, sementara industri
menengah 2,09 dan usaha besar 0,10. Dominasi industri kecil ini ternyata juga mampu
menyerap tenaga kerja 60,12, sementara industri menengah 31,73 dan industri besar
hanya 8,15. Data terbaru 2016 menunjukan bahwa UMKM di Jatim sebesar 6.825.931
dengan menyerap lapangan kerja sebesar 11.117.439 jiwa. diskopumkm.jatimprov.go.id
Meskipun usaha kecil tersebut menggunakan teknologi rendah, namun kunci
kesuksesan usaha kecil tersebut adalah kreativitas, baik dalam hal menghasilkan kreasi
produk, teknologi tepat guna yang sederhana, citarasa dan packaging yang khas mamin khas,
dan kreativitas dalam memasarkan produk mereka Wahyudi, 2014
Wahyudi 2014 menambahkan bahwa berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku
usaha menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksi dan pemasaran produk mereka.
Penggunaan teknologi tinggi itu ditandai dengan menggunakan mesin otomatis, yang mampu
mengontrol kualitas mulai dari tingkat presisi ukuran produk, kualitas rasa jika itu terkait
dengan mamin, dan juga dari produktivitas kecepatan produksi. Berdasarkan hal tersebut,
peneliti menemukan bahwa pelaku usaha yang menggunakan teknologi tinggi adalah perusahaan
yang mampu secara kontinyu melakukan produksi dan melayani permintaan pasar
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wahyudi 2015 faktor market pull dan
technology push masih menjadi faktor kunci dalam mengembangkan pasar dan melakukan
inovasi. Pelaku usaha tidak gegabah melakukan market created tanpa melakukan penelitian pasar.
Penelitian pasar tersebut bukan seperti yang dilakukan perusahaan besar, namun setidaknya
pelaku usaha melakukan inovasi dengan melakukan produk baru, harus dilandasi dengan
pertimbangan yang matang, seperti kestabilan permintaan produk yang sudah ada secara
kontinyu. Artinya, inovasi produk yang dilakukan tidak akan berdampak terhadap pesanan yang
sudah ada, sehingga kalaupun inovasi produk baru tersebut gagal, tidak berdampak pada
pesanan produk yang sudah berjalan sebelumnya.
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa karakteristik
usaha kecil yang unik membuat penelitian terkait pemberdayaan dan daya saing tiada habisnya
untuk di eksplorasi. Problematika peningkatan daya saing ini akan terus ada, ketika preferensi
keinginan konsumen senantiasa berubah dan berkembang, peta persaingan yang terus
meningkat, dan berkembangnya teknologi informasi. Berangkat dari fakta inilah, penelitian
ini menjadi penting untuk dilakukan, karena berupaya meneliti usaha kecil dalam melakukan
innovation network dan meningkatkan daya saingnya.
Kekuatan skala besarnya usaha, sumberdaya mitra dan tingkat ketidakpastian pasar juga memberikan pengaruh kekuataan ketergantungan
networking yang dilakukan.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
186
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Penelitian ini difokuskan di empat Kabupaten yaitu di Banyuwangi, Tulungagung,
Trenggalek dan Blitar dengan pertimbangan memiliki potensi produk unggulan bervariasi dan
karakteristik kepariwisataan yang masih memungkinkan untuk dilakukan akselerasi.
Kabupaten Banyuwangi memiliki produk unggulan barupa batik, tari gandrung, kaos,
olahan buah dan wisata pantai yang ada di berbagai tempat di Banyuwangi. Kabupaten
Tulungagung memiliki produk unggulan konveksi, onyx, logam, makanan dan minuman
khas dan wisata pantai popoh. Kabupaten Blitar memiliki produk unggulan emping blinjo, batik,
pisau komando skala nasional, asesoris india berorientasi ekspor, kerajinan batok kelapa, gula
kelapa, gendang dan usaha sapi perah. Kabupaten Trenggalek memiliki produk unggulan meubel
kayu, genteng, batik dan kripik tempe. Berdasarkan hasil penelitian Wahyudi dan
Julianto 2013 berhasil mengungkap bahwa usaha kecil yang menggunakan teknologi rendah
non High tech dapat melakukan inovasi dan kreatifitas berdasarkan keunikan produk yang
mereka buat, dan mampu meredusir biaya produksi dengan menggunakan alat-alat
sederhana yang digunakan. Akses pasar juga menjadi faktor kunci dalam kelancaran produksi,
meskipun pelaku usaha mengakui bahwa dengan adanya teknologi yang lebih canggih akan
mampu mempercepat kapasitas produksi dan mampu melayani pasar yang lebih luas.
Meskipun berdasarkan data data yang ada peran UMKM dalam meningkatkan APBN
cukup tinggi, beberapa kendala terkait dengan kemampuan daya saing UMKM senantiasa
menjadi permasalahan. Banyak pelaku usaha yang merasa tidak didampingi, tidak difasilitasi,
dan kurang didekati pemerintah dalam menjalankan usahanya. Penelitian ini akan
mengidentifikasi proses networking, dan elemen kekuatan dan kelemahan networking.
Harapan dari penelitian ini adalah dapat mengurai model daya saing usaha kecil dengan
menekankan pada aspek innovation network agar dapat menciptakan inovasi berkelanjutan.
Sebenarnya, networking usaha kecil dapat dilakukan lebih terbuka terhadap inovasi open
innovation dengan menjalin networking dengan universitas terkait riset
dan pengembangan, perusahaan besar terkait
dengan partnership produk dan standardisasi kualitas produk, antar usaha kecil sendiri dalam
berkolaborasi untuk dapat mereduksi biaya pengadaan bahan baku atau melayani
permintaan yang lebih luas, dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat atau kelompok-kelompok
pemberdayaan masyarakat lainnya. Networking yang dilakukan harus disertai dengan strategi
pengembangan kapabilitas yang jelas, sehingga networking yang dilakukan dapat lebih
sustainable dan meningkatkan daya saing usaha kecil itu sendiri Wahyudi, 2014.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan
deskriptif, untuk dapat mendiskripsikan proses innovation network dan menemukan model
peningkatan daya saing yang dilakukan usaha kecil di Jawa Timur. Objek penelitian ini adalah
usaha kecil dan menengah yang memproduksi berbagai jenis produk yang sudah melakukan
kerjasama kemitraan partnership atau membuat jaringan network dan kolaborasi dengan
berbagai sektor, baik dengan sesama pengusaha, perusahaan yang lebih besar, perusahaan yang
lebih kecil, buyer, pemerintah, saluran distribusi ataupun pemasaran. Varian produk UKM
tersebut meliputi makanan dan minuman khas mamin khas, logam, konveksi, batik dan
kerajinan craft. Lokasi penelitian ini adalah di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Trenggalek,
Tulungagung, Blitar dan Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model
daya saing UKM dengan menekankan pada aspek innovation Network. Penelitian ini akan fokus
mengurai dari perspektif mekanisme dalam proses networking, elemen kekuatan dan
ketergantungan networking, dan beberapa karakteristik unik yang menyertainya. Proses
kedalaman informasi didapatkan peneliti melalui indepth interview dengan key informan kepala
dinas UMKM atau yang relevan di instansi pemerintahan terkait dan pemilik perusahaan
untuk mendapatkan data primer. Peneliti juga melakukan observasi dan penelitian dilapangan
187
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dengan melakukan pengamatan langsung proses inovasi yang dilakukan, kerjasama kerjasama
yang dilakukan, inovasi teknologi yang digunakan, dan mencermati akses pasar dan
pemasaran di lapangan.
KERANGKA TEORITIK Absorptive Capacity dan Network
Kemampuan usaha kecil menyerap absorptive capacity penting untuk
memperoleh nilai dari informasi baru, berproses assimilate dan mengaplikasikan
untuk di komersialisasikan. Pembelajaran teknologi menjadi hal penting dalam
keberhasilan inovasi, namun tidak mudah ditengah keterbatasan usaha kecil. Sumber
pembelajaran teknologi adalah dengan meningkatkan
networking. Networking
memungkinkan usaha kecil berinteraksi dengan perusahaan lain yang lebih bervariasi dan
berkelanjutan. Interaksi dengan supplier ataupun konsumen, dan juga infrakstruktur
teknologi adalah kunci mengelola inovasi sebagai proses pembelajaran sosial. Networking
dalam konteks ini adalah adanya hubungan kerjasama yang saling menguntungkan secara
kelembagaan, dan bukan secara individu. Tingkatan dari kerjasama ini dapat secara non
formal ataupun formal. Penguatan network dapat mengembangkan market linkage yang
lebih luas, diantaranya jumlah pelanggan dan supplier.
Networking usaha kecil dapat dilakukan dengan melakukan interaksi antara perusahaan,
kerjsama bisnis, vendors, supplier dan konsumen, atau dalam bahasa lain
stakeholders. Melalui network ini, perusahaan dapat bertukar, berkolaborasi berbagi
pengetahuan, informasi dan komunikasi.
Wahyudi 2013 mengatakan bahwa networking juga berbagi risiko, mendapatkan
teknologi dan pasar baru, produk lebih cepat sampai ketangan konsumen, dan saling
melengkapi keahlian. Networking membuka akses pengetahuan eksternal yang lebih luas
meliputi vendors, partner, pesaing dan teknologi.
Fierro 2011 mengatakan bahwa proses kerjasama bisnis ataupun inovasi
memungkinkan munculnya innovation network, baik berupa inovasi produk, inovasi pemasaran
ataupun meningkatnya proses kerjasama antar pengusaha sendiri sehingga meningkatkan
skala produksi. Networking dan kolaborasi juga memungkinkan pengembangan investasi,
fleksibilitas organisasi dan meningkatnya kinerja secara keseluruhan.
Co Innovation Model
Co Innovation merupakan konsep dari Bitzer and Bijman 2015 yang meneliti rantai
nilai inovasi usaha pangan di Afrika. Konsep ini dinilai sebagai upaya koordinatif strategis dimana
Co innovation ini di urai menjadi 3 proses yaitu collaboration, complementary dan coordination.
Fierro et all. 2011. Value creation dalam kerjasama bisnis
188
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Collaboration meliputi multi aktor yang terlibat dalam proses inovasi. Kolaborasi yang dimaksud
adalah bagaimana kerjasama public privat partnership dalam promosi, pelatihan, inovasi
produk dan pemasaran dapat dilakukan. Sinergi ini secara teoritik sudah banyak di analisis
keberhasilannya, namun lemah dalam keberlanjutan kerjasamanya. Hal ini terjadi
karena seringkali terjadi perbedaan pandangan soal kerjasama tersebut, perbedaan visi dan
orientasi pengembangan, permasalahan politis di level birokrasi dan berbagai macam
permasalahan lainnya. Kolaborasi tidak hanya dengan sektor pemerintah, melainkan dapat
dilakukan kerjasama dengan mitra atau kelompok usaha yang memungkinkan dilakukan dengan
orientasi keberdayaan. Adanya kolaborasi ini akan memungkinkan terjadi peningkatan
kekuatan daya saing, mulai dari pengadaan bahan baku, pengadaan alat produksi yang digunakan
bersama, penguatan akses pasar, dan pemasaran bersama ataupun bundling strategy.
Complementary atau komplementer adalah bagaimana perusahaan yang dalam hal ini
usaha kecil mampu mengkombinasikan dengan cerdas antara kondisi faktor faktor produksi yang
dimiliki perusahaan dengan keberanian pemimpin perusahaan yang dalam hal ini pelaku
usaha kecil untuk mengadopsi teknologi, baik itu teknologi tinggi high tech ataupun teknologi
sederhana non high tech. Makna komplementer disini adalah inovasi membutuhkan perubahan
mendasar tidak hanya dalam pengembangan produk, namun juga mindset, sehingga ketika
inovasi dilakukan, ia akan membawa potensi ikutan perubahan lain yaitu teknologi, saluran
distribusi, strategi pemasaran dan akses pasar. Imbasnya adalah adanya perubahan dalam desain
kemasan, inovasi kelembagaan yang lebih efektif dan efisien sehingga dapat meningkatkan daya
saing usaha kecil itu sendiri.
Coordination dimaknai sebagai upaya internal untuk mempersiapkan mulai tahap
operasional produksi hingga proses pemasaran. Koordinasi dibutuhkan sebagai upaya
memudahkan langkah implementasi program yang sudah ada. Koordinasi ini juga dimaknai
sebagai fungsi kontrol pada penahapan dalam implementasi proses inovasi. Dalam hal ini
terdapat transfer pengatahuan dan kapabilitas inti dari sumberdaya yang ada. Pertukaran informasi
juga dimungkinkan dalam proses ini sehingga menjaring peluang peluang melakukan efektivitas
distribusi ataupun pemasaran. Tahap koordinasi
ini juga membuat mekanisme kelembagaan yang sudah dibentuk menjadi semakin kuat.
Kesuksesan dalam networking tidak cukup hanya karena dua organisasi melakukan
pekerjaan yang sama. Burdon 2015 menekankan beberapa tahapan dalam proses
networking dan kolaborasi usaha kecil, yaitu fase tradisional, dimana proses kerjasama yang
dilakukan hanya pada menjalankan aktivitas bersama atau secara outsourcing, kemudian
berlanjut kepada kepercayaan melakukan kolaborasi dan kerjasama, dan terakhir pada
peningkatan kerjasama strategik. Belajar dari beberapa kasus, Burdon 2015 mencatat bahwa
1 kesuksesan networking dalam meningkatkan inovasi tidak semudah yang dibayangkan karena
melibatkan kerjasama dua organisasi. Harus ada dukungan visi dan proses dan meningkatkan
keunggulan inter organisasional dalam kolaborasi. 2 responden mengatakan
berdasarkan innovating experience environment bahwa proses detail kontrak justru membuat
mereka merasa terhambat dalam melakukan inovasi. 3 pelaku usaha mengingatkan
189
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
perubahan radikal ketika inovasi dilakukan dari staf, sumberdaya perusahaan, perencanaan,
sistem manajemen untuk menghadapi tantangan. 4 symmetric partnership dimana dukungan
informasi dibutuhkan untuk menyamakan orientasi pengembangan inovasi yang sama.
Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil
Liu and Zhang 2012 mengatakan bahwa lingkungan yang bergejolak atau dikenal
dengan istilah hyper competitive environment digambarkan sebagai kondisi dimana tingkat
persaingan semakin pesat yaitu suatu kondisi yang mencakup pertarungan posisi antara harga
dan kualitas, penciptaan ilmu baru, dan pengembangan manfaat sebagai pioner first
mover advantage. Stabilitas pasar akan terancam dengan kehadiran produk baru, teknologi baru
dan pesaing baru secara konstan Humphreys, 2005. Desain organisasi pada usaha kecil yang
fleksibel memungkinkan usaha kecil beradaptasi terhadap perubahan orientasi pasar Feigenbaum
and Karnani, 1991. Apabila diperbandingkan dengan usaha besar, usaha kecil mampu
mengimplementasikan secara baik manajemen praktis seperti fleksibilitas promosi, contohnya
mendapatkan subkontrak kerja, menggunakan tenaga kerja paruh waktu, dan pembuatan
regulasi pekerja sesuai dengan kemampuan usaha kecil tersebut Ruigrok et al., 1999
Persaingan yang semakin ketat mendorong perusahaan untuk meningkatkan daya
saingnya. Daya saing strategis dicapai ketika perusahaan berhasil memformulasikan dan
menerapkan strategi penciptaan nilai a value creating strategy. Perusahaan yang berhasil
mengimplementasikan suatu strategi yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain atau terlalu
mahal untuk menirunya, perusahaan ini memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan sustainable
competitive advantageHitt et al., 2001.
Inovasi merupakan faktor penting sebagai upaya perusahaan untuk mendiferensikan
produk, sehingga inovasi harus dikelola dengan lebih baik daripada pesaingnya Kotler dan
Armstrong, 2009. Menurut Drucker 1991 inovasi adalah cara-cara yang digunakan
pengusaha untuk menciptakan sumber daya baru yang memproduksi kekayaan atau
mendayagunakan sumber daya yang sudah ada dan merupakan sumber kompetitif dalam
perekonomian global, dan daya saing strategis perusahaan. Menurut Gilbert, 2003 dalam Elitan
dan Anatan, 2009 inovasi adalah perubahan yang dilakukan dalam organisasi yang
didalamnya mencangkup kreatifitas dalam menciptakan produk baru, jasa, ide, atau proses
baru. Menurut Ellitan dan Anatan 2009 produk baru sering dilihat sebagai cutting edge of
innovation di pasar, proses inovasi berperan sebagai strategic role. Sehingga keberhasilan
membuat sesuatu lebih baik dari pesaingnya, hal tersebut merupakan sumber keunggulan yang
penting.
Peningkatan daya saing usaha kecil sering menemui kendala karena skala ekonomi
dan sumberdaya mereka yang kecil dibandingkan dengan perusahaan besar. Kompensasi dari
kelemahan tersebut, usaha kecil mampu menerapkan fleksibilitas karena organisasi
internal mereka yang sederhana, yang memungkinkan mereka merespon dan
beradaptasi dengan perubahan Sanchez and Marin, 2005.
Tidd 2000 mengatakan bahwa ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki usaha kecil
yaitu kompetensi teknologi, organisasi dan pasar. Sedikit berbeda dari hasil riset yang
dikemukakan Ritter 2006 yang mengatakan bahwa kompetensi harus mencakup kompetensi
produk, proses, pasar dan kompetensi komunikasi.
Hill and Jones 1998 menjelaskan langkah-langkah sistematis menuju keunggulan
kompetitif the roots of competitive advantage yang dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:
190
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Suatu perusahaan dapat saja memiliki banyak kekuatan dan kelemahan dibandingkan
dengan para pesaingnya, tetapi ada dua tipe dasar keunggulan bersaing yang dapat dimilikinya:
biaya rendah low cost atau diferensiasi defferentiation Porter, 1985.
Perusahaan memilih satu atau beberapa atribut yang oleh banyak pembeli dalam industri
ini dipandang penting, dan menempatkan dirinya secara unik untuk memenuhi kebutuhan ini.
Karena posisi yang unik khas itu, perusahaan yang layak untuk menetapkan harga premium
premium price.
Menekan biaya tidak harus selalu mengorbankan diferensiasi. Banyak perusahaan
berhasil menemukan cara menekan biaya tanpa mengorbankan diferensiasi, bahkan
meningkatkan diferensiasi dengan menggunakan teknologi yang berbeda. Perusahaan yang dapat
mencapai keunggulan biaya dan diferensiasi secara simultan, imbalan yang akan dinikmati
akan sangat besar karena manfaat kedua strategi ini saling melengkapi. Diferensiasi
memungkinkan harga premium dan pada saat yang sama keunggulan biaya berarti biaya yang
lebih rendah.
HASIL PENELITIAN Karakteristik Unik Usaha Kecil di Jawa
Timur Berdasarkan hasil penelitian di lokasi
penelitian, keunikan UKM yang ada adalah pada kemampuan mereka bertahan hidup.
Survei yang dilakukan pada empat Kabupaten di berbagai varian usaha menunjukkan bahwa
kemampuan rata rata UKM yang hidup adalah pelaku usaha yang mampu melakukan
diferensiasi produk, mampu menekan ongkos produksi dan menguasai pasar secara
berkelanjutan. Hal ini menarik karena tidak semua UKM menggunakan teknologi tinggi
seperti mesin otomatis yang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam waktu singkat dan
dengan tingkat presisi yang tinggi. Beberapa hal terkait dengan deferensiasi produk nampak
pada usaha makanan dan minuman khas mamin khas yang mampu membuat jajanan
khas daerah masing masing, yang tidak saja unggul dalam rasa, namun juga dikemas
dengan desain yang menarik. Beberapa mamin khas dari masing masing daerah memiliki
kesamaaan nama namun berbeda dalam kemasan dan rasanya. Seperti madumongso,
geti, kripik tempe, sale pisang, krupuk rambak tidak hanya di produksi di satu daerah saja,
namun bisa di beberapa daerah. Menyadari hal tersebut, pembeda dari produk itu adalah dari
rasa dan kemasan yang mudah dilihat oleh konsumen. Wahyudi 2014 mengatakan,
meskipun usaha kecil tersebut menggunakan teknologi rendah, namun kunci kesuksesan usaha
kecil tersebut adalah kreativitas, baik dalam hal menghasilkan kreasi produk, teknologi tepat guna
yang sederhana, citarasa dan packaging yang khas mamin khas, dan kreativitas dalam
memasarkan produk mereka. Zuhal 2010 menandaskan bahwa usaha kecil seringkali harus
melalui proses mencari searching, memutuskan decision dan mencoba trial. Kemampuan
bertahan usaha kecil di Trenggalek, Tulungagung, Blitar, dan Banyuwangi juga
didasari dengan tahapan mencari search, tidak serta merta produk produk mereka bisa diterima
dengan mudah di pasar. Meskipun search yang Sumber : Hill and Jones 1998 The Roots of Competitive Advantage
Resources
Distinctive Competencies
Capabilitas Superior
Efficiency Quality
Innovation Low cost
Differentiation Value
Creation Higher
Profits
191
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dilakukan dilakukan secara tradisional hanya dengan melihat produk pesaing, perbandingan
harga, dan melihat daya beli, ternyata dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap
luaran produk yang mereka hasilkan. Beberapa pengusaha alat alat dapur di Kabupaten
Tulungagung menuturkan bahwa proses searching mereka adalah dengan bekerja ikut
orang sebagai pegawai biasa di perusahaan besar, kemudian memberanikan diri membuka usaha
sendiri dengan teknologi sederhana yang dimiliki dengan kapasitas produksi yang juga terbatas.
Kebanyakan pelaku usaha kerajinan alat dapur yang sekarang sukses adalah pernah menjadi
pegawai. Mereka mengatakan bahwa pangsa pasar yang masih terbuka luas membuat mereka
berani membuka usaha sendiri. Proses pengambilan keputusan ini beriringan dengan
proses trial tergolong unik. Proses eksekusi bentuk produk, cara mengemas packaging,
hingga penentuan harga yang mereka lakukan menunjukkan proses trial yang mengandung
risiko kegagalan yang tinggi. Ketiga hal inilah yang membuat daya saing mereka teruji,
sehingga produk mereka sukses.
Diferensiasi yang dilakukan UKM sangat beragam, tergantung dari produk yang mereka
hasilkan. Pak Suwarni yang memproduksi gamelan di Trenggalek mengatakan bahwa usaha
yang dia lakukan cukup jarang yang memproduksi sejenis. Pak suwarni melengkapi
dengan memproduksi wayang, jaranan, pakaian tari, blankon dan pernik pernik pertunjukan
lainnya. Tidak semua pengusaha gamelan yang melengkapi produknya dengan beragam pilihan
pendukung, sehingga sering mendapat pesanan dari berbagai daerah dan sekolah sekolah yang
mengembangkan kesenian tradisional. Kerajinan batik dari berbagai daerah penelitian juga
melakukan deferensiasi dengan mengembangkan desain produk yang unik berdasarkan kekhasan
daerah dan juga ikon ikon daerah. Usaha batu fossil juga memiliki tingkat diferensiasi yang
tinggi, dimana Pak Nanang selaku pengusaha batu fossil mengatakan bahwa usaha ini
berorientasi ekspor karena peminat dalam negeri justru rendah. Berorientasi ekspor karena buyer
luar negeri berani mematok harga lebih mahal dari pada pasar domestik. Produk tersebut unik,
karena proses mencari batu fossil yang cukup sulit yaitu harus di gunung gunung purba dengan
menggali hingga kedalaman empat meter. Proses produksi mulai dari penggalian, pemindahan
batu, pemotongan hingga finishing membutuhkan waktu lama dan proses yang sulit. Tidak heran
jika produk batu fossil memiliki harga premium karena tingkat keunikan yang tinggi.
Inisiasi Innovation Network
Proses innovation network masih dalam tahapan inisiasi. Tidak semua pelaku usaha
menganggap penting melakukan innovation network. Innovation network dalam proses yang
paling mendasar seperti melakukan kolaborasi saja, masih banyak pelaku usaha yang enggan
melakukannya. Berdasarkan hasil penelitian, banyak UKM yang tidak melakukan kolaborasi.
Ada banyak alasan mengapa pelaku usaha enggan untuk melakukan kolaborasi dengan
pelaku usaha lain. 1 perusahaan menganggap tidak ada alasan mendesak melakukan kolaborasi
dengan perusahaan lain, karena merasa telah memiliki semua kapabilitas dan semua
sumberdaya untuk melakukan pengembangan atau inovasi. 2 perusahaan khawatir lepasnya
pengusaan teknologi mereka, jika mereka melakukan kolaborasi. Penggunaan teknologi
yang digunakan ingin dikuasai secara eklusif, sehingga dengan berkolaborasi, teknologi yang
digunakan akan dengan mudah di tiru. 3 keengganan melakukan kolaborasi juga
disebabkan mereka yakin bahwa inovasi yang dihasilkan dari kekuatan sendiri adalah bagian
dari proses perusahaan dalam mengembangkan dirinya. Beberapa pelaku usaha dilokasi
penelitian menunjukkan hal tersebut. Banyak pelaku usaha yang menggunakan teknologi hasil
rekayasa mereka sendiri, sehingga tidak semua orang dapat masuk kelokasi perusahaan, karena
itu merupakan kunci efisiensi proses produksi yang mereka lakukan. Ada juga perusahaan yang
dengan prinsipnya memandang bahwa lebih baik berjalan dengan kekuatan sendiri. Hal ini senada
dengan temuan dari Wahyudi 2013 dan Wahyudi dan Djulianto 2013 yang mengatakan
bahwa usaha kecil tidak mau ribet dengan urusan yang mengganggu proses keseharian produksi
mereka, jangankan melakukan kolaborasi,
192
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
mengikuti program pelatihan dari pemerintah saja mereka enggan karena akan mengganggu
produktifitas mereka dalam bekerja.
Fakta bahwa berkolaborasi menguntungkan dari berbagai sisi, Schilling
2015 mengatakan keuntungan berkolaborasi diantaranya: 1 berkolaborasi dapat
memampukan sebuah perusahaan memperoleh keahlian atau sumber daya yang diperlukan
secara lebih cepat dibanding dengan melakukan pengembangan sendirian. 2 memperoleh
sebagian dari kapabilitas dan sumberdaya yang diperlukan dari mitra, sehingga dapat menghemat
penggunaan aset dan meningkatkan fleksibiltasnya. 3 menjadi sumber pembelajaran
penting bagi perusahaan, transfer pengetahuan, dan mengembangkan sumberdaya dan kapabilitas
secara lebih cepat, 4 berbagi biaya pengembangan, 5 menciptakan standar bersama
terkait produk baru. Fakta dilapangan menunjukan bahwa kolaborasi yang dilakukan
pelaku usaha masih sebatas pengadaan bahan baku agar lebih murah, hal itu dilakukan
perusahaan alat dapur di Tulungagung yang mendatangkan bahan baku logam secara
berkelompok. Kendala lain dalam berkolaborasi adalah karena para pelaku usaha sejenis memiliki
orientasi individu yang berbeda dalam melihat pasar dan mengembangkan usahanya. Hal itu
dirasakan pelaku usaha genteng Uye kayen yang menggunakan teknologi press dan melapisi
genteng dengan lapisan keramik sehingga kualitas keramik lebih bagus, tahan lama, dan
anti lumut. Ajakan berkolaborasi dengan pengusaha genteng di sekitar wilayah Trenggalek
tidak mendapat respon positif, sehingga perusahaan Uye Kayen seakan menjadi produsen
tunggal genteng berlapis porselen. Keengganan tersebut dapat disebabkan beberapa faktor,
diantaranya adalah 1 harga genteng menjadi lebih mahal, sehingga ada kekhawatiran
berdampak terhadap respon pasar, 2 keengganan mencoba hal hal baru yang belum pasti, 3 tidak
suka mengambil risiko take a risk.
Koordinasi innovation network yang dilakukan UKM di Jawa Timur masih tradisional
dimana proses kerjasama yang dilakukan masih sebatas bekerja bersama menjalankan aktivitas
bersama atau secara outsourcing, kemudian berlanjut kepada kepercayaan melakukan
kolaborasi dan kerjasama. Orientasi kearah kerjasama strategik dengan menghasilkan inovasi
masih belum dilakukan. Konsep Gardet and Mothe 2012 mengatakan bahwa koordinasi
inter organisational relationship dapat dilakukan dengan mekanisme 1 type of exchange, 2 trust,
3 sharing of benefits, 4 guarantees, 5 conflict resolution tidak mudah dilakukan karena
karakteristik UKM yang ada masih dikelola dengan manajerial tradisional. Mekanisme proses
networking lebih didasari faktor kepercayaan, berbagi keuntungan dan jaminan kualitas produk.
Survey kebeberapa pelaku usaha di lokasi penelitian menemukan hal tersebut. Pak Narto
pelaku usaha kripik kentang dari Tulungagung UD. Graha Food yang produknya dikirim ke
Malaysia dan Singapura mengatakan bahwa proses networking yang dilakukannya dengan
memberikan sampel produknya ke TKI yang kebetulan juga menjadi pengusaha di sana. Even
dalam negeri di ikuti Pak Narto dengan mengikuti pameran ataupun kegiatan kegiatan
yang dilakukan pemerintah daerah. Proses mendapatkan buyer dari luar negeri melalui
sistem maklon, dimana proses pengiriman produk tanpa label merek. Jadi proses pelabelan di
Malaysia dan Singapura menggunakan merek lain. Network seperti ini hanya didasarkan atas
kepercayaan trust dan melalui mekanisme jual beli seperti biasa. Kontrol kualitas memang
dilakukan, namun hanya diawal ketika proses transaksi akan dilakukan, sehingga lebih
didasarkan atas kepercayaan. Hal yang sama juga terjadi di beberapa pelaku usaha kripik singkong
di Trenggalek mengirim kripik singkong dan kripik pisang ke Lumajang dengan sistem
maklon. Perusahaan kelas menengah seperti kacang shanghai Gangsar di Tulungagung juga
bekerjasama dengan retail modern indomaret dengan sistem maklon. Pelaku usaha menuturkan
bahwa sistem maklon menjadi pilihan karena pelaku usaha tidak memiliki akses pasar jaringan
pemasaran sehingga dengan sistem ini mereka dapat secara kontinyu berproduksi. Sistem ini
juga memberikan keuntungan bagi buyer karena mereka dapat berhemat tempat produksi dan
tidak berfikir tentang pengelolaan tenaga kerja think as a trader.
193
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Networking yang ada cukup bervariasi, meskipun masih tradisional dan seringkali
informal, sudah ada kerjasama antar pengusaha sejenis, perusahaan yang lebih besar, perusahaan
yang lebih kecil, buyer, pemerintah, jaringan distribusi dan pemasaran. Berbeda dengan
networking level dalam negeri, untuk produk orientasi ekspor, UKM tetap harus sesuai
prosedur ekspor. Pak Narto pengusaha kripik dan Pak Nanang pengusaha batu fossil mengatakan
bahwa prosedur ekspor mulai kelengkapan surat perijinan, packaging, hingga quality control
menjadi syarat yang harus dipenuhi, meskipun demikian terkait dengan innovation network,
mereka
mengatakan bahwa seharusnya pemerintah supporting dengan fasilitasi alat
produksi atau akses pasar, tidak hanya sekedar melakukan pelatihan manajemen, keuangan
ataupun teori teori tentang pemasaran.
Kekuatan dan Ketergantungan Networking dan Kolaborasi
Networking pelaku usaha meskipun masih dalam level tradisional memberikan
kekuatan bertahan hidup bahkan dapat meningkatkan daya saing usaha kecil mereka.
Kelancaran dalam proses produksi dan efisiensi bahan baku membuat pelaku usaha dapat
menciptakan inovasi produk baru. Pak Narto yang awalnya hanya membuat kripik kentang,
juga membuat inovasi produk baru dengan membuat kripik singkong dan sukun. Inovasi
proses juga dilakukan dengan membuat wajan yang lebih efektif dan efisien dalam
penggorengan. Kekuatan networking dalam skala ini seringkali juga memaksa pelaku usaha
melakukan inovasi berdasarkan pesanan innovation by order. Proses imitation dengan
menerima pesanan sesuai contoh yang dibawa buyer sering dilakukan oleh pengusaha alat alat
dapur. Pak Haji Ilyas dan Pak Yoyon sering menerima pesanan melalui sampel produk yang
dibawa buyer, mereka dituntut untuk segera memutuskan apakah produk pesanan tersebut
dapat dikerjakan atau tidak, termasuk dengan harga grosirnya pada hari itu juga. Hal ini jarang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha lain, bahwa proses pengambilan keputusan berinovasi dan
memutuskan harga grosir dapat dilakukan, bahkan sebelum barangnya di produksi. Network
akan terbentuk sesuai dengan karakter produk dengan segala keunikan dalam proses
kerjasamanya.
Networking dan partnership yang
dilakukan usaha kecil menciptakan ketergantungan di beberapa aspek. Gardet and
Mothe 2012 mengatakan bahwa ketergantungan tersebut dipengaruhi beberapa faktor, 1 partner
size, biasanya semakin besar partner mempunyai kecenderungan kekuatan negosiasi yang lebih
besar. 2 partner resources, kerjasama dilakukan dengan penyedia sumberdaya, baik dari aspek
tangible seperti finance, keahlian dan kepakaran maupun dari aspek intangible seperti reputasi dan
network relation. 3 kepentingan strategis proyek, dimana semakin tinggi proses bisnis yang
melibatkan innovation network, semakin tinggi ketergantungan dengan anggota lain. Hal ini
merupakan kelemahan karena tingkat ketergantungan yang semakin tinggi membuat
kekuatan kemandirian usaha kecil semakin rendah. 4 ketidakpastian, kekuatan kerjasama
jangan diliputi ketidapastian. Hal ini sering terjadi pada pola networking ketika perilaku
partner sulit diketahui perilakunya. 5 urgensi dari kerjasama, dimana faktor waktu kehadiran
menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kerjasama. Kehadiran saat proses produksi
ataupun hal lain sangat penting untuk mengatasi permasalahan yang mungkin terjadi, sehingga
dapat dikomunikasikan secara langsung. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa ketergantungan
yang timbul dari proses networking itu adalah dari sisi partner resources dan ketidakpastian
uncertainty.
Keterbatasan finansial seringkali membuat kemampuan berproduksi mereka
terbatas, karena keterbatasan modal yang dimiliki, juga gagal memberikan kepercayaan
kepada bank untuk memberikan kredit lebih besar. Pola kerjasama outsourcing biasanya
dilakukan dengan memberikan pekerjaan kepada karyawan untuk dapat dikerjakan dirumah.
Outsourching ini sebenarnya lebih tepat dengan istilah karyawan yang bekerja borongan.
Karyawan model ini dapat mengerjakan tugas perusahaan di rumah dan menyetorkan kepada
194
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
perusahaan disaat tertentu dan mendapatkan gaji setiap minggu berdasarkan hasil kerjanya. Pola
kerja sistem ini sebenarnya menciptakan sinergisitas produktivitas dan efisiensi disaat
yang bersamaan, karena pelaku usaha tidak perlu menyediakan tempat usaha yang luas. Risiko
ketergantungannya adalah dengan sistem ini kontrol terhadap kualitas harus dilakukan, karena
tentu lebih sulit mengawasi kualitas kerja karyawan karena mereka mengerjakannya diluar
areal perusahaan. Risiko lainnya adalah ketergantungan yang tinggi terhadap karyawan
apabila mereka keluar dari perusahaan karena alasan pindah keperusahaan pesaing ataupun
mendirikan usaha sendiri. Hal tersebut rentan terjadi karena rata rata pelaku usaha yang sukses
saat ini juga berawal dari karyawan biasa.
Risiko ketidakpastian juga sering terjadi karena pelaku usaha tidak memiliki kekuatan dari
aspek legal formal berupa kesepakatan tertulis. Kesepak
atan kerjasama sering terjadi secara informal karena didasari rasa saling
percaya. Pelaku usaha mengatakan bahwa mereka tidak terlalu mempermasalahkan proses
kerjasama informal seperti ini, meskipun beberapa pelaku usaha pernah di tipu atau
kemudian order dibatalkan sepihak, namun mereka hanya menyadari bahwa itu bagian dari
risiko bisnis yang mereka jalankan.
Innovation Network sebagai Basis Penguatan Daya Saing
Innovation network yang ada pada usaha kecil di Jawa Timur masih terbatas pada efisiensi
produksi dan akses pasar. Network yang dilakukan masih belum pada taraf kolaborasi
menghasilkan inovasi baru baik inovasi produk, proses maupun inovasi teknologi. Dinas instansi
terkait sebenarnya sudah mengalokasikan anggaran pemberdayaan melalui pelatihan
pelatihan dan fasilitasi, namun dirasakan pelaku usaha belum mampu membuat innovation
network. Pelaku usaha seringkali merasakan bahwa kehadiran pemerintah masih sebatas
membantu urusan perijinan usaha ataupun sesekali memberikan fasilitasi ruang pameran.
Even even seperti pameran memang memberikan manfaat promosi dan akses pasar yang efektif,
namun tidak semua pelaku usaha mendapat kesempatan mengikuti even tersebut, disamping
even tersebut juga hanya dilaksanakan sesekali saja selama setahun. Berdasarkan hasil penelitian,
Kabupaten yang intensif mengajak pelaku usaha kecil mempromosikan produknya adalah
Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi sudah memiliki kalender kegiatan selama setahun
yang berkaitan dengan kepariwisataan dan selalu melibatkan usaha kecil dalam even tersebut.
Network yang sudah dilakukan menjadi inisiasi proses innovation network yang potensial,
meskipun saat ini proses tersebut belum memberikan hasil, upaya pemerintah Kabupaten
Banyuwangi dalam mempromosikan daerah dan melibatkan UKM menjadi trigger proses
innovation network.
Berdasarkan hasil penelitian, sebenarnya peran pemerintah diharapkan dapat mendorong
adanya innovation network. Pemerintah dapat mendorong berbagai elemen mulai dari pelaku
usaha, perbankan, perguruan tinggi, dan perusahaan besar untuk bersinergi membuat pilot
project innovation network. Peran pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati perlu memberikan
dorongan di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD terkait untuk membuat program
sinergi agar ada UKM unggulan sebagai contoh membentuk innovation network. Stimulasi ini
penting karena seringkali masukan dari pelaku usaha adalah peran pemerintah yang minim dan
terkesan bahwa program program pemberdayaan dan pelatihan hanya bernuansa proyek semata.
Networking yang ada seringkali dilakukan secara informal dan mengandalkan kepercayaan saja.
Adanya teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini sebenarnya
memudahkan dalam mempromosikan dan meningkatkan akses pasar. Peran pemerintah
dalam memfasilitasi promosi dan akses pasar harus dilakukan, karena tidak semua pelaku
usaha memiliki kemampuan mengadopsi teknologi internet dalam pemasaran mereka.
Setiap pemerintahan daerah setiap tahun seharusnya memiliki UKM unggulan yang benar
benar dikelola dan di support penuh untuk memiliki daya saing yang tinggi, sehingga akan
ada beberapa UKM unggulan dalam beberapa tahun berikutnya. Keseriusan pemerintah daerah
195
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dapat terlihat dari UKM unggulan tersebut apakah mempunyai kontinyuitas produksi,
kualitas produk, jaminan akses pasar dan berorientasi ekport. Diferensiasi yang tinggi
UKM yang ada di daerah, akan mampu bersinergi dengan kepariwisataan daerah.
KESIMPULAN
Karakteristik unik usaha kecil di Jawa Timur adalah upaya melakukan diferensiasi
produk, menekan ongkos produksi meskipun tidak menggunakan teknologi tinggi. Proses
search, decision dan trial yang panjang membuat banyak pelaku usaha dapat bertahan
hidup. Proses innovation network masih dalam tahapanan inisiasi. Tidak semua pelaku usaha
menganggap penting melakukan innovation network, dalam proses yang paling mendasar
seperti melakukan kolaborasi saja, masih banyak pelaku usaha yang enggan melakukannya.
Mekanisme proses networking lebih didasari faktor kepercayaan, berbagi keuntungan dan
jaminan kualitas produk. Pelaku usaha mengatakan bahwa seharusnya pemerintah
supporting dengan fasilitasi alat produksi atau akses pasar, tidak hanya sekedar melakukan
pelatihan manajemen, keuangan ataupun teori teori tentang pemasaran. Networking pelaku
usaha meskipun masih dalam level tradisional memberikan kekuatan bertahan hidup bahkan
dapat meningkatkan daya saing usaha kecil mereka. Kelancaran dalam proses produksi dan
efisiensi bahan baku membuat pelaku usaha dapat menciptakan inovasi produk baru.
Kekuatan networking dalam skala ini seringkali juga memaksa pelaku usaha melakukan inovasi
berdasarkan pesanan innovation by order. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten yang
intensif mengajak pelaku usaha kecil mempromosikan produknya adalah Kabupaten
Banyuwangi. Network yang sudah dilakukan menjadi inisiasi proses innovation network yang
potensial, meskipun saat ini proses tersebut belum memberikan hasil, upaya pemerintah
Kabupaten Banyuwangi dalam mempromosikan daerah dan melibatkan UKM menjadi trigger
proses innovation network.
DAFTAR PUSTAKA
Bitzer, V and Bijman, J. 2015. From innovation to co-innovation? An exploration of
African agrifood chains. British Food Journal Vol. 117 No. 8. pp. 2182-
2199.©Emerald Group Publishing Limited
Burdon, S., Grant Richard, M and Kilidar, H. 2015. Navigating service sector
innovation using co-creation partnerships Journal of Service Theory
and Practice Vol. 25 No. 3. pp. 285- 303. Emerald Group Publishing
Limited
Drucker, P. F. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan, Praktek dan dasar-
dasar. Penerbit Erlangga Ellitan, L. dan Anatan, L. 2009. Manajemen
Inovasi. Bandung : Alfabeta Feigenbaum, A. and A. Karnani. 1991. Output
Flexibility. A Competitive Advantage for Small Firms. Strategic Management
Journal. Vol 12, pp. 101-114
Fierro, J.C., Florin J., Perez L., Whitelock J. 2011. Inter-firm market orientation as
antecedent of knowledge transfer, innovation and value creation in
networks. Management Decision. Vol. 49 No. 3, pp. 444-467. Emerald Group
Publishing Limited 0025-1747
Gardet, E. and Mothe, C. 2012. SME dependence and coordination in
innovation networks. Journal of Small Business and Enterprise Development.
Vol. 19 No. 2. pp. 263-280. Emerald Group Publishing Limited
Hill, C.W. and Jones, G.L. 1998. Strategic Management: an Integrated Approach.
New York: Houghton Miffhn Company.
Hitt, M.A., Ireland. R.D. and Hoskisson, R.E. 2001. Strategic Management:
196
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Competitiveness and Globalization 4th Edition; Concepts. Thompson Learning,
United States of America
Humphreys, P., McAdam, R., and Leckey, J. 2005. Longitudinal evaluation of
innovation implementation in SMEs. European Journal of Innovation
Management. Vol. 8 No. 3. pp. 283-304
Kotler, P. Armstrong, G. 2009. Prinsip Prinsip Pemasaran Jilid 1. Indonesia : PT Dian
Rakyat. Liu, M., Li, M., And Zhang, T. 2012. Empirical
Research On China Smes Technology Innovation Engineering Strategy.
System Engineering Procedia 5, Pp. 372-378
Porter, M. E. 1985. Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan
Kinerja Unggul. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Ritter, T. 2006. Communicating firm competencies: marketing as different
levels of translation. Industrial Marketing Management. Vol. 35 No. 8,
pp. 1032- 1036.
Ruigrok, W.A. Pettigrew, S. Peck and R. Whittington. 1999. Corporate
Restructuring and New Forms Europe. Management International Review.
Vol. 39, pp. 41-46.
Sanchez, A.M. and Marin, G.S. 2005. Strategic Orientation, Management
Characteristics and Performance: A study of Spanish SMEs. Journal of
Small Business Management. Vol. 43. No. 43, pp. 287-308
Schilling, M. A., 2015. Manajemen Strategis Inovasi Teknologi. Pustaka Pelajar,
Yogjakarta Tidd, J. 2000. Measuring Strategic
Competencies: Technological Market and Organizational Indicators of
Innovation. Imperial College Press, London.
Wahyudi, E Dan Julianto, D. E. 2013. Model Sistemik Inovasi Berkelanjutan Dan
Kapabilitas Daya Saing Usaha Kecil Teknologi Rendah Non high tech Di
Jawa Timur. Tahun ke dua. Hibah Strategis Nasional. Dikti, DP2M
Wahyudi, Edy. 2013. Model akselerasi Inovasi dan Daya Saing Usaha Kecil Non high
tech Kajian Empiris Usaha Kecil di Jawa Timur. Seminar Nasional
“Networking dan Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Mikro Berbasis
Kreativitas”. FISIP, Universitas Jember
Wahyudi, Edy. 2014. Improving Competitiveness And Innovation Capability Of Small
Businesses On The Basis Of High Tech Versus Non-High Tech.
Forum Tahunan Pengembangan Iptek Dan
Inovasi Nasional Iv, Tahun 2014. Prosiding. Jakarta.
Wahyudi, Edy. 2015. Innovation Acceleration Model For Creative Industries In East
Java. Forum Tahunan Pengembangan Iptek Dan Inovasi Nasional V, Tahun
2015. Prosiding. Jogjakarta
Zuhal, M. 2010. Knowledge Management and Innovation. Gramedia, Jakarta
197
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Peluang dan Tekanan untuk Berinovasi dalam Industri Jamu
Opportunities and Pressures to Innovate in Herbal Medicine Industry
Ikbal Maulana
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek PAPPIPTEK – LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10
Telp. 021- 5225206, Fax: 021-5201602 Email:
ikbal_maulanahotmail.com
Keyword A B S T R A C T
Indonesian jamu industries, testing, innovation,
traditional claim Industry of herbal medicines has high growth potential in Indonesia,
because Indonesian biodiversity provides a huge amount of raw materials for the industry, and a large market which believe in the efficacy and safety
of herbal medicine. The lack of requirement of proving the efficacy of herbal medicine, simply relying on the claims of the community, eases the industry
to generate new products. But on the other hand, it is also easier for competitors from other industries e.g. industry of conventional medicine to
enter herbal medicine industry, and in the long run unproven claims will reduce public confidence in the herbal medicine industry. New regulations
have been enacted to increase public confidence in herbal medicine. The first regulation expects herbal medicine companies to implement good
manufacturing practice. The second one introduces additional categories of preclinically and clinically tested herbal medicines: standardized herbal
medicine and phytopharmaca. However, most of herbal medicine companies cannot implement good manufacturing practice. Even producers of
conventional medicines are more ready to take advantages of both regulations due to their long experience in fulfilling the requirements of
standardized production and testing. While the governments initiative of scientification of herbal medicine, which is expected to improve the
reputation of herbal medicine among health practitioners does not attract herbal medicine industry because it only promote herbal medicines in the
form of dried plant simplisia
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
industri jamu Indonesia, klaim turun-temurun, pengujian,
inovasi. Industri jamu memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi di Indonesia,
karena keanekaragaman hayati Indonesia menyediakan sumber bahan baku yang berlimpah bagi industri, serta besarnya pasar yang mempercayai
khasiat dan keamanan jamu. Tiadanya persyaratan bagi pembuktian khasiat jamu, cukup hanya mengandalkan klaim dari masyarakat, memudahkan
industri menghasilkan produk-produk baru. Namun di pihak lain, hal ini juga memudahkan pesaing dari industri lain industri obat konvensional
untuk memasuki industri jamu, dan dalam jangka panjang klaim yang tidak terbukti akan menurunkan kepercayaan masyarakat pada industri jamu.
Regulasi-regulasi baru sudah ditetapkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada jamu. Regulasi pertama menghendaki perusahaan jamu
untuk menerapkan cara pembuatan obat tradisional yang baik CPOTB. Regulasi kedua memperkenalkan kategori baru dari obat herbal yang sudah
diuji secara praklinis dan klinis, yakni obat herbal terstandar OHT dan fitofarmaka. Namun, mayoritas industri jamu tidak bisa menerapkan
CPOTB. Bahkan produsen obat konvensional lebih siap mengambil manfaat dari kedua regulasi tersebut dikarenakan pengalaman panjang mereka
dalam memenuhi persyaratan produksi baku dan pengujian. Sementara inisiatif pemerintah dalam saintifikasi jamu, yang diharapkan bisa
menaikkan citra jamu di kalangan praktisi kesehatan, tidak menarik industri jamu karena ini hanya mempromosikan jamu dalam bentuk bahan tanaman
yang dikeringkan simplisia.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
198
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016