Dampak Inovasi Kesimpulan Sharing UMKM
Kepuasan Pelanggan
Pelayanan
Pelaksana Biaya
Pengaduan IKP1
IKP2 IKP2
Kredibel
Kontribusi
Kemampuan Komunikasi
Kepatuhan
QR1 QR2
QR3 QR4
QR5 QR6
QR7 QR9
QR10 QR11
QR12 QR13
QR14 QR15
QR16 QR17
QR18 QR19
QR20 QR8
QR21 QR22
QR23 QS1
QS3 QS3
QS4 QS5
QS6 QS7
QS8 QS9
Gambar 3. Model Kepuasan Pelanggan untuk Institusi Penelitian di Indonesia
611
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA
Bakti, IGMY., dan Sumaedi, S 2013. An analysis of library customer loyalty The
role of service quality and customer satisfaction, a case study in Indonesia,
Library Management, 34 67 , 397-414
Caceres, R.C, dan Paparoidamis, N.G., 2007. Service quality, relationship satisfaction,
trust, commitment and business-to-business loyalty, European Journal of Marketing, 41
7, 836 – 867
Erevelles, S. dan Leavitt, C. 1992, A Comparison of Current Models of
Consumer Satisfaction Dissatisfaction, Journal of Consumer Satisfaction,
Dissatisfaction and Complaining Behavior, 5, 194-114
European Science Foundation, 2012. Evaluation in research and research
fundingorganisations: European practices. In: A report by the ESF Member
Organisation Forum on Evaluation of Publicly Funded Research., ISBN978-2-
918428-83-1.External Research Assessment
Fornell, Claes, Michael D. Johnson, Eugene W. Anderson, Jaesung Cha, dan Barbara
Everitt Bryant 1996. The American Customer Satisfaction Index: nature,
purpose, and findings, Journal of Marketing, 60, 124-134
Giese, J.L. dan Cote, J.A. 2002. Defining Consumer Satisfaction, Academy of
Marketing Science Review, 2000 1. Hsu, S.-H. 2008, Developing an index for online
customer satisfaction: Adaptation of American Customer Satisfaction Index.
Expert System with Application, 34, 3033 – 3042.
ISO 2015, ISO 9001, International Standard, Quality Management Systems
Requirements, Geneva. Johnson, M., Gustafsson, Andreasson, T.W.,
Lervik, L., dan Cha, J. 2001. The evolution and future of National Customer
Satisfaction Index Models, Journal of economic Psychology, 22 2, 217 – 245.
Kaplan, Robert S., 2012. Conceptual Foundations of the Balanced Scorecard,
Working paper, Harvad Business School. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor : KEP25M.PAN22004 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
Kim, Schangsu, 2008. An Emperical Study on the Integrated Framework of e-CRM in
Online Shopping : Evaluating the Relationships Among Perceived Value,
Satisfaction, and Trust Based on Customers’ Perspectives, Journal of
Electronic Commerce in Organization, 6 3, 1 – 19.
Kitapci, O., Akdogan, C., dan Dortyol, I.T. 2014. The Impact of Service Quality
Dimensions on Patient Satisfaction, Repurchase Intentions and Word-of-Mouth
Communication in the Public Healthcare Industry, Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 148 2014 , 161 – 169.
Kotler, P., dan Keller, K. L. 2012. Marketing management 14th ed.. Upper Saddle
River, Prentice Hall: New Jersey. Mårtensson, P., Fors, U., Wallin, S.-B., dan
Zander, U. 2016. Evaluating research: A multidisciplinary approach to assessing
research practice and quality, Research Policy, 45 3, 593 – 603.
Moreira , A.C., dan Silva , P.M., 2015. The trust-commitment challenge in service
quality-loyalty relationships, International Journal of Health Care Quality Assurance,
28 3, 253 – 266.
Parasuraman, A., Valarie A. Zeithaml, and Leonard L. Berry. 1988. SERVQUAL: A
Multiple-Item Scale for Measuring
Consumer Perceptions of Service Quality, Journal of Retailing, 64 Spring, 12–37.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14
612
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16
tahun 2014 tentang Pedoman Survei Kepuasan Pelanggan Masyarakat Terhadap
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1
tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015 –
2019
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010 - 2025. Teo, R, dan Soutar, G.N. 2012. Word of mouth
antecedents in an educational context: a Singaporean study. International Journal of
Educational Management, Vol. 26 7, 678 – 695.
Triyono, B. dan Putera, P.B. 2013. Indeks Kepuasan Masyarakat Spesifik Lembaga
Penelitian dan Pengembangan : Implementasi Mode ACSI. Jurnal Borneo
Administrator, 9 1, 53 – 74.
Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian P2SMTP – LIPI dengan kepakaran Manajemen
Kualitas.
613
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Framework Pengukuran Kinerja UKM: Integrasi Balanced Scorecard
dan Economic Value Added
SME Performance Measurement Framework: Integration of Balanced Scorecard and Economic Value Added
Sih Damayanti
1
, Tri Rakhmawati
2
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Kawasan PUSPIPTEK Gedung 417, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314
sihdamayantigmail.com
1
, rakhma_triyahoo.com
2
Keyword A B S T R A C T
performance measurement, SME, framework, Balanced
Scorecard, Economic Value Added
Nowadays, Small and Medium Enterprises SME have an important role in encouraging Indonesian economy. However, the increasing of fiercer global
competition makes the existence of SME is threatened. To deal with this, it is needed a strategy that can improve the competitiveness of SME. One of
strategies which can be applied to support the competitiveness improvement of SME is an SME performance measurement system. The SME
Performance measurement system implementation aims to determine the SME performance level, how the effectiveness and efficiency of the SME
business processes based on the targets that have been defined before. Based on the performance measurement results, SME can evaluate and re-
planning policies to be applied to achieve better performance. This study aims to develop an SME performance measurement framework. This study
will employ a desk research approach. Framework developed by integrating Balanced Scorecard and Economic Value Added. The results of this study
indicate that the integration between Balanced Scorecard and Economic Value Added can be used as a SME performance measurement tools. EVA
components that must be considered and be lagging indicators of SME performance consisting of Net Operating Profit After Tax NOPAT,
revenue from sales, operating costs and capital costs
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
Pengukuran Kinerja, UKM, framework, Balanced Scorecard,
Economic Value Added Saat ini, Usaha Kecil dan Menengah UKM mempunyai peranan penting
dalam mendorong perekonomian Indonesia. Namun, persaingan global yang semakin ketat membuat eksistensi UKM menjadi terancam. Untuk
menghadapi hal tersebut, diperlukan suatu strategi yang dapat meningkatkan daya saing UKM. Salah satu strategi yang dapat dilakukan
untuk mendukung peningkatan daya saing UKM adalah penerapan sistem pengukuran kinerja UKM. Penerapan sistem pengukuran kinerja UKM
bertujuan untuk mengetahui tingkat kinerja UKM, seberapa efektif dan efisien proses bisnis yang dilakukan UKM yang didasarkan pada target yang
telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan hasil pengukuran kinerja tersebut, UKM dapat melakukan evaluasi dan perencanaan kembali terkait
kebijakan yang akan diterapkan untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Makalah ini bertujuan untuk mengembangkan framework pengukuran
kinerja UKM. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan desk research. Framework yang dikembangkan merupakan
intergrasi antara Balanced Scorecard dan Economic Value Added. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa integrasi antara Balanced Scorecard dan
Economic Value Added dapat digunakan sebagai alat pengukuran kinerja UKM. Komponen-komponen EVA yang harus diperhatikan dan menjadi
lagging indicator kinerja UKM terdiri atas Net Operating Profit After Tax NOPAT, jumlah pendapatan dari penjualan, biaya operasional dan biaya
modal.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
614
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Saat ini UKM mempunyai peranan penting dalam mendorong perekonomian
Indonesia. Beberapa peranan penting UKM
tersebut antara lain: UKM memberi kontribusi
terhadap GDP sebesar 56 , UKM menyerap
tenaga kerja lebih dari 100 juta pekerja Indonesia BPS, 2014, UKM ikut membantu dalam
mengentaskan kemiskinan di Indonesia dan juga dengan sifatnya yang mandiri dan tidak tergantung
terhadap ekonomi makro, UKM berperan dalam
menjaga stabilitas ekonomi domestik . Peran
penting UKM juga telah banyak disampaikan dalam beberapa penelitian. Kristiyanti 2012
menyebutkan bahwa UKM mempunyai beberapa peran strategis terhadap perekonomian nasional,
diantaranya adalah UKM berperan dalam peningkatan perekonomian, penyerapan tenaga
kerja dan juga UKM berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan ke
daerah-daerah. Hal tersebut mengingat bahwa UKM tidak hanya perpusat di kota-kota besar
tetapi tersebar di seluruh daerah. Hal senada juga disampaikan oleh Gunasekaran et, al 2000 yang
mengatakan bahwa UKM mempunyai peranan yang signifikan, terutama dalam pertumbuhan
perekonomian nasional, peningkatan daya saing, inovasi dan penyerapan tenaga kerja. Lebih lanjut
Gunasekaran, et al 2000 juga menyebutkan bahwa peran besar UKM tersebut didukung oleh
kemampuan UKM untuk cepat berinovasi serta tingkat fleksibilatas UKM yang tinggi.
Namun meskipun UKM sangat berperan dalam perekonomian nasional, UKM Indonesia
masih harus mengahadapi beberapa tantangan, terutama yang berkaitan dengan persaingan.
Liberalisme perdagangan memungkinkan produk dari perusahaan besar dan bahkan produk dari luar
negeri mencapai ke pelosok daerah di tanah air singh, et al, 2010. Hal tersebut menyebabkan
kesulitan UKM lokal untuk mempertahankan posisi bisnis mereka di pasar masing-masing
singh, et al, 2010. Terlebih lagi pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean MEA di Indonesia
mulai tahun 2015menjadi tantangan terbesar UKM Indonesia saat ini.
Tujuan MEA adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan
kesatuan basis industri. Semua barang, jasa, investasi, modal, bahkan tenaga kerja akan bebas
mengalir free flow antar negara-negara anggota ASEAN. Integrasi ekonomi dalam MEA tersebut
menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pelaku usaha nasional terutama UKM. Integrasi kawasan
atau regionalisasi antar negara-negara anggota ASEAN akan memberikan peluang usaha dan
pasar yang lebih besar bagi UKM. Namun jika tidak disertai dengan kesiapan UKM, peluang
tersebut akan menjadi ancaman bagi UKM. Jika UKM tidak mampu bersaing dengan produk-
produk dari negara anggota ASEAN lainnya, besar kemungkinan jika banyak UKM di
Indonesia yang akan gulung tikar.
Dalam rangka untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, UKM harus
senantiasa meningkatkan daya saingnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan daya saing UKM adalah penerapan sistem pengukuran kinerja.
Pengukuran kinerja telah menjadi komponen penting dari strategi
pembangunan UKM agar tumbuh secara berkelanjutan dalam pasar global yang sangat
kompetitif singh, et al, 2008. Seperti yang diungkapkan Garengo 2005, untuk mengahadapi
perubahan-perubahan yang terjadi, seperti meningkatnya lingkungan yang kompetitif,
munculnya hal-hal baru yang rawan memberikan ancaman, konsep kualitas yang selalu berevolusi,
meningkatnya kesadaran untuk fokus pada perbaikan yang terus menerus, dan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang signifikan, mengharuskan UKM untuk
menerapkan sistem pengukuran kinerja yang sesuai dengan konteks organisasi, terutama untuk
UKM industri manufaktur Garengo et al., 2005. Sistem
pengukuran kinerja dipercayai sebagai sarana yang dapat digunakan untuk meningkatkan
keunggulan organisasi dalam era kompetisi dan juga sebagai sarana pendukung yang dapat
digunakan untuk membuat suatu perubahan pada organisasi sebagai bentuk adaptasi tehadap
perubahan-perubahan yang ada cocca dan Alberti, 2010. Sistem pengukuran kinerja juga
merupakan elemen penting yang diperlukan organisasi untuk dapat mencapai kinerja yang
tinggi, terutama terkait kemampuan dalam mengukur serta memonitor kinerja organisasi
secara efektif cocca dan Alberti, 2010, Sharma, 2005. Hal yang sama juga disampaikan oleh
Sousa dan Aspinal 2010, bahwa dengan
615
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
mengukur kinerja dapat digunakan sebagai alat monitor, kontrol, strategi komunikasi,
memastikan bahwa keputusan yang dibuat merupakan keputusan yang terbaik yang juga
dilengkapi dengan rencana tindakan untuk mengatasi konsekuensi dari pengambilan
keputusan, dan untuk mengecek apakah kegiatan yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan.
Berdasarkan hal tersebut penting bagi setiap UKM untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja.
Sistem pengukuran
kinerja yang
diterapkan dalam UKM saat ini kebanyakan adalah sistem pengukuran kinerja tradisional
dimana kinerja diukur hanya dari aspek keuangan. Sementara aspek diluar keuangan tidak begitu
dipertimbangkan. Sistem pengukuran kinerja tradisional tersebut memiliki beberapa kelemahan.
Neely, et al 2000 menyebutkan bahwa sistem pengukuran kinerja tradisional hanya berfokus
pada satu dimensi sehingga dapat dikatakan bahwa pengukuran kinerja tersebut masih sangat
sempit.
Kueng 2000 juga menyebutkan bahwa perspektif yang sempit pada pengukuran kinerja
tradisional dapat mengarahkan pada penilaian yang tidak seimbang dan juga membatasi
kekuatan organisasi untuk melakukan perbaikan terus menerus. Hal tersebut disebabkan karena
aspek non finansial yang tidak menjadi salah satu dimensi dalam pengukuran kinerja tersebut
merupakan kunci peningkatan kinerja organisasi di masa depan Kueng, 2000. Selain itu,
pengukuran
secara tradisional biasanya hanya berfokus pada tujuan jangka pendek tidak
dilakukan untuk tujuan jangka panjang Sharma, 2005. Mengacu pada Kaplan 1992, kelemahan-
kelemahan pengukuran kinerja tradisional tersebut dapat diatasi apabila organisasi menerapkan
pengukuran yang seimbang
balanced of measures
Neely, et al, 2000. Konsep “seimbang” tersebut diartikan sebagai pentingnya
melakukan pengukuran kinerja dengan cara yang berbeda yang mempertimbangkan beberapa
perspektif secara bersama-sama dan dapat menggambarkan organisasi secara keseluruhan
Taticchi, et al, 2010.
Belum diterapkannya sistem pengukuran kinerja yang baik di UKM disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya adalah UKM biasanya memiliki sumberdaya terbatas dan kurangnya
keahlian dari segi manajerial Garengo et al, 2005. Selain itu, kondisi finansial UKM yang
belum kuat menyebabkan belum UKM belum mampu melakukan berbagai upaya perbaikan
Hudson, et al, 2001; Yusof dan Aspinwall, 2000. Kondisi finansial UKM sangat menentukan
keberlangsungan kegiatan yang ada di UKM. Hal tersebut menyebabkan segi finansial menjadi tolak
ukur utama kinerja UKM. Namun demikian, pengukuran kinerja yang hanya dilakukan dalam
jangka pendek ditambah ketidakpastian dan cepatnya perubahan lingkungan menyebabkan
kesulitan dalam mengontrol dan mengarahkan UKM pada peningkatan kinerja yang
berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut perlu dikembangkan suatu framework pengukuran
kinerja yang sesuai dengan karakteristik UKM.
Dalam sistem pengukuran kinerja, sangat penting untuk mengidentifikasi cara mengukur
yang sesuai yang dapat mengevaluasi tujuan
global UKM sharma, 2005. Lebih lanjut,
karakteristik organisasi harus diperhitungkan dalam implementasi sistem yang ada di UKM dan
juga menentukan tipe pengukuran kinerja yang akan diimplementasikan yang pastinya berbeda
dengan organisasi lainnya Sousa dan Aspinwal, 2010.
Selain itu, pemilihan pendekatan yang digunakan untuk mengukur dan meningkatkan
kinerja merupakan masalah utama organisasi yang harus
diselesaikan Sousa dan Aspinwal, 2010
.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan framework
pengukuran kinerja UKM. Framework dikembangkan dengan mengintergrasikan model
pengukuran kinerja Balanced Scorecard BSC dan Economic Value Added EVA.
Pemilihan BSC dan EVA dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan
beberapa pertimbangan. Pertama, BSC merupakan alat pengukuran kinerja yang telah banyak
digunakan dan berhasil berkontribusi meningkatkan kinerja perusahaan. BSC tidak
hanya dapat diimplementasikan dalam manajemen strategis UKM tetapi juga dapat digunakan dalam
pengukuran kinerja UKM Scarborough and Zimmerer, 2000 dalam Tennant dan Tanoren,
2005. Kedua, keterbatasan modal dan sumber daya lainnya membuat UKM cenderung untuk
melihat perspektif finansial terutama profitabilitas sebagai ukuran kinerja UKM. Berdasarkan hal
tersebut, EVA sesuai jika digunakan dalam
616
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
pengukuran kinerja UKM karena mengukur kinerja dari sisi finansial. EVA dapat dijadikan
pertimbangan UKM dalam membuat keputusan penambahan modal melalui hutang. Disamping
itu, kebutuhan UKM akan adanya investor untuk meningkatkan skala perusahaan sangat tepat jika
menggunakan EVA dalam pengukuran kinerja, dimana EVA mencerminkan nilai tambah
perusahaan dari segi ekonomi yang dapat digunakan sebagai alat analisis investor dalam
membuat keputusan investasi. Ketiga, integrasi kedua model tersebut akan menghasilkan
pengukuran kinerja yang sesuai dengan visi UKM. Kelebihan dari masing-masing akan saling
melengkapi, dimana EVA berfokus pada pencapaian visi UKM untuk menciptakan nilai
sedangkan BSC memfokuskan manajemen pada cara kunci untuk mendapatkan nilai tersebut
Stankeviciene dan sviderske, 2010 . Selain itu,
EVA memiliki keunggulan dalam mengukur kinerja keuangan namun memiliki keterbatasan
dalam implementasi terutama dalam penyelarasan strategi. Kekurangan tersebut dapat diisi dengan
penggabungan BSC dalam pengukuran kinerja.
Keempat, penelitian terkait integrasi antara BSC dan EVA sebagai model pengukuran kinerja
belum banyak dilakukan, sehingga penelitian ini dapat mengisi kesenjangan penelitian tersebut.
KERANGKA TEORI UKM dan Karakteristiknya
Pengkategorian UKM pada setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, pengertian UKM
terdapat di UU No 20 Tahun 2008, dimana kriteria UKM ditentukan berdasarkan jumlah kekayaan
dan omsetnya. Pada usaha kecil kekayaan bersih yang dimiliki berkisar antara Rp. 50 juta sampai
dengan Rp. 500 juta tidak termasuk tanaha dan bangunan tempat usaha dan memiliki omset
penjualan tahunan Rp. 300 juta sampai dengan Rp. 2,5 Milyar. sedangkan pada usaha menengah
kekayaan bersih yang dimiliki berkisar antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 10 Milyar tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan memiliki omset penjualan tahunan Rp. 2,5 M
sampai dengan Rp. 50 M. Berdasarkan pada European Commission, kriteria UKM ditentukan
berdasarkan jumlah pekerjanya, untuk usaha kecil jumlah pekerja berkisar antara 10 – 50 orang dan
untuk usaha menengah jumlah pekerjanya antara 50 – 250 orang.
Tidak hanya berdasarkan ukurannya, karakteristik UKM terkait manajerial juga berbeda
dengan perusahaan besar. Kristiyanti 2012 menyebutkan bahwa ciri-ciri UKM ada 4,
diantaranya adalah manajemen UKM berdiri sendiri tidak ada pemisahan yang tegas antara
pemilik dengan pengelola perusahaan, modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok
kecil pemilik modal, daearah operasinya umumnya local, dan ukuran perusahaan, baik dari
segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana prasarana yang kecil. Berdasarkan hasil penelitian
Hudson, et al 2001, karakteristik UKM terdiri dari: 1. manajemen personal, dengan sedikit
devolusi kewenangan; 2. keterbatasan sumber daya yang parah dalam hal manajemen dan tenaga
kerja, serta keuangan; 3. ketergantungan terhadap sejumlah kecil pelanggan, dan operasi di pasar
terbatas; 4. datar, struktur yang fleksibel; 5. Potensi inovasi tinggi; 6. reaktif, mentalitas
pemadam kebakaran; 7. Informal, strategi dinamis. Senada dengan Hudson, et al, 2001,
Robinson dan Pearce 1984 dalam
Tennant dan Tanoren 2005 menyebutkan bahwa terdapat
beberapa karakteristik kunci UKM yang
membedakan UKM dari perusahaan besar. Karakteristik-karakteristik UKM tersebut antara
lain: 1. Manajemen bersifat personal dimana manajer dilarang untuk mengungkapkan strategi
bisnis; 2. Memiliki sumber daya terbatas dalam hal manajemen, termasuk tenaga kerja dan
keuangan; 3. Bergantung pada basis pelanggan terbatas sehingga peluang pasar juga terbatas; 4.
Memiliki struktur organisasi datar dan lebih fleksibel, karena ukuran yang lebih kecil; 5.
Memiliki potensi tinggi untuk inovasi; 6. Strategi yang dimiliki informal dan dinamis juga reaktif.
Sistem Pengukuran kinerja UKM
Pengukuran kinerja didefinisikan proses pengukuran efisiensi dan efektivitas suatu aksi
Neely, 1995. Sedangkan sistem pengukuran kinerja didefinisikan sekumpulan metrik yang
digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektivitas tindakan Neely, 1995. Pengukuran
kinerja dapat memberikan pengaruh terhadap organisasi Neely, et al ,2000. Hal tersebut
berkaitan dengan bagaimana keadaan awal pengukuran, keputusan mengenai apa yang akan
diukur, bagaimana mengukurnya, dan apa yang
617
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
menjadi target dari proses yang diukur yang secara langsung akan berpengaruh terhadap pegawai baik
secara individu atau kelompok dalam organisasi Neely, et al ,2000.
Dalam melakukan pengukuran terhadap organisasi, yang pertama harus dilakukan adalah
memahami tujuan organisasi Varcoe, 1996. Tujuan organisasi tersebut kemudian didefinisikan
dan dikonversi menjadi angka yang kemudian dijadikan pembanding atau target pengukuran
kinerja organisasi Varcoe, 1996. Selain itu, sebelum melakukan pengukuran kinerja,
organisasi harus memahami karakteristik organisasinya. Karakteristik organisasi dan
perubahannya harus diperhitungkan dan akan menentukan keberhasilan implementasi suatu
inisiatif perbaikan yang baru Sousa dan Aspinwal, 2010. Dimana, setiap organisasi
memiliki karakteristik masing-masing tergantung pada produk atau servis yang dihasilkan,
konsumen, pekerja, strategi yang diterapkan, nilai yang dimiliki, keputusan-keputusan yang dibuat,
dan lain sebagainya Sousa dan Aspinwal, 2010. Lebih lanjut, karakteristik organisasi menentukan
tipe pengukuran kinerja yang diimplementasikan yang pastinya berbeda dengan organisasi lainnya
Sousa dan Aspinwal, 2010.
Dalam upaya peningkatan kinerja UKM, tidak dipungkiri bahwa UKM membutuhkan suatu
sistem pengukuran kinerja. Namun karena karakteristiknya yang berbeda, UKM
membutuhkan suatu sistem pengukuran kinerja yang sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan
hasil penelitian Sousa dan Aspinwal 2010, beberapa karakteristik sistem pengukuran kinerja
yang dapat diterapkan oleh UKM antara lain: 1. sederhana, mudah dipahami dan mudah
digunakan, 2. mudah diimplementasikan dan efektif, 3. generik, 4. Sistematik dan lengkap, 5.
Valid dan jelas antar elemennya, 6. Kuat dan merepresentasikan roadmap dan perencanaan alat
untuk implementasi, dan 7. Berkelanjutan.
Senada dengan Sousa dan Aspinwal 2010, Hudson, et al 2001 juga mengidentifikasi
karakteristik sistem pengukuran kinerja yang dapat diterapkan oleh UKM, antara lain: 1.
Berasal dari strategi, 2. Diturunkan secara jelas dan kemudian didefinisikan dengan tujuan
eksplisit, 3. Relevan dan mudah untuk dipertahankan, 4. Mudah untuk dimengerti dan
digunakan, 5. Memberikan feedback yang cepat dan akurat, 6. Hubungan antar operasi ke tujuan
strategis, 7. Merangsang perbaikan terus- menerus. Berdasarkan hal tersebut, penting bagu
UKM untuk memperhatikan karakteristik pengukuran kinerja dalam pembuatan sistem
pengukuran kinerja bagi perusahaannya.
Balanced Scorecard
Balanced Scorecard BSC merupakan alat pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh
Kaplan dan Norton 1992. Dalam pengukurannya, BSC menggunakan seperangkat
pengukuran kuantitatif yang diperoleh berdasarkan strategi perusahaan Niven, 2006.
BSC “menerjemahkan misi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja
yang menyediakan kerangka kerja untuk pengukuran dan sistem manajemen strategis”
Kaplan dan Norton, 1996. Pada setiap area BSC, organisasi menetapkan tujuan keseluruhan dan
tujuan strategis organisasi yang didasarkan pada visi organisasi Kaplan dan Norton, 1996.
Dengan menggunakan BSC akan mendorong organisasi untuk lebih eksplisit dalam
menghubungkan variabel finansial dan nonfinansial Rickards, 2007. Kinerja organisasi
tidak lagi hanya dilihat dari segi financial tetapi juga nonfinansial. Disamping itu, BSC tidak
hanya mempertimbangkan isu-isu internal saja tetapi juga isu eksternal.
Dalam pengukuran kinerja, BSC menggunakan 4 perspektif,
yaitu perspektif
pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan dan perspektif finansial
Kaplan dan Norton, 1996. Dalam perspektif pelanggan,
organisasi harus menentukan siapa pelanggan mereka, proposisi nilai apa yang dimiliki
organisasi dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, dan apa yang diekspektasikan
pelanggan terhadap organisasi Niven, 2006. Indikator kinerja berdasarkan prespektif ini
biasanya terdiri atas kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas
pelanggan dan pangsa pasar di segmen sasaran Niven, 2006. Dalam perspektif proses bisnis
internal, organisasi mengidentifikasi proses- proses kunci yang ada dalam organisasi yang
dapat meningkatkan nilai perusahaan terhadap pelanggan Niven, 2006. Pada proses ini
618
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
berfokus pada upaya peningkatan kepuasan pelanggan sebagai bentuk cara mempertahankan
pelanggan dan mengoptimalkan pencapaian tujuan finansial perusahaan Sipayung, 2009.
Pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, perspektif ini bertujuan untuk menghilangkan gap
antara infrastruktur yang dimiliki perusahaan dengan infrastruktur yang dibutuhkan untuk
menjadi perusahaan yang unggul Niven, 2006. Pada proses ini diidentifikasi infrastruktur yang
harus dibangun untuk menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja perusahaan dalam jangka
panjang Sipayung, 2009.
Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran merupakan
pondasi BSC Niven, 2006. Dan yang terakhir adalah perspektif finansial, perspektif ini
merupakan komponen kritis dalam BSC Niven, 2006. Perspektif finansial menunjukkan apakah
strategi perusahaan, implementasi dan pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak
terhadap peningkatan profitabilitas perusahaan. Tujuan pencapaian kinerja pada perspektif
finansial merupakan fokus dari tujuan-tujuan dari perspektif lainnya Niven, 2006.
Economic Value Added
Economic Value Added EVA
merupakan ukuran kinerja keuangan yang menggambarkan keuntungan ekonomis dari suatu
perusahaan Chandra Shil, 2009. EVA mengukur berapa banyak nilai ekonomi yang ditambahkan
berdasarkan modal yang digunakan Chandra Shil, 2009. Keunggulan EVA digunakan dalam
pengukuran kinerja adalah fokus terhadap usaha dalam menciptakan nilai bagi perusahaan
Stankeviciene dan sviderske, 2010. Nilai EVA didapatkan berdasarkan hasil pengurangan antara
keuntungan operasi setelah pajak dengan dengan biaya modal dari seluruh modal yang digunakan
untuk menghasilkan laba tersebut Bahri, et al, 2011. Laba operasional setelah pajak
menggambarkan hasil penciptaan nilai value di dalam perusahaan, sedangkan biaya modal
menggambarkan pengorbanan yang dikeluarkan dalam mengahsilkan nilai tersebut. EVA yang
positif menunjukkan bahwa tingkat pengembalian yang dihasilkan perusahaan lebih tinggi daripada
tingkat biaya atau tingkat pengembalian yang dituntut investor, dalam hal ini diartikan bahwa
perusahaan berhasil menciptakan nilai create value. EVA positif juga menandakan bahwa
manajemen telah menjalankan tugasnya dengan baik. EVA yang negatif menunjukkan bahwa nilai
perusahaan berkurang, tingkat pengembalian yang dihasilkan lebih rendah daripada tingkat
pengembalian yang dituntut investor. Sedangkan nilai EVA = 0 menunjukkan bahwa perusahaan
berada pada posisi break even point karena semua laba digunakan untuk membayar kewajiban
kepada investor.
Menurut Stewart 1993 dalam Utomo 1999, peningkatan kinerja keuangan dengan
EVA dapat dilakukan dengan 3 cara. Pertama, dengan meningkatkan laba operasi perusahaan
tanpa adanya tambahan modal. EVA akan meningkat jika dengan menggunakan modal yang
sama perusahaan dapat menghasilkan profit yang lebih besar. Kedua, meningkatkan modal untuk
mendapatkan profit yang lebih besar. Peningkatan modal yang akan menstimulasi mendapatkan
profit yang lebih besar juga akan meningkatkan EVA, dengan catatan peningkatan profit yang
diperoleh lebih besar dari modal yang ditambahkan. Ketiga, menarik modal dari
aktivitas-aktivitas yang tidak perlu. Penarikan modal pada aktivitas-aktivitas yang tidak perlu
terutama aktivitas yang tidak memberikan tambahan nilai perusahan akan mengurangi
penggunaan modal perusahaan sehingga dapat meningkatkan EVA.
Ukuran kinerja dari EVA sangat erat kaitannya dengan pemegang modal perusahaan
Chandra Shil, 2009. EVA dapat digunakan sebagai alat analisis oleh pemegang modal untuk
mengukur keberhasilan manajemen yang mereka telah mereka percaya dan juga membantu mereka
dalam menganalisis keberlanjutan kerjasama dengan perusahaan Chandra Shil, 2009. Lebih
lanjut, EVA juga dapat dijadikan pertimbangan pemilik modal apakah akan menginvestasikan
uangnya untuk suatu perusahaan atau tidak.
METODE PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan framework pengukuran kinerja
UKM dengan menggunakan integrasi Balanced Scorecard BSC dengan Economic Value Added
EVA. Penelitian ini menggunakan pendekatan desk research. Pendekatan desk research
merupakan metodologi penelitian dengan
619
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
menggunakan data sekunder sebagai data penelitiannya. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah literatur hasil penelitian terkait UKM dan sistem pengukuran kinerja.
Kerangka integrasi antara BSC dan EVA didasarkan pada kerangka pemikiran
pengembangan framework pengukuran kinerja UKM dengan menggunakan EVA yang dilakukan
oleh Bahri, et al 2011. Framework tersebut dapat dilihat gambar 1. Dalam framework tersebut
kinerja UKM diukur berdasarkan EVA dan menekankan adanya keselarasan antara strategi,
praktek bisnis dan EVA yang akan memberikan feedback satu sama lain untuk perbaikan terus
menerus. Lebih lanjut, Bahri, et al 2011 juga membreakdown EVA ke dalam praktek-praktek
bisnis yang menjadi kunci pencapaian kinerja. Namun, dalam membreakdown EVA ke dalam
praktek-praktek bisnis UKM, Bahri, et al 2011 tidak menggunakan metode tertentu. Breakdown
EVA kedalam praktek-praktek bisnis UKM dilakukan dengan mengidentifikasi hubungan
potensial antara komponen utama EVA dengan praktek bisnis yang ada dalam perusahaan yang
relevan dengan tujuan pencapaian EVA. Penelitian ini berusaha untuk melengkapi
penelitian Bahri, et al 2011 dimana untuk mencapai tujuan strategis UKM yaitu pencapaian
EVA diperlukan suatu sistem manajemen strategi yang akan mengarahkan pada pencapaian tujuan
strategis UKM yaitu Balanced Scorecard. Kerangka integrasi antara EVA dan BSC dapat
dilihat pada gambar 2. Dalam gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya pencapaian
sasaran strategis UKM yaitu pencapaian EVA, diperlukan suatu perumusan strategi yang dapat
mengarahkan perusahaan dalam pencapaian EVA tersebut. Strategi UKM tersebut kemudian
diterjemahkan ke dalam 4 pespektif BSC, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan,
perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Penggunaan BSC
dapat membantu mewujudkan tujuan strategis UKM dan mengembangkan manajemen strategis
yang lebih efektif dengan memberikan arah yang jelas, pemahaman bisnis yang lebih baik, fokus
dan keselarasan antara kegiatan dengan strategi UKM Tennant dan Tanoren, 2005.
Tujuan strategis yang diterjemahkan dalam
istilah finansial EVA
Praktek Bisnis EVA
ObjektifTujuan Faktor penentu
Hasil
Feedback
Gambar 1. Hubungan antara Strategi, praktek bisnis dan EVA Sumber: Bahri, et al, 2011
Tujuan strategis UKM yang diterjemahkan
dalam istilah finansial EVA
Strategi UKM
EVA
Perspektif Finansial Perspektif Pelanggan
Perspektif Proses Bisnis Internal Perspektif Pertumbuhan dan
Pembelajaran
Balanced Scorecard
Gambar 2. Kerangka Integrasi BSC dan EVA
620
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi komponen yang mempengaruhi
nilai EVA
EVA seperti yang didefinisikan oleh Stern Stewart Co mengukur kekayaan yang
diciptakan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu Bahri, et al, 2011. EVA mengukur
pendapatan sisa residual income yang mengurangkan biaya-biaya modal terhadap laba
operasi Martusa, et al. Besarnya nilai EVA didapatkan dari keuntungan operasi bersih setelah
pajak net operating profit after tax NOPAT dikurangi dengan biaya modal dari seluruh modal
yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut Bahri, et al, 2011. Dimana biaya modal
merupakan hasil kali antara tingkat biaya modal cost capital rate K dengan total modal yang
diinvestasikan invested capital IC.
EVA = NOPAT – K x IC
Peningkatan nilai EVA merupakan salah satu tujuan kinerja keuangan perusahaan.
Penetapan EVA sebagai ukuran kinerja perusahaan dapat mendorong manajemen untuk
berfokus pada proses yang memberikan nilai tambah dan mengeliminasi aktivitas atau proses
yang tidak memberikan nilai tambah Utomo, 1999. EVA membantu manajemen dalam
menetapkan tujuan internal internal goal setting perusahaan yang berpedoman bukan hanya
implikasi pada jangka pendek tetapi pada implikasi jangka panjang. Dimana fokus sebuah
perusahaan untuk mendapatkan profit sebesar- besarnya merupakan tujuan jangka pendek
sedangkan maksimasi EVA merupakan tujuan jangka panjang perusahaan.
Berdasarkan bahri, et al 2011, seperti yang terdapat pada gambar 3, nilai EVA
dipengaruhi oleh 5 komponen, yaitu penjualan sales dan biaya operasional operating expenses
yang menentukan nilai NOPAT, beban keuangan yang menentukan besarnya biaya modal cost of
capital, dan modal yang diinvestasikan yang terdiri dari aset saat ini maupun aset jangka
panjang. Nilai EVA berbanding lurus dengan nilai NOPAT dan berbanding terbalik dengan nilai
biaya modal, yang berarti bahwa nilai EVA akan besar jika NOPAT yang dihasilkan besar, begitu
juga sebaliknya dan nilai EVA kecil jika biaya modalnya besar, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan hal tersebut, untuk mendapatkan nilai EVA yang tinggi, langkah yang dapat dilakukan
adalah memaksimalkan nilai NOPAT dan meminimalkan nilai biaya modal.
NOPAT adalah keuntungan operasi bersih perusahaan setelah dikurangi dengan pajak.
NOPAT merupakan komponen terpenting dalam EVA dimana besarnya EVA sangat tergantung
Gambar 3. Komponen EVA dalam pengukuran kinerja Sumber: Bahri, et al, 2011
621
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
pada nilai NOPAT. Besarnya nilai NOPAT ditentukan oleh 2 komponen, yaitu besarnya
pendapatan dari hasil penjualan dan biaya operasional. Berdasarkan hal tersebut, untuk
mendapatkan nilai NOPAT yang besar, perusahaan harus meningkatkan pendapatan dari
penjualan dan menekan biaya operasional perusahaan.
Biaya modal merupakan resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan terhadap modal
yang digunakan. Biaya modal adalah semua biaya yang secara riil dikeluarkan oleh perusahaan
dalam rangka mendapatkan sumber dana. Biaya modal dapat berupa biaya bunga dan juga biaya-
biaya lain terkait dengan jenis investasi yang digunakan seperti saham dan obligasi. Besarnya
biaya dipengaruhi oleh beberpa faktor diantaranya adalah keadaan perekonomian makro, kondisi
pasar daya jual saham suatu perusahaan, kebijakan operasi dan pembiayaan manajemen,
dan besarnya pembiayaan yang diperlukan Warsono, 2002. Secara umum, besarnya biaya
modal dipengaruhi oleh pihak eksternal dan juga kebijakan manajemen keuangan perusahaan.
Kebijakan manajemen keuangan perusahaan sangat menentukan besarnya biaya modal,
terutama terkait pertimbangan sumber pendanaan apa saja yang digunakan sebagai modal. Lebih
lanjut, dalam upaya maksimasi nilai perusahaan biaya modal harus diminimasi.
Identifikasi Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja UKM berdasarkan integrasi EVA dan
BSC
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap komponen EVA di atas, dapat disimpulkan
langkah yang dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai EVA adalah 1. Meningkatkan
pendapatan dari penjualan, 2. Minimasi biaya operasional perusahaan dan 3. Minimasi biaya
modal. Sasaran strategis perusahaan terkait peningkatan EVA kemudian diterjemahkan
kedalam terminologi operasional berdasarkan 4 perspektif BSC. Seperti yang digambarkan pada
gambar 4, sasaran strategis UKM yaitu peningkatan nilai EVA dibreakdown kedalam
sasaran 4 perspektif BSC. Sasaran ditentukan berdasarkan pada proses-proses yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi perusahaan
yang mengacu pada perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis
internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Komponen EVA yaitu sales, biaya
operasional dan biaya modal dapat dijadikan tujuan dalam perspektif finansial BSC, sedangkan
3 perspektif BSC lainnya ditentukan sasaran yang akan mempengaruhi komponen EVA. Dengan
penerapan BSC dalam penyusunan strategi pencapaian EVA, dapat diketahui proses-proses
mana saja yang memberikan nilai tambah dan mana yang tidak. Lebih lanjut, pencapaian kinerja
EVA menjadi tanggung jawab semua bagian dalam perusahaan, bukan hanya bagian keuangan
saja.
Selain sasaran pada masing-masing perspektif, juga ditentukan indikator kinerja pada
setiap perspektif yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian sasaran yang
telah ditentukan. Sasaran dan indikator kinerja BSC ditentukan berdasarkan karakteristik dan
kondisi UKM. Hal tersebut memungkinkan adanya perbedaan antara perusahaan satu dengan
perusahaan lainnya. Sebagai contoh, sasaran dan ukuran kinerja hasil integrasi antara BSC dan
EVA pada UKM bidang manufaktur dapat dilihat pada tabel 2. Lebih lanjut, hubungan antara
masing-masing sasaran dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 4. Komponen EVA dalam pengukuran kinerja
622
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 2. Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja UKM berdasarkan EVA dan BSC
Perspektif Sasaran Strategis
Indikator Kinerja Sumber Referensi
Finansial Lagging Factor
Peningkatan EVA EVA
Bahri, et al, 2011 Peningkatan profit
NOPAT Jumlah profit yang dihasilkan
perusahaan setelah dikurangi pajak
Bahri, et al, 2011 Peningkatan pendapatan
Jumlah pendapatan dari penjualan
Bahri, et al, 2011 Minimasi biaya
operasional Jumlah biaya operasional
yang dikeluarkan oleh perusahaan
Bahri, et al, 2011, singh, et al, 2010
Minimasi biaya modal Jumlah biaya modal
Bahri, et al, 2011 Pelanggan
Leading factor Peningkatan pangsa pasar
Presentase pasar yang dimiliki perusahaan
Kiumarsi Jayaraman, 2014, knight, 2000
Peningkatan volume penjualan
Jumlah produk yang terjual Kiumarsi Jayaraman, 2014
Peningkatan jumlah pelanggan
Jumlah pelanggan yang dimiliki perusahaan
Kiumarsi Jayaraman, 2014 Peningkatan kepuasan
pelanggan Tingkat kepuasan pelanggan
Gumbus dan Lussier, 2006, Singh et, al, 2010, Kiumarsi
Jayaraman, 2014 Penentuan harga yang
kompetitif Perbandingan antara harga
produk dengan harga produk sejenis dari perusahaan lain
Kiumarsi Jayaraman, 2014 On-time delivery
Jumlah keterlambatan pengiriman
Gumbus dan Lussier, 2006 Proses Bisnis
Internal Leading factor
Peningkatan produktivitas pegawai
Tingkat produktivitas pegawai Singh, et al, 2010, Gilbraith, et al, 2008, Phusavat, 2007
Peningkatan efisiensi produksi
Tingkat efisiensi produksi Peningkatan efektivitas
produksi Tingkat efektivitas produksi
Peningkatan kualitas produksi
Perbandingan antara jumlah produk cacat dengan total
produksi Singh, et al, 2010, Gumbus
dan Lussier, 2006 Pembangunan hubungan
dengan supplier untuk meningkatkan kinerja
supplier Kinerja supplier
Singh, et al, 2010
Pertumbuhan dan pembelajaran
Leading factor Peningkatan kompetensi
pegawai Tingkat kompetensi pegawai
Singh, et al, 2010 Peningkatan efektivitas
training Tingkat efektifitas training
terhadap peningkatan kompetensi pegawai
Singh, et al, 2010 Implementasi teknologi
informasi Efektifitas penerapan
teknologi informasi Singh, et al, 2010
Budaya organisasi Tingkat budaya organisasi
Singh, et al, 2010
623
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Perspektif Financial Peningkatan EVA
Minimasi Biaya Modal
Peningkatan NOPAT
Peningkatan pendapatan penjualan
Minimasi Biaya Operasional
Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Peningkatan kompetensi pegawai
Perspektif Customer Harga kompetitif
Perspektif Bisnis Proses Internal
Peningkatan pangsa pasar
Peningkatan jumlah pelanggan
On-time delivery
Peningkatan produktivitas pegawai
Peningkatan efisiensi produksi
Peningkatan Kualitas produksi
Peningkatan efektivitas training
Implementasi teknologi informasi
Peningkatan efektivitas produksi
Pembangunan hubungan dengan
supplier Peningkatan
penjualan Peningkatan
kepuasan pelanggan
Budaya organisasi
Gambar 5. hubungan pada setiap sasaran
Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah
mengembangkan framework pengukuran kinerja UKM. Framework dikembangkan dengan
mengintergrasikan Balanced Scorecard BSC dan Economic Value Added EVA. Integrasi
antara dua model dilakukan agar kelebihan dan kekurangan pada masing-masing model saling
melengkapi satu sama lain. EVA memiliki keunggulan dalam mengukur kinerja keuangan
namun memiliki keterbatasan dalam implementasi terutama dalam penyelarasan strategi. Sedangkan
BSC merupakan model pengukuran kinerja yang komprehensif dalam menyelaraskan strategi
perusahaan kedalam perspektif finansial dan nonfinansial. Berdasarkan hal tersebut, BSC dapat
diintegrasikan dengan EVA yang akan menerjemahkan strategi perusahaan terkait
pencapaian EVA ke dalam strategi-strategi nyata perusahaan yang melibatkan seluruh bagian dalam
perusahaan.
Dalam framework pengukuran kinerja UKM yang dikembangkan, EVA menjadi lagging
indicator pencapaian kinerja UKM. Pencapaian EVA yang optimal menjadi sasaran strategis
UKM. Semakin tinggi nilai EVA yang dihasilkan semakin baik kinerja UKM. Untuk mencapai EVA
yang ditargetkan kemudian disusun strategi UKM yang diterjemahkan dalam 4 perspektif BSC.
Strategi yang disusun mencerminkan respon perusahaan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang terhadap tantangan dan peluang yang ada Knight, 2000. EVA dan komponen-
komponen yang mempengaruhinya menjadi ukuran kinerja pada perspektif finansial BSC.
Komponen-komponen EVA tersebut yaitu NOPAT, pendapatan dari penjualan, biaya
operasional dan biaya modal. Sasaran strategis yang ingin dicapai berdasarkan perspektif
finansial adalah peningkatan NOPAT, peningkatan pendapatan dari penjualan, minimasi
biaya operasional dan minimasi biaya modal. Lebih lanjut, kemudian disusun strategi untuk
mencapai sasaran pada perspektif finansial lagging factor berdasarkan 3 perspektif BSC
lainnya yaitu perspektif pelanggan, perspektif bisnis proses internal dan perspektif pertumbuhan
dan pembelajaran leading factor.
624
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Pada perspektif pelanggan disusun startegi yang dapat menjadi pemicu pencapaian
sasaran strategis pada perspektif finansial terutama pada pencapaian sasaran peningkatan
pendapatan dari penjualan. Dalam pencapaian kinerja pada perspektif ini, bagian pemasaran
memegang peranan besar. Beberapa sasaran strategi yang dapat diterapkan untuk mengukur
kinerja pada perspektif pelanggan antara lain peningkatan pangsa pasar, peningkatan volume
penjualan, peningkatan jumlah pelanggan, peningkatan kepuasan pelanggan dan pengiriman
yang tepat waktu. Berdasarkan Kiumarsi dan Jayaraman 2014, beberapa strategi yang dapat
diterapkan untuk meningkatkan penjualan pada UKM antara lain meningkatkan pemasaran
produk dan mengembangkan pasar baru dengan menjalin hubungan dengan mitra pemasaran,
meningkatkan jumlah agen, mengembangkan tim penjualan yang profesional, meningkatkan
volume produk terlaris dengan margin keuntungan yang wajar, melaksanakan kegiatan promosi
dengan mengidentifikasi sumber iklan yang potensial, mengembangkan pusat-pusat distribusi
dengan kemungkinan pusat distribusi baru, dan mengumpulkan feedback dari pengecer terkait
permasalahan dan penyelesaiannya. Selain terkait penjualan, juga perlu diperhatikan terkait
penentuan harga yang kompetitif. Harga yang kompetitif merupakan salah satu kesempatan yang
sangat bagus yang dapat dimanfaatkan UKM untuk dapat bersaing Kiumarsi dan
Jayaraman,2014. Lebih lanjut Kim, et al, 2008 juga mengungkapkan bahwa jika ingin bertahan,
UKM harus menghasilkan produk yang berkualitas dengan umur produk yang panjang dan
juga harga yang kompetitif.
Pada perspektif proses bisnis internal dilakukan identifikasi terkait proses bisnis yang
kritis yang harus diperhatikan oleh perusahaan. Beberapa sasaran strategi yang dapat diterapkan
untuk mengukur kinerja pada perspektif bisnis proses internal antara lain peningkatan
produktivitas pegawai, peningkatan kualitas produksi, peningkatan efektivitas produksi,
peningkatan efisiensi produksi dan pembangunan hubungan dengan supplier. UKM harus respek
terhadap inovasi yang dapat memberikan peningkatan baik peningkatan terkait kualitas
produk maupun proses yang dilakukan. Disamping itu, hubungan dengan suplier tersebut
dibuktikan dengan kinerja suplier yang baik, dimana kinerja supplier sangat berpengaruh
terhadap proses bisnis perusahaan terutama jika berkaitan dengan proses produksi. Kinerja
supplier yang baik akan meningkatkan efektivitas kegiatan produksi.
Pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran diidentifikasi faktor sumber daya
manusia, sistem, dan prosedur organisasi terkait peningkatan kemampuan perusahaan. Beberapa
sasaran strategi yang dapat diterapkan untuk mengukur kinerja pada perspektif pertumbuhan
dan pembelajaran antara lain peningkatan kompetensi pegawai, efektifitas pemberian
training kepada pegawai, peningkatan budaya organisasi dan implementasi IT. Kompetensi
pegawai harus selalu ditingkatkan karena akan berefek pada seluruh proses bisnis perusahaan,
baik itu proses produksi, marketing, dan proses administrasi. Peningkatan kompetensi pegawai
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian training, sehingga dalam perspektif ini juga harus
diketahui efektivitas pemberian training terhadap peningkatan kompetensi pegawi. Selain itu
budaya organisasi juga harus diperhatikan dimana budaya organisasi akan berefek pada produktivitas
pegawai dalam menjalankan tugasnya. Lebih lanjut, dukungan terkait implementasi IT dalam
perusahaan akan meningkatkan efektivitas komunikasi antar pegawai dan akan mendorong
kelancaran proses bisnis organisasi.
PENUTUP
Dalam penelitian ini telah dikembangkan framework pengukuran kinerja yang
mengintergrasikan Balanced Scorecard dan Economic Value Added yang dapat diaplikasikan
UKM dalam rangka untuk meningkatkan daya saingnya. Dalam framework ini, Balanced
Scorecard digunakan untuk mengidentifikasi hal- hal yang dapat mendorong penambahan nilai
perusahaan. Sedangkan EVA digunakan untuk mengukur pencapaian nilai tambah perusahaan
dari segi ekonomi. Dengan kata lain, balanced scorecard menerjemahkan strategi yang dapat
diterapkan oleh perusahaan dalam upaya pencapaian EVA.
625
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Komponen-komponen EVA yang mempengaruhi pencapaian nilai EVA terdiri atas
NOPAT, pendapatan dari penjualan, biaya operasional dan biaya modal. Berdasarkan hal
tersebut sasaran yang dapat digunakan dalam perspektif finansial adalah peningkatan NOPAT,
peningkatan pendapatan dari penjualan, minimasi biaya operasional dan minimasi biaya modal.
Sedangkan sasaran pada 3 perspektif BSC lainnya yaitu perspektif pelanggan, perspektif proses
bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dapat diarahkan pada pencapaian
sasaran perspektif finansial dan disesuaikan dengan konteks dan karakteristik perusahaan.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
seluruh tim kelompok penelitian manajemen mutu yaitu Nidya Judhi Astrini, Sik Sumaedi, Tri
Widianti, M. Azwar Massijaya, I Gede Yuda Mahatma Bakti, dan Medi Yarmen, atas
kerjasama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, M., et al. 2011. Economic value added: a useful tool for SME performance
management. International Journal of Productivity and Performance
Management, 60, 6, 603-621.
Chandra Shil, N. 2009. Performance Measures: An Application of Economic Value
Added. International Journal of Business and Management, 4, 3, 169-177.
Cocca, P., Alberti, M. 2010. framework to assess performance measurement systems
in SMEs. International Journal of Productivity and Performance
Management, 59, 2, 186-200.
Galbraith, C. S., et, al. 2008. SME Competitive Strategy and Location Behavior: An
Exploratory Study of High-Technology Manufacturing. Journal of Small Business
Management, 46, 2, 183–202.
Garengo, P., et al. 2005. Performance measurement systems in SMEs: A review
for a research agenda. International Journal of Management Reviews, 7, 25–
47. Gunasekaran, A., et, al. 2000. Improving
operations performance in a small company: a case study. International
Journal of Operations Production Management, 20, 3, 316-335.
Hudson, M., et al. 2001. Theory and practice in SME performance measurement systems
International Journal of Operations Production Management, 21, 8, 1096-
1115.
Kaplan, R. S, Norton, D. P. 1992. The balanced scorecard ± measures that drive
performance. Harvard Business Review. Kaplan, R. S, Norton, D. P. 1996. Strategic
learning the balanced scorecard., Strategy Leadership, 24, 5, 18-24.
Kim, K. S., et al. 2008. Characterizing viability of small manufacturing enterprises SME
in the market. Expert Systems with Applications 34, 128–134.
Kiumarsi, S., et al. 2014. Marketing strategies to improve the sales of bakery products of
small-medium enterprise SMEs in Malaysia. International Food Research
Journal, 21, 6, 2101-2107.
Knight, G. 2000. Entrepreneurship and Marketing Strategy: The SME Under
Globalization. Journal of International Marketing,8, 2, 12–32.
Kristiyanti, M. 2012. Peran Strategis Usaha Kecil
Menengah UKM Dalam Pembangunan Nasional. Majalah Ilmiah
Informatika, 3, 1, 63-89. Kueng, P. 2000. Process performance
measurement system: Atool to support process-based organizations.
Total Quality Management, 11, 1, 67-85.
Neely, A., et al. 1995. Performance measurement system design A literature
review and research agenda. International Journal of Operations Production
Management, 15, 4, 80-116.
Neely, A., et al. 2000. Performance measurement system design: developing
and testing a process-based approach. International Journal of Operations
Production Management, 20, 10, 1119 – 1145.
Niven, P. R. 2006. Balanced Scorecard Step by step:
Maximizing Performance and
626
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Maintaining Result 2
nd
Ed. New Jersey: John Wiley Sons.
Phusavat, K. 2007. Roles of performance measurement in SMEs’ management
processes. Int. J. Management and Enterprise Development, 4, 4, 441-458.
Rickards, R. C. 2007. BSC and benchmark development for an e‐commerce SME.
International Journal of Benchmarking, 14, 2, 222-250.
Sharma, M. K., et al. 2005. Practice of performance measurement: experience
from Indian SMEs. Int. J. Globalisation and Small Business, 1, 2, 183-213.
Singh, R. K., et al,. 2010. The competitiveness of SMEs in a globalized economy
Observations from China and India. Management Research Review, 33, 1, 54-
65.
Singh, R.K., et al. 2008. Strategy development by SMEs for competitiveness: a review.
International Journal of Benchmarking,15, 5, 525-547.
Sipayung, 2009. Balanced Scorecard: Pengukuran Kinerja Perusahaan dan
Sistem Manajemen Strategis. Jurnal Manajemen Bisnis, 2, 7–14.
Sousa, S., Aspinal, E. 2010. Development of a performance measurement framework
for SMEs. Total Quality Management Business Excellence, 21, 5, 475-501.
Stankeviciene, J., Sviderske, T. 2010. Developing A Performance Measurement
System Integrating Economic Value Added And The Balanced Scorecard In
Pharmaceutical Company. Proceeding of 6th International Scientific Conference,
Lithuania.
Taticchi, P., et al. 2010. Performance measurement and management: a
literature review and a research agenda. Measuring Business Excellence, 14, 1, 4–
18.
Tennant, C., Tanoren, M. 2005. Performance management in SMEs: a Balanced
Scorecard perspective. Internationa Journal of
Business Performance Management, 7, 2, 123-143.
Utomo, L.L. 1999. Economic value added sebagai ukuran Keberhasilan kinerja
manajemen Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 1, 1, 28–42.
Varcoe, B. J. 1996. Facilities performance measurement. Facilities, 14, 1011, 46-51.
Warsono. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan. Malang: UMM Press.
Yusof, S. M., Aspinal, E. 2000. A conceptual framework for TQM implementation for
SMEs. The TQM Magazine, 12, 1, 31-36.
627
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Kebijakan Iptekin Dalam
Meningkatkan Daya
Saing
INDUSTRI KREATIF DAN KEBIJAKAN KEKAYAAN INTELETUAL DI INDONESIA: TINJAUAN KONSEPTUAL
Creative Industry and Intellectual Property Rights Policy in Indonesia: Conceptual Review
Anugerah Yuka Asmara
1
dan Setiowiji Handoyo
2
Pappiptek LIPI-Jakarta
1
Corresponding author: a.yuka.asmaragmail.com
2
Correesponng author: setio_whyahoo.com
Keyword A B S T R A C T
Creative Economy, Creative Industry, Policy, Intellectual
Property Rights Creative economy has been considered by many actors like academicians,
government, and society when President Susilo Bambang Yudhoyono launched Ministry of Tourism and Creative Economy Kemenparekraf in
2011. This is real condition by which creative economy is accounted as much 5,76 in 2013 or it preceeded national economy growth as accounted
as much 5,74. Even, creative industry has absorbed many human workers in leveraging success of industry. Creative economy spirit has significantly
reinforced since President of Joko Widodo Jokowi formed Creative Economy Agency Bekraf as part of working departments that he leads in
2015. According to its role, Bekraf is assigned to address creative economy in sIndonesia. Creative economy matters are plentiful and various, they are
new things to be managed in Indonesia. In 2016 year, Bekraf has prioritized 6 six sub-sector of cretive economy i.e: films, animation-design, music,
fashion, craft, and culinary FAM FKK. Materialization of sixth sub sectors is real in creative economy world. As a newly national economy source,
development of creative industry faces many challenges. The challenges are not only derived from the creative economy actors, but also how government
supports creative economy potentials. One of serious problems of creative economy actors is Intellectual Property Rights IPRs. They are confused in
many asspects of IPRs for example: classification of creative products into IPRs, management of creative products related to IPRS, and IPRs
protection policy of creative products. Whereas, government is challenged to increase perception and knowledge society concerning with IPRs on
creative products and its protection policy. This study is qualitative research that is limited on conceptual review related to IPRs policy can
stimulate creative economy in Indonesia. This finding study is that government intervention on creative economy sector especially on IPRs
policy is adjustment with industry need and kind of creative industry products.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
Ekonomi kreatif, Industri kreatif, Kebijakan, Kekayaan
Intelektual, Indonesia Ekonomi kreatif menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi,
praktisi, pemerintah, dan masyarakat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Kemenparekraf di tahun 2011. Hal ini menjadi kontribusi nyata tatkala ekonomi kreatif memberi sumbangsih kepada perekonomian nasional
sebesar 5,76 di tahun 2013 mengungguli rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,74. Bahkan industri kreatif juga menyerap banyak
jutaan tenaga kerja manusia dalam menopang keberhasilan industrinya. Gaung ekonomi kreatif semakin menguat ketika Presiden Joko Widodo
membentuk Badan Ekonomi Kreatif Bekraf sebagai bagian dari kabinet kerja yang dipimpinnya di tahun 2015. Sesuai namanya, Bekraf merupakan
agen pemerintah yang diberi kewenangan dalam mengurus segala hal terkait dengan ekonomi kreatif di Indonesia. Tugas baru yang diemban Bekraf ini
628
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Ekonomi kreatif menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, praktisi,
pemerintah, dan masyarakat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf di tahun 2011. Sejak tahun
tersebut, banyak pelaku ekonomi kreatif menjadi kelompok sasaran kebijakan pemerintah mulai
dari sektor kuliner, kerajinan, animasi, desain, fesyen, dan lainnya. Hal inilah yang kemudian
menjadi salah satu fokus dari pemerintah untuk menggali sumber pendapatan ekonomi baru yang
sebelumnya kurang diperhitungkan.
Para pelaku ekonomi kreatif memberikan kontribusi nyata tatkala sektor ini memberi
sumbangsih kepada perekonomian nasional sebesar 5,76 di tahun 2013 mengungguli rata-
rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,74 Pusat Komunikasi Kemenperin, 2015.
Bahkan industri kreatif juga menyerap banyak jutaan tenaga kerja manusia dalam menopang
keberhasilan industrinya. Studi Siagian 2014 mengungkap bahwa ada 11,8 juta orang yang
bekerja di subsektor ekonomi kreatif di tahu 2013 dengan rincian ialah 3,1 juta orang bekerja di
subsektor kerajinan, 3,8 juta orang bekerja di subsektor fesyen, 167.000 orang bekerja di
subsektor desain, dan sebanyak 43.000 orang bekerja di subsektor arsitektur.
Gaung ekonomi kreatif semakin menguat ketika Presiden Joko Widodo membentuk Badan
Ekonomi Kreatif Bekraf sebagai bagian dari kabinet kerja yang dipimpinnya di tahun 2015
melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif. Dengan adanya Bekraf,
berarti fungsi ekonomi kreatif yang semula menempel dalam Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif sudah dihilangkan. Dengan kata lain, urusan ekonomi kreatif telah dilimpahkan ke
Bekraf, sementara Kementerian Pariwisata fokus pada isu-isu kepariwisataan.
Sesuai namanya, Bekraf merupakan badan pemerintah yang diberi kewenangan dalam
mengurus segala hal terkait dengan ekonomi kreatif di Indonesia. Dari sekian sub sektor
ekonomi kreatif yang ada, di tahun 2016 ini Bekraf memberi prioritas pada pengembangan 6 enam
sub sektor ekonomi kreatif yaitu: film, animasi- desain, musik, fesyen, kerajinan, dan kuliner
FAM FKK. Keenam sub sektor tersebut diwujudkan dalam bentuk program
pengembangan “industri kreatif” sebagai bagian
memang memiliki cakupan kerja sangat luas karena beragamnya sub-sektor ekonomi kreatif yang ada di Indonesia. Di tahun 2016 ini, Bekraf memberi
prioritas pada pengembangan 6 enam sub sektor ekonomi kreatif yaitu: film, animasi-desain, musik, fesyen, kerajinan, dan kuliner FAM FKK.
Perwujudan keenam sub sektor ekonomi kreatif tersebut menjadi riil dalam istilah industri kreatif. Sebagai sumber ekonomi nasional baru,
pengembangan industri kreatif banyak menghadapai persoalan. Tantangan industri kreatif bukan hanya dari pelaku industri itu sendiri, melainkan juga
bagaimana peran pemerintah dalam mendorong industri kreatif tersebut. Salah satu hal yang dihadapi para pelaku industri kreatif dan pemerintah
ialah terkait dengan kekayaan intelektual KI. Pelaku industri kreatif menghadapi banyak isu KI mulai dari produk apa yang bisa memiliki KI,
bagaimana cara pengurusannya, dan sejauh mana proteksi yang mereka dapat dengan adanya KI. Sementara pemerintah masih ditantang dengan
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang KI dan implementasinya dalam melindungi produk-produk kreatif yang telah memiliki KI. Studi ini
merupakan penelitian kualitatif yang merupakan tinjauan konseptual terkait bagaimana kebijakan KI dapat mendorong pertumbuhan industri kreatif di
Indonesia. Temuan studi ini bahwa kebijakan KI pada sektor ekonomi kreatif merupakan bentuk intervensi pemerintah yang mana praktiknya
disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis dari produk-produk industri kreatif tersebut.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
629
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
implementatif dari pengembangan sektor ekonomi kreatif di Indonesia.
Sebagai agen pemerintah baru, tantangan industri kreatif bukan hanya dari pelaku industri
itu sendiri, melainkan juga bagaimana peran pemerintah dalam mendorong industri kreatif
tersebut. Salah satu hal yang dihadapi para pelaku industri kreatif dan pemerintah ialah terkait
dengan kekayaan intelektual KI. KI menjadi salah satu perhatian Pemerintah Indonesia saat ini
guna mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif nasional.
Ada 3 tiga fokus yang minimal diperhatikan yaitu: 1 lapangan usaha kreatif dan
budaya creative cultural industry; 2 lapangan usaha kreatif creative industry; dan 3 hak
kekayaan intelektual seperti hak cipta copyright industry Departemen Perdagangan Republik
Indonesia, 2008. Terkait KI, pelaku industri kreatif menghadapi banyak isu KI mulai dari
produk apa yang bisa memiliki KI, bagaimana cara pengurusannya, dan sejauh mana proteksi
yang mereka dapat dengan adanya KI.
Isu KI juga dirasakan oleh pemerintah terkait rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang KI, turunan program-program implementatif dalam melindungi produk-produk
kreatif baik yang telah memiliki HKI dan berpotensi mendapatkan HKI, serta sumber daya
internal yang dimiliki pemerintah untuk menjalankan kebijakan KI terhadap produk-
produk kreatif yang bernilai ekonomi. Hal ini tentu saja bukan hanya menjadi pekerjaan rumah
bagi Bekraf dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual – Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Ditjen KI – Kemenhum dan HAM, tetapi juga bagi kementerian lain seperti
Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah
UMKM, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, serta pemerintah daerah
terkait.
RUMUSAN MASALAH
Isu KI di produk-produk kreatif memang bukanlah hal baru, akan tetapi hal ini menjadi
penting ketika produk-produk tersebut telah memberikan nilai ekonomi serta tumbuh sebagai
salah satu penopang perekonomian nasional. Untuk itu, istilah industri kreatif muncul sekaligus
menggandeng konsep KI sebagai bagian dari entitas kreatif yang harus dilindungi.
Pertanyaannya ialah mengapa KI menjadi elemen penting bagi industri kreatif saat ini ? serta
bagaimana cara pemerintah meilindungi pelaku industri kreatif melalui kebijakan HAKI ?
TUJUAN
1. Menjabarkan pentingnya KI sebagai elemen dari perkembangan industri kreatif.
2. Mendeskripsikan cara pemerintah melindungi pelaku industri kreatif melalui kebijakan KI.
TINJAUAN PUSTAKA Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif
Konsep ekonomi kreatif telah diperkenalkan oleh John Howkins sekitar tahun
2000-an dimana menurut dia ekonomi kreatif muncul sebagai bagian dari dinamika ekonomi
yang berkembang saat ini. Menurut Howkins 2007, kreativitas bukanlah aktivitas milik
pribadi atau kepemilikian personal, justru kreativitas merupakan sesuatu yang bersifat
spiritual tetapi hal ini juga eksplisit dan dapat dinikmati oleh publik. Kreativitas bukan hanya
ekspresi personal, lebih dari itu kreativitas dapat meningkatkan kesuksesan sosial dan bisnis.
Riilnya, ekonomi kreatif merupakan kegiatan ekonomi yang mengandalkan ide-ide
baru sebagai modal utama dalam mengembangkan produk dan jasa sehingga terlihat unik daripada
yang lain. Beberapa contoh ekonomi kreatif yang terlihat dari sub sektornya antara lain: fesyen,
animasi, kuliner, kerajinan kriya, arsitektur, musik, dan lainnya. Mereka yang bergerak di
ekonomi kreatif pada umumnya tidak dibatasi pada seniman semata, namun juga siapapun yang
dapat menghasilkan ide-ide baru yang bisa diterima dan bernilai ekoonomi di pasar.
Ekonomi kreatif masih memiliki konsep umum, kegiatan ekonomi ini dapat berjalan
melalui serangkaian usaha yang dapat menghasilkan barang dan jasa serta dapat dijual ke
pasar. Hal inilah yang kemudian disebut dengan istilah industri, Di Indonesia sendiri pengertian
industri menurut Undang-undang RI No.3 Tahun
630
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
2014 tentang Perindustrian pasal 1 huruf 2 yaitu: ”industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi
yang mengolah bahan baku danatau memanfaatkan sumber daya industri sehingga
menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk juga
jasa industri.”
Industri kreatif memiliki makna yang kurang lebih sama dengan definisi ekonomi
kreatif. Menurut UNDP and UNCTAD 2008, industri kreatif mencakup lingkaransiklus kreasi,
produksi, dan distribusi barang-barang dan jasa yang menggunakan modalaset intelektual sebagai
input utama, mengedepankan aktivitas-aktivitas berbasis pengetahuan knowledge-based
activities, yang fokus dan tidak terbatas pada seni arts. Industri kreatif berpotensi menghasilkan
pendapatan dari gagasan intelektual yang abstrak intangible intellectual atau jasa artistik dengan
konten kreatif, nilai ekonomis, dan tujuan pasar. Di satu sisi industri ini mencakup lintas sub-sektor
industri, jasa, dan artisan, dan merupakan sebuah sektor dinamika baru di dunia perdagangan.
Industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif yang merupakan
program ekonomi yang digagas oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Kemendag RI
yang meliputi industri periklanan, TV dan radio, film, video dan fotografi, desain, musik, seni
pertunjukan, fashion, penerbitan dan percetakan, kerajinan, layanan komputer dan piranti lunak,
permainan inetrkatif, pasar barang seni, dan kegiatan penelitian dan pengembangan litbang
yang masuk dalam 14 kategori industri kreatif yang ditetapkan oleh Kemendag RI tahun 2009-
2015.
Di Indonesia sendiri, industri kreatif merupakan hal yang menjadi wacana dan istilah
baru di era 2010-an, namun pada dasarnya kegiatan ekonomi ini telah tumbuh dan
berkembang di tahun-tahun sebelumnya meskipun intervensi pemerintah tidak dirasakan secara
langsung. Namun demikian, hadirnya industri kreatif merupakan salah satu sektor yang dapat
meningkatkan sumber perekonomian baru baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Perluasan
lapangan kerja, capaian kinerja pemerintah, serta pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu,
kebijakan yang lebih pro industri kreatif menjadi penting untuk dikembangkan dalam hal ini
KEBIJAKAN SEKTOR INDUSTRI KREATIF
Kebijakan atau policy merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam
menyelesaikan suatu persoalan di masyarakat. Kebijakan pun juga dapat berarti upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menjadikan serta meningkatkan suatu kegiatan yang ada dalam
masyarakat agar dapat dimanfaatkan bersama di lingkungan masyarakat tertentu. Ini artinya,
kebijakan tidak selalu identik dengan persoalan yang ada di masyarakat, melainkan juga suatu hal
yang dapat mendorong keberlangsungan aktivitas masyarakat yang sudah dibentuk sejak lama.
Pada dasarnya kebijakan merupakan suatu keputusan decision. Smith 2008 mengartikan
kebijakan sebagai sebagai sebuah pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah yang
mengarahkan tindakan di dalam keadaan yang serupasama. Hal ini juga ditekankan oleh
Wibawa 2011 bahwa kebijakan merupakan serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan
kepada para pelaksana, yang menjelaskan cara- cara mencapai suatu tujuan apapun.
Dalam konteks ekonomi kreatif, kebijakan diarahkan pada suatu pengambilan
keputusan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan kewirausahaan dan ekonomi
berbasis pengetahuan
knowledge-based economy yang keduanya merupakan bagian dari
materialisasi industri kreatif. Keputusan disini bisa dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung namun memiliki tujuan sama, yaitu munculnya ekonomi-ekonomi baru dan kreatif di
lingkungan masyarakat.
Menurut UNCTAD dalam Nurse and Nicholis 2011, upaya pemerintah perlu
dilakukan dalam mendorong industri kreatif di negaranya. Pemerintah dapat melakukan
penguatan lingkungan industri kreatif mulai dari perihal kreasi, produksi, dan distribusi barang dan
jasa yang menggunakan kreativitas dan modal intelektual; seperangkat aktivitas berbasis
pengetahuan, produk-produk berwujud tangible
631
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dan tak berwujud intangible dengan konten kreatif, nilai tambah, dan target pasar;
memerlukan lintas keahlian baik di sektor jasa maupun industri; serta merupakan sektor ekonomi
dinamis dalam perdagangan dunia.
KEKAYAAN INTELEKTUAL
Kekayaan Intelektual KI merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk melindungi hak-hak intelektual seseorangkelompok ataupun produk-produk
barangjasa baru yang dihasilkan oleh seseorangkelompok di pasaran. Lingkup KI
terbatas pada koridor hukum yang ada di masing- masing negara, meskipun demikian KI memiliki
dampak luas hingga ke berbagai negara.
Menurut The World Intellectual Property Organization WIPO
2008, kekayaan intelektual intellectual property merupakan hak-
hak secara legal yang dihasilkan dari aktivitas- aktivitas intelektual di sektor industri, saintifik,
literasi, dna bidang-bidang artistik. Tiap negara memiliki peraturan untuk melindungi kekayaan
intelektual dengan dua alasan utama. Pertama, memberikan pernyataan hukum statutory pada
hak-hak moral dan ekonomi dari para kreator dalam hal kreasi yang mereka ciptakan dan gak
publik untuk mengakses hasil-hasil kreasi mereka. Kedua, mendorong, sebagai tindakan penghubung
deliberate act dari kebijakan pemerintah, aktivitas, dan diseminasi dan aplikasi dari hasil-
hasilnya dan untuk mendorong perdagangan jujur dan adil fair trading yang akan berkontribusi
pada pengembangan sosial dan ekonomi.
Tujuan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap kekayaan intelektual individu
atau kelompok sebagaimana yang dijelaskan oleh WIPO memang berkenaan dengan asas
menghargai jerih payah mereka dan juga memberi kesempatan kepada penggunanya tanpa harus
merusak hasil karyanya. Pada Konvensi yang diselenggarakan di Stockholm pada 14 Juli 1967
artikel 2: viii memberi pernyataan bahwa: hak- hak kekayaan intelektual meliputi berbagai hal
yang antara lain WIPO, 2008:
Literasi, artisitik, dan karya-karya ilmiah, Peformakinerja dari kegiatan
senimanartis, phonograms, dan penyiaran,
Penemuan-penemuan di berbagai bidang yang melibatkan upaya manusia,
Penemuan ilmiah, Desain industri,
Merek dagang trademark, merek jasa service mark, nama-nama
dagangkomersial, dan lambang atau singkatan,
Perlindungan terhadap persaingan yang tidak sehat,
dan seluruh hak lainnya yang berasal dari aktivitas intelektual di dalam industri,
saintifik, literasi, dan bidang-bidang artistik.
Sebagaimana yang disebutkan oleh WIPO di atas terkait kriteria hak perlindungan kekayaan
intelektual, maka kekayaan intelektual menjadi bagian penting dari pengembangan ekonomi
kreatif di negara manapun. Produk-produk kreatif yang diciptakan di dunia tidak terlepas dari ide-ide
baru penemunya. Hal inilah yang kemudian menjadi aset intelektual sehingga perlu dilindungi.
Howkins 2013 menyebutkan bahwa “in a crative economy, a person’s imgination is their
most valuable asset. In total, it is likely the value of the world’s intellectual capital exceeds the
value of its financial and physical capital. It is clearly greater part of arts, culture, design, media,
and innovation.
Di Indonesia sendiri, KI disesuaikan dengan koridor wilayah hukum yang ada. Menurut
buku panduan tentang KI yang disusun oleh Ditjen KI-Kemenhunham 2013, Hak Kekayaan
Intelektual, disingkat HKI, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property
Rights IPR, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau
proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis
hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul
atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
632
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Hampir serupa dengan pembagian HKI versi WIPO, ada beberapa hal yang diberikan
perlindungan HKI oleh pemerintah Indonesia antara lain Ditjen HKI-Kemenhunham, 2013:
Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 dua bagian, yaitu:
1 Hak Cipta copyright;
Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
2 Hak kekayaan industri industrial property rights, yang mencakup:
a Paten patent; - b Desain industri industrial design; -
c Merek trademark : merek dagang, merek jasa, dan merek kolektif
d Penanggulangan praktek persaingan curang repression ofunfair competition;
e Desain tata letak sirkuit terpadu layout design ofintegrated circuit;
f Rahasia dagang trade secret. g Indikasi geografis
Dalam ekonomi kreatif di Indonesia, KI memiliki berbagai bentuk yang berbeda
tergantung dari produk barangjasa apa yang harus diberikan perlindungan. Bervariasinya produk-
produk kreatif juga akan membedakan unsur jenis KI yang diberikan. Namun demikian, KI tidak
terbatas pada satu produkjasa saja, melainkan juga hal-hal yang bersifat rahasia yang itu dapat
dipublikasikan atas persetujuan pemilik penemunya.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
secara utuh terhadap suatu fenomena. Penelitian kualitatif Menurut Simatupang 2016 dilandasi
pada filsafat pospositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,
dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna.
Sumber Data
Sumber data dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen seperti buku, artikel, jurnal
ilmiah, working papers, peraturan perundangan, media massa, dan berbagai dokumen lain terkait.
Inilah kemudian yang menjadi dasar bahwa studi ini merupakan tinjauan literatur. Dalam studi
literatur, data yang digunakan harus benar-benar mendukung riset dan akurasinya dapat
dipertanggungjawabkan serta memiliki kebaruan informasi.
Teknik Analisis
Sebagai studi literatur, penekanan konseptual terhadap isu-isu industri kreatif dan kebijakan
Kekayaan Intelektual KI menjadi hal utama yang menjadi concern pada bahasan studi ini. Meskipun
demikian, kebaruan informasi yang diperoleh oleh penulis baik dari informasi eksternal maupun
keterlibatan penulis dari kegiatan penelitian sebelumnya terkait dengan ekonomi kreatif,
kebijakan, dan KI memberikan penguatan terhadap analisis studi ini. Kekuatan studi literatur
ialah terletak pada kemampuan penulis dalam mewujudkan gagasan konsep ke dalam kondisi riil
di lapangan.
Kerangka Pikir Analisis
Di ilmu kebijakan, model sistem menjadi salah satu model yang umum dikembangkan
dalam model analisis kebijakan. Di dalam model ini ada 3 tiga hal pokok yang perlu dimiliki agar
suatu kebijakan dapat dipahami sebagai suatu sistem yaitu: inputs
masukan-masukan, processes proses-proses, dan outputs keluaran-
keluaran. Dari berbagai masukan kemudian dikonversi ke dalam proses. Dalam tahap “proses”
banyak diliputi serangkakan pengambilan keputusan yang mana oleh Smith 2008 dan
Wibawa 2011 disebut sebagai inti dari kebijakan yang melibatkan kekuatan dan pengaruh politik di
633
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dalamnya. Dari tahap “proses” kemudian keluar berbagai bentuk kebijakan riilnya.
Wahab 2008 mengatakan bahwa input dapat meliputi kekayaan alam, harta benda,
pengetahuan dan teknologi yang kemudian disalurkan melalui “kotak hitam pengambilan
keputusan” atau yang dikenal juga dengan “proses konversi”, untuk kemudian menghasilkan
keluaran-keluaran outputs, berupa keputusan- keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Model yang dikembangkan oleh Jenkins dalam Wahab 2008 yang memuat model sistem ini
dapat pula digunakan dalam analisis studi ini Gambar 1.
Sumber: Dikutip dari Jenkins dalam Wahab 2008 dengan penambahan konten sub
sektor ekonomi kreatif dan kebijakan KI di dalamnya.
Terkait dengan kebijakan KI pada sektor industri kreatif, model sistem ini dipandang perlu
dalam menentukan pentingnya KI bagi industri kreatif sebagai bagian dari “input” kebijakan serta
upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap pelaku industri kreatif
sebagai “output” kebijakan. Antara input dan output tersebut tentunya ada “proses”
pengambilan keputusan yang melibatkan sistem politik di dalamnya. Berbagai kepentingan politik
yang bersinggungan dengan industri kreatif dan KI juga diulas sebagai bagian dari proses konversi
dalam pengambilan kebijakan.
DISKUSI 4.1 Pengaruh Politik dan Kebijakan Ekonomi
Kreatif Lingkungan politik yang ada di Indonesia
khususnya setelah era reformasi di tahun 2000-an telah memberi banyak perubahan. Rezim
pemerintah yang sebelumnya tersentral di pemerintah pusat zaman orde baru telah berubah
berada di tangan pemerintah daerah. Bahkan beberapa hal terkait dengan keterbukaan pendapat
dan tuntutan publik terhadap kinerja pemerintah
menjadi hal wajar di era saat ini. Era keterbukaan serta munculnya
gagasan-gagasan baru dari tiap individu serta adanya komunitas-komunitas sosial menjadikan
era reformasi penuh dengan gejolak sosial-budaya dan politik-ekonomi. Berbagai individu maupun
komunitas menuntut hak mereka serta menginginkan pemerintah mengakui ide serta
hasil karya mereka yang sebelumnya tidak diakui oleh pemerintah di era orde baru. Tidak hanya
terbatas pada keinginan reformasi di bidang hukum, partisipasi politik yang luas, serta
perekonomian yang menguat dan mengakar, namun juga adanya perubahan sosial-budaya juga
terjadi di dalam struktur masyarakat.
Tuntutan-tuntuan Dukungan-dukungan
Sumber-sumber -isu-isu di ekonomi
kreatif dan perlindungan aset intelektualnya-
Proses-proses konversi pengambilan keputusan
untuk mengakomoditr berbagai masukan terkait
dengan ekonomi kreatif dan perlindungan aset
intelektualnya Hasil akhir
kebijakan berupa regulasi, program,
rencana teknis, atau lainnya sebagai
bagian dari kebijakan KI
Keluran-keluaran kebijakan yang
merupakan bentuk intervensi pemerintah
dalam melindungi aset intelektual pada pelaku
ekonomi kreatif kebijakan KI
Hasil akhir kebijakan
Output: Keluaran kebijakan
Proses: Sistem politik
Input: Lingkungan masukan-masukan
Lingkungan
Lingkungan Lingkungan
Lingkungan: mencakup sosial, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi masukan-masukan, variabel-variabel sistem, keluaran-keluaran kebijakan dan hasil-hasil akhir
kebijakan
634
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tidak hanya politisi atau pemilik modal yang ingin mengambil dampak dari era reformasi
ini, melainkan juga para seniman musisi, tari, teater, artis, arsitektur, photografer, animator, dan
lainnya juga ingin mengambil kesempatan agar apa yang mereka inginkan dan butuhkan dapat
direspon oleh pemerintah melalui suatu kebijakan. Baik individu maupun komunitas yang memiliki
ide-ide atau gagasan-gagasan baru serta rencana- rencana tertentu mendorong pemerintah agar
mendukung hal tersebut.
Lantas siapa yang mendorong pemerintah untuk merespon kebijakan ekonomi kreatif saat
ini? Di era penuh keterbukaan ini pendorong atau pencetus kebijakan ekonomi kreatif bukan hanya
domain pemerintah semata, bukan pula keinginan dari seseorang atau komunitas tertentu. Kebijakan
ekonomi kreatif justru muncul dari fenomena sosial-budaya yang diperkuat oleh aspek
kepentingan politik-ekonomi yang ada di Indonesia. Artinya, kebijakan ekonomi kreatif di
Indonesia merupakan hasil berbagai kepentingan yang menginginkan munculnya ekonomi kreatif
sebagai bagian dari sumber pendapatan ekonomi baru bagi pemerintah dan masyarakatnya.
Dorongan para pelaku ekonomi kreatif serta hasil karya mereka yang dapat diterima oleh
masyarakat dalam dan luar negeri mendorong para elit politik untuk membawa isu “ekonomi kreatif”
ke dalam agenda politik pemerintah yang kemudian diteruskan kepada agenda perumusan
kebijakan. Tarik ulur kepentingan politik untuk mendorong ekonomi kreatif didukung oleh
pemangku kepentingan di luar sektor ekonomi kreatif karena jumlah pelaku ekonomi kreatif
secara visual bertambah dan tersebar di berbagai tempat. Disinilah momentum ekonomi kreatif
muncul saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono SBY mulai tahun 2004-2009
Periode I hingga tahun 2009-2014 Periode II.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, isu ekonomi kreatif diperkuat secara
kebijakan dan kelembagaan. Secara legal formal, ekonomi kreatif telah menjadi pertimbangan
khusus Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkan Instruksi Presiden Inpres No. 6 pada tahun 2009
tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Selanjutnya di tahun 2011, Presiden membentuk
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf di bawah Menteri Ibu Marie
Elka Pangestu berdasar pada Peraturan Presiden Perpres Nomor 92 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan
Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara.
Munculnya Kemenparekraf mengindikasikan bahwa antara sektor pariwisata
dan ekonomi kreatif memiliki kedekatan dari pendekatan nilai ekonomi. Memang banyak sektor
ekonomi kreatif yang menempel pada sektor pariwisata seperti kuliner, kriya kerajinan,
fesyen. Kuliner misalnya merupakan sektor ekonomi kreatif yang melekat di sektor pariwisata
sebagaimana yang dicontohkan di Kota Muskoka di negara Kanada Shyllit and Spencer, 2011; Lee
et al., 2015. Namun demikian, tidak semua sektor ekonomi kreatif melekat pada sektor pariwisata
seperti arsitektur, musik, desain-animasi, dan lainnya.
Seiring waktu, perhitungan sektor ekonomi kreatif mengalami peningkatan
khususnya kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto PDB. Di tahun 2002-2006, rata-
rata Kontribusi Sektor Industri pada PDB ialah Rp 104,6 Triliun, yaitu 6,3 dari total nilai PDB
Nasional. PDB Industri Kreatif banyak disumbangkan oleh Kelompok Fesyen, Kerajinan,
Periklanan Desain dengan rata-rata nilai PDB kelompok industri kreatif tersebut tahun 2002-
2006 secara berturut-turut adalah Rp 46 triliun 44,18, Rp 29 triliun 27,72, Rp 7 triliun
7,03, dan Rp. 7 triliun 6,82 Berbagai sumber yang dirangkum oleh Pangestu, 2008. Di
tahun 2013, ekonomi kreatif memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian
nasional sebesar 5,76 yang mengungguli tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sekitar
5,74 Pusat Komunikasi Kemenperin, 2015.
Meningkatnya kontribusi industri kreatif terhadap PDB nasional didorong juga banyaknya
permintaan dari pelaku industri kreatif yang mendorong elit politik untuk memberikan ruang
lingkup lebih luas untuk meng-address isu-isu ekonomi kreatif. Pergantian rezim kepemimpinan
635
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dari SBY ke Joko Widodo di periode 2014-2019 menjadi momentum ketika pendukung Presiden
Joko Widodo tidak terlepas dari pelaku ekonomi kreatif dan juga netizen
3
. Di era Presiden Joko Widodo ini ekonomi
kreatif menjadi sektor unggulan dengan pernyataan presiden yang ditantandatangani
langsung bahwa: ekonomi kreatif merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Secara
kelembagaan dan legal, Joko Widodo melahirkan Badan Ekonomi Kreatif Bekraf sebagai agen
pemerintah yang paling baru dan bertugas mengurusi segala hal di bidang ekonomi kreatif di
Indonesia. Bekraf merupakan agen baru yang secara kelembagaan mengambil alih wewenang
Kementerian Pariwisata yang di era sebelumnya melekat sebagai Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif Kemenparekraf.
Bekraf didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan
Ekonomi Kreatif yang saat ini diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan
Ekonomi Kreatif. Praktiknya, Bekraf dipimpin oleh Bapak Triawan Munaf
4
dan mulai melakukan tugas pertama sebagai kepala badan dan mulai
mendapatkan dukungan anggaran rutin pemerintah melalui APBN pada tahun 2016.