Dampak Inovasi Kesimpulan Sharing UMKM

Kepuasan Pelanggan Pelayanan Pelaksana Biaya Pengaduan IKP1 IKP2 IKP2 Kredibel Kontribusi Kemampuan Komunikasi Kepatuhan QR1 QR2 QR3 QR4 QR5 QR6 QR7 QR9 QR10 QR11 QR12 QR13 QR14 QR15 QR16 QR17 QR18 QR19 QR20 QR8 QR21 QR22 QR23 QS1 QS3 QS3 QS4 QS5 QS6 QS7 QS8 QS9 Gambar 3. Model Kepuasan Pelanggan untuk Institusi Penelitian di Indonesia 611 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 DAFTAR PUSTAKA Bakti, IGMY., dan Sumaedi, S 2013. An analysis of library customer loyalty The role of service quality and customer satisfaction, a case study in Indonesia, Library Management, 34 67 , 397-414 Caceres, R.C, dan Paparoidamis, N.G., 2007. Service quality, relationship satisfaction, trust, commitment and business-to-business loyalty, European Journal of Marketing, 41 7, 836 – 867 Erevelles, S. dan Leavitt, C. 1992, A Comparison of Current Models of Consumer Satisfaction Dissatisfaction, Journal of Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining Behavior, 5, 194-114 European Science Foundation, 2012. Evaluation in research and research fundingorganisations: European practices. In: A report by the ESF Member Organisation Forum on Evaluation of Publicly Funded Research., ISBN978-2- 918428-83-1.External Research Assessment Fornell, Claes, Michael D. Johnson, Eugene W. Anderson, Jaesung Cha, dan Barbara Everitt Bryant 1996. The American Customer Satisfaction Index: nature, purpose, and findings, Journal of Marketing, 60, 124-134 Giese, J.L. dan Cote, J.A. 2002. Defining Consumer Satisfaction, Academy of Marketing Science Review, 2000 1. Hsu, S.-H. 2008, Developing an index for online customer satisfaction: Adaptation of American Customer Satisfaction Index. Expert System with Application, 34, 3033 – 3042. ISO 2015, ISO 9001, International Standard, Quality Management Systems Requirements, Geneva. Johnson, M., Gustafsson, Andreasson, T.W., Lervik, L., dan Cha, J. 2001. The evolution and future of National Customer Satisfaction Index Models, Journal of economic Psychology, 22 2, 217 – 245. Kaplan, Robert S., 2012. Conceptual Foundations of the Balanced Scorecard, Working paper, Harvad Business School. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP25M.PAN22004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Kim, Schangsu, 2008. An Emperical Study on the Integrated Framework of e-CRM in Online Shopping : Evaluating the Relationships Among Perceived Value, Satisfaction, and Trust Based on Customers’ Perspectives, Journal of Electronic Commerce in Organization, 6 3, 1 – 19. Kitapci, O., Akdogan, C., dan Dortyol, I.T. 2014. The Impact of Service Quality Dimensions on Patient Satisfaction, Repurchase Intentions and Word-of-Mouth Communication in the Public Healthcare Industry, Procedia - Social and Behavioral Sciences, 148 2014 , 161 – 169. Kotler, P., dan Keller, K. L. 2012. Marketing management 14th ed.. Upper Saddle River, Prentice Hall: New Jersey. Mårtensson, P., Fors, U., Wallin, S.-B., dan Zander, U. 2016. Evaluating research: A multidisciplinary approach to assessing research practice and quality, Research Policy, 45 3, 593 – 603. Moreira , A.C., dan Silva , P.M., 2015. The trust-commitment challenge in service quality-loyalty relationships, International Journal of Health Care Quality Assurance, 28 3, 253 – 266. Parasuraman, A., Valarie A. Zeithaml, and Leonard L. Berry. 1988. SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality, Journal of Retailing, 64 Spring, 12–37. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 612 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 tahun 2014 tentang Pedoman Evaluasi Reformasi Birokrasi Instansi Pemerintah. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2014 tentang Pedoman Survei Kepuasan Pelanggan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015 – 2019 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 - 2025. Teo, R, dan Soutar, G.N. 2012. Word of mouth antecedents in an educational context: a Singaporean study. International Journal of Educational Management, Vol. 26 7, 678 – 695. Triyono, B. dan Putera, P.B. 2013. Indeks Kepuasan Masyarakat Spesifik Lembaga Penelitian dan Pengembangan : Implementasi Mode ACSI. Jurnal Borneo Administrator, 9 1, 53 – 74. Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian P2SMTP – LIPI dengan kepakaran Manajemen Kualitas. 613 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Framework Pengukuran Kinerja UKM: Integrasi Balanced Scorecard dan Economic Value Added SME Performance Measurement Framework: Integration of Balanced Scorecard and Economic Value Added Sih Damayanti 1 , Tri Rakhmawati 2 Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Kawasan PUSPIPTEK Gedung 417, Setu, Tangerang Selatan, Banten 15314 sihdamayantigmail.com 1 , rakhma_triyahoo.com 2 Keyword A B S T R A C T performance measurement, SME, framework, Balanced Scorecard, Economic Value Added Nowadays, Small and Medium Enterprises SME have an important role in encouraging Indonesian economy. However, the increasing of fiercer global competition makes the existence of SME is threatened. To deal with this, it is needed a strategy that can improve the competitiveness of SME. One of strategies which can be applied to support the competitiveness improvement of SME is an SME performance measurement system. The SME Performance measurement system implementation aims to determine the SME performance level, how the effectiveness and efficiency of the SME business processes based on the targets that have been defined before. Based on the performance measurement results, SME can evaluate and re- planning policies to be applied to achieve better performance. This study aims to develop an SME performance measurement framework. This study will employ a desk research approach. Framework developed by integrating Balanced Scorecard and Economic Value Added. The results of this study indicate that the integration between Balanced Scorecard and Economic Value Added can be used as a SME performance measurement tools. EVA components that must be considered and be lagging indicators of SME performance consisting of Net Operating Profit After Tax NOPAT, revenue from sales, operating costs and capital costs Kata Kunci S A R I K A R A N G A N Pengukuran Kinerja, UKM, framework, Balanced Scorecard, Economic Value Added Saat ini, Usaha Kecil dan Menengah UKM mempunyai peranan penting dalam mendorong perekonomian Indonesia. Namun, persaingan global yang semakin ketat membuat eksistensi UKM menjadi terancam. Untuk menghadapi hal tersebut, diperlukan suatu strategi yang dapat meningkatkan daya saing UKM. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mendukung peningkatan daya saing UKM adalah penerapan sistem pengukuran kinerja UKM. Penerapan sistem pengukuran kinerja UKM bertujuan untuk mengetahui tingkat kinerja UKM, seberapa efektif dan efisien proses bisnis yang dilakukan UKM yang didasarkan pada target yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan hasil pengukuran kinerja tersebut, UKM dapat melakukan evaluasi dan perencanaan kembali terkait kebijakan yang akan diterapkan untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Makalah ini bertujuan untuk mengembangkan framework pengukuran kinerja UKM. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan desk research. Framework yang dikembangkan merupakan intergrasi antara Balanced Scorecard dan Economic Value Added. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa integrasi antara Balanced Scorecard dan Economic Value Added dapat digunakan sebagai alat pengukuran kinerja UKM. Komponen-komponen EVA yang harus diperhatikan dan menjadi lagging indicator kinerja UKM terdiri atas Net Operating Profit After Tax NOPAT, jumlah pendapatan dari penjualan, biaya operasional dan biaya modal. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 614 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENDAHULUAN Saat ini UKM mempunyai peranan penting dalam mendorong perekonomian Indonesia. Beberapa peranan penting UKM tersebut antara lain: UKM memberi kontribusi terhadap GDP sebesar 56 , UKM menyerap tenaga kerja lebih dari 100 juta pekerja Indonesia BPS, 2014, UKM ikut membantu dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia dan juga dengan sifatnya yang mandiri dan tidak tergantung terhadap ekonomi makro, UKM berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik . Peran penting UKM juga telah banyak disampaikan dalam beberapa penelitian. Kristiyanti 2012 menyebutkan bahwa UKM mempunyai beberapa peran strategis terhadap perekonomian nasional, diantaranya adalah UKM berperan dalam peningkatan perekonomian, penyerapan tenaga kerja dan juga UKM berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan ke daerah-daerah. Hal tersebut mengingat bahwa UKM tidak hanya perpusat di kota-kota besar tetapi tersebar di seluruh daerah. Hal senada juga disampaikan oleh Gunasekaran et, al 2000 yang mengatakan bahwa UKM mempunyai peranan yang signifikan, terutama dalam pertumbuhan perekonomian nasional, peningkatan daya saing, inovasi dan penyerapan tenaga kerja. Lebih lanjut Gunasekaran, et al 2000 juga menyebutkan bahwa peran besar UKM tersebut didukung oleh kemampuan UKM untuk cepat berinovasi serta tingkat fleksibilatas UKM yang tinggi. Namun meskipun UKM sangat berperan dalam perekonomian nasional, UKM Indonesia masih harus mengahadapi beberapa tantangan, terutama yang berkaitan dengan persaingan. Liberalisme perdagangan memungkinkan produk dari perusahaan besar dan bahkan produk dari luar negeri mencapai ke pelosok daerah di tanah air singh, et al, 2010. Hal tersebut menyebabkan kesulitan UKM lokal untuk mempertahankan posisi bisnis mereka di pasar masing-masing singh, et al, 2010. Terlebih lagi pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean MEA di Indonesia mulai tahun 2015menjadi tantangan terbesar UKM Indonesia saat ini. Tujuan MEA adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis industri. Semua barang, jasa, investasi, modal, bahkan tenaga kerja akan bebas mengalir free flow antar negara-negara anggota ASEAN. Integrasi ekonomi dalam MEA tersebut menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pelaku usaha nasional terutama UKM. Integrasi kawasan atau regionalisasi antar negara-negara anggota ASEAN akan memberikan peluang usaha dan pasar yang lebih besar bagi UKM. Namun jika tidak disertai dengan kesiapan UKM, peluang tersebut akan menjadi ancaman bagi UKM. Jika UKM tidak mampu bersaing dengan produk- produk dari negara anggota ASEAN lainnya, besar kemungkinan jika banyak UKM di Indonesia yang akan gulung tikar. Dalam rangka untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, UKM harus senantiasa meningkatkan daya saingnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing UKM adalah penerapan sistem pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja telah menjadi komponen penting dari strategi pembangunan UKM agar tumbuh secara berkelanjutan dalam pasar global yang sangat kompetitif singh, et al, 2008. Seperti yang diungkapkan Garengo 2005, untuk mengahadapi perubahan-perubahan yang terjadi, seperti meningkatnya lingkungan yang kompetitif, munculnya hal-hal baru yang rawan memberikan ancaman, konsep kualitas yang selalu berevolusi, meningkatnya kesadaran untuk fokus pada perbaikan yang terus menerus, dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang signifikan, mengharuskan UKM untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja yang sesuai dengan konteks organisasi, terutama untuk UKM industri manufaktur Garengo et al., 2005. Sistem pengukuran kinerja dipercayai sebagai sarana yang dapat digunakan untuk meningkatkan keunggulan organisasi dalam era kompetisi dan juga sebagai sarana pendukung yang dapat digunakan untuk membuat suatu perubahan pada organisasi sebagai bentuk adaptasi tehadap perubahan-perubahan yang ada cocca dan Alberti, 2010. Sistem pengukuran kinerja juga merupakan elemen penting yang diperlukan organisasi untuk dapat mencapai kinerja yang tinggi, terutama terkait kemampuan dalam mengukur serta memonitor kinerja organisasi secara efektif cocca dan Alberti, 2010, Sharma, 2005. Hal yang sama juga disampaikan oleh Sousa dan Aspinal 2010, bahwa dengan 615 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 mengukur kinerja dapat digunakan sebagai alat monitor, kontrol, strategi komunikasi, memastikan bahwa keputusan yang dibuat merupakan keputusan yang terbaik yang juga dilengkapi dengan rencana tindakan untuk mengatasi konsekuensi dari pengambilan keputusan, dan untuk mengecek apakah kegiatan yang dilakukan sesuai dengan yang direncanakan. Berdasarkan hal tersebut penting bagi setiap UKM untuk menerapkan sistem pengukuran kinerja. Sistem pengukuran kinerja yang diterapkan dalam UKM saat ini kebanyakan adalah sistem pengukuran kinerja tradisional dimana kinerja diukur hanya dari aspek keuangan. Sementara aspek diluar keuangan tidak begitu dipertimbangkan. Sistem pengukuran kinerja tradisional tersebut memiliki beberapa kelemahan. Neely, et al 2000 menyebutkan bahwa sistem pengukuran kinerja tradisional hanya berfokus pada satu dimensi sehingga dapat dikatakan bahwa pengukuran kinerja tersebut masih sangat sempit. Kueng 2000 juga menyebutkan bahwa perspektif yang sempit pada pengukuran kinerja tradisional dapat mengarahkan pada penilaian yang tidak seimbang dan juga membatasi kekuatan organisasi untuk melakukan perbaikan terus menerus. Hal tersebut disebabkan karena aspek non finansial yang tidak menjadi salah satu dimensi dalam pengukuran kinerja tersebut merupakan kunci peningkatan kinerja organisasi di masa depan Kueng, 2000. Selain itu, pengukuran secara tradisional biasanya hanya berfokus pada tujuan jangka pendek tidak dilakukan untuk tujuan jangka panjang Sharma, 2005. Mengacu pada Kaplan 1992, kelemahan- kelemahan pengukuran kinerja tradisional tersebut dapat diatasi apabila organisasi menerapkan pengukuran yang seimbang balanced of measures Neely, et al, 2000. Konsep “seimbang” tersebut diartikan sebagai pentingnya melakukan pengukuran kinerja dengan cara yang berbeda yang mempertimbangkan beberapa perspektif secara bersama-sama dan dapat menggambarkan organisasi secara keseluruhan Taticchi, et al, 2010. Belum diterapkannya sistem pengukuran kinerja yang baik di UKM disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah UKM biasanya memiliki sumberdaya terbatas dan kurangnya keahlian dari segi manajerial Garengo et al, 2005. Selain itu, kondisi finansial UKM yang belum kuat menyebabkan belum UKM belum mampu melakukan berbagai upaya perbaikan Hudson, et al, 2001; Yusof dan Aspinwall, 2000. Kondisi finansial UKM sangat menentukan keberlangsungan kegiatan yang ada di UKM. Hal tersebut menyebabkan segi finansial menjadi tolak ukur utama kinerja UKM. Namun demikian, pengukuran kinerja yang hanya dilakukan dalam jangka pendek ditambah ketidakpastian dan cepatnya perubahan lingkungan menyebabkan kesulitan dalam mengontrol dan mengarahkan UKM pada peningkatan kinerja yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut perlu dikembangkan suatu framework pengukuran kinerja yang sesuai dengan karakteristik UKM. Dalam sistem pengukuran kinerja, sangat penting untuk mengidentifikasi cara mengukur yang sesuai yang dapat mengevaluasi tujuan global UKM sharma, 2005. Lebih lanjut, karakteristik organisasi harus diperhitungkan dalam implementasi sistem yang ada di UKM dan juga menentukan tipe pengukuran kinerja yang akan diimplementasikan yang pastinya berbeda dengan organisasi lainnya Sousa dan Aspinwal, 2010. Selain itu, pemilihan pendekatan yang digunakan untuk mengukur dan meningkatkan kinerja merupakan masalah utama organisasi yang harus diselesaikan Sousa dan Aspinwal, 2010 . Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan framework pengukuran kinerja UKM. Framework dikembangkan dengan mengintergrasikan model pengukuran kinerja Balanced Scorecard BSC dan Economic Value Added EVA. Pemilihan BSC dan EVA dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan beberapa pertimbangan. Pertama, BSC merupakan alat pengukuran kinerja yang telah banyak digunakan dan berhasil berkontribusi meningkatkan kinerja perusahaan. BSC tidak hanya dapat diimplementasikan dalam manajemen strategis UKM tetapi juga dapat digunakan dalam pengukuran kinerja UKM Scarborough and Zimmerer, 2000 dalam Tennant dan Tanoren, 2005. Kedua, keterbatasan modal dan sumber daya lainnya membuat UKM cenderung untuk melihat perspektif finansial terutama profitabilitas sebagai ukuran kinerja UKM. Berdasarkan hal tersebut, EVA sesuai jika digunakan dalam 616 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 pengukuran kinerja UKM karena mengukur kinerja dari sisi finansial. EVA dapat dijadikan pertimbangan UKM dalam membuat keputusan penambahan modal melalui hutang. Disamping itu, kebutuhan UKM akan adanya investor untuk meningkatkan skala perusahaan sangat tepat jika menggunakan EVA dalam pengukuran kinerja, dimana EVA mencerminkan nilai tambah perusahaan dari segi ekonomi yang dapat digunakan sebagai alat analisis investor dalam membuat keputusan investasi. Ketiga, integrasi kedua model tersebut akan menghasilkan pengukuran kinerja yang sesuai dengan visi UKM. Kelebihan dari masing-masing akan saling melengkapi, dimana EVA berfokus pada pencapaian visi UKM untuk menciptakan nilai sedangkan BSC memfokuskan manajemen pada cara kunci untuk mendapatkan nilai tersebut Stankeviciene dan sviderske, 2010 . Selain itu, EVA memiliki keunggulan dalam mengukur kinerja keuangan namun memiliki keterbatasan dalam implementasi terutama dalam penyelarasan strategi. Kekurangan tersebut dapat diisi dengan penggabungan BSC dalam pengukuran kinerja. Keempat, penelitian terkait integrasi antara BSC dan EVA sebagai model pengukuran kinerja belum banyak dilakukan, sehingga penelitian ini dapat mengisi kesenjangan penelitian tersebut. KERANGKA TEORI UKM dan Karakteristiknya Pengkategorian UKM pada setiap negara berbeda-beda. Di Indonesia, pengertian UKM terdapat di UU No 20 Tahun 2008, dimana kriteria UKM ditentukan berdasarkan jumlah kekayaan dan omsetnya. Pada usaha kecil kekayaan bersih yang dimiliki berkisar antara Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta tidak termasuk tanaha dan bangunan tempat usaha dan memiliki omset penjualan tahunan Rp. 300 juta sampai dengan Rp. 2,5 Milyar. sedangkan pada usaha menengah kekayaan bersih yang dimiliki berkisar antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 10 Milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan memiliki omset penjualan tahunan Rp. 2,5 M sampai dengan Rp. 50 M. Berdasarkan pada European Commission, kriteria UKM ditentukan berdasarkan jumlah pekerjanya, untuk usaha kecil jumlah pekerja berkisar antara 10 – 50 orang dan untuk usaha menengah jumlah pekerjanya antara 50 – 250 orang. Tidak hanya berdasarkan ukurannya, karakteristik UKM terkait manajerial juga berbeda dengan perusahaan besar. Kristiyanti 2012 menyebutkan bahwa ciri-ciri UKM ada 4, diantaranya adalah manajemen UKM berdiri sendiri tidak ada pemisahan yang tegas antara pemilik dengan pengelola perusahaan, modal disediakan oleh seorang pemilik atau sekelompok kecil pemilik modal, daearah operasinya umumnya local, dan ukuran perusahaan, baik dari segi total aset, jumlah karyawan, dan sarana prasarana yang kecil. Berdasarkan hasil penelitian Hudson, et al 2001, karakteristik UKM terdiri dari: 1. manajemen personal, dengan sedikit devolusi kewenangan; 2. keterbatasan sumber daya yang parah dalam hal manajemen dan tenaga kerja, serta keuangan; 3. ketergantungan terhadap sejumlah kecil pelanggan, dan operasi di pasar terbatas; 4. datar, struktur yang fleksibel; 5. Potensi inovasi tinggi; 6. reaktif, mentalitas pemadam kebakaran; 7. Informal, strategi dinamis. Senada dengan Hudson, et al, 2001, Robinson dan Pearce 1984 dalam Tennant dan Tanoren 2005 menyebutkan bahwa terdapat beberapa karakteristik kunci UKM yang membedakan UKM dari perusahaan besar. Karakteristik-karakteristik UKM tersebut antara lain: 1. Manajemen bersifat personal dimana manajer dilarang untuk mengungkapkan strategi bisnis; 2. Memiliki sumber daya terbatas dalam hal manajemen, termasuk tenaga kerja dan keuangan; 3. Bergantung pada basis pelanggan terbatas sehingga peluang pasar juga terbatas; 4. Memiliki struktur organisasi datar dan lebih fleksibel, karena ukuran yang lebih kecil; 5. Memiliki potensi tinggi untuk inovasi; 6. Strategi yang dimiliki informal dan dinamis juga reaktif. Sistem Pengukuran kinerja UKM Pengukuran kinerja didefinisikan proses pengukuran efisiensi dan efektivitas suatu aksi Neely, 1995. Sedangkan sistem pengukuran kinerja didefinisikan sekumpulan metrik yang digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektivitas tindakan Neely, 1995. Pengukuran kinerja dapat memberikan pengaruh terhadap organisasi Neely, et al ,2000. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana keadaan awal pengukuran, keputusan mengenai apa yang akan diukur, bagaimana mengukurnya, dan apa yang 617 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 menjadi target dari proses yang diukur yang secara langsung akan berpengaruh terhadap pegawai baik secara individu atau kelompok dalam organisasi Neely, et al ,2000. Dalam melakukan pengukuran terhadap organisasi, yang pertama harus dilakukan adalah memahami tujuan organisasi Varcoe, 1996. Tujuan organisasi tersebut kemudian didefinisikan dan dikonversi menjadi angka yang kemudian dijadikan pembanding atau target pengukuran kinerja organisasi Varcoe, 1996. Selain itu, sebelum melakukan pengukuran kinerja, organisasi harus memahami karakteristik organisasinya. Karakteristik organisasi dan perubahannya harus diperhitungkan dan akan menentukan keberhasilan implementasi suatu inisiatif perbaikan yang baru Sousa dan Aspinwal, 2010. Dimana, setiap organisasi memiliki karakteristik masing-masing tergantung pada produk atau servis yang dihasilkan, konsumen, pekerja, strategi yang diterapkan, nilai yang dimiliki, keputusan-keputusan yang dibuat, dan lain sebagainya Sousa dan Aspinwal, 2010. Lebih lanjut, karakteristik organisasi menentukan tipe pengukuran kinerja yang diimplementasikan yang pastinya berbeda dengan organisasi lainnya Sousa dan Aspinwal, 2010. Dalam upaya peningkatan kinerja UKM, tidak dipungkiri bahwa UKM membutuhkan suatu sistem pengukuran kinerja. Namun karena karakteristiknya yang berbeda, UKM membutuhkan suatu sistem pengukuran kinerja yang sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan hasil penelitian Sousa dan Aspinwal 2010, beberapa karakteristik sistem pengukuran kinerja yang dapat diterapkan oleh UKM antara lain: 1. sederhana, mudah dipahami dan mudah digunakan, 2. mudah diimplementasikan dan efektif, 3. generik, 4. Sistematik dan lengkap, 5. Valid dan jelas antar elemennya, 6. Kuat dan merepresentasikan roadmap dan perencanaan alat untuk implementasi, dan 7. Berkelanjutan. Senada dengan Sousa dan Aspinwal 2010, Hudson, et al 2001 juga mengidentifikasi karakteristik sistem pengukuran kinerja yang dapat diterapkan oleh UKM, antara lain: 1. Berasal dari strategi, 2. Diturunkan secara jelas dan kemudian didefinisikan dengan tujuan eksplisit, 3. Relevan dan mudah untuk dipertahankan, 4. Mudah untuk dimengerti dan digunakan, 5. Memberikan feedback yang cepat dan akurat, 6. Hubungan antar operasi ke tujuan strategis, 7. Merangsang perbaikan terus- menerus. Berdasarkan hal tersebut, penting bagu UKM untuk memperhatikan karakteristik pengukuran kinerja dalam pembuatan sistem pengukuran kinerja bagi perusahaannya. Balanced Scorecard Balanced Scorecard BSC merupakan alat pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton 1992. Dalam pengukurannya, BSC menggunakan seperangkat pengukuran kuantitatif yang diperoleh berdasarkan strategi perusahaan Niven, 2006. BSC “menerjemahkan misi dan strategi organisasi ke dalam seperangkat ukuran kinerja yang menyediakan kerangka kerja untuk pengukuran dan sistem manajemen strategis” Kaplan dan Norton, 1996. Pada setiap area BSC, organisasi menetapkan tujuan keseluruhan dan tujuan strategis organisasi yang didasarkan pada visi organisasi Kaplan dan Norton, 1996. Dengan menggunakan BSC akan mendorong organisasi untuk lebih eksplisit dalam menghubungkan variabel finansial dan nonfinansial Rickards, 2007. Kinerja organisasi tidak lagi hanya dilihat dari segi financial tetapi juga nonfinansial. Disamping itu, BSC tidak hanya mempertimbangkan isu-isu internal saja tetapi juga isu eksternal. Dalam pengukuran kinerja, BSC menggunakan 4 perspektif, yaitu perspektif pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan dan perspektif finansial Kaplan dan Norton, 1996. Dalam perspektif pelanggan, organisasi harus menentukan siapa pelanggan mereka, proposisi nilai apa yang dimiliki organisasi dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, dan apa yang diekspektasikan pelanggan terhadap organisasi Niven, 2006. Indikator kinerja berdasarkan prespektif ini biasanya terdiri atas kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan dan pangsa pasar di segmen sasaran Niven, 2006. Dalam perspektif proses bisnis internal, organisasi mengidentifikasi proses- proses kunci yang ada dalam organisasi yang dapat meningkatkan nilai perusahaan terhadap pelanggan Niven, 2006. Pada proses ini 618 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 berfokus pada upaya peningkatan kepuasan pelanggan sebagai bentuk cara mempertahankan pelanggan dan mengoptimalkan pencapaian tujuan finansial perusahaan Sipayung, 2009. Pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran, perspektif ini bertujuan untuk menghilangkan gap antara infrastruktur yang dimiliki perusahaan dengan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menjadi perusahaan yang unggul Niven, 2006. Pada proses ini diidentifikasi infrastruktur yang harus dibangun untuk menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja perusahaan dalam jangka panjang Sipayung, 2009. Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran merupakan pondasi BSC Niven, 2006. Dan yang terakhir adalah perspektif finansial, perspektif ini merupakan komponen kritis dalam BSC Niven, 2006. Perspektif finansial menunjukkan apakah strategi perusahaan, implementasi dan pelaksanaannya memberikan kontribusi atau tidak terhadap peningkatan profitabilitas perusahaan. Tujuan pencapaian kinerja pada perspektif finansial merupakan fokus dari tujuan-tujuan dari perspektif lainnya Niven, 2006. Economic Value Added Economic Value Added EVA merupakan ukuran kinerja keuangan yang menggambarkan keuntungan ekonomis dari suatu perusahaan Chandra Shil, 2009. EVA mengukur berapa banyak nilai ekonomi yang ditambahkan berdasarkan modal yang digunakan Chandra Shil, 2009. Keunggulan EVA digunakan dalam pengukuran kinerja adalah fokus terhadap usaha dalam menciptakan nilai bagi perusahaan Stankeviciene dan sviderske, 2010. Nilai EVA didapatkan berdasarkan hasil pengurangan antara keuntungan operasi setelah pajak dengan dengan biaya modal dari seluruh modal yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut Bahri, et al, 2011. Laba operasional setelah pajak menggambarkan hasil penciptaan nilai value di dalam perusahaan, sedangkan biaya modal menggambarkan pengorbanan yang dikeluarkan dalam mengahsilkan nilai tersebut. EVA yang positif menunjukkan bahwa tingkat pengembalian yang dihasilkan perusahaan lebih tinggi daripada tingkat biaya atau tingkat pengembalian yang dituntut investor, dalam hal ini diartikan bahwa perusahaan berhasil menciptakan nilai create value. EVA positif juga menandakan bahwa manajemen telah menjalankan tugasnya dengan baik. EVA yang negatif menunjukkan bahwa nilai perusahaan berkurang, tingkat pengembalian yang dihasilkan lebih rendah daripada tingkat pengembalian yang dituntut investor. Sedangkan nilai EVA = 0 menunjukkan bahwa perusahaan berada pada posisi break even point karena semua laba digunakan untuk membayar kewajiban kepada investor. Menurut Stewart 1993 dalam Utomo 1999, peningkatan kinerja keuangan dengan EVA dapat dilakukan dengan 3 cara. Pertama, dengan meningkatkan laba operasi perusahaan tanpa adanya tambahan modal. EVA akan meningkat jika dengan menggunakan modal yang sama perusahaan dapat menghasilkan profit yang lebih besar. Kedua, meningkatkan modal untuk mendapatkan profit yang lebih besar. Peningkatan modal yang akan menstimulasi mendapatkan profit yang lebih besar juga akan meningkatkan EVA, dengan catatan peningkatan profit yang diperoleh lebih besar dari modal yang ditambahkan. Ketiga, menarik modal dari aktivitas-aktivitas yang tidak perlu. Penarikan modal pada aktivitas-aktivitas yang tidak perlu terutama aktivitas yang tidak memberikan tambahan nilai perusahan akan mengurangi penggunaan modal perusahaan sehingga dapat meningkatkan EVA. Ukuran kinerja dari EVA sangat erat kaitannya dengan pemegang modal perusahaan Chandra Shil, 2009. EVA dapat digunakan sebagai alat analisis oleh pemegang modal untuk mengukur keberhasilan manajemen yang mereka telah mereka percaya dan juga membantu mereka dalam menganalisis keberlanjutan kerjasama dengan perusahaan Chandra Shil, 2009. Lebih lanjut, EVA juga dapat dijadikan pertimbangan pemilik modal apakah akan menginvestasikan uangnya untuk suatu perusahaan atau tidak. METODE PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan framework pengukuran kinerja UKM dengan menggunakan integrasi Balanced Scorecard BSC dengan Economic Value Added EVA. Penelitian ini menggunakan pendekatan desk research. Pendekatan desk research merupakan metodologi penelitian dengan 619 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 menggunakan data sekunder sebagai data penelitiannya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur hasil penelitian terkait UKM dan sistem pengukuran kinerja. Kerangka integrasi antara BSC dan EVA didasarkan pada kerangka pemikiran pengembangan framework pengukuran kinerja UKM dengan menggunakan EVA yang dilakukan oleh Bahri, et al 2011. Framework tersebut dapat dilihat gambar 1. Dalam framework tersebut kinerja UKM diukur berdasarkan EVA dan menekankan adanya keselarasan antara strategi, praktek bisnis dan EVA yang akan memberikan feedback satu sama lain untuk perbaikan terus menerus. Lebih lanjut, Bahri, et al 2011 juga membreakdown EVA ke dalam praktek-praktek bisnis yang menjadi kunci pencapaian kinerja. Namun, dalam membreakdown EVA ke dalam praktek-praktek bisnis UKM, Bahri, et al 2011 tidak menggunakan metode tertentu. Breakdown EVA kedalam praktek-praktek bisnis UKM dilakukan dengan mengidentifikasi hubungan potensial antara komponen utama EVA dengan praktek bisnis yang ada dalam perusahaan yang relevan dengan tujuan pencapaian EVA. Penelitian ini berusaha untuk melengkapi penelitian Bahri, et al 2011 dimana untuk mencapai tujuan strategis UKM yaitu pencapaian EVA diperlukan suatu sistem manajemen strategi yang akan mengarahkan pada pencapaian tujuan strategis UKM yaitu Balanced Scorecard. Kerangka integrasi antara EVA dan BSC dapat dilihat pada gambar 2. Dalam gambar tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya pencapaian sasaran strategis UKM yaitu pencapaian EVA, diperlukan suatu perumusan strategi yang dapat mengarahkan perusahaan dalam pencapaian EVA tersebut. Strategi UKM tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam 4 pespektif BSC, yaitu perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Penggunaan BSC dapat membantu mewujudkan tujuan strategis UKM dan mengembangkan manajemen strategis yang lebih efektif dengan memberikan arah yang jelas, pemahaman bisnis yang lebih baik, fokus dan keselarasan antara kegiatan dengan strategi UKM Tennant dan Tanoren, 2005. Tujuan strategis yang diterjemahkan dalam istilah finansial EVA Praktek Bisnis EVA ObjektifTujuan Faktor penentu Hasil Feedback Gambar 1. Hubungan antara Strategi, praktek bisnis dan EVA Sumber: Bahri, et al, 2011 Tujuan strategis UKM yang diterjemahkan dalam istilah finansial EVA Strategi UKM EVA Perspektif Finansial Perspektif Pelanggan Perspektif Proses Bisnis Internal Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Balanced Scorecard Gambar 2. Kerangka Integrasi BSC dan EVA 620 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi komponen yang mempengaruhi nilai EVA EVA seperti yang didefinisikan oleh Stern Stewart Co mengukur kekayaan yang diciptakan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu Bahri, et al, 2011. EVA mengukur pendapatan sisa residual income yang mengurangkan biaya-biaya modal terhadap laba operasi Martusa, et al. Besarnya nilai EVA didapatkan dari keuntungan operasi bersih setelah pajak net operating profit after tax NOPAT dikurangi dengan biaya modal dari seluruh modal yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut Bahri, et al, 2011. Dimana biaya modal merupakan hasil kali antara tingkat biaya modal cost capital rate K dengan total modal yang diinvestasikan invested capital IC. EVA = NOPAT – K x IC Peningkatan nilai EVA merupakan salah satu tujuan kinerja keuangan perusahaan. Penetapan EVA sebagai ukuran kinerja perusahaan dapat mendorong manajemen untuk berfokus pada proses yang memberikan nilai tambah dan mengeliminasi aktivitas atau proses yang tidak memberikan nilai tambah Utomo, 1999. EVA membantu manajemen dalam menetapkan tujuan internal internal goal setting perusahaan yang berpedoman bukan hanya implikasi pada jangka pendek tetapi pada implikasi jangka panjang. Dimana fokus sebuah perusahaan untuk mendapatkan profit sebesar- besarnya merupakan tujuan jangka pendek sedangkan maksimasi EVA merupakan tujuan jangka panjang perusahaan. Berdasarkan bahri, et al 2011, seperti yang terdapat pada gambar 3, nilai EVA dipengaruhi oleh 5 komponen, yaitu penjualan sales dan biaya operasional operating expenses yang menentukan nilai NOPAT, beban keuangan yang menentukan besarnya biaya modal cost of capital, dan modal yang diinvestasikan yang terdiri dari aset saat ini maupun aset jangka panjang. Nilai EVA berbanding lurus dengan nilai NOPAT dan berbanding terbalik dengan nilai biaya modal, yang berarti bahwa nilai EVA akan besar jika NOPAT yang dihasilkan besar, begitu juga sebaliknya dan nilai EVA kecil jika biaya modalnya besar, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hal tersebut, untuk mendapatkan nilai EVA yang tinggi, langkah yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan nilai NOPAT dan meminimalkan nilai biaya modal. NOPAT adalah keuntungan operasi bersih perusahaan setelah dikurangi dengan pajak. NOPAT merupakan komponen terpenting dalam EVA dimana besarnya EVA sangat tergantung Gambar 3. Komponen EVA dalam pengukuran kinerja Sumber: Bahri, et al, 2011 621 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 pada nilai NOPAT. Besarnya nilai NOPAT ditentukan oleh 2 komponen, yaitu besarnya pendapatan dari hasil penjualan dan biaya operasional. Berdasarkan hal tersebut, untuk mendapatkan nilai NOPAT yang besar, perusahaan harus meningkatkan pendapatan dari penjualan dan menekan biaya operasional perusahaan. Biaya modal merupakan resiko yang harus ditanggung oleh perusahaan terhadap modal yang digunakan. Biaya modal adalah semua biaya yang secara riil dikeluarkan oleh perusahaan dalam rangka mendapatkan sumber dana. Biaya modal dapat berupa biaya bunga dan juga biaya- biaya lain terkait dengan jenis investasi yang digunakan seperti saham dan obligasi. Besarnya biaya dipengaruhi oleh beberpa faktor diantaranya adalah keadaan perekonomian makro, kondisi pasar daya jual saham suatu perusahaan, kebijakan operasi dan pembiayaan manajemen, dan besarnya pembiayaan yang diperlukan Warsono, 2002. Secara umum, besarnya biaya modal dipengaruhi oleh pihak eksternal dan juga kebijakan manajemen keuangan perusahaan. Kebijakan manajemen keuangan perusahaan sangat menentukan besarnya biaya modal, terutama terkait pertimbangan sumber pendanaan apa saja yang digunakan sebagai modal. Lebih lanjut, dalam upaya maksimasi nilai perusahaan biaya modal harus diminimasi. Identifikasi Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja UKM berdasarkan integrasi EVA dan BSC Berdasarkan hasil identifikasi terhadap komponen EVA di atas, dapat disimpulkan langkah yang dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai EVA adalah 1. Meningkatkan pendapatan dari penjualan, 2. Minimasi biaya operasional perusahaan dan 3. Minimasi biaya modal. Sasaran strategis perusahaan terkait peningkatan EVA kemudian diterjemahkan kedalam terminologi operasional berdasarkan 4 perspektif BSC. Seperti yang digambarkan pada gambar 4, sasaran strategis UKM yaitu peningkatan nilai EVA dibreakdown kedalam sasaran 4 perspektif BSC. Sasaran ditentukan berdasarkan pada proses-proses yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan nilai tambah ekonomi perusahaan yang mengacu pada perspektif finansial, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Komponen EVA yaitu sales, biaya operasional dan biaya modal dapat dijadikan tujuan dalam perspektif finansial BSC, sedangkan 3 perspektif BSC lainnya ditentukan sasaran yang akan mempengaruhi komponen EVA. Dengan penerapan BSC dalam penyusunan strategi pencapaian EVA, dapat diketahui proses-proses mana saja yang memberikan nilai tambah dan mana yang tidak. Lebih lanjut, pencapaian kinerja EVA menjadi tanggung jawab semua bagian dalam perusahaan, bukan hanya bagian keuangan saja. Selain sasaran pada masing-masing perspektif, juga ditentukan indikator kinerja pada setiap perspektif yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian sasaran yang telah ditentukan. Sasaran dan indikator kinerja BSC ditentukan berdasarkan karakteristik dan kondisi UKM. Hal tersebut memungkinkan adanya perbedaan antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya. Sebagai contoh, sasaran dan ukuran kinerja hasil integrasi antara BSC dan EVA pada UKM bidang manufaktur dapat dilihat pada tabel 2. Lebih lanjut, hubungan antara masing-masing sasaran dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 4. Komponen EVA dalam pengukuran kinerja 622 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 2. Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja UKM berdasarkan EVA dan BSC Perspektif Sasaran Strategis Indikator Kinerja Sumber Referensi Finansial Lagging Factor Peningkatan EVA EVA Bahri, et al, 2011 Peningkatan profit NOPAT Jumlah profit yang dihasilkan perusahaan setelah dikurangi pajak Bahri, et al, 2011 Peningkatan pendapatan Jumlah pendapatan dari penjualan Bahri, et al, 2011 Minimasi biaya operasional Jumlah biaya operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan Bahri, et al, 2011, singh, et al, 2010 Minimasi biaya modal Jumlah biaya modal Bahri, et al, 2011 Pelanggan Leading factor Peningkatan pangsa pasar Presentase pasar yang dimiliki perusahaan Kiumarsi Jayaraman, 2014, knight, 2000 Peningkatan volume penjualan Jumlah produk yang terjual Kiumarsi Jayaraman, 2014 Peningkatan jumlah pelanggan Jumlah pelanggan yang dimiliki perusahaan Kiumarsi Jayaraman, 2014 Peningkatan kepuasan pelanggan Tingkat kepuasan pelanggan Gumbus dan Lussier, 2006, Singh et, al, 2010, Kiumarsi Jayaraman, 2014 Penentuan harga yang kompetitif Perbandingan antara harga produk dengan harga produk sejenis dari perusahaan lain Kiumarsi Jayaraman, 2014 On-time delivery Jumlah keterlambatan pengiriman Gumbus dan Lussier, 2006 Proses Bisnis Internal Leading factor Peningkatan produktivitas pegawai Tingkat produktivitas pegawai Singh, et al, 2010, Gilbraith, et al, 2008, Phusavat, 2007 Peningkatan efisiensi produksi Tingkat efisiensi produksi Peningkatan efektivitas produksi Tingkat efektivitas produksi Peningkatan kualitas produksi Perbandingan antara jumlah produk cacat dengan total produksi Singh, et al, 2010, Gumbus dan Lussier, 2006 Pembangunan hubungan dengan supplier untuk meningkatkan kinerja supplier Kinerja supplier Singh, et al, 2010 Pertumbuhan dan pembelajaran Leading factor Peningkatan kompetensi pegawai Tingkat kompetensi pegawai Singh, et al, 2010 Peningkatan efektivitas training Tingkat efektifitas training terhadap peningkatan kompetensi pegawai Singh, et al, 2010 Implementasi teknologi informasi Efektifitas penerapan teknologi informasi Singh, et al, 2010 Budaya organisasi Tingkat budaya organisasi Singh, et al, 2010 623 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Perspektif Financial Peningkatan EVA Minimasi Biaya Modal Peningkatan NOPAT Peningkatan pendapatan penjualan Minimasi Biaya Operasional Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Peningkatan kompetensi pegawai Perspektif Customer Harga kompetitif Perspektif Bisnis Proses Internal Peningkatan pangsa pasar Peningkatan jumlah pelanggan On-time delivery Peningkatan produktivitas pegawai Peningkatan efisiensi produksi Peningkatan Kualitas produksi Peningkatan efektivitas training Implementasi teknologi informasi Peningkatan efektivitas produksi Pembangunan hubungan dengan supplier Peningkatan penjualan Peningkatan kepuasan pelanggan Budaya organisasi Gambar 5. hubungan pada setiap sasaran Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan framework pengukuran kinerja UKM. Framework dikembangkan dengan mengintergrasikan Balanced Scorecard BSC dan Economic Value Added EVA. Integrasi antara dua model dilakukan agar kelebihan dan kekurangan pada masing-masing model saling melengkapi satu sama lain. EVA memiliki keunggulan dalam mengukur kinerja keuangan namun memiliki keterbatasan dalam implementasi terutama dalam penyelarasan strategi. Sedangkan BSC merupakan model pengukuran kinerja yang komprehensif dalam menyelaraskan strategi perusahaan kedalam perspektif finansial dan nonfinansial. Berdasarkan hal tersebut, BSC dapat diintegrasikan dengan EVA yang akan menerjemahkan strategi perusahaan terkait pencapaian EVA ke dalam strategi-strategi nyata perusahaan yang melibatkan seluruh bagian dalam perusahaan. Dalam framework pengukuran kinerja UKM yang dikembangkan, EVA menjadi lagging indicator pencapaian kinerja UKM. Pencapaian EVA yang optimal menjadi sasaran strategis UKM. Semakin tinggi nilai EVA yang dihasilkan semakin baik kinerja UKM. Untuk mencapai EVA yang ditargetkan kemudian disusun strategi UKM yang diterjemahkan dalam 4 perspektif BSC. Strategi yang disusun mencerminkan respon perusahaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap tantangan dan peluang yang ada Knight, 2000. EVA dan komponen- komponen yang mempengaruhinya menjadi ukuran kinerja pada perspektif finansial BSC. Komponen-komponen EVA tersebut yaitu NOPAT, pendapatan dari penjualan, biaya operasional dan biaya modal. Sasaran strategis yang ingin dicapai berdasarkan perspektif finansial adalah peningkatan NOPAT, peningkatan pendapatan dari penjualan, minimasi biaya operasional dan minimasi biaya modal. Lebih lanjut, kemudian disusun strategi untuk mencapai sasaran pada perspektif finansial lagging factor berdasarkan 3 perspektif BSC lainnya yaitu perspektif pelanggan, perspektif bisnis proses internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran leading factor. 624 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Pada perspektif pelanggan disusun startegi yang dapat menjadi pemicu pencapaian sasaran strategis pada perspektif finansial terutama pada pencapaian sasaran peningkatan pendapatan dari penjualan. Dalam pencapaian kinerja pada perspektif ini, bagian pemasaran memegang peranan besar. Beberapa sasaran strategi yang dapat diterapkan untuk mengukur kinerja pada perspektif pelanggan antara lain peningkatan pangsa pasar, peningkatan volume penjualan, peningkatan jumlah pelanggan, peningkatan kepuasan pelanggan dan pengiriman yang tepat waktu. Berdasarkan Kiumarsi dan Jayaraman 2014, beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan penjualan pada UKM antara lain meningkatkan pemasaran produk dan mengembangkan pasar baru dengan menjalin hubungan dengan mitra pemasaran, meningkatkan jumlah agen, mengembangkan tim penjualan yang profesional, meningkatkan volume produk terlaris dengan margin keuntungan yang wajar, melaksanakan kegiatan promosi dengan mengidentifikasi sumber iklan yang potensial, mengembangkan pusat-pusat distribusi dengan kemungkinan pusat distribusi baru, dan mengumpulkan feedback dari pengecer terkait permasalahan dan penyelesaiannya. Selain terkait penjualan, juga perlu diperhatikan terkait penentuan harga yang kompetitif. Harga yang kompetitif merupakan salah satu kesempatan yang sangat bagus yang dapat dimanfaatkan UKM untuk dapat bersaing Kiumarsi dan Jayaraman,2014. Lebih lanjut Kim, et al, 2008 juga mengungkapkan bahwa jika ingin bertahan, UKM harus menghasilkan produk yang berkualitas dengan umur produk yang panjang dan juga harga yang kompetitif. Pada perspektif proses bisnis internal dilakukan identifikasi terkait proses bisnis yang kritis yang harus diperhatikan oleh perusahaan. Beberapa sasaran strategi yang dapat diterapkan untuk mengukur kinerja pada perspektif bisnis proses internal antara lain peningkatan produktivitas pegawai, peningkatan kualitas produksi, peningkatan efektivitas produksi, peningkatan efisiensi produksi dan pembangunan hubungan dengan supplier. UKM harus respek terhadap inovasi yang dapat memberikan peningkatan baik peningkatan terkait kualitas produk maupun proses yang dilakukan. Disamping itu, hubungan dengan suplier tersebut dibuktikan dengan kinerja suplier yang baik, dimana kinerja supplier sangat berpengaruh terhadap proses bisnis perusahaan terutama jika berkaitan dengan proses produksi. Kinerja supplier yang baik akan meningkatkan efektivitas kegiatan produksi. Pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran diidentifikasi faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi terkait peningkatan kemampuan perusahaan. Beberapa sasaran strategi yang dapat diterapkan untuk mengukur kinerja pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran antara lain peningkatan kompetensi pegawai, efektifitas pemberian training kepada pegawai, peningkatan budaya organisasi dan implementasi IT. Kompetensi pegawai harus selalu ditingkatkan karena akan berefek pada seluruh proses bisnis perusahaan, baik itu proses produksi, marketing, dan proses administrasi. Peningkatan kompetensi pegawai tersebut dapat dilakukan dengan pemberian training, sehingga dalam perspektif ini juga harus diketahui efektivitas pemberian training terhadap peningkatan kompetensi pegawi. Selain itu budaya organisasi juga harus diperhatikan dimana budaya organisasi akan berefek pada produktivitas pegawai dalam menjalankan tugasnya. Lebih lanjut, dukungan terkait implementasi IT dalam perusahaan akan meningkatkan efektivitas komunikasi antar pegawai dan akan mendorong kelancaran proses bisnis organisasi. PENUTUP Dalam penelitian ini telah dikembangkan framework pengukuran kinerja yang mengintergrasikan Balanced Scorecard dan Economic Value Added yang dapat diaplikasikan UKM dalam rangka untuk meningkatkan daya saingnya. Dalam framework ini, Balanced Scorecard digunakan untuk mengidentifikasi hal- hal yang dapat mendorong penambahan nilai perusahaan. Sedangkan EVA digunakan untuk mengukur pencapaian nilai tambah perusahaan dari segi ekonomi. Dengan kata lain, balanced scorecard menerjemahkan strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan dalam upaya pencapaian EVA. 625 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Komponen-komponen EVA yang mempengaruhi pencapaian nilai EVA terdiri atas NOPAT, pendapatan dari penjualan, biaya operasional dan biaya modal. Berdasarkan hal tersebut sasaran yang dapat digunakan dalam perspektif finansial adalah peningkatan NOPAT, peningkatan pendapatan dari penjualan, minimasi biaya operasional dan minimasi biaya modal. Sedangkan sasaran pada 3 perspektif BSC lainnya yaitu perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dapat diarahkan pada pencapaian sasaran perspektif finansial dan disesuaikan dengan konteks dan karakteristik perusahaan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kelompok penelitian manajemen mutu yaitu Nidya Judhi Astrini, Sik Sumaedi, Tri Widianti, M. Azwar Massijaya, I Gede Yuda Mahatma Bakti, dan Medi Yarmen, atas kerjasama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Bahri, M., et al. 2011. Economic value added: a useful tool for SME performance management. International Journal of Productivity and Performance Management, 60, 6, 603-621. Chandra Shil, N. 2009. Performance Measures: An Application of Economic Value Added. International Journal of Business and Management, 4, 3, 169-177. Cocca, P., Alberti, M. 2010. framework to assess performance measurement systems in SMEs. International Journal of Productivity and Performance Management, 59, 2, 186-200. Galbraith, C. S., et, al. 2008. SME Competitive Strategy and Location Behavior: An Exploratory Study of High-Technology Manufacturing. Journal of Small Business Management, 46, 2, 183–202. Garengo, P., et al. 2005. Performance measurement systems in SMEs: A review for a research agenda. International Journal of Management Reviews, 7, 25– 47. Gunasekaran, A., et, al. 2000. Improving operations performance in a small company: a case study. International Journal of Operations Production Management, 20, 3, 316-335. Hudson, M., et al. 2001. Theory and practice in SME performance measurement systems International Journal of Operations Production Management, 21, 8, 1096- 1115. Kaplan, R. S, Norton, D. P. 1992. The balanced scorecard ± measures that drive performance. Harvard Business Review. Kaplan, R. S, Norton, D. P. 1996. Strategic learning the balanced scorecard., Strategy Leadership, 24, 5, 18-24. Kim, K. S., et al. 2008. Characterizing viability of small manufacturing enterprises SME in the market. Expert Systems with Applications 34, 128–134. Kiumarsi, S., et al. 2014. Marketing strategies to improve the sales of bakery products of small-medium enterprise SMEs in Malaysia. International Food Research Journal, 21, 6, 2101-2107. Knight, G. 2000. Entrepreneurship and Marketing Strategy: The SME Under Globalization. Journal of International Marketing,8, 2, 12–32. Kristiyanti, M. 2012. Peran Strategis Usaha Kecil Menengah UKM Dalam Pembangunan Nasional. Majalah Ilmiah Informatika, 3, 1, 63-89. Kueng, P. 2000. Process performance measurement system: Atool to support process-based organizations. Total Quality Management, 11, 1, 67-85. Neely, A., et al. 1995. Performance measurement system design A literature review and research agenda. International Journal of Operations Production Management, 15, 4, 80-116. Neely, A., et al. 2000. Performance measurement system design: developing and testing a process-based approach. International Journal of Operations Production Management, 20, 10, 1119 – 1145. Niven, P. R. 2006. Balanced Scorecard Step by step: Maximizing Performance and 626 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Maintaining Result 2 nd Ed. New Jersey: John Wiley Sons. Phusavat, K. 2007. Roles of performance measurement in SMEs’ management processes. Int. J. Management and Enterprise Development, 4, 4, 441-458. Rickards, R. C. 2007. BSC and benchmark development for an e‐commerce SME. International Journal of Benchmarking, 14, 2, 222-250. Sharma, M. K., et al. 2005. Practice of performance measurement: experience from Indian SMEs. Int. J. Globalisation and Small Business, 1, 2, 183-213. Singh, R. K., et al,. 2010. The competitiveness of SMEs in a globalized economy Observations from China and India. Management Research Review, 33, 1, 54- 65. Singh, R.K., et al. 2008. Strategy development by SMEs for competitiveness: a review. International Journal of Benchmarking,15, 5, 525-547. Sipayung, 2009. Balanced Scorecard: Pengukuran Kinerja Perusahaan dan Sistem Manajemen Strategis. Jurnal Manajemen Bisnis, 2, 7–14. Sousa, S., Aspinal, E. 2010. Development of a performance measurement framework for SMEs. Total Quality Management Business Excellence, 21, 5, 475-501. Stankeviciene, J., Sviderske, T. 2010. Developing A Performance Measurement System Integrating Economic Value Added And The Balanced Scorecard In Pharmaceutical Company. Proceeding of 6th International Scientific Conference, Lithuania. Taticchi, P., et al. 2010. Performance measurement and management: a literature review and a research agenda. Measuring Business Excellence, 14, 1, 4– 18. Tennant, C., Tanoren, M. 2005. Performance management in SMEs: a Balanced Scorecard perspective. Internationa Journal of Business Performance Management, 7, 2, 123-143. Utomo, L.L. 1999. Economic value added sebagai ukuran Keberhasilan kinerja manajemen Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, 1, 1, 28–42. Varcoe, B. J. 1996. Facilities performance measurement. Facilities, 14, 1011, 46-51. Warsono. 2002. Manajemen Keuangan Perusahaan. Malang: UMM Press. Yusof, S. M., Aspinal, E. 2000. A conceptual framework for TQM implementation for SMEs. The TQM Magazine, 12, 1, 31-36. 627 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Kebijakan Iptekin Dalam Meningkatkan Daya Saing INDUSTRI KREATIF DAN KEBIJAKAN KEKAYAAN INTELETUAL DI INDONESIA: TINJAUAN KONSEPTUAL Creative Industry and Intellectual Property Rights Policy in Indonesia: Conceptual Review Anugerah Yuka Asmara 1 dan Setiowiji Handoyo 2 Pappiptek LIPI-Jakarta 1 Corresponding author: a.yuka.asmaragmail.com 2 Correesponng author: setio_whyahoo.com Keyword A B S T R A C T Creative Economy, Creative Industry, Policy, Intellectual Property Rights Creative economy has been considered by many actors like academicians, government, and society when President Susilo Bambang Yudhoyono launched Ministry of Tourism and Creative Economy Kemenparekraf in 2011. This is real condition by which creative economy is accounted as much 5,76 in 2013 or it preceeded national economy growth as accounted as much 5,74. Even, creative industry has absorbed many human workers in leveraging success of industry. Creative economy spirit has significantly reinforced since President of Joko Widodo Jokowi formed Creative Economy Agency Bekraf as part of working departments that he leads in 2015. According to its role, Bekraf is assigned to address creative economy in sIndonesia. Creative economy matters are plentiful and various, they are new things to be managed in Indonesia. In 2016 year, Bekraf has prioritized 6 six sub-sector of cretive economy i.e: films, animation-design, music, fashion, craft, and culinary FAM FKK. Materialization of sixth sub sectors is real in creative economy world. As a newly national economy source, development of creative industry faces many challenges. The challenges are not only derived from the creative economy actors, but also how government supports creative economy potentials. One of serious problems of creative economy actors is Intellectual Property Rights IPRs. They are confused in many asspects of IPRs for example: classification of creative products into IPRs, management of creative products related to IPRS, and IPRs protection policy of creative products. Whereas, government is challenged to increase perception and knowledge society concerning with IPRs on creative products and its protection policy. This study is qualitative research that is limited on conceptual review related to IPRs policy can stimulate creative economy in Indonesia. This finding study is that government intervention on creative economy sector especially on IPRs policy is adjustment with industry need and kind of creative industry products. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N Ekonomi kreatif, Industri kreatif, Kebijakan, Kekayaan Intelektual, Indonesia Ekonomi kreatif menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf di tahun 2011. Hal ini menjadi kontribusi nyata tatkala ekonomi kreatif memberi sumbangsih kepada perekonomian nasional sebesar 5,76 di tahun 2013 mengungguli rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,74. Bahkan industri kreatif juga menyerap banyak jutaan tenaga kerja manusia dalam menopang keberhasilan industrinya. Gaung ekonomi kreatif semakin menguat ketika Presiden Joko Widodo membentuk Badan Ekonomi Kreatif Bekraf sebagai bagian dari kabinet kerja yang dipimpinnya di tahun 2015. Sesuai namanya, Bekraf merupakan agen pemerintah yang diberi kewenangan dalam mengurus segala hal terkait dengan ekonomi kreatif di Indonesia. Tugas baru yang diemban Bekraf ini 628 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENDAHULUAN Ekonomi kreatif menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, praktisi, pemerintah, dan masyarakat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf di tahun 2011. Sejak tahun tersebut, banyak pelaku ekonomi kreatif menjadi kelompok sasaran kebijakan pemerintah mulai dari sektor kuliner, kerajinan, animasi, desain, fesyen, dan lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu fokus dari pemerintah untuk menggali sumber pendapatan ekonomi baru yang sebelumnya kurang diperhitungkan. Para pelaku ekonomi kreatif memberikan kontribusi nyata tatkala sektor ini memberi sumbangsih kepada perekonomian nasional sebesar 5,76 di tahun 2013 mengungguli rata- rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,74 Pusat Komunikasi Kemenperin, 2015. Bahkan industri kreatif juga menyerap banyak jutaan tenaga kerja manusia dalam menopang keberhasilan industrinya. Studi Siagian 2014 mengungkap bahwa ada 11,8 juta orang yang bekerja di subsektor ekonomi kreatif di tahu 2013 dengan rincian ialah 3,1 juta orang bekerja di subsektor kerajinan, 3,8 juta orang bekerja di subsektor fesyen, 167.000 orang bekerja di subsektor desain, dan sebanyak 43.000 orang bekerja di subsektor arsitektur. Gaung ekonomi kreatif semakin menguat ketika Presiden Joko Widodo membentuk Badan Ekonomi Kreatif Bekraf sebagai bagian dari kabinet kerja yang dipimpinnya di tahun 2015 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif. Dengan adanya Bekraf, berarti fungsi ekonomi kreatif yang semula menempel dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah dihilangkan. Dengan kata lain, urusan ekonomi kreatif telah dilimpahkan ke Bekraf, sementara Kementerian Pariwisata fokus pada isu-isu kepariwisataan. Sesuai namanya, Bekraf merupakan badan pemerintah yang diberi kewenangan dalam mengurus segala hal terkait dengan ekonomi kreatif di Indonesia. Dari sekian sub sektor ekonomi kreatif yang ada, di tahun 2016 ini Bekraf memberi prioritas pada pengembangan 6 enam sub sektor ekonomi kreatif yaitu: film, animasi- desain, musik, fesyen, kerajinan, dan kuliner FAM FKK. Keenam sub sektor tersebut diwujudkan dalam bentuk program pengembangan “industri kreatif” sebagai bagian memang memiliki cakupan kerja sangat luas karena beragamnya sub-sektor ekonomi kreatif yang ada di Indonesia. Di tahun 2016 ini, Bekraf memberi prioritas pada pengembangan 6 enam sub sektor ekonomi kreatif yaitu: film, animasi-desain, musik, fesyen, kerajinan, dan kuliner FAM FKK. Perwujudan keenam sub sektor ekonomi kreatif tersebut menjadi riil dalam istilah industri kreatif. Sebagai sumber ekonomi nasional baru, pengembangan industri kreatif banyak menghadapai persoalan. Tantangan industri kreatif bukan hanya dari pelaku industri itu sendiri, melainkan juga bagaimana peran pemerintah dalam mendorong industri kreatif tersebut. Salah satu hal yang dihadapi para pelaku industri kreatif dan pemerintah ialah terkait dengan kekayaan intelektual KI. Pelaku industri kreatif menghadapi banyak isu KI mulai dari produk apa yang bisa memiliki KI, bagaimana cara pengurusannya, dan sejauh mana proteksi yang mereka dapat dengan adanya KI. Sementara pemerintah masih ditantang dengan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang KI dan implementasinya dalam melindungi produk-produk kreatif yang telah memiliki KI. Studi ini merupakan penelitian kualitatif yang merupakan tinjauan konseptual terkait bagaimana kebijakan KI dapat mendorong pertumbuhan industri kreatif di Indonesia. Temuan studi ini bahwa kebijakan KI pada sektor ekonomi kreatif merupakan bentuk intervensi pemerintah yang mana praktiknya disesuaikan dengan kebutuhan dan jenis dari produk-produk industri kreatif tersebut. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 629 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 implementatif dari pengembangan sektor ekonomi kreatif di Indonesia. Sebagai agen pemerintah baru, tantangan industri kreatif bukan hanya dari pelaku industri itu sendiri, melainkan juga bagaimana peran pemerintah dalam mendorong industri kreatif tersebut. Salah satu hal yang dihadapi para pelaku industri kreatif dan pemerintah ialah terkait dengan kekayaan intelektual KI. KI menjadi salah satu perhatian Pemerintah Indonesia saat ini guna mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif nasional. Ada 3 tiga fokus yang minimal diperhatikan yaitu: 1 lapangan usaha kreatif dan budaya creative cultural industry; 2 lapangan usaha kreatif creative industry; dan 3 hak kekayaan intelektual seperti hak cipta copyright industry Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2008. Terkait KI, pelaku industri kreatif menghadapi banyak isu KI mulai dari produk apa yang bisa memiliki KI, bagaimana cara pengurusannya, dan sejauh mana proteksi yang mereka dapat dengan adanya KI. Isu KI juga dirasakan oleh pemerintah terkait rendahnya pengetahuan masyarakat tentang KI, turunan program-program implementatif dalam melindungi produk-produk kreatif baik yang telah memiliki HKI dan berpotensi mendapatkan HKI, serta sumber daya internal yang dimiliki pemerintah untuk menjalankan kebijakan KI terhadap produk- produk kreatif yang bernilai ekonomi. Hal ini tentu saja bukan hanya menjadi pekerjaan rumah bagi Bekraf dan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Ditjen KI – Kemenhum dan HAM, tetapi juga bagi kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah UMKM, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, serta pemerintah daerah terkait. RUMUSAN MASALAH Isu KI di produk-produk kreatif memang bukanlah hal baru, akan tetapi hal ini menjadi penting ketika produk-produk tersebut telah memberikan nilai ekonomi serta tumbuh sebagai salah satu penopang perekonomian nasional. Untuk itu, istilah industri kreatif muncul sekaligus menggandeng konsep KI sebagai bagian dari entitas kreatif yang harus dilindungi. Pertanyaannya ialah mengapa KI menjadi elemen penting bagi industri kreatif saat ini ? serta bagaimana cara pemerintah meilindungi pelaku industri kreatif melalui kebijakan HAKI ? TUJUAN 1. Menjabarkan pentingnya KI sebagai elemen dari perkembangan industri kreatif. 2. Mendeskripsikan cara pemerintah melindungi pelaku industri kreatif melalui kebijakan KI. TINJAUAN PUSTAKA Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif Konsep ekonomi kreatif telah diperkenalkan oleh John Howkins sekitar tahun 2000-an dimana menurut dia ekonomi kreatif muncul sebagai bagian dari dinamika ekonomi yang berkembang saat ini. Menurut Howkins 2007, kreativitas bukanlah aktivitas milik pribadi atau kepemilikian personal, justru kreativitas merupakan sesuatu yang bersifat spiritual tetapi hal ini juga eksplisit dan dapat dinikmati oleh publik. Kreativitas bukan hanya ekspresi personal, lebih dari itu kreativitas dapat meningkatkan kesuksesan sosial dan bisnis. Riilnya, ekonomi kreatif merupakan kegiatan ekonomi yang mengandalkan ide-ide baru sebagai modal utama dalam mengembangkan produk dan jasa sehingga terlihat unik daripada yang lain. Beberapa contoh ekonomi kreatif yang terlihat dari sub sektornya antara lain: fesyen, animasi, kuliner, kerajinan kriya, arsitektur, musik, dan lainnya. Mereka yang bergerak di ekonomi kreatif pada umumnya tidak dibatasi pada seniman semata, namun juga siapapun yang dapat menghasilkan ide-ide baru yang bisa diterima dan bernilai ekoonomi di pasar. Ekonomi kreatif masih memiliki konsep umum, kegiatan ekonomi ini dapat berjalan melalui serangkaian usaha yang dapat menghasilkan barang dan jasa serta dapat dijual ke pasar. Hal inilah yang kemudian disebut dengan istilah industri, Di Indonesia sendiri pengertian industri menurut Undang-undang RI No.3 Tahun 630 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 2014 tentang Perindustrian pasal 1 huruf 2 yaitu: ”industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku danatau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk juga jasa industri.” Industri kreatif memiliki makna yang kurang lebih sama dengan definisi ekonomi kreatif. Menurut UNDP and UNCTAD 2008, industri kreatif mencakup lingkaransiklus kreasi, produksi, dan distribusi barang-barang dan jasa yang menggunakan modalaset intelektual sebagai input utama, mengedepankan aktivitas-aktivitas berbasis pengetahuan knowledge-based activities, yang fokus dan tidak terbatas pada seni arts. Industri kreatif berpotensi menghasilkan pendapatan dari gagasan intelektual yang abstrak intangible intellectual atau jasa artistik dengan konten kreatif, nilai ekonomis, dan tujuan pasar. Di satu sisi industri ini mencakup lintas sub-sektor industri, jasa, dan artisan, dan merupakan sebuah sektor dinamika baru di dunia perdagangan. Industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif yang merupakan program ekonomi yang digagas oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Kemendag RI yang meliputi industri periklanan, TV dan radio, film, video dan fotografi, desain, musik, seni pertunjukan, fashion, penerbitan dan percetakan, kerajinan, layanan komputer dan piranti lunak, permainan inetrkatif, pasar barang seni, dan kegiatan penelitian dan pengembangan litbang yang masuk dalam 14 kategori industri kreatif yang ditetapkan oleh Kemendag RI tahun 2009- 2015. Di Indonesia sendiri, industri kreatif merupakan hal yang menjadi wacana dan istilah baru di era 2010-an, namun pada dasarnya kegiatan ekonomi ini telah tumbuh dan berkembang di tahun-tahun sebelumnya meskipun intervensi pemerintah tidak dirasakan secara langsung. Namun demikian, hadirnya industri kreatif merupakan salah satu sektor yang dapat meningkatkan sumber perekonomian baru baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Perluasan lapangan kerja, capaian kinerja pemerintah, serta pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, kebijakan yang lebih pro industri kreatif menjadi penting untuk dikembangkan dalam hal ini KEBIJAKAN SEKTOR INDUSTRI KREATIF Kebijakan atau policy merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan suatu persoalan di masyarakat. Kebijakan pun juga dapat berarti upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjadikan serta meningkatkan suatu kegiatan yang ada dalam masyarakat agar dapat dimanfaatkan bersama di lingkungan masyarakat tertentu. Ini artinya, kebijakan tidak selalu identik dengan persoalan yang ada di masyarakat, melainkan juga suatu hal yang dapat mendorong keberlangsungan aktivitas masyarakat yang sudah dibentuk sejak lama. Pada dasarnya kebijakan merupakan suatu keputusan decision. Smith 2008 mengartikan kebijakan sebagai sebagai sebuah pilihan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah yang mengarahkan tindakan di dalam keadaan yang serupasama. Hal ini juga ditekankan oleh Wibawa 2011 bahwa kebijakan merupakan serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada para pelaksana, yang menjelaskan cara- cara mencapai suatu tujuan apapun. Dalam konteks ekonomi kreatif, kebijakan diarahkan pada suatu pengambilan keputusan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan kewirausahaan dan ekonomi berbasis pengetahuan knowledge-based economy yang keduanya merupakan bagian dari materialisasi industri kreatif. Keputusan disini bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung namun memiliki tujuan sama, yaitu munculnya ekonomi-ekonomi baru dan kreatif di lingkungan masyarakat. Menurut UNCTAD dalam Nurse and Nicholis 2011, upaya pemerintah perlu dilakukan dalam mendorong industri kreatif di negaranya. Pemerintah dapat melakukan penguatan lingkungan industri kreatif mulai dari perihal kreasi, produksi, dan distribusi barang dan jasa yang menggunakan kreativitas dan modal intelektual; seperangkat aktivitas berbasis pengetahuan, produk-produk berwujud tangible 631 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dan tak berwujud intangible dengan konten kreatif, nilai tambah, dan target pasar; memerlukan lintas keahlian baik di sektor jasa maupun industri; serta merupakan sektor ekonomi dinamis dalam perdagangan dunia. KEKAYAAN INTELEKTUAL Kekayaan Intelektual KI merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi hak-hak intelektual seseorangkelompok ataupun produk-produk barangjasa baru yang dihasilkan oleh seseorangkelompok di pasaran. Lingkup KI terbatas pada koridor hukum yang ada di masing- masing negara, meskipun demikian KI memiliki dampak luas hingga ke berbagai negara. Menurut The World Intellectual Property Organization WIPO 2008, kekayaan intelektual intellectual property merupakan hak- hak secara legal yang dihasilkan dari aktivitas- aktivitas intelektual di sektor industri, saintifik, literasi, dna bidang-bidang artistik. Tiap negara memiliki peraturan untuk melindungi kekayaan intelektual dengan dua alasan utama. Pertama, memberikan pernyataan hukum statutory pada hak-hak moral dan ekonomi dari para kreator dalam hal kreasi yang mereka ciptakan dan gak publik untuk mengakses hasil-hasil kreasi mereka. Kedua, mendorong, sebagai tindakan penghubung deliberate act dari kebijakan pemerintah, aktivitas, dan diseminasi dan aplikasi dari hasil- hasilnya dan untuk mendorong perdagangan jujur dan adil fair trading yang akan berkontribusi pada pengembangan sosial dan ekonomi. Tujuan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap kekayaan intelektual individu atau kelompok sebagaimana yang dijelaskan oleh WIPO memang berkenaan dengan asas menghargai jerih payah mereka dan juga memberi kesempatan kepada penggunanya tanpa harus merusak hasil karyanya. Pada Konvensi yang diselenggarakan di Stockholm pada 14 Juli 1967 artikel 2: viii memberi pernyataan bahwa: hak- hak kekayaan intelektual meliputi berbagai hal yang antara lain WIPO, 2008:  Literasi, artisitik, dan karya-karya ilmiah,  Peformakinerja dari kegiatan senimanartis, phonograms, dan penyiaran,  Penemuan-penemuan di berbagai bidang yang melibatkan upaya manusia,  Penemuan ilmiah,  Desain industri,  Merek dagang trademark, merek jasa service mark, nama-nama dagangkomersial, dan lambang atau singkatan,  Perlindungan terhadap persaingan yang tidak sehat,  dan seluruh hak lainnya yang berasal dari aktivitas intelektual di dalam industri, saintifik, literasi, dan bidang-bidang artistik. Sebagaimana yang disebutkan oleh WIPO di atas terkait kriteria hak perlindungan kekayaan intelektual, maka kekayaan intelektual menjadi bagian penting dari pengembangan ekonomi kreatif di negara manapun. Produk-produk kreatif yang diciptakan di dunia tidak terlepas dari ide-ide baru penemunya. Hal inilah yang kemudian menjadi aset intelektual sehingga perlu dilindungi. Howkins 2013 menyebutkan bahwa “in a crative economy, a person’s imgination is their most valuable asset. In total, it is likely the value of the world’s intellectual capital exceeds the value of its financial and physical capital. It is clearly greater part of arts, culture, design, media, and innovation. Di Indonesia sendiri, KI disesuaikan dengan koridor wilayah hukum yang ada. Menurut buku panduan tentang KI yang disusun oleh Ditjen KI-Kemenhunham 2013, Hak Kekayaan Intelektual, disingkat HKI, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights IPR, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. 632 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Hampir serupa dengan pembagian HKI versi WIPO, ada beberapa hal yang diberikan perlindungan HKI oleh pemerintah Indonesia antara lain Ditjen HKI-Kemenhunham, 2013: Secara garis besar HKI dibagi dalam 2 dua bagian, yaitu: 1 Hak Cipta copyright; Hak Cipta Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku 2 Hak kekayaan industri industrial property rights, yang mencakup: a Paten patent; - b Desain industri industrial design; - c Merek trademark : merek dagang, merek jasa, dan merek kolektif d Penanggulangan praktek persaingan curang repression ofunfair competition; e Desain tata letak sirkuit terpadu layout design ofintegrated circuit; f Rahasia dagang trade secret. g Indikasi geografis Dalam ekonomi kreatif di Indonesia, KI memiliki berbagai bentuk yang berbeda tergantung dari produk barangjasa apa yang harus diberikan perlindungan. Bervariasinya produk- produk kreatif juga akan membedakan unsur jenis KI yang diberikan. Namun demikian, KI tidak terbatas pada satu produkjasa saja, melainkan juga hal-hal yang bersifat rahasia yang itu dapat dipublikasikan atas persetujuan pemilik penemunya. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran secara utuh terhadap suatu fenomena. Penelitian kualitatif Menurut Simatupang 2016 dilandasi pada filsafat pospositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna. Sumber Data Sumber data dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen seperti buku, artikel, jurnal ilmiah, working papers, peraturan perundangan, media massa, dan berbagai dokumen lain terkait. Inilah kemudian yang menjadi dasar bahwa studi ini merupakan tinjauan literatur. Dalam studi literatur, data yang digunakan harus benar-benar mendukung riset dan akurasinya dapat dipertanggungjawabkan serta memiliki kebaruan informasi. Teknik Analisis Sebagai studi literatur, penekanan konseptual terhadap isu-isu industri kreatif dan kebijakan Kekayaan Intelektual KI menjadi hal utama yang menjadi concern pada bahasan studi ini. Meskipun demikian, kebaruan informasi yang diperoleh oleh penulis baik dari informasi eksternal maupun keterlibatan penulis dari kegiatan penelitian sebelumnya terkait dengan ekonomi kreatif, kebijakan, dan KI memberikan penguatan terhadap analisis studi ini. Kekuatan studi literatur ialah terletak pada kemampuan penulis dalam mewujudkan gagasan konsep ke dalam kondisi riil di lapangan. Kerangka Pikir Analisis Di ilmu kebijakan, model sistem menjadi salah satu model yang umum dikembangkan dalam model analisis kebijakan. Di dalam model ini ada 3 tiga hal pokok yang perlu dimiliki agar suatu kebijakan dapat dipahami sebagai suatu sistem yaitu: inputs masukan-masukan, processes proses-proses, dan outputs keluaran- keluaran. Dari berbagai masukan kemudian dikonversi ke dalam proses. Dalam tahap “proses” banyak diliputi serangkakan pengambilan keputusan yang mana oleh Smith 2008 dan Wibawa 2011 disebut sebagai inti dari kebijakan yang melibatkan kekuatan dan pengaruh politik di 633 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dalamnya. Dari tahap “proses” kemudian keluar berbagai bentuk kebijakan riilnya. Wahab 2008 mengatakan bahwa input dapat meliputi kekayaan alam, harta benda, pengetahuan dan teknologi yang kemudian disalurkan melalui “kotak hitam pengambilan keputusan” atau yang dikenal juga dengan “proses konversi”, untuk kemudian menghasilkan keluaran-keluaran outputs, berupa keputusan- keputusan dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Model yang dikembangkan oleh Jenkins dalam Wahab 2008 yang memuat model sistem ini dapat pula digunakan dalam analisis studi ini Gambar 1. Sumber: Dikutip dari Jenkins dalam Wahab 2008 dengan penambahan konten sub sektor ekonomi kreatif dan kebijakan KI di dalamnya. Terkait dengan kebijakan KI pada sektor industri kreatif, model sistem ini dipandang perlu dalam menentukan pentingnya KI bagi industri kreatif sebagai bagian dari “input” kebijakan serta upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap pelaku industri kreatif sebagai “output” kebijakan. Antara input dan output tersebut tentunya ada “proses” pengambilan keputusan yang melibatkan sistem politik di dalamnya. Berbagai kepentingan politik yang bersinggungan dengan industri kreatif dan KI juga diulas sebagai bagian dari proses konversi dalam pengambilan kebijakan. DISKUSI 4.1 Pengaruh Politik dan Kebijakan Ekonomi Kreatif Lingkungan politik yang ada di Indonesia khususnya setelah era reformasi di tahun 2000-an telah memberi banyak perubahan. Rezim pemerintah yang sebelumnya tersentral di pemerintah pusat zaman orde baru telah berubah berada di tangan pemerintah daerah. Bahkan beberapa hal terkait dengan keterbukaan pendapat dan tuntutan publik terhadap kinerja pemerintah menjadi hal wajar di era saat ini. Era keterbukaan serta munculnya gagasan-gagasan baru dari tiap individu serta adanya komunitas-komunitas sosial menjadikan era reformasi penuh dengan gejolak sosial-budaya dan politik-ekonomi. Berbagai individu maupun komunitas menuntut hak mereka serta menginginkan pemerintah mengakui ide serta hasil karya mereka yang sebelumnya tidak diakui oleh pemerintah di era orde baru. Tidak hanya terbatas pada keinginan reformasi di bidang hukum, partisipasi politik yang luas, serta perekonomian yang menguat dan mengakar, namun juga adanya perubahan sosial-budaya juga terjadi di dalam struktur masyarakat. Tuntutan-tuntuan Dukungan-dukungan Sumber-sumber -isu-isu di ekonomi kreatif dan perlindungan aset intelektualnya- Proses-proses konversi pengambilan keputusan untuk mengakomoditr berbagai masukan terkait dengan ekonomi kreatif dan perlindungan aset intelektualnya Hasil akhir kebijakan berupa regulasi, program, rencana teknis, atau lainnya sebagai bagian dari kebijakan KI Keluran-keluaran kebijakan yang merupakan bentuk intervensi pemerintah dalam melindungi aset intelektual pada pelaku ekonomi kreatif kebijakan KI Hasil akhir kebijakan Output: Keluaran kebijakan Proses: Sistem politik Input: Lingkungan masukan-masukan Lingkungan Lingkungan Lingkungan Lingkungan: mencakup sosial, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi masukan-masukan, variabel-variabel sistem, keluaran-keluaran kebijakan dan hasil-hasil akhir kebijakan 634 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tidak hanya politisi atau pemilik modal yang ingin mengambil dampak dari era reformasi ini, melainkan juga para seniman musisi, tari, teater, artis, arsitektur, photografer, animator, dan lainnya juga ingin mengambil kesempatan agar apa yang mereka inginkan dan butuhkan dapat direspon oleh pemerintah melalui suatu kebijakan. Baik individu maupun komunitas yang memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan baru serta rencana- rencana tertentu mendorong pemerintah agar mendukung hal tersebut. Lantas siapa yang mendorong pemerintah untuk merespon kebijakan ekonomi kreatif saat ini? Di era penuh keterbukaan ini pendorong atau pencetus kebijakan ekonomi kreatif bukan hanya domain pemerintah semata, bukan pula keinginan dari seseorang atau komunitas tertentu. Kebijakan ekonomi kreatif justru muncul dari fenomena sosial-budaya yang diperkuat oleh aspek kepentingan politik-ekonomi yang ada di Indonesia. Artinya, kebijakan ekonomi kreatif di Indonesia merupakan hasil berbagai kepentingan yang menginginkan munculnya ekonomi kreatif sebagai bagian dari sumber pendapatan ekonomi baru bagi pemerintah dan masyarakatnya. Dorongan para pelaku ekonomi kreatif serta hasil karya mereka yang dapat diterima oleh masyarakat dalam dan luar negeri mendorong para elit politik untuk membawa isu “ekonomi kreatif” ke dalam agenda politik pemerintah yang kemudian diteruskan kepada agenda perumusan kebijakan. Tarik ulur kepentingan politik untuk mendorong ekonomi kreatif didukung oleh pemangku kepentingan di luar sektor ekonomi kreatif karena jumlah pelaku ekonomi kreatif secara visual bertambah dan tersebar di berbagai tempat. Disinilah momentum ekonomi kreatif muncul saat era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono SBY mulai tahun 2004-2009 Periode I hingga tahun 2009-2014 Periode II. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, isu ekonomi kreatif diperkuat secara kebijakan dan kelembagaan. Secara legal formal, ekonomi kreatif telah menjadi pertimbangan khusus Pemerintah Indonesia dengan dikeluarkan Instruksi Presiden Inpres No. 6 pada tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Selanjutnya di tahun 2011, Presiden membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf di bawah Menteri Ibu Marie Elka Pangestu berdasar pada Peraturan Presiden Perpres Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Munculnya Kemenparekraf mengindikasikan bahwa antara sektor pariwisata dan ekonomi kreatif memiliki kedekatan dari pendekatan nilai ekonomi. Memang banyak sektor ekonomi kreatif yang menempel pada sektor pariwisata seperti kuliner, kriya kerajinan, fesyen. Kuliner misalnya merupakan sektor ekonomi kreatif yang melekat di sektor pariwisata sebagaimana yang dicontohkan di Kota Muskoka di negara Kanada Shyllit and Spencer, 2011; Lee et al., 2015. Namun demikian, tidak semua sektor ekonomi kreatif melekat pada sektor pariwisata seperti arsitektur, musik, desain-animasi, dan lainnya. Seiring waktu, perhitungan sektor ekonomi kreatif mengalami peningkatan khususnya kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto PDB. Di tahun 2002-2006, rata- rata Kontribusi Sektor Industri pada PDB ialah Rp 104,6 Triliun, yaitu 6,3 dari total nilai PDB Nasional. PDB Industri Kreatif banyak disumbangkan oleh Kelompok Fesyen, Kerajinan, Periklanan Desain dengan rata-rata nilai PDB kelompok industri kreatif tersebut tahun 2002- 2006 secara berturut-turut adalah Rp 46 triliun 44,18, Rp 29 triliun 27,72, Rp 7 triliun 7,03, dan Rp. 7 triliun 6,82 Berbagai sumber yang dirangkum oleh Pangestu, 2008. Di tahun 2013, ekonomi kreatif memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional sebesar 5,76 yang mengungguli tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5,74 Pusat Komunikasi Kemenperin, 2015. Meningkatnya kontribusi industri kreatif terhadap PDB nasional didorong juga banyaknya permintaan dari pelaku industri kreatif yang mendorong elit politik untuk memberikan ruang lingkup lebih luas untuk meng-address isu-isu ekonomi kreatif. Pergantian rezim kepemimpinan 635 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dari SBY ke Joko Widodo di periode 2014-2019 menjadi momentum ketika pendukung Presiden Joko Widodo tidak terlepas dari pelaku ekonomi kreatif dan juga netizen 3 . Di era Presiden Joko Widodo ini ekonomi kreatif menjadi sektor unggulan dengan pernyataan presiden yang ditantandatangani langsung bahwa: ekonomi kreatif merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Secara kelembagaan dan legal, Joko Widodo melahirkan Badan Ekonomi Kreatif Bekraf sebagai agen pemerintah yang paling baru dan bertugas mengurusi segala hal di bidang ekonomi kreatif di Indonesia. Bekraf merupakan agen baru yang secara kelembagaan mengambil alih wewenang Kementerian Pariwisata yang di era sebelumnya melekat sebagai Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf. Bekraf didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif yang saat ini diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif. Praktiknya, Bekraf dipimpin oleh Bapak Triawan Munaf 4 dan mulai melakukan tugas pertama sebagai kepala badan dan mulai mendapatkan dukungan anggaran rutin pemerintah melalui APBN pada tahun 2016.

4.2 Pentingnya KI Sebagai Elemen Industri Kreatif

KI telah menjadi bagian dari pengembangan ekonomi dan inovasi di Indonesia. Keberadaan KI yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual KI Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia menjadi salah satu hal yang dibutuhkan oleh pelaku industri saat ini. Studi Kardoyo dkk 2010 menyatakan bahwa pengakuan KI mendapat perhatian besar selaras dengan proses perdagangan bebas. Pentingnya pengakuan KI ini terkait dengan perlindungan terhadap produk- produk perdagangan dari berbagai pola imitasi, pemalsuan produk, dan sebagainya. 3 Netizen ialah sebutan bagi penggunapemanfaat teknologi informasi, khususnya di sektor media sosial. Perlindungan suatu produk baru baik barang maupun jasa melalui KI pada umumnya ialah produk-produk yang berasal dari ide dan gagasan dari kreatornya. Produk-produk tersebut identik dengan kreativitas yang berasal dari individu atau komunitas sebagai kreatornya. Pada dasarnya kreator-kreator kreatif tersebut membutuhkan perlindungan terhadap produk- produk yang dihasilkan baik dari sisi pengakuan hak cipta maupun ekonominya. Hal ini kemudian akan melahirkan sektor industri kreatif yang mampu berkontribusi pada perekonomian nasional dan berkompetisi di level global. Pangestu 2008 menyatakan bahwa industri kreatif perlu dikembangkan di Indonesia karena beberapa hal antara lain: 1 Memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; 2 Menciptakan iklim bisnis yang positif; 3 Membangun citra dan identitas Bangsa; 4 Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan; 5 Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa; dan 6 Memberikan dampak sosial yang positif. Pernyataan ini tentunya bukan hanya dukungan secara politis saja, namun implementasi KI sebagai bagian dari sektor ekonomi kreatif diwujudkan untuk mendorong perkembangan industri kreatif. Industri kreatif, yang tidak lepas dari pentingnya penghargaan dan perlindungan hasil karya yang diciptakan melalui ide dan gagasan kreatif juga diperkuat oleh Howkins 2013. Beliau mengemukakan bahwa these ideas about human and structural capital were brought together into the single concept of intellectual capital”. Pernyataan Howkins ini jelas-jelas menganggap bahwa ide dari pelaku industri kreatif merupakan aset dan modal yang hal itu dapat menghasilkan uang bagi kreatornya dan bahkan imitatornya. Untuk itulah peran HKI muncul sebagai salah satu intervensi pemerintah untuk melindungi hasil-hasil karya kreatif tersebut. Salah satu contoh pentingnya KI dalam produk ekonomi kreatif disampaikan oleh Bapak Ahmad M. Ramli: 4 Triawan Munaf ialah seorang pelaku ekonomi kreatif di bidang musik musisi. 636 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 “.........suatu kreatifitas maka akan memiliki nilai yang tinggi dibandingkan jika hanya melakukan pengolahan saja, misalnya seorang berdagang pisang goreng mempunyai nilai ekonomi lebih yang biasa saja dan mudah memiliki saingan dibandingkan apabila ditambahkan suatu kreasi Kekayaan Intelektual yang salah satunya adalah dengan memberikan kemasan pada pisang goreng tersebut dan terlebih apabila diberikan suatu merek, maka harga pisang 1 satu tandan dapat memiliki besaran harga yang sama jika dibandingkan dengan 1 satu pisang yang telah diberikan kreasi danatau merek Humas DJKI, 2016”.

4.3 Upaya-upaya Pemerintah Di Bidang KI Pada Sektor Industri Kreatif di Indonesia

4.3.1 Struktur organisasi bekraf dengan adanya direktorat harmonisasi regulasi dan

HKI Salah satu bentuk keluaran kebijakan yang diperlukan dalam mendorong kebijakan HKI di sektor ekonomi kreatif ialah adanya Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi. Melalui struktur organisasi ini, kelembagaan Bekraf sangat mendukung adanya HKI sebagai bagian pengembangan industri kreatif di Indonesia. Bahkan HKI memiliki fungsi sentral dalam upaya perlindungan hasil-hasil kreativitas dan bernilai ekonomi. Menurut Peraturan Kepala Badan Ekonomi Kreatif No.1 2015 Pasal 106 menjelaskan bahwa Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi mempunyai tugas merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan dan program fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan sinkronisasi regulasi di bidang ekonomi kreatif. Dalam menjalankan tugasnya, deputi ini mempunyai berbagai fungsi, yaitu www.bekraf.go.id : • Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dan program fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual di bidang ekonomi kreatif. • Koordinasi, sinkronisasi perencanaan, pelaksanaan kebijakan dan program fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual di bidang ekonomi kreatif. • Koordinasi, sinkronisasi perencanaan, pelaksanaan regulasi di bidang ekonomi kreatif. • Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan dan program fasilitasi hak kekayaan intelektual di bidang ekonomi kreatif. • Pemberian bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan kebijakan dan program fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual di bidang ekonomi kreatif. • Pelaksanaan pembinaan dan pemberian dukungan kepada semua pemangku kepentingan dalam memfasilitasi Hak Kekayaan Intelektual di bidang ekonomi kreatif. • Pelaksanaan fungsi lain yang ditugaskan Kepala. Sebagai model ekonomi yang bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia, Ekonomi kreatif membangun fondasinya di atas Hak kekayaan intelektual HKI. Ekonomi kreatif bisa tumbuh dengan pesat jika ide dan karya para pelakunya dilindungi.

4.3.2 Sosialisasi HKI Pada Pelaku Industri Kreatif

Sosialisasi HKI pada para pelaku industri kreatif terus diupayakan secara masif oleh pemerintah setelah dibentuknya Bekraf. Hal yang dilakukan oleh pemerintah meliputi tata cara mengurus, royalti, memanfaatkan produk yang berlabel HKI, dan jenis-jenis produk yang bisa di HKI-kan. Guna menjalankan fungsinya, Bekraf melalui kedeputian yang mengurusi HKI menjalankan beberapa program dengan fokus pada sosialisasi dan perlindungan terhadap HKI 637 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 para pelaku ekonomi kreatif. Beberapa program unggulan yang dijalankan, yaitu: 1. Perancangan dan peluncuran Mobile App Informasi HKI BIIMA, yang menyediakan semua informasi tentang hak kekayaan intelektual secara lengkap. 2. Mengadakan konsultasi HKI secara massal dan gratis kepada para pelaku ekonomi kreatif. 3. Desain ulang kemasan produk indikasi geografis. 4. Menyediakan fasilitasi 5000 Sertifikat Profesi untuk pelaku ekonomi kreatif. 5. Menyediakan fasilitasi 1000 Pendaftaran HKI untuk pelaku ekonomi kreatif. 6. Mendirikan Satgas Anti Pembajakan untuk memerangi pelanggaran HKI. Untuk mendukung upaya implementasi HKI dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif, kedeputian Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi meluncurkan program dalam bentuk software yang bisa diakses dalam dunia digital sekalipun menggunakan android. Nama aplikasi tersebut ialah BIIMA yang menyediakan info HKI dalam genggaman secara ringkas dan straight to the point. BIIMA merupakan kependekan dari Bekraf’s IPR Intellectual Property Rights Info in Mobile Applications. Melalui aplikasi ini, masyarakat dapat mengetahui tentang KI dalam produk- produk ekonomi kreatif, bagaimana cara mendaftarkannya, memberi perlindungan, serta manfaat ekonomi yang diperoleh dari produk kreatif yang ber-HKI. Bekraf juga menyediakan fasilitasi pendaftaran HKI untuk pelaku ekonomi kreatif. Setidaknya 1.000 hingga 1.500 pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual HKI gratis bagi para pelaku ekraf tahun 2016 diupayakan difasilitasi oleh Bekraf. Program fasilitasi ini dilakukan antara Bekraf bekerjasama dengan Universitas Indonesia UI, dengan memfasilitasi para pelaku ekraf di 15 kota se-Indonesia. Bahkan, pada tahun 2017, Bekraf memperluas fasilitasi gratis HKI tidak kurang dari 2.500 pendaftaran HKI bagi para pelaku ekraf. Program fasilitasi HKI ini antara lain terkait pembiayaan pendaftaran HKI, seperti merek, dimana biaya yang dikeluarkan berkisar Rp 600.000,00. Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh HKI tersebut memang tidak begitu mahal tetapi sangat berarti bagi pelaku ekraf mikro dan kecil. Di tambah lagi, biaya untuk pengurusan pendaftaran HKI umumnya harus dibawa ke Jakarta, meskipun bisa dilakukan melalui Kanwil Kemenkumham Provinsi. Adanya program ini merupakan salah satu bentuk inisiatif Bekraf dengan mendatangi para pelaku ekraf diberbagai kota di Indonesia agar semakin dimudahkan dalam pengurusan HKI. Hal ini tidak terlepas dari permintaan produk ekraf di pasaran yang cukup tinggi sehingga Bekraf memberikan perhatian yang sangat instensif dan khusus terhadap pelaku ekraf di daerah-daerah. Di samping itu, Bekraf juga membuka konsultasi HKI secara massal dan gratis kepada para pelaku ekonomi kreatif berkaitan dengan jenis HKI apa yang cocok buat karya atau produk mereka karena HKI itu ada beberapa jenis, seperti hak cipta, merek, paten, dan indikasi geografis. Hal ini sebagai bentuk penyadaran pelaku ekraf terhadap pentingnya perlindungan industri ekraf melalui proteksi HKI. Permasalahan yang kerap ditemui para pelaku ekraf adalah mereka baru menganggap HKI itu penting ketika timbul masalah gugatan pihak lain berkaitan dengan produk ekraf yang dihasilkandiproduksi oleh salah satu pelaku usaha. Oleh sebab itu, program ini diharapkan dapat meminimalkan pelanggaran atas hasil kreatifitas pelaku ekraf. Adanya kepemilikan HKI ini, para pelaku ekraf akan mendapatkan kepastian hukum perlindungan hasil kreatifitas mereka. Bekraf juga menjalankan program berkaitan dengan desain ulang kemasan produk indikasi geografis. Kondisi ini tidak terlepas dari Indonesia yang potensi keragaman produk khas daerah atau produk indikasi geografis, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Sebagai conoth seperti Ubi Cilembu yang merupakan produk khas Jawa Barat dan Buah Carica yang merupakan produk khas daerah Dieng, Jawa Tengah. Produk Indikasi Geografis apabila dikembangkan dapat memberi dampak peningkatan perekonomian, khususnya di daerah. 638 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Oleh karena itu, Kedeputian Fasilitasi HKI dan Regulasi Bekraf mengadakan program Desain Ulang Kemasan Produk Indikasi Geografis. Program ini merupakan kerjasama antara Bekraf dengan Asosiasi Desain Grafis Indonesia ADGI guna membantu para pelaku ekonomi kreatif dalam bidang produk Indikasi Geografis IG untuk mendesain ulang kemasan produk mereka agar menarik dan dapat meningkatkan nilai jual. Program yang dijalankan tersebut dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah pertemuan dengan seluruh asosiasi pemilik IG terdaftar. Tahapan pertama ini telah dilakukan di 4 kota menurut wilayahnya, yaitu Manado untuk wilayah Kalimantan dan Sulawesi, Mataram untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Medan untuk wilayah Sumatera, dan Surabaya untuk wilayah Jawa. Dari tahapan ini, Bekraf memilih sejumlah produk IG terdaftar untuk didesain ulang kemasan danatau logonya. Tahapan kedua adalah survei lapangan produk IG yang terpilih untuk berdiskusi dan mendapatkan masukan dari kelompok masyarakat pemilik produk IG terdaftar serta instansi daerah pembina. Hal ini dilakukan agar teman-teman desainer dapat menyimpulkan dari data yang didapat desain kemasan atau logo seperti apa yang tepat untuk produk tersebut. Tahapan berikutnya adalah asosiasi pemilik IG dengan tim ADGI membahas mengenai alternatif-alternatif desain kemasan atau logo yang telah dibuat oleh tim ADGI untuk produk dari asosiasi yang terpilih. Selanjutntya, Asosiasi pemilik IG dapat memilih satu desain yang dirasa paling tepat untuk produk IG mereka. Selanjutnya tahapan terakhir adalah penyerahan kemasan baru produk IG sesuai dengan pilihan masing-masing asosiasi pemilik IG terdaftar. Beberapa produk IG yang terpilih dan telah disurvei pihak Bekraf dan ADGI adalah Kopi Arabika Simalungun, Sumatera Utara, Pala Siau, Sulawesi Utara, Kacang Mete Karang Asem, Bali, Kopi Enrekang, Sulawesi Selatan, Kopi Bajawa, Nusa Tenggara Timur, Kopi Java Ijen-Raung, Jawa Timur, Teh Java Preanger, Jawa Barat, Ubi Cilembu, Sumedang, dan Beras Adan Krayan, Kalimantan Utara. Adanya program desain ulang kemasan produk indikasi geografis tentunya dapat meningkatkan daya saing produk IG di pasar domestik dan internasional. Bekraf juga memandang penting untuk memfasilitasi pelaksanaan sertifikasi profesi. Hal ini dilakukan dengan menyediakan fasilitasi 5000 Sertifikat Profesi untuk pelaku ekonomi kreatif. Sertifikasi kompetensi kerja yang dilakukan secara sistematis dan obyektif dilakukan melalui uji kompetensi dan mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional danatau standar khusus, perlu diterapkan bagi para pelaku ekonomi krearif. Tahun 2016, Bekraf telah memfasilitasi sertifikasi profesi di 11 kota meliputi Jakarta, Bandung, Surabaya, Palembang, Padang, Cirebon, Tegal, Kendal, Temanggung, Lasem, dan Medan dengan jumlah peserta sebanyak 1.130 orang. Program fasilitasi 5000 Sertifikat Profesi perlu segera dilakukan mengingat telah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga pelaku-pelaku ekonomi kreatif mampu bersaing baik di level nasional, regional maupun internasional. Diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN MEA tidak hanya membuka bebas aliran barang, jasa dan investasi, melainkan juga tenaga kerja profesional yang berstandar internasional. Oleh karena itu, para pelaku ekraf harus menyiapkan diri dengan cara meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dalam negeri, ini merupakan faktor penentu keberhasilan untuk memenangkan persaingan, termasuk mengisi lowongan pekerjaan pada sektor-sektor industri ekonomi kreatif. Dalam program ini, Bekraf bekerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi LSP bidang Telematika, yaitu untuk kompeten Junior Digital Artist, LSP Batik, dan LSP Fotografi. Bimbingan TeknisPendidikan dan pelatihan bagi pelaku Ekonomi Kreatif ini sesuai dengan Standar Kinerja Kompetensi Nasional Indonesia SKKNI. Dalam pelaksanaannya, pelaku ekraf dapat mengikuti kegiatan ini tanpa dipungut biaya, karena difasilitasi oleh BEKRAF. Setiap Asosiasi dalam 16 Subsektor Ekonomi Kreatif akan difasilitasi oleh BEKRAF jika telah memiliki LSP dan SKKNI serta lisensi dan BNSP. Kebijakan dan program yang dilakukan oleh Bekraf, melalui aplikasi BIIMA, konsultasi HKI secara massal dan gratis, desain ulang kemasan produk indikasi geografis, fasilitasi 1000 639 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Pendaftaran HKI, dan fasilitasi 5000 Sertifikat Profesi untuk pelaku ekonomi kreatif tidak akan berjalan secara efektif jika masih banyak ditemui pelanggaranpemalsuan terhadap produk yang dihasilkan para pelaku ekraf. Untuk itu, Bekraf menginisiasi berdirinya Satgas Anti Pembajakan untuk memerangi pelanggaran HKI. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menanggulangi pembajakan hak kekayaan intelektual intellectual property right. Satgas ini bakal menerima pengaduan segala macam jenis pembajakan, baik secara offline maupun online dari para pemegang hak karya cipta. Pembentukan Satgas Pengaduan konten bajakan ini perlu dibuat oleh Bekraf karena kasus pembajakan merupakan delik aduan, sehingga adanya pelanggaran HKI tidak akan diproses oleh aparat penegak hukum jika tidak ada laporan. Pemberantasan pembajakan HKI merupakan salah satu fokus Bekraf dikarenakan untuk mengembangkan ekraf agar menjadi motor penggerak perekonomian diperlukan jaminan perlindungan atas hasil karya inetelektual. Di samping juga, adanya ekosistem yang kondusif bagi para pelaku ekraf untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi atas aktivitas usaha yang dilakukan.

BAB V KESIMPULAN

Ekonomi kreatif ekraf merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi pada perekonomian nasional sebesar 5,76 di tahun 2013 mengungguli rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,74. Bahkan industri kreatif juga menyerap tenaga kerja hingga 11,8 juta orang. Kebijakan pengembangan ekraf semakin nyata dilakukan pemerintah dengan membentuk lembaga tersendiri, yang diberi kewenangan dalam mengurus segala hal terkait dengan ekraf di Indonesia, yaitu Badan Ekonomi Kreatif Bekraf. Tantangan industri kreatif bukan hanya dari pelaku industri itu sendiri, melainkan juga bagaimana peran pemerintah dalam mendorong industri kreatif tersebut. Pelaku industri kreatif menghadapi banyak isu KI mulai dari produk apa yang bisa memiliki KI, bagaimana cara pengurusannya, dan sejauh mana proteksi yang mereka dapat dengan adanya KI. Sementara dari sisi pemerintah masih dihadapkan dengan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang KI dan implementasinya dalam melindungi produk- produk kreatif yang telah memiliki KI. DAFTAR PUSTAKA Pusat Komunikasi Kemenperin. 2015. Menperin: Kontribusi PDB Ekonomi Kreatif Ditargetkan 7,5. Diakses dari http:www.kemenperin.go.idartikel13182 Menperin:-Kontribusi-PDB-Ekonomi- Kreatif-Ditargetkan-7,5 21 Januari 2016. Siagian, Riduan. 2014. Industri Kreatif Berbasis Budaya Lokal. Diakses dari http:www.medanbisnisdaily.comnewsre ad20140807110038industri-kreatif- berbasis-budaya-lokal.VqBOXlK1XLU 21 januari 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif Howkins, John, 2007. Enhancing Creativity. http:www.india- seminar.com200555355320john20h owkins.htm . Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2008. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015. Studi Industri Kreatif Indonesia. Undang-undang RI No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. UNDP UNCTAD. 2008. The Challenge of Assesing the Creative Economy: Towards Informed Policy--Making Creative Economy Report. Nurse, Keith and Alicia, Nicholis. 2011. Enhancing Data Collection in the Creative Industries Sector in CARIFORUM. Prepared for Inter-Agency Presentation, ITC, UNCTAD, WTO, and WIPO contribution 32 nd COTED Meeting in Georgetown, Guyana, May 16-17 th , 2011. Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Smith, Bruce L. 2003. Public Policy and Public Participation Engaging Citizens and Community in the Development of Public Policy. Population and Public Health Branch. Atlantic Region. Canada. 640 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Howkins, John. 2013. The Creative Economy: How People Make Money From Ideas. London: Penguin Books. WIPO. 2008. WIPO Intellectual Property Book. WIPO Publication No. 489 E Dirjen HKI-Kemenhunham. 2013. Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. Simatupang, Togar M. 2016. Metode Penelitian Kualitatif. Materi disampaikan dalam pelatihan metode kualitatif di Pappiptek- LIPI pada tanggal 5 Februari 2016. Wahab, Solichin Abdul. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang UMM Press. Instruksi Presiden No. 6 pada tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara. Lee, Anne H.J; Geoffrey, Wall; Jason F. Kovacs. 2015. Creative food clusters and rural development through place branding: Culinary tourism initiatives in Stratford and Muskoka, Ontario, Canada. Journal of Rural Studies 39: 133-144. Shyllit, Robyn and Spencer, Gregory M. 2011. Water, Rocks and Trees. Building Upon our Rich Resources: THE CREATIVE ECONOMY IN MUSKOKA. Published by collaboration with The District of Muskoka, Muskoka Futures, Creative Muskoka. Pangestu, Marie Elka. 2008. Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Hasil Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang diselenggarakan pada Pekan produk Budaya Indonesia 2008 di Jakarta Convention Centre JCC, 4-8 Juni 2008. Kardoyo, Hadi; Handoyo, Setiowiji; Triyno, Budi; Laksana, Chichi Shintia. 2010. Kebijakan Paten Dalam Mendorong Aktivitas Inovasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Humas DJKI. 2016. Ekonomi Kreatif Sebagai Modal dan Jati Diri Bangsa Indonesia. Diakses dari http:www.dgip.go.idhumas162- ekonomi-kreatif-sebagai-modal-dan-jati- diri-bangsa-indonesia . Bekraf. Tugas Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi. Diakses dari http:www.bekraf.go.idprofiltugasdeputi -fasilitasi-hak-kekayaan-intelektual-dan- regulasi . 641 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Kebijakan Insentif Fiskal untuk UMKM sebagai Motor Penggerak Iptek dan Inovasi Nasional Fiscal Incentive Policy for SMEs as the Driver of National Science, Technology and Innovation Eddy Mayor Putra Sitepu 1 1 Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Ged. R.M. Notohamiprodjo Lt. 6, Jl. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta 10710 Keyword A B S T R A C T Micro, small and medium enterprises MSMEs are the backbone of the economy according to the principle stated by Indonesia’s legislation. Information and technology sector is one of Indonesia’s competitive advantage which are contributed mostly by MSMEs. According to the Statistics Indonesia data 2014, in the period of 2010-2013, MSMEs in the subsectors related to the information and communication technology field encountered decrease in terms of the number of the business units, output values, and added values in market price. Government has provided supports from the institutional and capital aspects towards MSMEs, but the assistance are insufficient. An effective policy initiative is required in order that the incentive given may promote growth of enterpreneurship as well as provide relieve for the MSMEs. This research is aimed to formulate the effective tax incentive policy for MSMEs. The methodology used is literature study by using descriptive analysis. The result of this research is that the effective incentive policy is one that can minimalize tax distortion and at the same time provide freedom to offset losses as well as simplify the tax administration. By implementing the correct tax incentive scheme, MSMEs will continue to grow sustainably, contribute to the revenue collection from taxation, and become the driver of national science, technology and innovation Kata Kunci S A R I K A R A N G A N Usaha mikro, kecil dan menengah UMKM merupakan tulang punggung perekonomian yang berasaskan kerakyatan. Sektor teknologi informasi sebagai salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Indonesia banyak diisi oleh pelaku usaha yang tergolong UMKM. Berdasarkan data BPS 2014, dalam periode 2010-2013 industri mikro di subsektor yang terkait dengan bidang TIK mengalami penurunan dalam hal jumlah perusahaan, nilai output, serta nilai tambah berdasarkan harga pasar. Pemerintah telah memberikan dukungan dari sisi kelembagaan dan permodalan terhadap pelaku UMKM, tetapi dukungan terhadap calon pelaku industri tersebut belum memadai. Inisiatif kebijakan yang efektif diperlukan agar insentif yang diberikan dapat mendorong pertumbuhan kewirausahaan sekaligus mengurangi beban bagi pelaku UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan insentif pajak yang efektif bagi UMKM. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan insentif yang efektif adalah yang dapat meminimalisasi distorsi pajak sekaligus memberikan keleluasaan untuk meng-offset kerugian serta menyederhanakan administrasi perpajakan. Dengan skema insentif pajak yang tepat, UMKM akan dapat terus tumbuh dengan sehat, berkontribusi terhadap penerimaan negara dari perpajakan, dan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 642 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENDAHULUAN Pemulihan dari krisis keuangan global yang terjadi pada 2008-2009 masih berlangsung dengan tidak merata dan cenderung lambat, sehingga meningkatkan kekhawatiran bahwa ekonomi global akan terperangkap dalam era pertumbuhan medioker. Pertumbuhan total factor productivity TFP pada khususnya mengkhawatirkan; kondisi tersebut merupakan penyumbang yang signifikan terhadap penurunan pertumbuhan potensial secara keseluruhan sejak awal 2000-an di negara-negara maju, dan dalam periode yang lebih akhir di negara-negara emerging market mengacu pada World Economic Outlook April 2015. Hal ini telah memicu meningkatnya ketertarikan terhadap bagaimana pemerintah dapat secara efektif mendorong pertumbuhan TFP. Reformasi struktural terhadap pasar tenaga kerja dan barang tentu saja merupakan salah satu cara yang utama lihat World Economic Outlook April 2016. 5 Inovasi merupakan motor penggerak pertumbuhan produktivitas dalam jangka panjang. Penemuan-penemuan di akhir abad ke-19, seperti listrik dan mesin pembakaran, menjadi landasan bagi era keemasan pertumbuhan produktivitas di pertengahan abad ke-20. Terobosan dalam teknologi informasi telah mendorong peningkatan produktivitas di dekade-dekade terakhir. Teknologi yang dinantikan seperti pencetakan 3 dimensi, big data, mobil otonom, dan kecerdasan buatan mungkin akan merangsang melesatnya pertumbuhan dramatis di tahun-tahun mendatang, sebagaimana diyakini oleh beberapa pengamat Brynjolfsson and McAfee 2014. Namun demikian, di pihak lain ada yang berpendapat bahwa dorongan terhadap pertumbuhan TFP dari inovasi-inovasi tersebut diprediksi tidak akan signifikan Gordon 2016. Usaha mikro, kecil dan menengah UMKM merupakan tulang punggung perekonomian yang berasaskan kerakyatan. Menurut Prof. Dr. Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan 5 Reformasi struktural atas kebijakan penerimaan dan belanja negara dapat mengangkat pertumbuhan tahunan dalam jangka menengah hingga jangka menunjukkan pemihakan sungguh– sungguh pada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring network yang menghubung– hubungkan sentra–sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat Succesary 2008. Ekonomi kerakyatan berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan popular secara swadaya untuk mengelola sumber daya ekonomi yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai UMKM. Pada umumnya UMKM meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dan sebagainya, yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat secara umum. Di era globalisasi dewasa ini, sektor teknologi informasi sebagai salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Indonesia banyak diisi oleh pelaku usaha yang tergolong UMKM. Hal ini mengingat bahwa industri di bidang TIK mengandalkan inovasi dari satu atau sekelompok kecil orang seperti yang saat ini menjadi tren dalam industri pengembangan aplikasi berbasis komputer atau ponsel. Pelaku usaha yang tergolong UMKM mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kelompok pelaku usaha lainnya. Dari sisi skala, sebagian besar UMKM merupakan usaha perorangan dan yang mempunyai karyawan kurang dari 10 orang. Modal perusahaan umumnya relatif kecil dan biasanya berasal dari tabungan pribadi pemiliknya, sehingga layanan lembaga keuangan bank maupun non-bank belum banyak dimanfaatkan. Namun demikian, dari total seluruh unit usaha, proprosi UMKM mencapai 90 persen, dan ini menjadi fenomena yang lazim di berbagai negara. Semua karakteristik tersebut di atas menjadikan UMKM layak untuk mendapatkan perhatian yang serius terutama sebagai upaya panjang sebesar ¾ persen di negara-negara maju dan lebih besar lagi di negara-negara emerging market dan berkembang IMF 2015. 643 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 untuk mendorong agar UMKM menjadi motor penggerak iptek dan inovasi nasional. Berdasarkan data BPS 2014, dalam periode 2010-2013 industri mikro di subsektor yang terkait dengan bidang TIK mengalami penurunan dalam hal jumlah perusahaan, nilai output, serta nilai tambah berdasarkan harga pasar. Data tersebut di atas mengindikasikan bahwa kebijakan terkait UMKM masih belum tepat. Salah satu elemen kebijakan yang perlu menjadi fokus perhatian adalah kebijakan insentif fiskal, mengingat pemerintah, khususnya Pemerintah Pusat, mempunyai kapasitas untuk menjangkau UMKM secara nasional dalam upaya untuk mendorong keunggulan kompetitif Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan insentif pajak yang efektif bagi UMKM. Hingga saat ini, insentif yang diberikan kepada UMKM masing kurang atau tidak tepat sehingga hasilnya kurang efektif. Penelitian ini akan memfokuskan pada skema insentif pajak serta dukungan fiskal yang sesuai dengan potensi serta tantangan yang dihadapi oleh UMKM. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Terminologi UMKM sudah tidak asing lagi di masyarakat secara umum. Namun demikian, definisi UMKM secara resmi baru dirumuskan seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, definisi usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah adalah sebagai berikut: 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan danatau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya, dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 juga diatur bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan; dan kesatuan ekonomi nasional. Tujuan dari UMKM sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang dimaksud yaitu untuk menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Lebih jauh, kriteria dari masing-masing usaha mikro, kecil dan menengah adalah sebagai berikut: • Usaha Mikro: o memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau o memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. • Usaha Kecil: o memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau o memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 dua milyar lima ratus juta rupiah. • Usaha Menengah: o memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 lima ratus juta 644 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 rupiah sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau o memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 dua milyar lima ratus juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 lima puluh milyar rupiah. Setelah menguraikan kerangka konsep terkait UMKM, berikutnya akan dijelaskan mengenai konsep insentif. Dewi 2012 menguraikan berbagai definisi insentif pajak. UNCTAD United Nations Conference on Trade and Development mendefinisikan insentif pajak sebagai segala bentuk insentif yang mengurangi beban pajak perusahaan dengan tujuan untuk mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk berinvestasi di proyek atau sektor tertentu Prasetyo, 2008. Selain itu, Zee, Stotsky, dan Ley 2002 mendefinisikan insentif pajak dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang hukum statutory term dan dari sudut pandang efektivitas effective term. Dari sudut pandang statutory term, insentif pajak diartikan sebagai, “a special tax provision granted to qualified investment projects that represents a statutorily favourable deviation from a corresponding provision applicable to investment projects in general”. Dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa insentif pajak merupakan perlakuan khusus yang diberikan terhadap proyek investasi tertentu saja. Pengertian ini akan berguna untuk mengklasifikasi insentif pajak. Sedangkan dari sudut pandang effective term, insentif pajak diartikan sebagai, “a special tax provision granted to qualified investment projects that has the effect of lowering the effective tax burden—measured in some way—on these projects, relative to the effective tax burden that would be borne by the investors in the absence of the special tax provision. Under this definition, all the incentives are, therefore, necessarily effective”. Dari pengertian tersebut, insentif pajak merupakan dampak efektif terhadap pengurangan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Gergerly 2003 menjelaskan bahwa terdapat beberapa jenis insentif untuk menarik investasi. Jenis-jenis insentif tersebut dapat dibagi menjadi insentif fiskal merupakan insentif pajak yang bertujuan untuk mengurangi beban pajak investor, insentif keuangan, dan jenis insentif lainnya. Fletcher 2002 mengkategorikan insentif pajak menjadi 6 jenis yaitu: i tarif pajak yang lebih rendah reduced corporate income tax rates; ii tax holiday; iii investasi yang dapat dibiayakan dan pemberian kredit pajak investment allowances and tax credits; iv penyusutan dipercepat accelerated depreciation; v pembebasan pajak tidak langsung exemptions from indirect taxes; dan vi zona produksi ekspor export processing zones. Prasetyo 2008 menjelaskan bahwa UNCTAD melaporkan beberapa tujuan yang ingin dicapai dari pemberian insentif pajak oleh suatu negara, yaitu: a. Investasi regional; biasanya meliputi pemberian dukungan untuk kawasan luar kota, pembangunan kawasan industri yang agak jauh dari pusat kota dan karenanya dapat mengurangi pencemaran lingkungan, urbanisasi, dan kepadatan penduduk di perkotaan. b. investasi sektoral; insentif pajak bisa diberikan untuk bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi pembangunan. Pemberian insentif ditujukan untuk merangsang perkembangan industri, manufaktur, pariwisata, atau eksplorasi sumber daya alam. c. peningkatan kualitas; peningkatan kualitas biasanya diusahakan dengan membuat kawasan berikat untuk industri-industri yang berorientasi ekspor. d. alih teknologi; pemberian insentif untuk industri-industri yang sifatnya pionir dengan menyediakan insentif khusus untuk kegiatan- kegiatan yang sifatnya penelitian dan pengembangan guna merangsang transfer teknologi. Banyak negara berkembang menawarkan insentif pajak dengan tujuan untuk meningkatkan investasi atau penanaman modal. Insentif tersebut sebagian besar ditujukan untuk menarik investasi asing dalam bentuk aktivitas produksi dan bukan investasi dalam bentuk aset keuangan. Terciptanya investasi diharapkan akan menyebabkan adanya transfer teknologi dan manajemen yang akan meningkatkan 645 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 pembangunan ekonomi negara tersebut. Insentif pajak yang banyak ditawarkan oleh negara berkembang untuk meningkatkan investasi tersebut memiliki berbagai alasan, antara lain sebagai penyeimbang adanya kelemahan dalam sistem pajak yang berlaku di negara tersebut, untuk mengurangi kerugian yang mungkin akan dialami oleh investor dapat dikarenakan infrastruktur yang tidak mendukung, adanya hukum yang berbelit-belit dan sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini, birokrasi yang berlebihan dan administrasi yang lemah baik di sektor pajak maupun sektor lainnya di negara tersebut Holland dan Vann, 1998. Holland dan Vann 1998 menyatakan bahwa bagi investor sebenarnya sistem pajak tidaklah terlalu penting dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain. Pertimbangan pertama bagi investor adalah mengenai kondisi perekonomian dasar dan situasi kelembagaan terlebih dahulu. Adanya kestabilan politik, kepastian kebijakan pemerintah, dan perangkat hukum yang baik merupakan hal-hal yang lebih dipertimbangkan oleh investor. Adanya insentif pajak semata tidak dapat menggantikan pertimbangan-pertimbangan tersebut, justru yang lebih penting adalah sistem pajak secara keseluruhan. Pemberian insentif pajak akan bermanfaat apabila faktor-faktor selain pajak juga mendukung untuk berinvestasi, seperti adanya tenaga kerja, ketersediaan bahan baku, energi, dan biaya modal. Easson 1992 menjelaskan bahwa insentif pajak akan bermanfaat dan menguntungkan bagi negara yang menerapkannya apabila dengan adanya insentif pajak tersebut, terdapat keputusan investasi yang dibuat akibat adanya insentif tersebut dan tidak akan terjadi investasi apabila tidak ada insentif pajak yang diberikan. METODE PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur dengan menggunakan analisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan eksplorasi terhadap penerapan kebijakan insentif fiskal untuk UMKM di beberapa negara yang dijadikan referensi. Secara garis besar terdapat 3 enabling factors yang perlu dianalisis untuk dapat merumuskan kebijakan insentif fiskal yang tepat bagi UMKM, yaitu: memajukan kewirausahaan, iklim dan atmosfir yang mendukung, serta keterkaitan antara UMKM dengan sumber inovasi teknologi. Dari hasil analisis tersebut, dapat disusun rekomendasi kebijakan insentif fiskal untuk sektor UMKM di Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN UMKM merupakan tulang punggung perekonomian yang berasaskan kerakyatan. Terbukti bahwa UMKM dapat bertahan dalam terpaan krisis keuangan global yang terjadi pada 2007-2008 yang lalu. Bahkan dalam periode 2006-2010 jumlah UMKM di Indonesia terus tumbuh mencapai 9,8 persen atau rata-rata 2,45 persen per tahun. Seiring dengan pertumbuhan jumlah unit usaha, kapitalisasi UMKM juga mengalami pertumbuhan yang pesat mencapai 23,85 persen dalam periode yang sama. Dari jumlah tersebut, UMKM memberikan kontribusi terhadap total ekspor non-migas sebesar rata-rata 17,03 persen per tahun. Porsi ini masih tergolong kecil mengingat UMKM menguasai lebih dari 99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Ke depan kontribusi UMKM terhadap ekspor diharapkan akan meningkat melalui peningkatan kapasitas dan daya saing barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor UMKM Sitepu 2013a. Sektor teknologi informasi merupakan salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Indonesia. Berdasarkan data industri mikro kecil periode 2010-2013 BPS 2014, sektor industri dikelompokkan ke dalam 23 subsektor. Subsektor yang terkait dengan bidang teknologi informasi dan komunikasi TIK yaitu subsektor industri komputer, barang elektronika dan optik serta subsektor industri mesin dan perlengkapan yang tidak termasuk lainnya. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa industri mikro di kedua subsektor tersebut mengalami kecenderungan penurunan dalam hal jumlah perusahaan, nilai output, serta nilai tambah berdasarkan harga pasar. Di pihak lain, industri kecil justru menunjukkan peningkatan dalam ketiga indikator tersebut dalam periode yang sama. Fakta ini menarik untuk dicermati. Data yang menunjukkan peningkatan pada industri kecil patut diapresiasi, karena salah satu faktor pendorong peningkatan tersebut adalah 646 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 industri mikro yang naik kelas menjadi industri kecil. Namun, mengingat sebagian besar pelaku usaha di bidang TIK adalah industri mikro yang berawal dari kreativitas satu atau sekelompok kecil orang, penurunan yang terjadi di kelompok industri mikro perlu mendapat perhatian serius. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah menurunnya minat pelaku usaha industri mikro untuk terjun ke industri di bidang TIK. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah iklim usaha yang tidak mendukung. Seperti bayi yang belajar merangkak atau berjalan, pelaku usaha di sektor TIK yang baru memulai usahanya perlu bantuan dan dukungan. Salah satunya yang dapat dilakukan adalah dengan insentif pajak dan dukungan fiskal dari pemerintah. UMKM menempati tempat yang penting dan strategis dalam pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di semua negara. Mencakup 90 dari total jumlah perusahaan di sebagian besar negara di seluruh dunia, UMKM adalah kekuatan pendorong di belakang sejumlah besar inovasi dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional melalui penciptaan lapangan kerja, investasi dan ekspor. Kontribusi UMKM terhadap pengurangan kemiskinan dan distribusi kemakmuran yang lebih luas di negara berkembang tidak dapat diabaikan. Faktor-faktor yang merupakan keunggulan ditambah dengan peluang-peluang yang dimiliki oleh UMKM antara lain kontribusi yang tinggi terhadap produksi dalam negeri, pendapatan ekspor yang signifikan, persyaratan investasi yang rendah, fleksibilitas operasional, mobilitas lokasi, intensitas impor yang rendah, kapasitas untuk mengembangkan teknologi asli yang sesuai, substitusi impor, kontribusi terhadap industri pertahanan serta daya saing di pasar domestik dan ekspor. Seiring dengan upaya melihat keunggulan UMKM dengan pendekatan baru, perlu juga memahami keterbatasan UMKM, yang meliputi rendahnya basis modal, konsentrasi fungsi manajemen dalam satu dua orang, paparan lingkungan internasional yang terbatas, ketidakmampuan untuk menghadapi dampak rezim WTO, rendahnya RD dan kurangnya profesionalisme. Selain hal tersebut di atas, masalah yang paling sulit yang dihadapi oleh UMKM adalah mengakses teknologi dan mempertahankan daya saing. Ketidakmampuan UMKM untuk mengidentifikasi kebutuhannya terhadap teknologi antara lain karena: • buruknya kondisi keuangan dan rendahnya tingkat RD; • rendahnya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan tren perdagangan yang berubah; • keinginan untuk menghindari risiko; • tidak tersedianya sumber daya manusia yang terlatih secara teknis; • penekanan pada produksi dan bukan pada ongkos produksi; • kurangnya keahlian manajerial; • kurangnya akses terhadap layanan informasi teknologi dan konsultansi; • terputusnya akses dengan penghubung teknologi. Arah dan kecepatan kemajuan teknologi bergantung pada langkah-langkah penting dalam kebijakan yang dibuat oleh institusi dan pemerintah. Banyak negara maju dan negara berkembang serta negara berpendapatan menengah telah mengadopsi kerangka kebijakan yang komprehensif untuk menstimulasi proses inovasi dan difusi pengetahuan melalui berbagai saluran. Pertama, inovasi dibangun dengan basis sumber daya manusia yang kuat untuk mendorong penemuan-penemuan baru. Persyaratan yang mewajibkan adanya pondasi sumber daya manusia yang kuat tersebut membutuhkan investasi yang tepat di sektor pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dasar, dan kemitraan antara perguruan tinggi dengan perusahaan swasta. Kedua, lingkungan bisnis harus menyediakan insentif yang memadai bagi tumbuhnya inovasi. Kebijakan untuk memfasilitasi lingkungan yang mendukung tersebut meliputi juga perlindungan terhadap kekayaan intelektual, insentif fiskal, dan kebijakan yang lebih luas terkait dengan perdagangan, kompetisi, ketentuan terkait pasar tenaga kerja, dan undang-undang kepailitan. Ketiga, kebijakan makroekonomi yang mempercepat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan penting karena pertumbuhan memampukan perusahaan untuk dapat memperoleh kembali biaya-biaya yang tertanam 647 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 sunk costs dengan cepat dan pada gilirannya akan mendorong investasi pada kegiatan RD. Kebijakan fiskal terkait inovasi harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan dan tujuan lainnya. Misalnya, dengan menyediakan insentif bagi inovasi, kebutuhan paten terhadap insentif fiskal dapat berkurang. Namun demikian, paten dapat mengganggu difusi teknologi; karenanya kebijakan insentif tersebut harus pula dibarengi dengan subsidi dan insentif pajak terhadap RD. Secara lebih umum, suatu penilaian atas insentif fiskal perlu mempertimbangkan tidak hanya dampaknya terhadap inovasi, tetapi juga implikasinya terhadap tujuan lainnya, seperti anggaran pemerintah dan distribusi pendapatan. Karena itu, tantangan bagi pemerintah adalah untuk mendapatkan bauran kebijakan yang tepat yang menyeimbangkan berbagai tujuan pemerintah. Kebijakan fiskal mempengaruhi ketiga pilar inovasi berikut ini; i penelitian dan pengembangan RD, yang mencakup baik penelitian dasar maupun terapan; ii transfer teknologi, yang meliputi difusi teknologi dan pengetahuan lintas Negara; dan iii inovasi kewirausahaan, yang melibatkan eksperimen dengan produk dan proses baru oleh unit bisnis yang baru. Untuk dapat merumuskan kebijakan insentif fiskal yang tepat bagi UMKM, perlu dianalisis kondisi-kondisi yang memampukan enabling factors agar UMKM dapat tumbuh dan berkembang. Dalam konteks kondisi-kondisi tersebut kebijakan insentif fiskal disusun sehingga akan efektif dampaknya. Secara prinsip, insentif fiskal seharusnya fleksibel dan dapat berubah sesuai kebutuhan, serta menyesuaikan dengan karakteristik industri yang ingin dikembangkan. Memajukan kewirausahaan Inovasi dan hasil pertumbuhan produktivitas tidak hanya berasal dari investasi pada RD oleh perusahaan besar dan sudah mapan, tetapi juga dari perusahaan-perusahaan start-up kecil yang terlibat dalam eksperimen dan pengambilan risiko kewirausahaan. Kewirausahaan umumnya terkait dengan gagasan destruksi kreatif, sebagaimana dijelaskan oleh ekonom Joseph Schumpeter, dimana perusahaan baru memasuki pasar dan mendorong persaingan dan inovasi yang lebih besar Schumpeter 1911. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa masuknya perusahaan baru penting untuk pertumbuhan inovasi dan produktivitas. Perusahaan baru sangat relevan untuk memperluas kemajuan teknologi karena mereka cenderung untuk terlibat dalam inovasi yang lebih radikal, sedangkan perusahaan yang sudah lama berdiri cenderung lebih fokus pada inovasi inkremental untuk meningkatkan produk dan proses yang sudah ada Akcigit dan Kerr 2010. Lebih dari setengah dari pertumbuhan total faktor-faktor produktivitas TFP di tingkat industri dihasilkan oleh pendatang baru, dan sisanya berasal dari perbaikan produktivitas oleh pemain lama Lentz dan Mortensen 2008. Kompetisi dari pendatang baru juga memicu inovasi pada sebagian dari perusahaan yang sudah lama berdiri, terutama di industri yang berteknologi tinggi Aghion et al. 2009. Tren kewirausahaan bervariasi antara sat negara dengan yang lainnya. Di 14 negara Eropa, laju bisnis baru yang memasuki pasar sebagai ukuran kewirausahaan menurun sejak terjadinya krisis keuangan, sementara di 11 lainnya mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat, dimana data yang tersedia mencakup periode yang lebih lama, tingkat arus masuk bisnis baru menurun secara bertahap sejak akhir 1970-an. Penurunan ini sangat besar khususnya di sektor ritel dan layanan, menandakan pergeseran di sektor ini terhadap perusahaan-perusahaan besar Decker et al. 2015. Tingkat arus masuk bisnis baru biasanya lebih tinggi di negara emerging markets dan negara berkembang daripada di negara maju, tetapi sifat kewirausahaan juga berbeda. Sebagian besar dari bisnis baru di negara emerging markets dan negara berkembang adalah karena dorongan kebutuhan—terjadi sebagai akibat dari dorongan kebutuhan ekonomi ketika pilihan lain untuk bekerja tidak ada atau tidak memuaskan. Sebaliknya, kewirausahaan karena dorongan kesempatan, yang lebih terkait erat dengan 648 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 inovasi, relatif lebih lazim di negara maju. Oleh karena itu tujuan pembangunan yang penting di banyak negara emerging markets dan negara berkembang tidak terlalu menekankan pada tingginya arus masuk bisnis, melainkan untuk meningkatkan pangsa kewirausahaan yang didorong oleh kesempatan. Eksperimen kewirausahaan yang efisien memerlukan pengaturan kelembagaan yang memudahkan arus masuk, tumbuh, serta keluarnya bisnis. Berbagai kendala dapat menghambat proses ini. Salah satu kendala umum adalah akses keuangan. Program pemerintah di beberapa negara mendukung penyediaan modal awal, pembiayaan tahap awal, dan modal usaha melalui pinjaman bersubsidi atau hibah— meskipun tingkat keberhasilannya bervariasi Lerner 2009. Kendala lain adalah beban usaha sebagai akibat dari kebijakan nonfiskal, seperti izin dan lisensi, undang-undang kepailitan, dan peraturan terkait pasar tenaga kerja. Terakhir, perpajakan juga dapat mendistorsi kewirausahaan. Kebijakan perpajakan untuk mendorong munculnya unit-unit usaha baru Keputusan untuk memulai bisnis sering melibatkan pilihan antara bekerja di bawah kontrak kerja yang aman dengan upah tertentu atau mengambil risiko untuk mengejar tingkat pengembalian yang tidak pasti tetapi berpotensi besar. Sistem pajak dapat mempengaruhi biaya, manfaat, dan resiko yang terlibat dalam menentukan pilihan ini. Pajak penghasilan orang pribadi PPh OP penting bagi para wirausaha yang perusahaannya bermula sebagai usaha bisnis nonkorporasi. Ketika sistem PPh OP memperbolehkan pengkreditan penuh kerugian terhadap pendapatan lainnya, sistem tersebut secara efektif memberikan jaminan terhadap risiko dengan mengurangi variabilitas tingkat pengembalian, baik tingkat pengembalian yang positif maupun negatif. Sistem ini dapat mendorong pengambilan risiko oleh para wirausaha. Namun, sebagian besar sistem PPh OP membatasi besarnya kerugian yang dapat dikreditkan. Tingginya tarif PPh OP marginal yang mengurangi tingkat pengembalian yang potensial selanjutnya menjadi disinsentif untuk kegiatan kewirausahaan. Sementara itu, ketika bisnis bertahan hidup dan tumbuh, mereka seringkali berubah menjadi perusahaan yang menawarkan perlindungan dalam bentuk kewajiban yang terbatas kepada pengusahanya. Penghasilan kemudian menjadi tunduk pada pajak penghasilan badan PPh Badan—dan, ketika didistribusikan kepada pemilik, menjadi pajak atas dividen atau capital gain. Jenis pajak juga dapat mempengaruhi tingkat arus masuk dan pertumbuhan kewirausahaan dengan mengubah risiko dan tingkat pengembalian yang diharapkan. Efek dari pajak penghasilan pada penciptaan bisnis di negara maju telah dieksplorasi oleh beberapa penelitian empiris. Temuan-temuannya dapat diringkas sebagai berikut: •• PPh OP. Efek dari tarif PPh OP terhadap penciptaan bisnis bervariasi. Untuk Amerika Serikat, beberapa bukti menunjukkan hubungan negatif antara progresivitas pajak dan arus masuk bisnis Gentry dan Hubbard 2000, sedangkan penelitian lain menemukan bahwa tarif PPh OP yang tinggi mendorong pengambilan risiko kewirausahaan Cullen dan Gordon 2007. Hasil penelitian lain dengan menggunakan sampel dari 25 negara maju dan emerging market menemukan bahwa tarif progresif PPh OP berdampak tidak signifikan pada arus masuk bisnis. •• PPh Badan. Studi yang paling empiris menemukan bahwa tingkat PPh Badan yang tinggi memiliki efek negatif pada aktivitas kewirausahaan Baliamoune-Lutz 2015. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan adanya hubungan tersebut. Namun demikian, dampaknya tidak terlalu besar. Menurunkan tarif pajak efektif atas penghasilan badan rata-rata sebesar 1 persen misalnya, 20 persen dari rata-rata saat ini 21 persen akan meningkatkan jumlah unit usaha sebesar antara 0,1 dan 0,3 persen misalnya, dari rata-rata saat ini 10 persen dari jumlah unit bisnis menjadi antara 10,1 dan 10,3 persen. •• Pajak Penghasilan atas Capital Gain. Karena pengusaha dapat menghasilkan sebagian besar pendapatan mereka dalam bentuk capital gain, pajak penghasilan atas modal yang rendah dapat mendorong usaha kewirausahaan. Namun, mengurangi tarif pajak pada semua capital gain merupakan instrumen yang tumpul untuk 649 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 mencapai hasil tersebut. Selain itu, pajak yang rendah atas capital gain bisa memicu arbitrase pajak dengan mendorong pengusaha untuk merealisasikan capital gain dan bukan membagikan dividen. Oleh karena itu perlakuan perpajakan yang netral atas sumber pendapatan yang berbeda mutlak diperlukan. Secara keseluruhan, meskipun pajak penghasilan dapat menimbulkan efek negatif pada arus peningkatan kewirausahaan, ada kekuatan imbalan yang penting. Untuk memastikan bahwa kebijakan ini efektif, ketentuan cukup memberikan kemudahan dalam sistem pajak diperlukan untuk mengimbangi kerugian. Beberapa negara memiliki langkah-langkah untuk memberikan keringanan pajak khusus yang diterapkan untuk secara aktif mendorong kewirausahaan. Misalnya, tunjangan pajak tax allowances untuk modal usaha yang ditawarkan sebagai cara untuk merangsang pasokan dana. Namun demikian, instrumen ini tidak efektif dalam keadaan di mana sebagian besar modal usaha berasal dari investor lembaga yang bebas pajak. Dukungan fiskal secara langsung ditujukan untuk start-up dapat lebih efektif, terutama jika dukungan tersebut memperbolehkan pemberian pengembalian pajak ketika pendapatan negatif. Yang menjadi kunci kemajuan UMKM bukanlah skalanya yang kecil, melainkan kemampuannya mengembangkan kebaruan Sistem pajak juga dapat mempengaruhi pertumbuhan perusahaan. Secara khusus, perlakuan pajak preferensial berdasarkan pada ukuran bisnis, dan perpajakan diferensial atas unit usaha dengan berbagai bentuk hukum dapat mempengaruhi insentif perusahaan untuk tumbuh. •• perlakuan pajak preferensial berbasis ukuran bisnis. Berbagai negara menawarkan perlakuan pajak preferensial untuk perusahaan kecil. Misalnya, 10 negara maju dari anggota Organisation for Economic Co-operation and Development OECD memiliki tarif PPh Badan atas laba yang lebih rendah di bawah tingkat tertentu. Namun, mengingat bahwa sebagian besar perusahaan kecil yang tidak baru atau tidak inovatif, insentif pajak tersebut tidak tepat sasaran untuk menghilangkan hambatan pajak untuk peningkatan inovasi kewirausahaan kecuali yang berkaitan dengan pengeluaran RD, yang memang ditujukan untuk inovasi. Bukti menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan perusahaan, penciptaan lapangan kerja, dan kegiatan ekspor lebih terkait langsung dengan usia bisnis daripada ukurannya Haltiwanger, Jarmin, dan Miranda 2013. Selain itu, preferensi pajak berdasarkan ukuran dapat menciptakan disinsentif bagi perusahaan untuk tumbuh lebih besar, menciptakan apa yang disebut perangkap usaha kecil. Salah satu ilustrasi ini, ditemukan dalam beberapa penelitian ekonomi mikro, yaitu bunching: kepadatan perusahaan yang sangat tinggi dengan pendapatan di bawah tingkat di mana preferensi pajak berdasarkan ukuran dihapus. Pola ini mungkin mencerminkan sebagian dari pendapatan yang tidak dilaporkan, tetapi hal tersebut juga dapat mencerminkan perubahan dalam aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, seperti mengurangi investasi atau pemecahan fragmenting bisnis dengan cara tidak efisien untuk tetap bertahan di bawah ambang batas. Dengan menghalangi perusahaan- perusahaan untuk tumbuh lebih besar, preferensi pajak berdasarkan ukuran karenanya mungkin saja lebih bersifat membahayakan pertumbuhan produktivitas daripada mendukungnya. Mendorong terciptanya atau tumbuhnya perusahaan akan tercapai secara lebih efisien dengan mengarahkan dukungan kepada perusahaan-perusahaan baru. Insentif demikian akan memerlukan aturan-aturan yang membatasi potensi penyalahgunaan misalnya, badan hukum baru yang dibuat hanya untuk memperbaharui preferensi pajak atas kegiatan yang sebenarnya sudah lama berlangsung dan administrasi pajak yang kuat untuk menegakkan aturan-aturan. •• perlakuan perpajakan yang berbeda atas unit usaha dengan berbagai bentuk hukum. Banyak sistem pajak tidak memberikan perlakuan pajak yang netral atas pendapatan usaha yang diperoleh dalam berbagai struktur hukum korporasi vs nonkorporasi. Akibatnya, pengusaha dipicu untuk menjalankan bisnis mereka dengan cara yang meminimalkan kewajiban pajaknya, yang dapat merusak efisiensi organisasi dan menghambat pertumbuhan, terutama jika perusahaan dikenakan pajak pada 650 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 tingkat yang lebih tinggi dari bisnis nonkorporasi mengingat bahwa wirausahawan cenderung berpindah menjadi bentuk hukum korporasi ketika mereka tumbuh melampaui ukuran tertentu. Beban pajak yang sedikit lebih rendah dari korporasi dibandingkan dengan bisnis nonkorporasi dapat memberikan dorongan untuk mengambil risiko kewirausahaan. Perlunya administrasi pajak sesederhana mungkin Kompleksitas sistem pajak dapat menghambat kewirausahaan. Biaya kepatuhan pajak di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Timur Tengah diperkirakan sebesar hampir 15 persen dari omset untuk perusahaan kecil Coolidge 2012. Beban kepatuhan pajak yang tinggi ini bisa menjadi hambatan yang signifikan bagi kewirausahaan. karena itu, beberapa negara telah menyederhanakan rezim pajak untuk usaha dengan omzet di bawah ambang batas tertentu. Rezim ini biasanya membebaskan bisnis tersebut dari kewajiban pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk pemungutan pajak pertambahan nilai PPN—meskipun pendaftaran secara sukarela biasanya tetap dimungkinkan. Semakin tinggi ambang wajib pendaftaran PPN, semakin tinggi arus masuk bisnis baru. Di berbagai negara, ambang pendaftaran PPN yang meningkat bisa memberikan dampak positif. Di beberapa negara, rezim yang disederhanakan juga memungkinkan perusahaan kecil untuk menggunakan akuntansi sederhana untuk menghitung pajak berdasarkan omset, misalnya, membayar satu pajak terpadu dan bukannya berbagai jenis pajak, dan melaksanakan kewajiban perpajakan dengan lebih jarang. Penyederhanaan ini sangat relevan di negara berkembang dan emerging markets untuk mendorong usaha informal untuk memformalkan status usahanya. Di Brasil, misalnya, pelaksanaan skema penyederhanaan untuk usaha mikro dan kecil berdampak secara signifikan dalam meningkatkan tingkat arus masuk secara formal, omzet, dan penyerapan tenaga kerja Fajnzylber, Maloney, dan Montes-Rojas 2011. Negara- negara lain yang telah menyederhanakan rezim pajak diantaranya Chili, Georgia, India, Meksiko, dan Afrika Selatan. Tujuan dari rezim yang disederhanakan untuk usaha kecil bukan untuk memberikan beban pajak yang lebih rendah; sebaliknya, beban pajak rata-rata di rezim yang disederhanakan harus ditetapkan cukup tinggi untuk mendorong perusahaan-perusahaan untuk membuat transisi ke rezim PPh biasa setelah mereka tumbuh di atas ambang batas. UMKM butuh iklim dan atmosfir yang mendukung Untuk memampukan agar UMKM dapat meningkatkan akses mereka terhadap teknologi baru untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar internasional, sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, yang meliputi perumusan kebijakan dan program nasional yang tepat, membangun kapasitas teknologi, transfer pengetahuan dan database teknologi, serta RD dan hubungan antarperusahaan. Membuat jaringan dapat menjadi solusi bagi UMKM individu untuk mengatasi masalah mereka serta untuk meningkatkan posisi kompetitifnya. Bukti dari negara-negara berkembang dan negara-negara maju menunjukkan bahwa jaringan lebih memungkinkan ketika perusahaan beroperasi di lokasi yang berdekatan dan saling berbagi kepentingan bisnis seperti pasar untuk produknya, kebutuhan infrastruktur yang sama atau persaingan eksternal yang dihadapi bersama. Dalam kelompok atau cluster seperti itu, inisiatif bersama perusahaan-perusahaan menjadi lebih kuat, karena pihak-pihak berkumpul mempunyai kepentingan yang sama, lebih hemat biaya karena biaya tetap dapat ditanggung bersama dan memudahkan koordinasi sehingga akan meningkatkan pengetahuan dan saling percaya. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa UMKM dapat memberikan kontribusi yang besar untuk pengembangan industri dan ekonomi. Sayangnya, statistik Iran terkait UMKM tersebar dan tidak lengkap. Jumlah industri kecil dan menengah di Iran sekitar 345.000 yang terdaftar secara formal, dimana 96,1 termasuk dalam kategori usaha mikro dengan tenaga kerja 1-9 karyawan, 3,3 untuk kategori perusahaan kecil dengan 10 -49 karyawan, 0,3 untuk perusahaan menengah dengan 50-99 karyawan, 651 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dan 0,4 untuk bisnis yang lebih besar dari 100 karyawan. Industri kecil dan menengah tersebut menyediakan sekitar 1,3 juta lapangan kerja, dari total 15,6 juta angkatan kerja. UMKM menghadapi hambatan yang sama seperti di negara-negara berkembang lainnya. Permasalahan tersebut diantaranya: lingkungan ekonomi makro yang buruk akibat inflasi yang tinggi sekitar 20 persen, dengan fluktuasi 9-10 persen dan suku bunga yang tinggi; birokrasi yang memberatkan; aturan tenaga kerja dan pajak yang merugikan; prosedur yang panjang dan sewenang-wenang untuk mendapatkan pinjaman bank; kurang tersedianya mata uang asing; kurangnya layanan pengembangan usaha yang kompeten; dan nuansa diskriminasi terhadap usaha kecil. Hambatan utama untuk pengembangan UMKM di Iran adalah kurangnya akses terhadap berbagai informasi, termasuk: • informasi pemasaran di pasar domestik maupun asing, struktur harga, persyaratan pengemasan, dan lain-lain; • informasi tentang alternatif-alternatif pembiayaan dan teknologi yang tersedia bagi UMKM untuk memampukan investor dalam memilih bisnis yang sehat untuk investasinya; • informasi yang bersifat teknis dan ilmiah; dan • informasi terkait pemasok dan pembeli bahan baku. Iran Small Industries Organization ISIO sebagai organisasi yang mewadahi UMKM di Iran didirikan pada tahun 2003 dengan menggabungkan 2 organisasi yang sudah ada sebelumnya sebagai upaya untuk membentuk kawasan industri dan menyediakan infrastruktur dan layanan yang dibutuhkan oleh investor. Selain itu, ISIO juga dimaksudkan sebagai lembaga yang merumuskan kebijakan dan panduan bagi pengembangan UMKM dan memberikan dukungan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor industri tersebut. Peran penting kawasan industri serta techno parks Di Iran, sebagian besar pabrik-pabrik kecil dan menengah berlokasi di kota-kota industri. Berdasarkan informasi dapat diketahui bahwa techno parks belum dibentuk dan dikembangkan di Iran. Techno parks memberikan layanan yang berbeda-beda bagi UMKM sesuai kebutuhannya seperti informasi teknis, penelitian dan laboratorium uji serta jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang intensif di berbagai negara mensyaratkan pentingnya mempertahankan keunggulan kompetitif agar tetap tinggi, yang tentu akan sulit untuk dilakukan tanpa pemanfaatan inovasi. Di banyak negara, ada kawasan khusus techno parks, science parks, dan lain-lain, yang menyediakan berbagai hal yang diperlukan oleh pemangku kepentingan start-up, usaha kecil, pengusaha swasta untuk penciptaan solusi yang efisien dan inovatif di berbagai sektor ekonomi Dahlstrand Lawton 2013. Di Rusia upaya untuk membuat techno parks mulai dari tingkat terendah pada akhir dekade 90-an, namun dukungan hukum dalam bentuk undang-undang baru muncul pada tahun 2005-2006 Bagrinovsky et al. 2003. Sebuah organisasi sosial informal yang disebut Asosiasi Kawasan Industri Rusia, dirancang untuk memberikan dukungan untuk penciptaan, keberadaan dan pengembangan kawasan industri. Namun, hingga saat ini tidak ada mekanisme yang terarah dan efektif untuk mendukung berfungsinya sistem kawasan industri tersebut, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi negara [Shukhshunov 2013; Association of Russian Industrial Parks 2013]. Investasi di techno parks, sebagaimana halnya dalam infrastruktur industri yang mengandalkan inovasi, di banyak negara dilaksanakan oleh pemerintah, dan dalam beberapa kasus, dengan menggunakan modal swasta Comins Rowe 2013. Penciptaan techno parks seringkali merupakan proyek bisnis, karena hampir selalu sulit untuk memperkirakan apakah investasi akan bermuara pada penciptaan produk inovatif. Dalam beberapa kasus, sebelum memulai pembangunan techno parks, investor proyek melakukan perkiraan awal terkait dampak ekonomi yang diharapkan dari techno parks, tapi dalam banyak kasus, perhitungan ini tidak dilakukan karena 652 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 kurangnya alat metodologis yang tepat Eliseev 2013. Insentif diintegrasikan dengan konsep pengembangan kawasan Penentuan fokus pengembangan industri berdasarkan wilayah perlu ditunjang dengan pemberian insentif pajak dan dukungan fiskal. Daerah-daerah yang mempunyai keunggulan di sektor tertentu dikembangkan menjadi kawasan industri yang terintegrasi. Di Indonesia, konsep pengembangan kawasan tersebut telah disusun dalam bentuk Kawasan Ekonomi Khusus KEK. Pengembangan KEK dimaksudkan untuk meningkatkan penanaman modal melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis. Kawasan tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Konsep yang diusung dalam pengembangan KEK merupakan model terobosan pengembangan kawasan untuk pertumbuhan ekonomi, antara lain industri, pariwisata, dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan Sitepu 2013b. KEK merupakan kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Fungsi KEK adalah untuk melakukan dan mengembangkan usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan bidang lain. Sesuai dengan hal tersebut, KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona, antara lain Zona pengolahan ekspor, logistik, industri, pengembangan teknologi , pariwisata, dan energi yang kegiatannya dapat ditujukan untuk ekspor dan untuk dalam negeri. Fasilitas yang diberikan pada KEK ditujukan untuk meningkatkan daya saing agar lebih diminati oleh penanam modal. Fasilitas tersebut terdiri atas fasilitas fiskal, yang berupa perpajakan, kepabeanan dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah, dan fasilitas nonfiskal, yang berupa fasilitas pertanahan, perizinan, keimigrasian, investasi, dan ketenagakerjaan, serta fasilitas dan kemudahan lain yang dapat diberikan pada Zona di dalam KEK, yang akan diatur oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain KEK, kebijakan pengembangan kawasan lainnya yang telah diimplementasikan adalah: i Kawasan Berikat; ii Kawasan Industri; iii Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu; dan iv Free Trade Zone atau Kawasan Perdagangan Bebas Pulau Batam, Bintan, dan Karimun Kementerian Keuangan 2013. Secara garis besar, setiap kebijakan perpajakan pada kawasan tertentu tersebut memberikan perlakuan khusus yang merelaksasi ketentuan perpajakan berupa pemberian tax allowance pada pajak penghasilan, pembebasanpenangguhan bea masuk dan pembebasantidak dipungut PPN yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan industri-industri baru yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kecuali untuk kawasan perdagangan bebas dan kawasan berikat, fasilitas perpajakan belum dimanfaatkan dengan baik. Hal ini terjadi karena beberapa faktor mendasar yang belum tersedia seperti infrastruktur dan konektivitas yang belum baik dengan pusat-pusat pertumbuhan yang sudah ada. Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan insentif fiskal dengan desain khusus bagi techno parks yang terintegrasi dengan konsep pengembangan kawasan. Keterkaitan antara UMKM dengan sumber inovasi teknologi berkontribusi pada tingkat inovasi UMKM di sektor manufaktur dalam perekonomian global saat ini menghadapi persaingan yang ketat dan meningkatnya tuntutan untuk produk dan layanan berkualitas tinggi yang ditandai dengan waktu respon yang cepat, pengiriman yang handal dan fungsi produk baru. Dalam lingkungan yang dinamis, inovasi dianggap sebagai faktor strategis utama untuk peningkatan daya saing UMKM manufaktur. Namun, inovasi teknologi telah terbukti mampu membuka banyak jalan yang mencerminkan berbagai sumber pengetahuan yang menghasilkan inovasi tersebut Belotti Tunälv, 1999. Artinya, salah satu gagasan kunci dari teori inovasi modern adalah bahwa perusahaan jarang berinovasi dengan menggunakan sumber daya 653 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 internal saja, tetapi juga menarik sumber daya dari luar perusahaan seperti pengetahuan, keterampilan, solusi teknis, metode dan peralatan Sandven, 1996. Sebagian besar perusahaan yang aktif berinovasi memiliki jaringan hubungan yang kompleks dengan pelanggan, pemasok, lembaga penelitian, asosiasi industri dan sebagainya, yang digunakan untuk memecahkan banyak masalah teknis, organisasi dan keuangan yang timbul dalam upaya untuk berinovasi. Proses saling ketergantungan ini telah menciptakan satu set model inovasi berdasarkan pembelajaran interaktif antara perusahaan dan lingkungan yang lebih luas Sandven, 1996. Akibatnya, proses inovasi, sebagaimana dicatat oleh Dosi 1988, adalah proses yang kompleks yang memerlukan mobilisasi berbagai jenis pengetahuan ilmiah dan teknologi serta adaptasi kontekstualnya dengan karakteristik khusus dari kegiatan perusahaan dan bisnis perusahaan. Hal ini menuntut pengembangan teknis, penelitian dan pengembangan R D, kompetensi organisasi, dan kompetensi strategis dan kemampuan belajar Carlsson Eliasson, 1991. Karena faktor-faktor di atas, proses inovasi mungkin tidak mudah bagi sebagian besar UKM manufaktur karena kelangkaan sumber daya keuangan dan personil yang mereka miliki. Karena hal tersebut, dapat diduga bahwa penguasaan pengetahuan eksternal sangat penting untuk inovasi di perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Sebuah penelitian mengkaji berbagai sumber inovasi teknologi yang tersedia untuk UMKM manufaktur di Nigeria barat daya dan relevansi dari masing-masing sumber untuk inovasi mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber informasi utama bagi inovasi di antara perusahaan-perusahaan ini adalah pelanggan; pemasok peralatan dan mesin; seminar, pelatihan dan konferensi; riset pasar yang dilakukan dalam perusahaan; dan asosiasi bisnis. Namun, interaksi dengan hasil penelitian dan pengembangan RD oleh universitas dan lembaga penelitian yang dilakukan oleh sebagian kecil 7,9 dari perusahaan-perusahaan ini, memiliki hubungan yang signifikan dengan inovasi mereka. Namun, tidak satupun dari input eksternal yang diperlukan perusahaan untuk belajar secara internal dan menumbuhkan inovasi berasal dari bantuan dari instansi pemerintah. Inovasi dipandang berperan dalam meningkatkan daya saing negara dan UMKM merupakan inti dari daya saing nasional. Tapi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah jarang terlibat dalam RD, dan perbaikan produk serta proses perbaikan yang sangat minor sifatnya. Oleh karena itu, beberapa implikasi kebijakan dari penelitian tersebut diuraikan pada bagian berikut ini. Pertama, ada kebutuhan mendesak bagi unit yang menangani transfer teknologi dalam perusahaan untuk menghubungkan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sistem produksi. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan proses re-tooling dan re-engineering yang terus menerus terhadap lembaga pengembangan UMKM nasional untuk dapat merancang dan mengimplementasikan mekanisme yang efektif untuk memperkuat hubungan arus informasi dari sistem inovasi nasional ke pelaku UMKM. Kedua, asosiasi UMKM harus diperkuat untuk memberikan kesempatan bagi anggotanya untuk terus belajar tentang perkembangan teknologi baru dan peluang dari sumber eksternal. Oleh karena itu, kolaborasi yang lebih erat antara asosiasi dan negara perlu didorong. Hal ini sangat penting dalam penyediaan sumber informasi teknis yang tepat waktu dan penciptaan peluang bagi pengembangan, pertukaran, dan penyebarluasan informasi. Pemerintah India mendorong peningkatan kerjasama antara UMKM dengan sumber inovasi teknologi melalui pengembangan Technology Business Incubator TBI atau inkubator bisnis berbasis teknologi. Terdapat sekitar 20 inkubator di India saat ini, masih jauh tertinggal dari Amerika Serikat yang mempunyai lebih dari 1000, Korea yang sudah membentuk sebanyak 300 dan Finlandia sebanyak 100. TBI harus dipromosikan secara besar-besaran tidak hanya dalam hal jumlah, tetapi juga dalam hal skalanya. Universitas, Sekolah Tinggi Teknik dan Sekolah Tinggi Bisnis harus menjadi lokasi pilihan untuk TBI. 654 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Selain TBI, terdapat pula Technology Innovation Center TIC sebagai bentuk lembaga lain dalam upaya untuk meningkatkan kerjasama antara UMKM dengan sumber inovasi. TBI berada di lembaga pendidikan dan bertujuan mengubah hasil dari RD untuk industri. Sementara itu, TIC berada di cluster UMKM dan menyediakan layanan teknis yang diperlukan untuk peningkatan teknologi dan pengembangan produk baru. Contoh terbaik implementasi TIC adalah Jerman di mana saat ini ada 500 yang sudah dibentuk, memberikan dukungan penuh kepada UMKM. Inovasi dan kewirausahaan memegang kunci untuk meningkatkan peran UMKM dalam meningkatkan perekonomian India. Karena nilai pentingnya belum disadari sepenuhnya, program kewirausahaan dan inovasi harus diluncurkan dalam bentuk gerakan nasional. Kewirausahaan harus dipromosikan sebagai pilihan karir yang disukai dan bukan sebagai karir alternatif. Kewirausahaan inkubasi harus menjadi bagian dari kurikulum rekayasa. Untuk menuju ke arah tersebut, langkah yang diperlukan antara lain yaitu pelatihan guru pelatih serta langkah-langkah khusus penunjang lainnya. Pengakuan insentif untuk inovasi dan kewirausahaan di cluster dan lembaga pendidikan harus diperkenalkan. Anggaran di semua skema yang mempromosikan inovasi dan kewirausahaan perlu ditingkatkan. Untuk meningkatkan kapasitas dari perguruan tinggi dan lembaga pendidikan tinggi yang menjadi sumber inovasi, perlu dukungan penuh dari pemerintah, salah satunya dalam bentuk insentif dana pengembangan RD. Di Indonesia, skema insentif tersebut telah dijalankan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan LPDP. Lembaga ini berbentuk Badan Layanan Umum dan bertanggung jawab mengelola dana abadi endowment fund yang berasal dari alokasi dana pendidikan. Salah satu misi LPDP adalah mendorong riset strategis danatau inovatif yang implementatif dan menciptakan nilai tambah melalui pendanaan riset, bertanggung jawab untuk berpartisipasi pada pengembangan dan penerapan riset di Indonesia. Sebagai bentuk tanggung jawab dan partisipasi tersebut, LPDP mengelola pendanaan Riset Pembangunan Indonesia. Salah satu bentuk pendanaan Riset Pembangunan Indonesia adalah Bantuan Dana Riset Inovatif Produktif RISPRO. Bantuan Dana RISPRO dibagi ke dalam 2 kategori berdasarkan bidang yang menjadi fokus penelitian dan pengembangannya, yaitu Bantuan Dana RISPRO Komersial untuk bidang ketahanan pangan, energi, dan kesehatan, serta Bantuan Dana RISPRO Implementatif untuk bidang eco-growth, tata kelola, sosial keagamaan, dan budaya. Persyaratan Bantuan Dana RISPRO Komersial Bantuan Dana RISPRO dalam rangka komersialisasi produkteknologi akan diberikan bagi riset-riset yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Riset harus melibatkan mitra sehingga hasil riset langsung dapat diterapkan dikomersialisasikan oleh pihak mitra yang didukung oleh perjanjian kerja sama; b. Mitra adalah industri yang mayoritas modalnya dimiliki oleh PemerintahPemerintah Daerah danatau perusahaanWarga Negara Indonesia; c. Mitra harus memiliki komitmen untuk berkontribusi dalam riset dapat berupa penyertaan dana cash ataupun bentuk lain yang dapat diukur dengan uang in-kind; d. Kontribusi mitra berupa penyertaan dana cash sekurang-kurangnya sebesar 10 sepuluh persen dari usulan bantuan dana riset; e. Riset harus memiliki kelayakan bisnis. Persyaratan Bantuan Dana RISPRO Implementatif Bantuan Dana RISPRO dalam rangka implementasi kebijakanmodel akan diberikan bagi riset-riset yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Riset pada tahun pertama dapat melibatkan mitra opsional dan harus melibatkan mitra pada tahun kedua sehingga hasil riset langsung dapat diimplementasikan; b. Mitra adalah lembaga sektor publik lembaga pemerintah dan pemerintah daerah atau korporasi yang dapat bertindak sebagai regulator implementasi hasil riset atau kelompok masyarakat yang dapat bertindak sebagai pengguna hasil riset; 655 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 c. Riset harus memiliki kelayakan implementasi kebijakanmodel. Kriteria Bantuan Dana RISPRO Bantuan Dana RISPRO diperuntukkan kepada periset yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Riset dilakukan oleh kelompok periset yang bernaung di bawah badan penelitian kementerianlembaga pemerintah dan pemerintah daerah, lembaga-lembaga riset swasta, perguruan tinggi, atau lembaga lainnya yang berkompeten untuk melakukan riset. Khusus kelompok periset yang bernaung di bawah badan penelitian kementerianlembaga pemerintah harus bekerjasama dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah, lembaga-lembaga riset swasta, perguruan tinggi, atau lembaga lainnya yang berkompeten untuk melakukan riset; 2. Kelompok periset memiliki integritas dan komitmen untuk menyelesaikan riset sesuai dengan target hasil dan waktu yang dinyatakan dalam pakta integritas; 3. Kelompok periset diketuai oleh periset bergelar minimal doktor atau berkualifikasi setara sesuai dengan standard Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia KKNI dan memiliki rekam jejak riset sesuai dengan bidang yang diusulkan dan ditunjukkan dalam biodata; 4. Kelompok periset memiliki roadmap riset yang mendukung bidang yang diusulkan; 5. Kelompok periset tidak sedang menempuh studi lanjut danatau akan mengikuti kegiatan akademik lain yang dapat mengganggu jalannya riset Program Academic Recharging, Postdoc, dan lain-lain; 6. Kelompok periset berjumlah minimal 3 tiga orang termasuk ketua, yang berasal dari badan penelitian kementerianlembaga, lembaga riset pemerintah danatau swasta, perguruan tinggi, serta mitra, danatau lembaga lainnya yang berkompeten untuk melakukan riset; 7. Usulan riset yang diajukan oleh kelompok periset sudah mendapat persetujuan pimpinan lembaga pengusul dan pimpinan lembaga mitra yang dibuktikan dengan tanda tangan di lembar pengesahan. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa UMKM merupakan kelompok usaha yang menguasai sebagian besar dari total unit usaha dalam hal jumlah dan tenaga kerja. Dalam upaya mendorong peran penting UMKM sebagai motor penggerak inovasi dan iptek nasional, perlu dirumuskan kebijakan insentif fiskal yang tepat dan dijalankan secara konsisten. Melihat karakteristik bisnis UMKM, terdapat 3 kondisi yang memampukan enabling factors yang menjadi titik tolak dalam merumuskan kebijakan insentif fiskal bagi UMKM. Pertama, UMKM harus didorong untuk memajukan kewirausahaan. Dalam konteks ini, masuknya perusahaan baru penting untuk pertumbuhan inovasi dan produktivitas. Perusahaan baru akan memperluas kemajuan teknologi karena mereka cenderung untuk terlibat dalam inovasi yang lebih radikal. Kebijakan perpajakan untuk mendorong munculnya unit-unit usaha baru yang dapat dirumuskan terutama berkaitan dengan perlakuan pajak penghasilan. Untuk PPh OP, berdasarkan penelitian ditemukan bahwa tarif PPh OP yang tinggi cenderung akan mendorong kewirausahaan. Sebaliknya, tarif PPh Badan yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kewirausahaan. Terkait dengan pajak atas capital gain, perlu diatur secara hati-hati agar tetap bersifat netral. Kebijakan insentif pajak juga harus diarahkan untuk mendukung unit-unit usaha baru, bukan berdasarkan ukuran, karena usaha yang kecil belum tentu akan memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi apabila bisnis tersebut tidak mengembangkan kebaruan. Hal lain yang perlu diperhatian adalah bahwa administrasi pajak harus dibuat sesederhana mungkin untuk mengurangi beban bagi pelaku UMKM dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kedua, UMKM butuh iklim dan atmosfir yang mendukung. Untuk memampukan agar UMKM dapat meningkatkan akses terhadap teknologi baru dalam upaya meningkatkan daya saing, penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif. Membuat jaringan dapat menjadi solusi bagi UMKM individu untuk meningkatkan 656 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 posisi kompetitifnya. Lingkungan yang mendukung tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk techno parks, yaitu kawasan khusus yang dibangun untuk mewadahi berbagai UMKM yang bergerak dalam pemanfaatan teknologi. Pemberian insentif dapat diintegrasikan dengan konsep pengembangan kawasan. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus serta kawasan industri yang sudah berjalan saat ini harus mengakomodir juga pengembangan techno parks dengan fasilitas insentif fiskal yang terintegrasi. Ketiga, keterkaitan antara UMKM dengan sumber inovasi teknologi berkontribusi pada tingkat inovasi. Ada kebutuhan mendesak bagi unit yang menangani transfer teknologi dalam perusahaan untuk menghubungkan sistem ilmu pengetahuan dan teknologi dengan sistem produksi. Selain itu, asosiasi UMKM perlu diperkuat untuk memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk terus belajar tentang perkembangan teknologi baru. Kerjasama antara UMKM dengan perguruan tinggi sebagai sumber inovasi teknologi mutlak diperlukan. Dukungan pemerintah diberikan dalam bentuk insentif dana pengembangan RD melalui Bantuan Dana Riset Inovatif Produktif RISPRO oleh LPDP. DAFTAR PUSTAKA Abereijo, I. O., Adegbite, S. A., Ilori, M. O., Adeniyi, A. A., Aderemi, H. A. 2009. Technological innovation sources and institutional supports for manufacturing small and medium enterprises in Nigeria. Journal of technology management innovation, 42, 82-89. Aghion, P., R. Blundell, R. Griffith, P. Howitt, and S. Prantl. 2009. “The Effects of Entry on Incumbent Innovation and Productivity.” Review of Economics and Statistics 91 1: 20–32. Akcigit, U., and W. R. Kerr. 2010. “Growth through Heterogeneous Innovations.” Working Paper. Philadelphia: University of Pennsylvania. Association of Russian Industrial Parks. 2013. Date Views 25.07.2013. http:nptechnopark.ruuploadbuklet.pdf Badan Pusat Statistik. 2014. Data industri mikro kecil periode 2010-2013. Baliamoune-Lutz, M. 2015. “Taxes and Entrepreneurship in OECD Countries.” Contemporary Economic Policy 33 2: 369– 80. Bagrinovsky, K.A., M.A. Benediktov, Ye. Yu. Khrustalev. 2003. Mechanisms of technological development of Russian economy: Macroeconomic and Mesoeconomic Aspects. Science, pp: 376. Belotti, C. Tunalv, C. 1999. Acquisition of technological knowledge in small and medium-sized manufacturing companies in Sweden. International Journal of Technology Management, 1834, 353-371. Brynjolfsson, E., and A. McAfee. 2014. The Second Machine Age—Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. New York: W. W. Norton Company. Carlsson, B. Eliasson, G. 1991. The nature and importance of economic competence. Mimeo, Cleveland Stockholm, Case Western University and IUI. As quoted by Belotti and Tunalv 1999, op. cit. Comins, N., Rowe D. 2013. Success Factors for Science Parks in the Developed World and Emerging Economies. Date Views 21.08.2013. http:www.warwicksciencepark.co.ukwp- contentuploads201103SuccessFactorsforS cienceParks.pdf Coolidge, J. 2012. “Findings of Tax Compliance Cost Surveys in Developing Countries.” eJournal of Tax Research 10 2: 250–87. Cullen, J.B., and R.H. Gordon. 2007. “Taxes and Entrepreneurial Risk Taking: Theory and Evidence for the US.” Journal of Public Economics 91 78: 1479–505. Dahlstrand, Lindholm A., Lawton Smith H. 2013. Science Parks and Economic Development. Date Views 21.08.2013. 657 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016