KESIMPULAN DAN SARAN coli apmg
Gambar 7. Peta Kabupaten Wakatobi. Gambar 8. Salah satu nelayan yang
diwawancarai,yaitu bapak Himari.
Gambar 9. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia.
Gambar 10. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia.
Gambar 11. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia.
145
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Gambar 12. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia.
Gambar 13. Sistem dual-fuel.
Gambar 14. Skema kerja sistem dual-fuel.
146
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Gambar 15. Konverter kit dual-fuel
Gambar 16. Ujicoba dengan bahan bakar solar 100 .
Gambar 17. Ujicoba dengan bahan bakar dual- fuel.
KETERANGAN TABEL : Tabel 1. Jumlah nelayan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi tahun 2015
No Desa Nelayan Tangkap
Nelayan Budidaya No Desa
Nelayan Tangkap Nelayan Budidaya
1 Kapota
38 -
12 Mandati II
15 1
2 Kabita
35 6
13 Kapota Utara
40 25
3 Liyamawi
160 267
14 Kabita Togo
90 -
4 Liya Togo
180 320
15 Mandati III
29 -
5 Matahora
18 8
16 Liya One Melangka
35 10
6 Wungka
- -
17 Wisata Kolo
75 -
7 Numana
84 72
18 Mola Samaturu
200 4
8 Mola Selatan
106 10
19 Mola Bahari
200 10
9 Mola Utara
142 20
20 Mola Nelayan Bakti
349 -
10 Mandati I
28 1
21 Liya Bahari Indah
37 20
11 Komala
- -
Jumlah Total 1.921
774
147
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 2. Data operasional nelayan per operasional memakai bahan bakar solar 100
No Nelayan
Daya Mesin
Rata-Rata Waktu1
Operasional Jarak
Tempuh Berangkat
Jarak Tempuh
Mencari Ikan
Jarak Tempuh
Mengejar Ikan
Jarak Tempuh
Pulang Ke RumahTPI
Total Jarak Tempuh
Biaya1 Operasional
Biaya Rata- Rata1
Operasional Pendapatan
Kotor1 Operasional
Dengan Putaran Mesin 1000 rpm
1200 rpm 1600 rpm
1400 rpm Orang
HP Jam
Mil Mil
Mil Mil
Mil Rp.
Rp. Rp.
1 Purudu
28 8
10 10
10 10
40 122.600,00
120.900,00 234.100,00
2 Himari
30 8
12 12
12 12
48 125.300,00
328.700,00 3
Budi 24
8 10
7,5 7,5
10 35
115.500,00 177.500,00
4 Masidi
26 8
12 9
9 12
42 120.200,00
242.600,00 Jumlah Total
483.600,00
Tabel 3. Hasil ujicoba skala lapangan bahan bakar solar 100
No Rpm
Waktu 100 Solar Jarak Tempuh
Rads Jam
Liter Mil
1 1000
2 2,18
13,30 2
1200 2
3,48 17,37
3 1400
2 4,94
20,75 4
1600 2
6,26 20,97
Jumlah Total 8
16,86 72,38
Tabel 4. Konsumsi bahan bakar pada ujicoba skala lapangan dengan bahan bakar solar 100 per satu jam
No Rpm
Waktu 100 Solar Biaya Solar Konsumsi SolarJam
Rads Jam
Liter Rp.
Liter 1
1000 2
2,18 11.227,00
1,09 2
1200 2
3,48 17.925,00
1,74 3
1400 2
4,94 25.441,00
2,47 4
1600 2
6,26 32.239,00
3,13 Jumlah Total
8 16,86
86.832,00 8,43
148
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 5. Kecepatan rata-rata kapal pada ujicoba lapangan dengan bahan bakar solar 100
No Rpm
Waktu Jarak Tempuh Jarak TempuhLiter
Kecepatan Total Kecepatan Rata-Rata Rads
Jam Mil
Mil Knot
Knot 1
1000 2
13,30 6,10
5,78 7,87
2 1200
2 17,37
4,99 7,55
3 1400
2 20,75
4,20 9,02
4 1600
2 20,97
3,35 9,12
Jumlah Total 8
72,38 18,64
31,47
Tabel 6. Hasil ujicoba skala lapangan bahan bakar dual-fuel
No Rpm Waktu Solar
LPG Jarak Tempuh
Rads Jam
Liter Kg
Mil 1
1000 2
1,38 0,84
16,12 2
1200 2
2,56 1,26
24,61 3
1400 2
2,78 1,82
30,24 4
1600 2
2,92 2,18
28,72 Jumlah Total
8 9,64
6,10 99,69
Tabel 7. Konsumsi dan penghematan bahan bakar pada ujicoba skala lapangan dengan bahan bakar dual-fuel
No Rpm Waktu Solar
Konsumsi SolarJam
LPG LPG
Konsumsi LPGJam
Total Solar Dan LPG
Penghematan Penggunaan
Solar Persentase
Penghematan Penggunaan
Solar Persentase Rata-
Rata Penghematan
Penggunaan Solar
Rads Jam
Liter LiterJam
Kg Liter
LiterJam Liter
Liter 1
1000 2
1,38 0,69
0,84 1,45
0,78 2,83
0,80 36,70
40,05 2
1200 2
2,56 1,28
1,26 2,17
1,17 4,73
0,92 26,44
3 1400
2 2,78
1,39 1,82
3,14 1,69
5,92 2,16
43,72 4
1600 2
2,92 1,46
2,18 3,76
2,02 6,68
3,34 53,35
Jumlah Total
8 9,64
4,82 6,10
10,52 5,65 20,16
7,22 160,21
149
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 8. Penghematan biaya operasional pada ujicoba skala lapangan dengan bahan bakar dual-fuel
No Rpm Waktu Solar
Biaya Solar LPG LPG
Biaya LPG
Total Solar Dan LPG
Total Biaya Solar Dan LPG
Penghematan Biaya
Operasional
Rads Jam
Liter Rp.
Kg Liter
Rp. Liter
Rp. Rp.
1 1000
2 1,38
7.107,00 0,84
1,45 4.032,00
2,83 11.139,00
88,00 2
1200 2
2,56 13.184,00
1,26 2,17
6.048,00 4,73
19.232,00 -1.310,00
3 1400
2 2,78
14.317,00 1,82
3,14 8.736,00
5,92 23.053,00
2.388,00 4
1600 2
2,92 15.038,00
2,18 3,76
10.464,00 6,68
25.502,00 6.737,00
Jumlah Total 8
9,64 49.646,00
6,10 10,52 29.280,00
20,16 78.926,00
7.903,00
Tabel 9. Kecepatan rata-rata kapal pada ujicoba lapangan dengan bahan bakar dual-fuel
No Rpm Waktu Jarak Tempuh Jarak TempuhLiter
Kecepatan Rata-Rata Total Kecepatan Rata-Rata
Rads Jam
Mil Mil
Knot Knot
1 1000
2 16,12
5,70 7,01
10,83 2
1200 2
24,61 5,20
10,70 3
1400 2
30,24 5,11
13,14 4
1600 2
28,72 4,30
14,45 Jumlah Total
8 99,69
20,31 43,30
Tabel 10. Jarak tempuh dan kecepatan rata-rata kapal nelayan menangkap ikan
No Nelayan
Daya Mesin
Rata-Rata Waktu
Operasional Jarak
Tempuh Berangkat
Jarak Tempuh Mencari Ikan
Jarak Tempuh Mengejar Ikan
Jarak Tempuh Pulang Ke
RumahTPI Total
Jarak Tempuh
Kecepatan Rata-Rata
Dengan Putaran Mesin 1000 rpm
1200 rpm 1600 rpm
1400 rpm Orang
HP Jam
Mil Mil
Mil Mil
Mil Knot
1 Purudu
28 8
10 10
10 10
40 4,35
2 Himari
30 8
12 12
12 12
48 5,22
3 Budi
24 8
10 7,5
7,5 10
35 3,80
4 Masidi
26 8
12 9
9 12
42 4,57
150
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 11. Jumlah pendapatan bersih dan pemakaian solar tiap sekali operasional nelayan menangkap ikan
No Nelayan Pendapatan Kotor1
Operasional Biaya Rata-Rata1 Operasional
Pendapatan Bersih1 Operasional
Jumlah Pemakaian Solar Orang
Rp. Rp.
Rp. Liter
1 Purudu
234.100,00 122.600,00
111.500,00 23,81
2 Himari
328.700,00 125.300,00
203.400,00 24,33
3 Budi
177.500,00 115.500,00
62.000,00 22,42
4 Masidi
242.600,00 120.200,00
122.400,00 23,33
Tabel 12. Jumlah pemakaian bahan bakar dual-fuel tiap sekali operasional nelayan menangkap ikan dan biaya operasionalnya
No Nelayan Jumlah
Pemakaian Solar 100
Jumlah Pemakaian
Solar Dual- Fuel 59,95
Biaya Pemakaian
Solar Dual- Fuel
Jumlah Pemakaian Solar
Yang Digantikan Oleh
LPG 40,05 Jumlah
Pemakaian LPG Dual-
Fuel 40,05 Jumlah
Pemakaian LPG Dual-
Fuel 40,05 Biaya
Pemakaian LPG Dual-
Fuel Total Biaya
Pemakaian Dual-Fuel1
Operasional
Orang Liter
Liter Rp.
Liter Liter
Kg Rp.
Rp. 1
Purudu 23,81
14,27 73.490
9,54 13,91
7,51 36.054,72
109.544,72 2
Himari 24,33
14,59 75.138
9,74 14,21
7,67 36.832,32
111.970,32 3
Budi 22,42
13,44 69.216
8,98 13,10
7,74 33.955,20
103.171,20 4
Masidi 23,33
13,97 71.945
9,36 13,65
7,37 35.376,00
107.322,00
Tabel 13. Penghematan biaya setiap operasional penangkapan ikan oleh nelayan
No Nelayan Biaya Pemakaian
Solar 100 Biaya1 Operasional
Pemakaian Dual-Fuel Biaya Rata-
Rata1 Operasional
Pemakaian Dual-Fuel
Penghematan Biaya1
Operasional Rata-Rata Penghematan
Biaya1 Operasional
Orang Rp.
Rp. Rp.
Rp. 1
Purudu 122.600
109.544,72 108.002,00
13.055,28 12.896,94
2 Himari
125.300 111.970,32
13.329,68 3
Budi 115.500
103.171,20 12.328,80
4 Masidi
120.200 107.322,00
12.878,00 Jumlah Total
483.600 432.008,00
51.591,76
151
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 14. Penduduk usia kerja menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Wakatobi tahun 2012
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tidak Pernah Sekolah
6.630 2
Tidak Tamat SD 11.144
3 SD Sederajat
16.177 4
SMP Sederajat 13.755
5 SMA Sederajat
11.848 6
Diploma 1.814
7 SarjanaS2S3
2.975 Jumlah Total
64.343
152
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
MERAKIT INOVASI YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT: Praksis Litbang Aneka Ubi dalam Wanatani
Formulating Innovation to Induce Community Welfare: Praxis of Root Crops Research and Development under Agro-forestry
Yudi Widodo dan Heny Kuntyastuti
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Balitkabi Jl. Raya Kendalpayak km 8 P.O. Box 66 Malang 65101 Email:
yudi_atasyahoo.com
Keyword A B S T R A C T
innovation, root crops, agro-forestry,
RD, society Innovation based on science and technology is considered as activating and
accelerating factors to the progress of business as well as industries including agricultural enterprise. Inertia of adopted innovation from the source to the
users is worried by many parties, especially from the source innovation producing side due mainly to be funded by government. Evaluation tends to
asymmetrical pattern that focus more to user side than retrieving with emphatically sense in the source face. The main quarrel is mainly the
requirement of innovation based on science and technology was not comparable with the ability to provide, as consequence research and
development RD activities as well as its funding increase gradually. In order to robust RD in preparing the appropriate innovation in line with its
implementation by the users, therefore an integrated participatory action is urgently required for synergistic and mutuality accomplishment. Relevance
with this issue, praxis of root crops RD for agro-forestry in order to anticipate the need of food, feed and renewable energy under climatic change affected
by global warming is feasible to be discussed. Sharing experiences depart from imagination, intuition and inspiration have to be formulated and argued into
collective idea by all parties as stakeholders. Furthermore, a collective idea is extracted into planning of RD by investigation to obtain a proper invention.
A proper and better invention is suggested to be published and disseminated to get critical suggestion widely. Further step is to fund rising for larger
investment in order to transform invention into economic scale for tailoring reliable innovation. Benefit and impact of the newly innovation needs to be
reviewed and evaluated with objective tool under impact assessment, for implementation into actual and dynamic of larger domains. Thus, there are 10
I steps required for formulating the imagination to be transformed into reliable innovation.Due to most of poor farmers around forest are under
poverty and fragile condition, therefore implementation of agroforestry innovation has to be very careful.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
inovasi, wanatani, litbang, ubi,
masyarakat Inovasi yang berbasis atas ilmu pengetahuan dan teknologi iptek dianggap
sebagai pemicu dan pemacu kemajuan suatu usaha industri maupun bisnis, termasuk di bidang pertanian. Kemacetan adopsi inovasi dari sumber ke pada
para pengguna jelas sangat merisaukan semua fihak, khususnya sumber penyedia inovasi yang umumnya didanai oleh pemerintah. Penilaian
cenderung bersifat asimetri dengan titik berat di ranah pengguna daripada
153
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
menelusur untuk berempati di wilayah sumber inovasi. Argumentasi bahwa kebutuhan terhadap inovasi teknologi tidak sebanding dengan penyediaan,
mendorong peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan litbang maupun pendanaannya secara bertahap. Agar kegiatan litbang untuk
menyiapkan inovasi seiring dengan implementasi di tingkat pengguna, perlu dipadukan secara partisipatif yang sinergistik dan mutualistik antar para fihak.
Guna mencapai maksud tersebut, praksis litbang ubi-ubian menuju wanatani dalam antisipasi keperluan pangan, pakan dan energi terbarukan di tengah
perubahan iklim global layak dibahas. Berbagi sharing pengalaman berangkat dari imaginasi, intuisi dan inspirasi harus diramu dan dibahas
menjadi ide kolektif oleh para pemangku kepentingan. Selanjutnya ide kolektif tentang rencana kegiatan dilakukan investigasi agar mendapatkan
hasil invensi temuan. Hasil invensi tersebut perlu disebar-luaskan melalui publikasi guna mendapat masukan dan koreksi. Selanjutnya dilakukan
pendanaan investasi untuk skala usaha yang massif guna menjadikan inovasi handal. Dampak dan manfaat dari inovasi perlu ditelaah dengan seksama
melalui impact assessment untuk selanjutnya memasuki tahap implementasi yang aktual dan dinamis. Dengan demikian terdapat 10 langkah yang
diperlukan untuk membumikan imaginasi dan merakitnya menjadi inovasi yang menyejahterakan rakyat. Mengingat bahwa masyarakat petani di sekitar
hutan tergolong miskin dan pada kondisi rapuh, maka tetap diperlukan kehati-hatian dalam mengimpelemntasikan dan merekomendasikan inovasi
wanatani ini.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Salus Populli Suprema Lex pernyataan filsuf Romawi Marcus Tullius Cicero 106-43
Sebelum Yesus Masehi yang menegaskan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan hukum
tertinggi. Justru karena itu, menuju kesejahteraan umum merupakan hal penting dan mendesak
untuk diwujudkan sebagai tujuan utama dari awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia
NKRI. Tercantum dalam Pembukaan Preambul Undang-undang Dasar 1945
UUD45 alinea ke empat menyebutkan dengan jelas bahwa kesejahteraan menempati urutan
pertama dan utama sebagai tujuan kemerdekaan. Tercapainya kesejahteraan menjadi syarat pokok
untuk meraih kecerdasan bagi Bangsa Indonesia guna turut serta secara aktif terlibat dalam
menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Ihwal mencapai kesejahteraan umum selanjutnya
disebutkan dalam Batang Tubuh UUD45 Pasal 27 tentang hak rakyat untuk mendapatkan
kehidupan layak maupun Pasal 33 tentang tata perekonomian dengan azas koperasi yang secara
implisit menjadi sarana sekaligus wahana mencapai kesejahteraan. Faktanya meski
Indonesia telah mencapai kemerdekaan selama 71 tahun, tetapi rakyat yang hidup jauh dari
sejahtera dan tetap pada lintasan garis kemiskinan masih sekitar 20. Padahal di satu
sisi kondisi geografis yang terletak di katulistiwa dengan kekayaan ragam hayati biodiversity
sebanding dengan Brazilia, maka tidak pantas bagi Rakyat Indonesia berpenghidupan tidak
sejahtera. Lebih tragis lagi, meski pada awal Pemerintah Indonesia era Sukarno 1945-1965
berusaha keras melaksanakan Trisakti yaitu berdaulat politik, berdikari ekonomi dan
berkepribadian budaya, namun kejatuhan Sukarno menjadikan perjuangan mewujudkan
Trisakti melemah. Situasi tersebut, merupakan pintu masuk bagi faham neoliberal yang makin
menjauhkan kesejahteraan untuk digapai serta dinikmati rakyat. Bermaksud menuntaskan krisis
ekonomi pada awal alih kekuasaan Suharto
154
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dengan Orde Baru, ternyata periode 32 tahun menjadikan Indonesia terperangkap dalam krisis
multi dimensi yang parah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan primer berupa pangan
harus impor dari pasar internasional. Era reformasi sejak 1998 hingga kini meski dari
aspek demokratisasi banyak dicapai kemajuan, namun pencapaian kesejahteraan rakyat masih
jauh dari memuaskan. Bahwa dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologi kesejahteraan tidak
dijelaskan secara rinci dalam UUD45, hal ini bukanlah argumentasi untuk apologi maupun
ketertinggalan pencapaiannya. Intinya mengingat pentingnya kesejahteraan sebagai amanat
konstitusi, maka setiap usaha untuk mencapainya harus didukung dengan cerdas.
Hingga Presiden ketujuh kesadaran hak atas pangan terkait erat dengan mati hidupnya
bangsa merupakan prasyarat dasar dalam mencapai kesejahteraan. Terpaan perubahan
iklim sebagai dampak dari pemanasan global diperkirakan akan kian mempersulit pencapaian
kesejahteraan khususnya kecukupan pangan. FAO 2016 memperingatkan bahwa produksi
pangan dunia kian mengkuatirkan dan upaya peningkatan produksi mengalami stagnasi,
sehingga cadangan maupun bahan pangan yang diperdagangkan di tingkat internasional juga
terbatas. Hal tersebut mendorong kian melambungnya harga pangan di pasar
internasional sekaligus meningkatkan jumlah penduduk dan negara yang menderita kelaparan.
Situasi ini dapat sebagai pemicu konflik geopolitik kawasan yang menjauhkan dari upaya
untuk mewujudkan perdamaian abadi. Praktek fragmentasi pertanian dari arti luas ke sempit
menyebabkan kegiatan terpadu integrated sulit diimplementasikan secara optimal, sehingga
menumbuh-suburkan sektarian dari perencanaan, penganggaran hingga kebijakan yang dipilih.
Upaya peningkatan produksi pangan selalu diarahkan melalui perluasan areal dengan cara
konvesional yaitu mengkonversi hutan. Padahal UNEP 2013 maupun UNFCCC 2013
menyarankan agar kawasan hutan tetap dipertahankan keutuhannya dalam rangka
meredam ganasnya perubahan iklim akibat pemanasan global. Konversi hutan menjadi lahan
pertanian untuk peningkatan produksi pangan disebabkan orientasi jenis pangan serealia dan
butiran cereal and grain mentality seperti beras, jagung, terigu dan kacang-kacangan yang
umumnya tidak menghendaki naungan. Sebenarnya pada pola anjuran lama telah
diperkenalkan tentang diversifikasi dari taraf horisontal, vertikal hingga tata niaganya.
Sayangnya ketika program diversifikasi belum dapat dilaksanakan secara optimal, tetapi sudah
diterpa deraan bencana pemanasan global. Dengan demikian para ahli di tingkat
internasional menganjurkan pola produksi pangan diarahkan agar dapat menyesuiakan,
melalui proses adaptasi maupun mitigasi terhadap perubahan iklim.
KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP
Arrhenius lebih seratus tahun lalu memprediksi akan terjadi pemanasan global,
setelah Ia mencermati perjalanan revolusi industri yang banyak menggunakan energi fosil. Atas
dasar kalkulasi Arrhenius yang disebut sebagai konsep Panspermia jika kadar CO
2
di atmosfer meningkat sebanyak dua kali, maka suhu udara
akan meningkat 50
o
C hingga mencapai waktu 3000 tahun. Pemanasan global yang memicu
perubahan iklim yang kemudian ditangani oleh PBB melalui IPCCC dapat mengantarkan Albert
Arnold Gore Jr Wakil Presiden Amerika Serikat pada tahun 2007 memperoleh Nobel Perdamaian.
Keunikan Panitia Pemberi Hadiah Nobel biasanya diberikan bagi aktivis dan pegiat yang
mendorong terjadinya iklim perdamaian, namun kali ini penerima nobel justru sosok yang bergiat
dalam kampanye perubahan iklim yang perlu ditangani semua penduduk di seluruh Negara di
bumi. Dengan menjadikan pemanasan global sebagai masalah utama dunia, maka diharapkan
semua Negara akan bersatu secara damai untuk menanganinya. Terdapat tiga pendekatan baku
guna menghadapi pemanasan global, yaitu mitigasi, adaptasi dan produksi yang sesuai di
tengah perubahan iklim.
Wanatani agroforestry menjadi agenda yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan
dalam skala massif dan luas, sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan dan secara
ekologis terlanjutkan.
155
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
METODE PENELITIAN
Kegiatan pengumpulan data dan informasi penting yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari pengalaman dan catatan lapang dari aneka kegiatan yang dibiayai oleh lembaga
pemerintah, khususnya Balitkabi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perhutani
yang penulis banyak terlibat aktif mulai perencanaan hingga pelaksanaan sampai
pelaporan. Kegiatan penelitian tentang wanatani mulai aktif dilakukan dengan Perhutani KPH
Blitar sejak 1996, yang kemudian meluas ke wilayah Perhutani Unit lain di Jawa maupun
Inhutani di luar pulau Jawa. Sebenarnya wanatani tidak hanya dilakukan di kawasan hutan negara
yang dikelola oleh Perhutani dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH untuk
pemberdayaan masyarakat yang tidak memiliki lahan garapan, melainkan juga diterapkan oleh
petani berlahan yang berminat mengusahakan kayu dan tanaman tahunan serta memanfaatkan
lahan di bawah tegakan untuk tanaman pangan. Aspek perundangan dan peraturan yang terkait
legalitas wanatani juga dilacak sebagai paying hukum. Penelitian dan pengembangan lebih
intensif integrasi ubikayu ke bawah tegakan hutan Jati dilaksanakan di KPH. Blitar dan KPH.
Blora selama 2013-2014 Widodo dkk., 2015. Bahkan sejak 2012 hingga saat ini masih
berlangsung penelitian partisipatif integrasi tanaman aneka ubi di bawah tegakan hutan pinus,
mahoni dan jenis kayu lain di Desa Ampelgading, Kecamatan Selorejo Kabupaten
Blitar tepatnya di kaki Gunung Kawi lereng barat daya. Oleh karena itu analisis dalam penelitian
ini lebih bersifat kualitatif diskriptif, dengan menggali pengalaman petani maupun para fihak
yang terlibat dan bergerak aktif dalam bidang wanatani. Penggalian pengalaman para responden
secara eksploratif pada masa lalu memory banking disilang-periksa cross check dalam
diskusi kelompok, agar tekoreksi sehingga kebenaran informasi tersebut terpercaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Aneka ubi berpotensi untuk hadapi
perubahan iklim Selama sekitar 60 tahun terakhir
penganut faham cereal and grains mentality sangat dominan dalam menentukan arah
kebijakan pangan nasional, sehingga diversifikasi pangan non beras seperti ubi-ubian dan lainnya
tidak mendapat perhatian yang memadai Horton dan Rhoades, 1990. World Bank 1992 justru
untuk diversifikasi pangan menyarankan untuk mengimpor terigu, sehingga akibatnya kini
sekitar 7 juta terigu harus diimpor setiap tahunnya. Sementara itu, beras sebagai pangan
pokok juga kedelai dan jagung masih harus diimpor dalam jumlah besar. Dengan demikian
jika menyimak seksama anatomi pangan Indonesia masih rawan, sehingga untuk
membangun kedaulatan pangan guna menuju kesejahteraan umum perlu ditata ulang
reformation. Sebenarnya sejak lama para pakar memberikan saran bahwa kedaulatan pangan
dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan diversifikasi, khususnya menyertakan potensi
hayati ubi-ubian maupun palawija lainnya Satjanata dan Partohadjono, 1985; Widodo,
1986; 1989; 1995; 2008; 2011; 2012; 2013. Lebih lanjut Widodo 2011; 2012; 2013
menyarankan dalam menghadapi perubahan iklim global produksi pangan tetap melimpah
dapat ditempuh, jika ubi-ubian disertakan dalam wanatani maupun dikembangkan skala luas pada
agroekologi sesuai habitat asli tanpa harus merubah menjadi sawah atau ladang terbuka.
Dengan demikian perluasan areal tanam untuk peningkatan produksi pangan tidak menyebabkan
berkurangnya kawasan hutan. Upaya ketat dalam mempertahankan kawasan hutan ditujukan
terutama dalam antisipasi pemanasan global melalui peningkatan penyerapan CO2 dari
atmosfer, sehingga lingkungan hijau juga perlu diperluas.
Menurut Widodo 2011; 2012 usaha pertanian konvensional untuk menghasilkan 5 p
yaitu: pangan, pakan, premium bahan bakar, pakaian dan papan 5 f namely: food, feed, fuel,
fiber and funny-shelter yang mengkonversi hutan menjadi penyebab berkurangnya kawasan
hutan, sehingga pertanian menjadi sumber emisi carbon yang perlu diperhitungkan. Ini berarti
pemanasan global yang memicu dan memacu perubahan iklim tidak hanya diakibatkan oleh
proses industrialisasi, tetapi juga oleh pertanian yang boros energi. Oleh karena itu, dalam
156
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
membangun peradaban manusia kini dan mendatang maka usaha pertanian harus
diperbaiki ke arah yang rendah emisi carbon serta ramah lingkungan. Conforti dan Sarris 2012
mengingatkan bahwa negara-negara berkembang di kawasan tropik, sub-tropis dan semi gurun
pasir akan sangat menderita akibat adanya pemanasan global, terutama disebabkan
kelangkaan air dan peningkatan suhu udara. Diperkirakan untuk kawasan Sub-Sahara di tahun
2050 jumlah penduduk yang kelaparan akan mencapai 400 juta jiwa, dan untuk penduduk
dunia 1 milyar di antaranya akan kekurangan pangan. Meskipun demikian, masih banyak
negara berkembang yang lalai atau abai terhadap gejala pemanasan global yang telah nyata
mengancam penyediaan pangan. Usaha pertanian termasuk penyediaan pangan sangat tergantung
pada potensi sumber daya alam, kenyataannya potensi sumber daya alam rusak akibat perubahan
iklim dampak dari pemanasan global. Perubahan iklim bagi daerah tropis ditandai dengan
peningkatan suhu dan penurunan curah hujan, sehingga menuntut strategi dan pendekatan baru
dalam konservasi air dari presipitasi yang tidak teratur eratic, variasi musim yang tinggi dan
peningkatan laju evapo-transpirasi dalam berbagai ekosistem.
Secara umum pemanasan global didefinisikan dengan meningkatnya suhu
permukaan bumi oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Meski suhu lokal berubah-
ubah secara alami, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir suhu global cenderung meningkat lebih
cepat dibandingkan data yang terekam sebelumnya. Situasi dan perkembangan yang
terjadi dalam beberapa tahun terakhir khususnya dalam dekade di akhir abad 20 dan awal abad 21.
Seperti yang telah kita ketahui segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari
Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk
cahaya tampak feasible light. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari
cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap
sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya sebagai radiasi infra merah gelombang
panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat
menumpuknya jumlah gas rumah kaca yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-
gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan
akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-
ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata bumi terus meningkat Winarso, 2009. Usaha
pertanian juga berkontribusi besar dalam menghasilkan gas rumah kaca yang berpengaruh
terhadap pemanasan global. Menurut Nguyen 2008 maupun UNFCCC 2009 terdapat dua
macam gas rumah kaca, yaitu nitrous oxide dan methane yang dihasilkan dari kegiatan pertanian
yang setara dengan 8,5-16,5 milyar ton CO
2
. Artinya, kegiatan pertanian konvensional selama
ini termasuk konversi hutan ke pertanian menimbulkan emisi carbon sebagai gas rumah
kaca sebesar 17-32 dari total aktifitas manusia. Secara langsung kegiatan pertanian berkontribusi
terhadap gas rumah kaca. Di antara gas rumah kaca tersebut, methane yang memiliki daya
pemanasan 20 kali lipat daripada CO
2
sejumlah 3,3 milyar ton setara
CO
2
; sedangkan nitrous oxide yang memiliki daya pemanasan 300 kali
lipat daripada CO
2
sebanyak 2,8 milyar ton setara CO
2 ,
dan emisi CO
2
sebesar 40 juta ton setiap tahunnya. Greenpeace 2008 menghitung
besarnya emisi langsung gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh usaha pertanian, yaitu 1
nitrous oxide 2,128 milyar ton setara CO
2
, sebagai akibat dari pemberian pupuk nitrogen
sintetik yang berlebihan ke tanah yang sebenarnya hanya dimanfaatkan sebagian kecil
oleh tanaman, sehingga sebagian besar menguap ke atmosfer sebagai nitrous oxide; 2 fermentasi
internal dalam proses dekomposisi dan mineralisasi kotoran ternak menimbulkan emisi
gas rumah kaca terutama methane sebesar 1,792 milyar ton setara CO
2
; 3 pembakaran biomass tanaman maupun tumbuhan dalam pembukaan
lahan maupun sisa panen menghasilkan emisi gas sebesar 672 juta ton setara CO
2
; 4 sistem budidaya padi terutama sawah tergenang dan
padi ladanghuma bakar semak belukar untuk pengolahan tanah menghasilkan emisi gas
sebesar 616 juta ton setara CO
2
; 5 pengelolaan limbah pertanian menghasilkan gas sebesar 413
juta ton setara CO
2
. Secara tidak langsung
157
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
aktifitas pertanian yang menghasilkan gas rumah kaca, di antaranya adalah: 1 Proses produksi
pupuk anorganik sintetik yang memerlukan energi fosil unrenewable dalam jumlah besar
boros, sehingga membebaskan CO
2
ke atmosfer sebanyak 300-600 juta tontahun atau setara
dengan 1,2 dari total gas rumah kaca yang di atmosfer. Ini berarti bahwa intensifikasi pertanian
dengan meningkatkan penggunaan pupuk sintetik akan memerlukan lebih banyak energi fosil yang
dibakar dan menambah CO
2
ke atmosfer, sehingga efek rumah kaca yang ditimbulkan kian
besar. 2 Kebutuhan input pertanian lainnya, mulai dari mekanisasi pengolahan tanah, industri
perbenihan, penanaman, pengendalian gulma, yang menggunakan bahan kimiawi, hingga panen
memerlukan energi fosil sebagai bahan bakar dan menghasilkan emisi gas sebesar 60 hingga 260
juta ton setara CO
2
, irigasi juga berkontribusi terhadap emisi gas sebesar 50 hingga 680 juta ton
setara CO
2
, sedangkan produksi pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman
menyumbangkan emisi gas sebesar 3 hingga 140 juta ton setara CO
2
setiap tahunnya. 3 Tata kelola dan konversi lahan ke pertanian termasuk
dari hutan juga sebagai penyumbang besar emisi gas carbon sebesar 2,9 hingga 5,9 milyar ton
setara CO
2
setiap tahunnya atau 6-17 dari total gas rumah kaca.
Wanatani sebuah kompromi ekonomi dengan ekologi
Belajar dari pengalaman program transmigrasi yang awalnya selalu mengkonversi
kawasan hutan menjadi lahan permukiman, pertanian, perkebunan dan perikanan maka ke
depan pendekatan dengan titik berat pengelolaan hutan lestari harus dapat diimplementasikan
secara nyata. Wacana ini diketengahkan bukan hanya sekedar untuk memuaskan para pegiat
lingkungan yang lebih condong pada sisi ekologi, melainkan juga untuk para pelaku dan praktisi
yang mengejar hasrat pertumbuhan ekonomi guna pemerataan sosial. Dalam
mengimplementasikan Hutan Inti Rakyat HIR mirip dengan pelaksanaan Perkebunan Inti
Rakyat PIR, namun perbedaan menyolok adalah tidak adanya konversi hutan menjadi
kebun maupun peruntukan lain. Dengan demikian pembangunan infra-struktur harus
seiring dengan potensi dan fungsi ekologis hutan. Sejatinya HIR telah diterapkan secara tradisional
oleh masyarakat suku terasing seperti Kubu dan suku hutan lainnya, tetapi dalam pelaksanaan
seyogyanya lebih mendasarkan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi science and
technology innovation based serta akses terhadap kelembagaan modern untuk
permodalan, pengolahan dan pemasaran juga perlu disinergikan. Hal ini bukan mustahil,
mengingat dewasa ini pengkerto-ajian terhadap fungsi hutan secara ekonomi terus diperjuangkan,
sehingga nantinya para pelaku dan praktisi HIR dapat mendapat sebagian pendapatan tunai dari
nilai potensi hutan dalam menyerap carbon sink reward under carbon trade. Wanatani dengan
mengintegrasikan tanaman pangan, jamur, paku- pakuan, algae maupun ternak serta ikan
merupakan kearifan lokal yang sangat memungkinkan untuk mewujudkan kedaulatan
pangan Widodo, 2011 2012. Dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB tentang hak
atas pangan yang disusun oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada Bulan Februari 2004,
kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas-komunitas, dan negara untuk
menentukan sistem produksi pangan sendiri dalam berbagai jenis lapangan pertanian,
perikanan, jenis sumber pangan dan tanah, serta kebijakan-kebijakan lainnya yang secara ekologi,
sosial, ekonomi dan kebudayaan sesuai dengan keadaan-keadaan khusus specific masing-
masing. Kedaulatan pangan adalah hak individu dan kolektif yang memberikan
kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan
mewujudkan keinginan sosial politik ekonomi guna mendapatkan dan memproduksi pangan
sendiri, serta tindakan melawan terhadap kekuasaan perusahaan-perusahaan serta
kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui perdagangan,
investasi, serta alat dan kebijakan lainnya. Kedaulatan pangan menuntut hak rakyat
atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization FAO merupakan
hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa mendapatkannya secara
bebas, baik secara cuma-uma maupun
158
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi
kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya.
Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan
bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif. Dalam usaha
mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah
“ketahanan pangan” dengan harapan adanya persediaan pangan setiap saat, semua orang
dapat mengaksesnya dengan bebas dengan jumlah, mutu dan jenis nutrisi yang mencukupi
serta dapat diterima secara budaya. Konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan
kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil
kepada rakyatnya. Juga mengabaikan kenyataan di mana semakin meluas dan limpah ruahnya
ekspor produk pertanian murah serta bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini
dibiarkan bahkan didorong atas nama
perdagangan bebas yang disokong penuh oleh negara-negara maju. Hal ini tidaklah
mengherankan sebab ketahanan pangan hanya sebatas pernyataan lembaga-lembaga pemerintah
dan antar-pemerintah saja, sementara pelaksanaan dan tanggungjawab untuk
mewujudkan ketahanan pangan telah didefinisikan kembali yaitu dialihkan dari urusan
negara menjadi urusan pasar. Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan
pangan ini dijalankan oleh institusi-institusi multilateral seperti International Monetary fund
IMF, World Bank WB, dan World Trade Organization WTO. Rekonseptualisasi
ketahanan pangan ini pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan-
perusahaan yang paling kuat yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga
agribisnis. Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah
adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan daripada
memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas
sangat penting bagi ketahanan pangan, dengannya pemanfaatan sumber daya di dunia
lebih efisien Malonzo, 2007. Widodo 2011 mengingatkan kembali
untuk menyimak pengalaman krisis multidimensi 1997, sebagai bukti bahwa Indonesia telah
berhasil digerogoti oleh agensia Neolib yang sejak awal implementasi revolusi hijau
mengarahkan rakyat untuk mengkonsumsi hanya beras dan serelia tertentu yaitu terigu yang harus
diimpor. Energi pemerintah dan rakyat Negara seolah habis untuk mencapai swasembada beras,
yang merapuhkan sendi kedaulatan pangan, akibat abai terhadap sumber pangan lokal berikut
kearifan lokal dalam proses penyediaanya. Lima tahun sejak saran Bank Dunia akhirnya
kerapuhan akibat penggerogotan tersebut menampakkan hasilnya, yaitu krisis multidimensi
yang disertai krisis pangan, sehingga Indonesia terjebak food trap sebagai Negara yang harus
menjadi asuhan atau penerima bantuan pangan dari World Food Program. Ironisnya, Singapura
saat itu juga turut menyumbang beras, meski tidak memiliki lahan pertanian. Bantuan pangan
yang diberikan melalui jaring pengaman sosial social safety net sejak 1998 berupa raskin
beras untuk masyarakat miskin menimbulkan masalah baru hingga sekarang. Oleh karena itu,
guna mengatasi masalah dengan tuntas, kedaulatan pangan harus diwujudkan, seiring
dengan tuntutan untuk melestarikan hutan sebagai fasilitas global. Perangkat hukum sebagai
payung usaha wanatani Tabel 1 telah termaktub dalam berbagai Undang-Undang Republik
Indonesia UURI. Wanatani merupakan kompromi agar pangan dari hutan lestari dapat
terwujud, sehingga adaptasi, mitigasi terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global serta
produksi pangan menjadi satu kesatuan langkah, tidak terpisahkan integrated, comprehensive,
holistic and impartial.
Implementasi imaginasi menjadi inovasi
Sejarah perabadan manusia dalam membangun dan mengembangkan sistem
pertanian terkait dengan industri, jasa dan sektor lainnya, apabila rangkaian sistem tidak terpadu
akan menimbulkan masalah serta mengancam kelangsungan peradaban manusia. Pengalaman
yang panjang dalam berusaha tani konvesional yang umumnya dengan mengkonversi hutan
menjadi lahan pertanian terbuka Grafik 1,
159
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
kemudian deraan perubahan iklim yang menuntut dipertahankan hutan lestari memunculkan
wanatani seyogyanya diterapkan secara luas. Imaginasi, intuisi dan inspirasi kolektif dari
semua fihak sebagai pelaku dan pengamat stakeholders perlu disinergikan sebagai ide
kolektif idea of community yang menjadi dasar penyusunan agenda penelitian dan
pengembangan wanatani. Selanjutnya investigasi investigation dengan ketelitian serta kecermatan
tinggi seyogyanya dilakukan untuk mendapatkan invensi invention yang handal dan meyakinkan.
Invensi yang merupakan hasil temuan dari aktivitas penelitian perlu dipublikasikan,
sehingga dapat diverifikasi dan dikaji ulang oleh fihak lain. Dengan demikian invensi tersebut
akan menjadi lebih baik, sebab telah diverifikasi dan diperbaiki sesuai sumbang saran para pelaku
dan pemerhati. Investasi atau pembiayaan yang lebih besar justru diperlukan pada tahap
berikutnya, agar invensi yang telah diverifikasi dapat diterapkan pada skala lebih luas pada
berbagai agroekologi dengan ragam sosial ekonomi dan budaya yang berbeda. Dari kegiatan
tersebut diikuti dengan pengkajian dampak impact assesment terhadap invensi yang telah
matang dan siap menjadi inovasi.
Oleh karena itu dalam merumuskan imaginasi seyogyanya sudah mewadahi berbagai
wawasan yang inspiratif dan diperlukan ketajaman instuisi guna merakitnya menjadi hasil
penelitian yang inventif, sehingga layak untuk dirakit menjadi inovasi yang dapat
menyejahterakan masyarakat di sekitar hutan. Idealnya jika kegiatan tersebut dari awal atau
hulu hingga hilir dapat dilaksanakan secara partisipatif, sehingga pengembangan dan
penyebarannya akan secara sadar dapat terus dievaluasi dan diverifikasi oleh banyak fihak.
Dengan demikian tatkala inovasi baru tersebut direkomendasikan dalam skala yang masif tidak
menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat desa hutan. Perlu difahami bahwa kondisi sosial
ekonomi masyarakat desa sekitar hutan umumnya tergolong dalam Program Desa Tertinggal
dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi. Masyarakat di sekitar hutan yang mengelola atau
bertani di kawasan hutan umumnya hanya berlahan sempit atau bahkan tidak memiliki lahan
garapan, sehingga mereka memang benar-benar memerlukan lahan garapan di kawasan hutan
sebagai sumber matapencaharian ekonomi Gambar 1 Gambar 2.
Gambar 1. Wanatani sebagai kompromi aspek ekonomi dan ekologi Sumber CGIAR, 2013.
Sebenarnya bagi masyarakat di sekitar hutan yang menggarap lahan hutan juga
menguntungkan dari sisi pelestarian hutan, sebab pembalakan liar maupun terjadinya kebakaran
hutan dapat dicegah. Hal tersebut berdasarkan atas pengalaman pihak Perhutani di kawasan
yang dikelola oleh LMDH untuk berbagai keperluan mulai pemanfaatan lahan di bawah
tegakan untuk tanaman pangan, obat serta pemeliharaan lebah madu hingga pengembangan
wisata kondisi hutan relatif terjaga. Sebab fihak LMDH juga turut bertanggung jawab dalam
mengawasi dan menjaga keutuhan hutan, yang pada gilirannya mendapat distribusi keuntungan
tatkala kayu ditebang. Kini di beberapa kawasan wana wisata, justru hutan sangat dipertahankan
utuh, jika tanaman aneka ubi ditanam di sela pepohonan di bawah tegakan juga akan
160
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
menambah pendapatan masyarakat. Apalagi jika hasil panen dapat diproses menjadi produk siap
saji yang dapat dijajakan ke pada para pengunjung wana wisata, maka upaya tersebut
akan mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lebih mantap. Jika masyarakat
sekitar hutan telah mapan dan sejahtera, maka mereka akan menjaga kelestarian hutan sebagai
sumber mata pencaharian yang lestari lumintu.
Kebakaran hutan yang kini marak, menuai protes dari beberapa negara tetangga
akibat kabut atau asap yang menganggu pandangan serta memedihkan mata, sehingga
memerlukan penanganan secepatnya. Integrasi tanaman aneka ubi dengan ikan nila gurami
dalam kolam atau parit di bawah tegakan hutan dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan
ditinjau dari aspek pre-emptif, preventif dan represif. Pre-emptif, kehadiran tanaman aneka
ubi menggeser dominasi gulma jika kering rawan terbakar; selain itu tersedianya kolam parit
juga menyediakan air untuk pemeliharaan ikan nila gurami yang ransum dominan dapat
berupa daun talas, keladi dan aneka ubi lain. Preventif tersedianya air juga menjadikan kondisi
lembah, sehingga dapat mencegah kebakaran hutan. Represif jika terjadi atau timbul kebakaran
hutan, tersedianya air di kolam dan parit dapat sebagai bahan untuk memadamkan api sebagai
penyebab terjadinya kebakaran di kawasan hutan. Inovasi yang kreatif dan produktif semacam ini
perlu dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat pertumbuhan dan pemerataan
pendapatan, sehingga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga turut menikmati kesejahteraan.
Guna merakit inovasi yang menyejahterakan rakyat, maka fihak inovator harus memiliki
empati dan rasa simpati terhadap pengguna. Hal tersebut dapat dicapai dengan tata cara
partisipatif yang tulus, sebagai perwujudan anggota masyarakat yang membudayakan
kegotong-royongan Gambar 3. Dalam sistem ekonomi gotong royong maka pertumbuhan dan
pemerataan akan saling mengisi sesuai prinsip humanistik manusia saling menyanyangi homo
homini socius bukan saling bertikai dan kanibalistik homo homini lupus.
Gambar 2. Keladi Xanthosoma sp termasuk jenis tanaman ubi yang sesuai untuk
ditanam di bawah tegakan hutan, sebab pada taraf naungan 70 masih
memberikan hasil ubi memadai. Daun dan biomasa lain dapat sebagai bahan
pakan ikan gurami nila.
Tabel 1.
Landasan Undang-Undang Republik Indonesia sebagai paying hokum dalam
Usaha Wanatani UURI Nomor
Tentang UURI No
121992 UURI No
411999 UURI No
492000 Sistem Budidaya Tanaman
Kehutanan Perlindungan Varitas Tanaman
Peraturan Pemerintah No
452004 UURI No
322009 UURI No
412009 Perlindungan Hutan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan
UURI No 182012
UURI No 192013
Pangan Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani
161
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENUTUP
Atas dasar pemaparan hasil penelitian dan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan
bahwa potensi yang besar dari tanaman aneka ubi untuk diintegrasikan ke dalam sistem wanatani
memerlukan pemahaman prima, mengingat masyarakat penggarap di sekitar hutan umumnya
dalam kelompok prasejahtera yang sangat memerlukan peningkatan kesejahteraan. Dengan
demikian perakitan inovasi yang berasal dari imaginasi harus riil dan membumi, sehingga
masyarakat penggarap lahan di bawah tegakan hutan terhindar dari resiko rugi dan mampu
memperoleh peningkatan kesejahteraan. Justru karena itu inovasi yang diterapkan secara massif
oleh masyarakat harus disikapi dengan kesiapan mulai hulu hingga hilir, agar masyarakat tidak
kesulitan dalam mengkonversi produktivitasnya ke dalam bentuk finansial. Kepedulian dan
kerjasama partisipatif berbagai fihak sangat diperlukan agar evaluasi dan verifikasi dapat
obyektif dan rasional. Insentif layak dianugerahkan kepada masyarakat penggarap
lahan di bawah tegakan hutan yang terlibat aktif dalam mengamankan dan melestarian hutan,
sehingga pengurangan emisi CO
2
dapat berlangsung efektif. Fakta di lapangan
menunjukkan dengan jelas bahwa kawasan hutan yang tergarap oleh masyarakat di sekitar akan
aman dari resiko perambahan dan penebangan liar maupun terjadinya kebakaran hutan illegal
loging and forest on fire. Justru itulah insentif sebaiknya dalam bentuk finansial dihatrukan
kepada petani maupun LMDH yang bergiat aktif dalam melestarikan hutan, bukan hanya sekedar
piagam atau surat penghargaan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Rasa terima kasih perlu penulis sampaikan ke pada fihak Perhutani KPH. Blitar hingga
Pusat, Yayasan ATAS dan masyarakat desa Ampelgading kecamatan Selorejo kabupaten
Blitar yang turut membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini. Juga ke pada Balitkabi yang
mengalokasikan anggaran pada periode 2013- 2014 untuk ubikayu di bawah tegakan jati.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 1982-2015 Statistik Indonesia. Statistic Indonesia. Statistical Year Book of
Indonesia 1981 to 2014. Badan Pusat Statistik Jakarta Indonesia
CGIAR. 2013. Hutan Pohon dan Wanatani: Penghidupan, bentang alam dan tata
kelola. Consultative Group for International Agricultural Research
CGIAR. 8p.
Cock, J. H. 1985. Cassava New Potential for a Neglected Crop. International
Agricultural Development Service.
Westview Press Inc., Colorado USA. 191 p.
Flach, M and Rumawas, F. Eds.. 1996 Plant Resources of South-East Asia No 9.
Plants yielding non-seed carbohydrate. Backhuys Publishers, Leiden. 237 p.
Howeler, R.H. 2012. The Cassava Handbook. Centro Internacional de Agricultura
Tropical CIAT office for Asia. Chatuchak, Bangkok Thailand. 810 p.
Pieli, K., S. Angel and L. Mansueti 2008. Understanding Cost-Effectiveness of
Energy Efficiency Programs: Best Practices, Technical Methods, and
Emerging Issues for Policy-Makers. Energy and Environmental Economics,
Inc. and Regulatory Assistance Project. National Action Plan for Energy
Efficiency. United State of Environmental Protection Agency. 96 pages.
Piyachomkwan, K., S. Walapatit, T. Vetthaisong, S. Keawsompong, and K. Sriroth. 2005.
Advanced technology in ethanol production from cassava chips. In Second
International Symposium on Sweetpotato and Cassava. Malaysian Agricultural
Research and Development Institute MARDI in cooperation with
International Society for Horticultural Science ISHS. Kuala Lumpur, 14-17
June 2005. pp211.
Setiadi, S. 2005. Teknologi produksi bioetanol dan pemanfaatannya sebagai bahan bakar
hayati. Makalah dalam Semiloka Nasional Pengembangan Energi Alternatif Berbasis
162
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Masyarakat. Jakarta, 19-30 November 2005.
Simatupang, P. dan N. Syafaat. 2000. Industrialisasi berbasis pertanian sebagai
grand strategy pembangunan ekonomi nasional. Forum Penelitian Agroekonomi
FAE Volume 18nomor 1 dan 2:1-15.
Simatupang, P. and E. Fleming. 2001. Food Security Conditions and Problems in
South Pacific Island Countries. Palawija News 182:5-16.
Sriroth, K and K. Sangseethong. 2005. Biodegradable plastics from cassava
starch. In Second International Symposium on Sweetpotato and Cassava.
Malaysian Agricultural Research and Development Institute MARDI in
cooperation with International Society for Horticultural Science ISHS. Kuala
Lumpur, 14-17 June 2005. pp209.
Subandi, Y. Widodo, N. Saleh dan L.J. Santoso. 2006. Inovasi teknologi produksi
ubikayu untuk agroindustri dan ketahanan pangan. Dalam D. Harnowo, Subandi dan
N. Saleh Eds. Prospek Strategi dan Teknologi Pengembangan Ubikayu untuk
Agroindustri dan Ketahanan Pangan. Puslitbangtan Bogor. Pp 74-86.
Widodo, Y. 1986. Pola pengembangan agroindustri ubikayu di Indonesia. Jurnal
Litbang Pertanian V 3: 67-72. Widodo, Y. 1995. Ubi-ubian potensi dan
prospeknya untuk dimanfaatkan dalam program diversifikasi. Majalah Pangan
Media Komunikasi dan Informasi Nomor 22 VI:46-55.
Widodo, Y. 2005. Managing canopy and space of cassava for inserting companion crops
in a cropping system: an agronomic strategy for improving poor farmers’
income. In Second International Symposium on Sweetpotato and Cassava.
Malaysian Agricultural Research and Development Institute MARDI in
cooperation with International Society for Horticultural Science ISHS. Kuala
Lumpur, 14-17 June 2005. pp135. Widodo, Y. 2007. Anticipating food and energy
supply from rootcrops under various ecological complexity. Paper presented in
the Eco Summit 2007. Jiuhua Beijing, 22- 27 May 2007. 14 pages.
Widodo, Y 2008. Recent progress of cassava development in Indonesia and its
transformation challenges from inferior food into various industrial and biofuel
usages. Paper presented in the Global Cassava Partnership I Scientific Meeting.
University of Ghent, Belgium 20-26 July 2008. 26 pages.
Widodo, Y. 2009. Pengelolaan gulma dalam sistem tumpangsari terintegrasi tanaman
pangan-hutan-ternak menuju hutan lestari Weed Management under Integrated
Intercropping of Food crops-Forest- Livestock for Forest Sustainability. In
Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional XVIII Himpunan Ilmu Gulma
Indonesia HIGI Komda Jawa Barat dengan Fak Pertanian Universitas
Padjadjaran UNPAD. Bandung 30-31 Oktober 2009. pp 221-230.
Widodo, Y. and N. Prasetiaswati. 2011. Agronomic and economic consequences
related to weed management in sweet potato farming. Paper presented in Weed
Science Society of Indonesia WSSI Congress at Padjadjaran University
Bandung 9-11 November, 2010. Jurnal Gulma dan Tumbuhan Invasif Tropika
Juli 2011 Vol 22:70-79.
Widodo, Y. 2011a. Peluang bisnis kerakyatan hasil industri agroforestry menuju hutan
lestari. Makalah utama disampaikan pada Rapat dan Pembahasan Agroforestry di
Perum Perhutani, Gedung Manggala Wana Bhakti Jakarta 24 januari 2011. 15
p.
Widodo, Y. 2011b. Strategi Sinergistik Peningkatan Produksi Pangan dalam
Hutan Lestari Melalui Wanatani. PANGAN Media Informasi dan
Komunikasi BULOG Vol 203:251-268.
Widodo, Y. 2012a. Food from the forest of Java: tropical agroforestry experiences in
163
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
feeding dwellers and keeping the environment greener. In C.A, Brebbia
Ed. SUSTAINABILITY TODAY. Wessex Institute of Technology WIT
Press, Southampton, Boston. Printed in UK. Pp 281-393.
Widodo, Y. 2012b. Ubi-ubian dalam Wanatani: Sumbangsih Kearifan Lokal guna
Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Dalam Buku 2 Prosiding Seminar Nasional UNS.
Pp 332-353.
Widodo, Y. dan Radjit, B.S. 2013 Kinerja Wanatani: Telaah Keunggulan dari Sisi
Ekonomi Kreatif Agro-forestry Performance: Advantages Elaboration
from the Side of Creative Economy. Dalam Prosiding Seminar Nasional
Perhepi-UNS. Pp 372-391.
Tentang Penulis Yudi Widodo
Lahir di Tulungagung, 14 Juni 1959. Penulis menamatkan pendidikan S1 di UNS, S2 di
Unibraw-UGM dengan pengajar dari Belanda Australia. Sejak 1984 mengikuti pelatihan di
IITA International Institute for Tropical Agriculture Ibadan Nigeria, kemudian 1985
berlatih di CIAT Centro Internacional Agricultura Tropical Cali Columbia Amerika
Latin. Kemudian sejak 1988 aktif dalam forum seminar, konferensi internasional pada tanaman
aneka ubi sekaligus sebagai anggota International Society of Tropical Root Tuber Crops
ISTRC. Sejak 2001 oleh Preisden Megawati Sukarnoputri ditetapkan sebagai Ahli Peneliti
Utama APU bidang Budidaya dan Produksi Tanaman Pangan Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi di litbang kementan hingga sekarang.
Heny Kuntyastuti
Lahir di Pasuruan, 20 September 1962. Ia menamatkan pendidikan S1 bidang Ilmu Tanah
1985 dan S2 bidang Agroklimatologi 1993 keduanya di IPB
. Beberapa pelatihan yang pernah diikuti adalah tentang Metode Analisis
Statistik di IPB; Statistical Soffware Training 2000; Apresiasi teknologi informasi 2002;
Workshop Pemahaman SNI 19-17025:2000 2003; Audit Internal dan Pengelolaan
Laboratorium di Bogor 2003; Apresiasi Pengelolaan Laboratorium Penguji Mutu Pupuk,
Pestisida dan Penguji Efektivitas Pupuk 2003; Validasi Metoda dan Estimasi Ketidakpastian
Laboratorium Pengujian Berdasarkan SNI 19- 17025-2000 2005. Kini bekerja sebagai peneliti
bidang studi Kesuburan dan Biologi Tanah di
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi pada litbang kementan hingga sekarang.
Jenjang fungsional Peneliti Muda diperoleh pada tahun 2002 dan Peneliti Madya 2010.
164
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 2. Rekapitulasi hasil kegiatan wanatani komoditas pangan pakan di bawah tegakan hutan, Dusun Babadan Desa Ampelgading Kecamatan SelorejoKabupaten Blitar 2011-2016.
Jenis Kegiatan Tujuan
Waktu Pelaksanaan Pelaksana
Identifikasi masalah pemahaman kelompok
Untuk mendriskripsikan permasalahan
kekurangan pangan di desa tertinggal serta
menggali potensi guna menyelesaikan masalah
September – November 2011
Petugas Kecamatan Selorejo Ibu Sunarsri
pemberi saran awal, Desa Ampelgading,
LMDH, Balitkabi, Perhutani Yayasan
ATAS
Penyusunan rencana aksi
Untuk menyiapkan rencana beserta
pendanaan November- Desember
2011 LMDH Ampelgading,
Penggarap Dusun Babadan Yayasan
ATAS
Penyiapan lahan lokasi rintisan
Untuk membersihkan
lokasi dari tunggul- tunggul dan sisa batang
yang rebah-rusak akibat bencana putting beliung
November- Desember 2011
Penggarap Dusun Babadan Yayasan
ATAS
Penanaman Untuk memberikan
bukti bahwa aneka ubi layak ditanam di bawah
tegakan hutan Desember 2011
Penggarap Dusun Babadan Yayasan
ATAS
Monitoring Evaluasi Untuk memantau dan
mengevaluasi pelaksanaan kegiatan
kinerja serta tanggapan para penggarap
Januari – Desember 2012
Penggarap Dusun Babadan Yayasan
ATAS
Pengembangan perluasan
Untuk memperluas pengusahaan tanaman
aneka ubi di bawah tegakan
Desember 2012- saat ini hingga 2020
Penggarap Dusun Babadan Yayasan
ATAS
Tabel 3. Kinerja ekonomi wanatani di Dususn Babadan Desa Ampelgading Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar 2012-2016.
Jenis Komoditas Biaya awal buka
lahan penanaman Rp
Hasil tha Pendapatan Rp
Rumput gajah Kaliandra di bawah pinus
mahoni 7.500.000
60 t hijauan Tidak dijual untuk
pakan ternak sendiri Jagung di bawah pinus
12.000.000 4,8 t Rp 2500kg
Impas hanya kembali modal untuk membuka
lahan awal Ubikayu di bawah pinus
10.000.000 28 t Rp 900kg
15.200.000 Ubijalar di bawah pinus
10.000.000 12 t Rp 1200kg
4.400.000 Keladimbote di bawah
mahoni 8.000.000
14 t Rp 700kg 1.800.000
Kacang tanah di bawah pinus
11.000.000 2,5 t Rp 5000kg
1.500.000
165
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 4. Perkembangan wanatani di Dususn Babadan Desa Ampelgading Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar 2012-2016.
Jenis komoditas awal yang ditanam tahun 2012
Permasalahan dalam usahatani tahun 2014
Pola usahatani yang diminati berkembang
Usaha lain yang berkembang
Rumput gajah Kaliandra
Relatif tidak ada gangguan
Rumput gajah Kaliandra
Usaha ternak kambing dan domba serta sapi
merupakan tabungan hidup bagi pesanggem
penggarap, sehingga rumput gajah dan
kaliandra di bawah tegakan di seluruh
kawasan dapat sebagai sumber pakan utama.
Hijauan dari biomasa tanaman ubikayu,
ubijalar kacang tanah sebagai pakan tambahan
bagi ternak. Usaha perikanan air
tawar dapat dirintis, sebab sumber air cukup
memadai. Saat ini sedang diupayakan
untuk menyalurkan air dengan pipa lebih besar,
sehingga selain untuk mencukupi MCK juga
usaha ikan. Jenis ikan gurami nila lebih
cocok, sebab pakan daun keladi tersedia
sepanjang tahun. Usaha lebah madu perlu
dikembangkan, mengingat bunga-bunga
dari vegetasi hutan juga tersedia sepanjang tahun
Jagung Gangguan monyet,
landak babi hutan Jagung jika ditanam
monokultur, setelah panen lahan bero,
sehingga ditumpangsari dengan ubikayu
Ubikayu Kadangkala gangguan
babi hutan landak Upaya peningkatan
produktivitas ubikayu dengan varietas baru
maupun pupuk organic anorganik terus
diupayakan
Ubijalar Gangguan monyet,
landak, babi hutan hama boleng
Ubijalar setelah panen, lahan bero. Ditanam
tumpangsari kurang baik
Keladimbote Kadangkala gangguan
babi hutan landak Keladi kian meluas
ditanam di bawah tegakan dengan tingkat
nangan tinggi
Kacang tanah Gangguan monyet,
landak babi hutan Kacang tanah
tumpangsari dengan ubikayu
166
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Imagination Inspiration Intuition
Collective Idea for Investigation
Invention
Illustration for gathering Public Idea Publication
Investment Impact assessment
Implementation Recommendable
INNOVATION
DEVELOPMENT TECHNOLOGY PARTICIPATORY
D IS
C O
V E
R Y
DISSEMINATION OF
INNOVATION
Gambar 3. Skema 10 langkah dari Imaginasi menjadi inovasi yang dapat diimplementasikan seiring dengan konsepsi skema 3D Widodo, 2014.
167
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Pengembangan Kapabilitas Dinamik Melalui Proses Pembelajaran Teknologi: Studi Kasus PT.RTI
Developing Dynamic Capabilities Through Technological Learning: Case Study of PT. RTI
Nur Laili
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia PAPPIPTEK-LIPI nurl005lipi.go.id
; nurlaili.lipigmail.com
Keyword A B S T R A C T
dynamic capabilities, technological learning, water
technology, license, RO membrane
In the market conditions that dynamic with changing needs, industry must innovate to improve its competitiveness. In the context of Indonesian
industry which is dominated by SMEs, limited R D resources were found, related to investment limitations. Technological learning on
external technology resources becomes one of the firm’s alternative in innovating. This paper presents an empirical study that examines the
development of dynamic capability in firm through technological learning. Qualitative approach is conducted through single case study at PT. RTI,
producer of water installation using RO membrane. The result of the case study shows that technological learning through RO membrane license
from Hydranautics is continuous, resulting in accumulation of knowledge and expertise of water installation using RO membrane. Technological
learning has become a media for firm’s dynamic capability development. The development of dynamic capability occurs through enhancement of
learning capability, R D capability and manufacturing capability.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
kapabilitas dinamik, pembelajaran teknologi,
teknologi air, lisensi, membran RO
Pada Kondisi pasar yang bersifat dinamis dengan kebutuhan yang selalu berubah, industri harus berinovasi untuk meningkatkan daya saingnya.
Dalam konteks industri Indonesia yang didominasi oleh UKM, pada umumnya industri memiliki keterbatasan sumber daya RD, terkait
keterbatasan investasi. Pembelajaran teknologi terhadap sumber-sumber teknologi eksternal menjadi salah satu alternative perusahaan dalam
berinovasi. Makalah ini memaparkan studi empirik yang mengkaji mengenai pengembangan dynamic capability di perusahaan melalui
pembelajaran teknologi. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui studi kasus tunggal di PT. RTI, perusahaan penghasil IPAL membran RO. Hasil
studi kasus menunjukkan bahwa pembelajaran teknologi melalui lisensi membrane RO dari Hydranautics terjadi secara kontinyu, sehingga terjadi
akumulasi knowledge dan kepakaran teknologi IPAL membrane RO. Pembelajaran teknologi membran RO telah menjadi salah satu media
pengembangan dynamic capability perusahaan. Pengembangan dynamic capability terjadi melalui peningkatan kapabilitas pembelajaran,
kapabilitas litbang dan kapabilitas manufaktur perusahaan.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
168
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi, industri dihadapkan dengan pasar yang bersifat dinamis
dan kebutuhan pasar yang selalu berubah. Industri dituntut untuk bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi yang dinamis tersebut, salah satunya dengan mengembangkan inovasi
teknologi. Performansi suatu perusahaan akan meningkat melalui inovasi teknologi, dimana
implikasinya adalah peningkatan daya saing industri Gopalakhrisnan Damanpour, 1996.
Perusahaan memerlukan sumber daya tertentu dalam mengembangkan inovasi teknologi,
misalnya kompetensi teknologi inti perusahaan Kalmuk dan Acar, 2015. Pengembangan
inovasi sendiri biasanya dilakukan di unit litbang perusahaan, dengan disertai oleh keputusan
investasi perusahaan.
Pengembangan inovasi teknologi dilakukan menggunakan sumber internal dan
eksternal perusahaan. Secara internal, inovasi teknologi dikembangkan melalui aktivitas dan
fungsi litbang yang dibuat melalui proses manufaktur Kim dan Lee, 2002. Sedangkan
secara eksternal, pengembangan inovasi melalui akuisisi knowledge eksternal Hitt dkk, 2000.
Dalam konteks industri Indonesia yang didominasi oleh UKM, pada umumnya industri
memiliki keterbatasan sumber daya dan RD, terkait keterbatasan investasi. Kondisi ini
menjadi salah satu hambatan bagi industri terutama UKM untuk mengembangkan inovasi.
Pasokan teknologi diperoleh dari sumber-sumber eksternal, salah satunya melalu pembelajaran
teknologi technological learning. Pembelajaran teknologi memiliki peranan penting dalam
mendukung kemampuan perusahaan dalam mengembangkan, mempertahankan, dan
mengeksploitasi kompetensi inti Kocoglu dkk, 2012. Dalam jangka panjang, pembelajaran
teknologi juga akan meningkatkan kemampuan perusahaan dalam menyusun strategi berbasis
teknologi.
Pembelajaran teknologi technological learning didefinisikan sebagai proses dimana
suatu perusahaan mengkreasikan, memperbarui dan meningkatkan kapabilitas teknologinya
dengan memanfaatkan sumber daya perusahaan baik yang bersifat tacit maupun eksplisit
Carayannis, 2000. Bell 1984 mengemukakan tipe-tipe pembelajaran bagi perusahaan-
perusahaan di negara berkembang yakni learning by doing, learning by operating, learning from
changing, learning by searching, learning by hiring, learning by training, dan learning by
system performance feedback. Pengembangan dari tipe-tipe pembelajaran tersebut Marcelle,
2004 adalah dengan menambahkan learning by sharing, learning by field experimentation,
serta learning by large-scale project management.
Kajian mengenai pembelajaran teknologi telah banyak ditemukan di literatur, dimana salah
satu hal yang menjadi fokus adalah eksploitasi teknologi untuk meningkatkan kapabilitas
spesifik di perusahaan. Pembelajaran teknologi yang dilakukan secara intensif akan
memunculkan kapabilitas baru perusahaan dalam bentuk aktivitas, rutin, dan mental model yang
baru di perusahaan, yang memungkinkan pembelajaran inter-organisasi yang lebih luas
Teece dan Pisano, 1994. March 1991 berargumen bahwa pembelajaran teknologi
melalui eksplorasi akuisisi teknologi baru akan efektif dalam meningkatkan perfomansi
perusahaan jika dilakukan paralel dengan eksploitasi sumber daya dan kemampuan yang
telah dimiliki perusahaan existing resources and skills. Kemampuan untuk eksplorasi teknologi
eksternal dan eksplorasi sumber daya internal ini termanifestasi sebagai kapabilitas dinamik
dynamic capability. Kapabilitas dinamik merupakan kemampuan perusahaan untuk
mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi kompetensi internal dan
eksternal untuk mengatasi lingkungan yang berubah cepat.
Makalah ini memaparkan studi empirik yang mengkaji mengenai pengembangan
dynamic capability di perusahaan melalui pembelajaran teknologi. Studi empirik dilakukan
melalui studi kasus tunggal di perusahaan teknologi pengolahan air bersih yaitu PT. RTI,
yang berlokasi di Jakarta. PT. RTI merupakan perusahaan dengan kompetensi inti
mengembangkan instalasi pengolahan air bersih
169
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dengan air baku berupa air laut, dengan menggunakan teknologi membran reverse
osmosis RO. Pembelajaran teknologi dilakukan oleh perusahaan untuk teknologi membran RO
melalui lisensi dari perusahaan Hydranautics, AS.