KESIMPULAN DAN SARAN coli apmg

Gambar 7. Peta Kabupaten Wakatobi. Gambar 8. Salah satu nelayan yang diwawancarai,yaitu bapak Himari. Gambar 9. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia. Gambar 10. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia. Gambar 11. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia. 145 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Gambar 12. Kapal dan mesin yang biasa digunakan oleh nelayan di Indonesia. Gambar 13. Sistem dual-fuel. Gambar 14. Skema kerja sistem dual-fuel. 146 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Gambar 15. Konverter kit dual-fuel Gambar 16. Ujicoba dengan bahan bakar solar 100 . Gambar 17. Ujicoba dengan bahan bakar dual- fuel. KETERANGAN TABEL : Tabel 1. Jumlah nelayan di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi tahun 2015 No Desa Nelayan Tangkap Nelayan Budidaya No Desa Nelayan Tangkap Nelayan Budidaya 1 Kapota 38 - 12 Mandati II 15 1 2 Kabita 35 6 13 Kapota Utara 40 25 3 Liyamawi 160 267 14 Kabita Togo 90 - 4 Liya Togo 180 320 15 Mandati III 29 - 5 Matahora 18 8 16 Liya One Melangka 35 10 6 Wungka - - 17 Wisata Kolo 75 - 7 Numana 84 72 18 Mola Samaturu 200 4 8 Mola Selatan 106 10 19 Mola Bahari 200 10 9 Mola Utara 142 20 20 Mola Nelayan Bakti 349 - 10 Mandati I 28 1 21 Liya Bahari Indah 37 20 11 Komala - - Jumlah Total 1.921 774 147 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 2. Data operasional nelayan per operasional memakai bahan bakar solar 100 No Nelayan Daya Mesin Rata-Rata Waktu1 Operasional Jarak Tempuh Berangkat Jarak Tempuh Mencari Ikan Jarak Tempuh Mengejar Ikan Jarak Tempuh Pulang Ke RumahTPI Total Jarak Tempuh Biaya1 Operasional Biaya Rata- Rata1 Operasional Pendapatan Kotor1 Operasional Dengan Putaran Mesin 1000 rpm 1200 rpm 1600 rpm 1400 rpm Orang HP Jam Mil Mil Mil Mil Mil Rp. Rp. Rp. 1 Purudu 28 8 10 10 10 10 40 122.600,00 120.900,00 234.100,00 2 Himari 30 8 12 12 12 12 48 125.300,00 328.700,00 3 Budi 24 8 10 7,5 7,5 10 35 115.500,00 177.500,00 4 Masidi 26 8 12 9 9 12 42 120.200,00 242.600,00 Jumlah Total 483.600,00 Tabel 3. Hasil ujicoba skala lapangan bahan bakar solar 100 No Rpm Waktu 100 Solar Jarak Tempuh Rads Jam Liter Mil 1 1000 2 2,18 13,30 2 1200 2 3,48 17,37 3 1400 2 4,94 20,75 4 1600 2 6,26 20,97 Jumlah Total 8 16,86 72,38 Tabel 4. Konsumsi bahan bakar pada ujicoba skala lapangan dengan bahan bakar solar 100 per satu jam No Rpm Waktu 100 Solar Biaya Solar Konsumsi SolarJam Rads Jam Liter Rp. Liter 1 1000 2 2,18 11.227,00 1,09 2 1200 2 3,48 17.925,00 1,74 3 1400 2 4,94 25.441,00 2,47 4 1600 2 6,26 32.239,00 3,13 Jumlah Total 8 16,86 86.832,00 8,43 148 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 5. Kecepatan rata-rata kapal pada ujicoba lapangan dengan bahan bakar solar 100 No Rpm Waktu Jarak Tempuh Jarak TempuhLiter Kecepatan Total Kecepatan Rata-Rata Rads Jam Mil Mil Knot Knot 1 1000 2 13,30 6,10 5,78 7,87 2 1200 2 17,37 4,99 7,55 3 1400 2 20,75 4,20 9,02 4 1600 2 20,97 3,35 9,12 Jumlah Total 8 72,38 18,64 31,47 Tabel 6. Hasil ujicoba skala lapangan bahan bakar dual-fuel No Rpm Waktu Solar LPG Jarak Tempuh Rads Jam Liter Kg Mil 1 1000 2 1,38 0,84 16,12 2 1200 2 2,56 1,26 24,61 3 1400 2 2,78 1,82 30,24 4 1600 2 2,92 2,18 28,72 Jumlah Total 8 9,64 6,10 99,69 Tabel 7. Konsumsi dan penghematan bahan bakar pada ujicoba skala lapangan dengan bahan bakar dual-fuel No Rpm Waktu Solar Konsumsi SolarJam LPG LPG Konsumsi LPGJam Total Solar Dan LPG Penghematan Penggunaan Solar Persentase Penghematan Penggunaan Solar Persentase Rata- Rata Penghematan Penggunaan Solar Rads Jam Liter LiterJam Kg Liter LiterJam Liter Liter 1 1000 2 1,38 0,69 0,84 1,45 0,78 2,83 0,80 36,70 40,05 2 1200 2 2,56 1,28 1,26 2,17 1,17 4,73 0,92 26,44 3 1400 2 2,78 1,39 1,82 3,14 1,69 5,92 2,16 43,72 4 1600 2 2,92 1,46 2,18 3,76 2,02 6,68 3,34 53,35 Jumlah Total 8 9,64 4,82 6,10 10,52 5,65 20,16 7,22 160,21 149 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 8. Penghematan biaya operasional pada ujicoba skala lapangan dengan bahan bakar dual-fuel No Rpm Waktu Solar Biaya Solar LPG LPG Biaya LPG Total Solar Dan LPG Total Biaya Solar Dan LPG Penghematan Biaya Operasional Rads Jam Liter Rp. Kg Liter Rp. Liter Rp. Rp. 1 1000 2 1,38 7.107,00 0,84 1,45 4.032,00 2,83 11.139,00 88,00 2 1200 2 2,56 13.184,00 1,26 2,17 6.048,00 4,73 19.232,00 -1.310,00 3 1400 2 2,78 14.317,00 1,82 3,14 8.736,00 5,92 23.053,00 2.388,00 4 1600 2 2,92 15.038,00 2,18 3,76 10.464,00 6,68 25.502,00 6.737,00 Jumlah Total 8 9,64 49.646,00 6,10 10,52 29.280,00 20,16 78.926,00 7.903,00 Tabel 9. Kecepatan rata-rata kapal pada ujicoba lapangan dengan bahan bakar dual-fuel No Rpm Waktu Jarak Tempuh Jarak TempuhLiter Kecepatan Rata-Rata Total Kecepatan Rata-Rata Rads Jam Mil Mil Knot Knot 1 1000 2 16,12 5,70 7,01 10,83 2 1200 2 24,61 5,20 10,70 3 1400 2 30,24 5,11 13,14 4 1600 2 28,72 4,30 14,45 Jumlah Total 8 99,69 20,31 43,30 Tabel 10. Jarak tempuh dan kecepatan rata-rata kapal nelayan menangkap ikan No Nelayan Daya Mesin Rata-Rata Waktu Operasional Jarak Tempuh Berangkat Jarak Tempuh Mencari Ikan Jarak Tempuh Mengejar Ikan Jarak Tempuh Pulang Ke RumahTPI Total Jarak Tempuh Kecepatan Rata-Rata Dengan Putaran Mesin 1000 rpm 1200 rpm 1600 rpm 1400 rpm Orang HP Jam Mil Mil Mil Mil Mil Knot 1 Purudu 28 8 10 10 10 10 40 4,35 2 Himari 30 8 12 12 12 12 48 5,22 3 Budi 24 8 10 7,5 7,5 10 35 3,80 4 Masidi 26 8 12 9 9 12 42 4,57 150 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 11. Jumlah pendapatan bersih dan pemakaian solar tiap sekali operasional nelayan menangkap ikan No Nelayan Pendapatan Kotor1 Operasional Biaya Rata-Rata1 Operasional Pendapatan Bersih1 Operasional Jumlah Pemakaian Solar Orang Rp. Rp. Rp. Liter 1 Purudu 234.100,00 122.600,00 111.500,00 23,81 2 Himari 328.700,00 125.300,00 203.400,00 24,33 3 Budi 177.500,00 115.500,00 62.000,00 22,42 4 Masidi 242.600,00 120.200,00 122.400,00 23,33 Tabel 12. Jumlah pemakaian bahan bakar dual-fuel tiap sekali operasional nelayan menangkap ikan dan biaya operasionalnya No Nelayan Jumlah Pemakaian Solar 100 Jumlah Pemakaian Solar Dual- Fuel 59,95 Biaya Pemakaian Solar Dual- Fuel Jumlah Pemakaian Solar Yang Digantikan Oleh LPG 40,05 Jumlah Pemakaian LPG Dual- Fuel 40,05 Jumlah Pemakaian LPG Dual- Fuel 40,05 Biaya Pemakaian LPG Dual- Fuel Total Biaya Pemakaian Dual-Fuel1 Operasional Orang Liter Liter Rp. Liter Liter Kg Rp. Rp. 1 Purudu 23,81 14,27 73.490 9,54 13,91 7,51 36.054,72 109.544,72 2 Himari 24,33 14,59 75.138 9,74 14,21 7,67 36.832,32 111.970,32 3 Budi 22,42 13,44 69.216 8,98 13,10 7,74 33.955,20 103.171,20 4 Masidi 23,33 13,97 71.945 9,36 13,65 7,37 35.376,00 107.322,00 Tabel 13. Penghematan biaya setiap operasional penangkapan ikan oleh nelayan No Nelayan Biaya Pemakaian Solar 100 Biaya1 Operasional Pemakaian Dual-Fuel Biaya Rata- Rata1 Operasional Pemakaian Dual-Fuel Penghematan Biaya1 Operasional Rata-Rata Penghematan Biaya1 Operasional Orang Rp. Rp. Rp. Rp. 1 Purudu 122.600 109.544,72 108.002,00 13.055,28 12.896,94 2 Himari 125.300 111.970,32 13.329,68 3 Budi 115.500 103.171,20 12.328,80 4 Masidi 120.200 107.322,00 12.878,00 Jumlah Total 483.600 432.008,00 51.591,76 151 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 14. Penduduk usia kerja menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Wakatobi tahun 2012 No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Tidak Pernah Sekolah 6.630 2 Tidak Tamat SD 11.144 3 SD Sederajat 16.177 4 SMP Sederajat 13.755 5 SMA Sederajat 11.848 6 Diploma 1.814 7 SarjanaS2S3 2.975 Jumlah Total 64.343 152 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 MERAKIT INOVASI YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT: Praksis Litbang Aneka Ubi dalam Wanatani Formulating Innovation to Induce Community Welfare: Praxis of Root Crops Research and Development under Agro-forestry Yudi Widodo dan Heny Kuntyastuti Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Balitkabi Jl. Raya Kendalpayak km 8 P.O. Box 66 Malang 65101 Email: yudi_atasyahoo.com Keyword A B S T R A C T innovation, root crops, agro-forestry, RD, society Innovation based on science and technology is considered as activating and accelerating factors to the progress of business as well as industries including agricultural enterprise. Inertia of adopted innovation from the source to the users is worried by many parties, especially from the source innovation producing side due mainly to be funded by government. Evaluation tends to asymmetrical pattern that focus more to user side than retrieving with emphatically sense in the source face. The main quarrel is mainly the requirement of innovation based on science and technology was not comparable with the ability to provide, as consequence research and development RD activities as well as its funding increase gradually. In order to robust RD in preparing the appropriate innovation in line with its implementation by the users, therefore an integrated participatory action is urgently required for synergistic and mutuality accomplishment. Relevance with this issue, praxis of root crops RD for agro-forestry in order to anticipate the need of food, feed and renewable energy under climatic change affected by global warming is feasible to be discussed. Sharing experiences depart from imagination, intuition and inspiration have to be formulated and argued into collective idea by all parties as stakeholders. Furthermore, a collective idea is extracted into planning of RD by investigation to obtain a proper invention. A proper and better invention is suggested to be published and disseminated to get critical suggestion widely. Further step is to fund rising for larger investment in order to transform invention into economic scale for tailoring reliable innovation. Benefit and impact of the newly innovation needs to be reviewed and evaluated with objective tool under impact assessment, for implementation into actual and dynamic of larger domains. Thus, there are 10 I steps required for formulating the imagination to be transformed into reliable innovation.Due to most of poor farmers around forest are under poverty and fragile condition, therefore implementation of agroforestry innovation has to be very careful. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N inovasi, wanatani, litbang, ubi, masyarakat Inovasi yang berbasis atas ilmu pengetahuan dan teknologi iptek dianggap sebagai pemicu dan pemacu kemajuan suatu usaha industri maupun bisnis, termasuk di bidang pertanian. Kemacetan adopsi inovasi dari sumber ke pada para pengguna jelas sangat merisaukan semua fihak, khususnya sumber penyedia inovasi yang umumnya didanai oleh pemerintah. Penilaian cenderung bersifat asimetri dengan titik berat di ranah pengguna daripada 153 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 menelusur untuk berempati di wilayah sumber inovasi. Argumentasi bahwa kebutuhan terhadap inovasi teknologi tidak sebanding dengan penyediaan, mendorong peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan litbang maupun pendanaannya secara bertahap. Agar kegiatan litbang untuk menyiapkan inovasi seiring dengan implementasi di tingkat pengguna, perlu dipadukan secara partisipatif yang sinergistik dan mutualistik antar para fihak. Guna mencapai maksud tersebut, praksis litbang ubi-ubian menuju wanatani dalam antisipasi keperluan pangan, pakan dan energi terbarukan di tengah perubahan iklim global layak dibahas. Berbagi sharing pengalaman berangkat dari imaginasi, intuisi dan inspirasi harus diramu dan dibahas menjadi ide kolektif oleh para pemangku kepentingan. Selanjutnya ide kolektif tentang rencana kegiatan dilakukan investigasi agar mendapatkan hasil invensi temuan. Hasil invensi tersebut perlu disebar-luaskan melalui publikasi guna mendapat masukan dan koreksi. Selanjutnya dilakukan pendanaan investasi untuk skala usaha yang massif guna menjadikan inovasi handal. Dampak dan manfaat dari inovasi perlu ditelaah dengan seksama melalui impact assessment untuk selanjutnya memasuki tahap implementasi yang aktual dan dinamis. Dengan demikian terdapat 10 langkah yang diperlukan untuk membumikan imaginasi dan merakitnya menjadi inovasi yang menyejahterakan rakyat. Mengingat bahwa masyarakat petani di sekitar hutan tergolong miskin dan pada kondisi rapuh, maka tetap diperlukan kehati-hatian dalam mengimpelemntasikan dan merekomendasikan inovasi wanatani ini. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENDAHULUAN Salus Populli Suprema Lex pernyataan filsuf Romawi Marcus Tullius Cicero 106-43 Sebelum Yesus Masehi yang menegaskan bahwa kesejahteraan rakyat merupakan hukum tertinggi. Justru karena itu, menuju kesejahteraan umum merupakan hal penting dan mendesak untuk diwujudkan sebagai tujuan utama dari awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Tercantum dalam Pembukaan Preambul Undang-undang Dasar 1945 UUD45 alinea ke empat menyebutkan dengan jelas bahwa kesejahteraan menempati urutan pertama dan utama sebagai tujuan kemerdekaan. Tercapainya kesejahteraan menjadi syarat pokok untuk meraih kecerdasan bagi Bangsa Indonesia guna turut serta secara aktif terlibat dalam menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Ihwal mencapai kesejahteraan umum selanjutnya disebutkan dalam Batang Tubuh UUD45 Pasal 27 tentang hak rakyat untuk mendapatkan kehidupan layak maupun Pasal 33 tentang tata perekonomian dengan azas koperasi yang secara implisit menjadi sarana sekaligus wahana mencapai kesejahteraan. Faktanya meski Indonesia telah mencapai kemerdekaan selama 71 tahun, tetapi rakyat yang hidup jauh dari sejahtera dan tetap pada lintasan garis kemiskinan masih sekitar 20. Padahal di satu sisi kondisi geografis yang terletak di katulistiwa dengan kekayaan ragam hayati biodiversity sebanding dengan Brazilia, maka tidak pantas bagi Rakyat Indonesia berpenghidupan tidak sejahtera. Lebih tragis lagi, meski pada awal Pemerintah Indonesia era Sukarno 1945-1965 berusaha keras melaksanakan Trisakti yaitu berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian budaya, namun kejatuhan Sukarno menjadikan perjuangan mewujudkan Trisakti melemah. Situasi tersebut, merupakan pintu masuk bagi faham neoliberal yang makin menjauhkan kesejahteraan untuk digapai serta dinikmati rakyat. Bermaksud menuntaskan krisis ekonomi pada awal alih kekuasaan Suharto 154 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dengan Orde Baru, ternyata periode 32 tahun menjadikan Indonesia terperangkap dalam krisis multi dimensi yang parah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan primer berupa pangan harus impor dari pasar internasional. Era reformasi sejak 1998 hingga kini meski dari aspek demokratisasi banyak dicapai kemajuan, namun pencapaian kesejahteraan rakyat masih jauh dari memuaskan. Bahwa dari sisi ontologi, epistemologi dan aksiologi kesejahteraan tidak dijelaskan secara rinci dalam UUD45, hal ini bukanlah argumentasi untuk apologi maupun ketertinggalan pencapaiannya. Intinya mengingat pentingnya kesejahteraan sebagai amanat konstitusi, maka setiap usaha untuk mencapainya harus didukung dengan cerdas. Hingga Presiden ketujuh kesadaran hak atas pangan terkait erat dengan mati hidupnya bangsa merupakan prasyarat dasar dalam mencapai kesejahteraan. Terpaan perubahan iklim sebagai dampak dari pemanasan global diperkirakan akan kian mempersulit pencapaian kesejahteraan khususnya kecukupan pangan. FAO 2016 memperingatkan bahwa produksi pangan dunia kian mengkuatirkan dan upaya peningkatan produksi mengalami stagnasi, sehingga cadangan maupun bahan pangan yang diperdagangkan di tingkat internasional juga terbatas. Hal tersebut mendorong kian melambungnya harga pangan di pasar internasional sekaligus meningkatkan jumlah penduduk dan negara yang menderita kelaparan. Situasi ini dapat sebagai pemicu konflik geopolitik kawasan yang menjauhkan dari upaya untuk mewujudkan perdamaian abadi. Praktek fragmentasi pertanian dari arti luas ke sempit menyebabkan kegiatan terpadu integrated sulit diimplementasikan secara optimal, sehingga menumbuh-suburkan sektarian dari perencanaan, penganggaran hingga kebijakan yang dipilih. Upaya peningkatan produksi pangan selalu diarahkan melalui perluasan areal dengan cara konvesional yaitu mengkonversi hutan. Padahal UNEP 2013 maupun UNFCCC 2013 menyarankan agar kawasan hutan tetap dipertahankan keutuhannya dalam rangka meredam ganasnya perubahan iklim akibat pemanasan global. Konversi hutan menjadi lahan pertanian untuk peningkatan produksi pangan disebabkan orientasi jenis pangan serealia dan butiran cereal and grain mentality seperti beras, jagung, terigu dan kacang-kacangan yang umumnya tidak menghendaki naungan. Sebenarnya pada pola anjuran lama telah diperkenalkan tentang diversifikasi dari taraf horisontal, vertikal hingga tata niaganya. Sayangnya ketika program diversifikasi belum dapat dilaksanakan secara optimal, tetapi sudah diterpa deraan bencana pemanasan global. Dengan demikian para ahli di tingkat internasional menganjurkan pola produksi pangan diarahkan agar dapat menyesuiakan, melalui proses adaptasi maupun mitigasi terhadap perubahan iklim. KERANGKA TEORIKERANGKA KONSEP Arrhenius lebih seratus tahun lalu memprediksi akan terjadi pemanasan global, setelah Ia mencermati perjalanan revolusi industri yang banyak menggunakan energi fosil. Atas dasar kalkulasi Arrhenius yang disebut sebagai konsep Panspermia jika kadar CO 2 di atmosfer meningkat sebanyak dua kali, maka suhu udara akan meningkat 50 o C hingga mencapai waktu 3000 tahun. Pemanasan global yang memicu perubahan iklim yang kemudian ditangani oleh PBB melalui IPCCC dapat mengantarkan Albert Arnold Gore Jr Wakil Presiden Amerika Serikat pada tahun 2007 memperoleh Nobel Perdamaian. Keunikan Panitia Pemberi Hadiah Nobel biasanya diberikan bagi aktivis dan pegiat yang mendorong terjadinya iklim perdamaian, namun kali ini penerima nobel justru sosok yang bergiat dalam kampanye perubahan iklim yang perlu ditangani semua penduduk di seluruh Negara di bumi. Dengan menjadikan pemanasan global sebagai masalah utama dunia, maka diharapkan semua Negara akan bersatu secara damai untuk menanganinya. Terdapat tiga pendekatan baku guna menghadapi pemanasan global, yaitu mitigasi, adaptasi dan produksi yang sesuai di tengah perubahan iklim. Wanatani agroforestry menjadi agenda yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan dalam skala massif dan luas, sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan dan secara ekologis terlanjutkan. 155 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 METODE PENELITIAN Kegiatan pengumpulan data dan informasi penting yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pengalaman dan catatan lapang dari aneka kegiatan yang dibiayai oleh lembaga pemerintah, khususnya Balitkabi maupun Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perhutani yang penulis banyak terlibat aktif mulai perencanaan hingga pelaksanaan sampai pelaporan. Kegiatan penelitian tentang wanatani mulai aktif dilakukan dengan Perhutani KPH Blitar sejak 1996, yang kemudian meluas ke wilayah Perhutani Unit lain di Jawa maupun Inhutani di luar pulau Jawa. Sebenarnya wanatani tidak hanya dilakukan di kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perhutani dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH untuk pemberdayaan masyarakat yang tidak memiliki lahan garapan, melainkan juga diterapkan oleh petani berlahan yang berminat mengusahakan kayu dan tanaman tahunan serta memanfaatkan lahan di bawah tegakan untuk tanaman pangan. Aspek perundangan dan peraturan yang terkait legalitas wanatani juga dilacak sebagai paying hukum. Penelitian dan pengembangan lebih intensif integrasi ubikayu ke bawah tegakan hutan Jati dilaksanakan di KPH. Blitar dan KPH. Blora selama 2013-2014 Widodo dkk., 2015. Bahkan sejak 2012 hingga saat ini masih berlangsung penelitian partisipatif integrasi tanaman aneka ubi di bawah tegakan hutan pinus, mahoni dan jenis kayu lain di Desa Ampelgading, Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar tepatnya di kaki Gunung Kawi lereng barat daya. Oleh karena itu analisis dalam penelitian ini lebih bersifat kualitatif diskriptif, dengan menggali pengalaman petani maupun para fihak yang terlibat dan bergerak aktif dalam bidang wanatani. Penggalian pengalaman para responden secara eksploratif pada masa lalu memory banking disilang-periksa cross check dalam diskusi kelompok, agar tekoreksi sehingga kebenaran informasi tersebut terpercaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Aneka ubi berpotensi untuk hadapi perubahan iklim Selama sekitar 60 tahun terakhir penganut faham cereal and grains mentality sangat dominan dalam menentukan arah kebijakan pangan nasional, sehingga diversifikasi pangan non beras seperti ubi-ubian dan lainnya tidak mendapat perhatian yang memadai Horton dan Rhoades, 1990. World Bank 1992 justru untuk diversifikasi pangan menyarankan untuk mengimpor terigu, sehingga akibatnya kini sekitar 7 juta terigu harus diimpor setiap tahunnya. Sementara itu, beras sebagai pangan pokok juga kedelai dan jagung masih harus diimpor dalam jumlah besar. Dengan demikian jika menyimak seksama anatomi pangan Indonesia masih rawan, sehingga untuk membangun kedaulatan pangan guna menuju kesejahteraan umum perlu ditata ulang reformation. Sebenarnya sejak lama para pakar memberikan saran bahwa kedaulatan pangan dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan diversifikasi, khususnya menyertakan potensi hayati ubi-ubian maupun palawija lainnya Satjanata dan Partohadjono, 1985; Widodo, 1986; 1989; 1995; 2008; 2011; 2012; 2013. Lebih lanjut Widodo 2011; 2012; 2013 menyarankan dalam menghadapi perubahan iklim global produksi pangan tetap melimpah dapat ditempuh, jika ubi-ubian disertakan dalam wanatani maupun dikembangkan skala luas pada agroekologi sesuai habitat asli tanpa harus merubah menjadi sawah atau ladang terbuka. Dengan demikian perluasan areal tanam untuk peningkatan produksi pangan tidak menyebabkan berkurangnya kawasan hutan. Upaya ketat dalam mempertahankan kawasan hutan ditujukan terutama dalam antisipasi pemanasan global melalui peningkatan penyerapan CO2 dari atmosfer, sehingga lingkungan hijau juga perlu diperluas. Menurut Widodo 2011; 2012 usaha pertanian konvensional untuk menghasilkan 5 p yaitu: pangan, pakan, premium bahan bakar, pakaian dan papan 5 f namely: food, feed, fuel, fiber and funny-shelter yang mengkonversi hutan menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan, sehingga pertanian menjadi sumber emisi carbon yang perlu diperhitungkan. Ini berarti pemanasan global yang memicu dan memacu perubahan iklim tidak hanya diakibatkan oleh proses industrialisasi, tetapi juga oleh pertanian yang boros energi. Oleh karena itu, dalam 156 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 membangun peradaban manusia kini dan mendatang maka usaha pertanian harus diperbaiki ke arah yang rendah emisi carbon serta ramah lingkungan. Conforti dan Sarris 2012 mengingatkan bahwa negara-negara berkembang di kawasan tropik, sub-tropis dan semi gurun pasir akan sangat menderita akibat adanya pemanasan global, terutama disebabkan kelangkaan air dan peningkatan suhu udara. Diperkirakan untuk kawasan Sub-Sahara di tahun 2050 jumlah penduduk yang kelaparan akan mencapai 400 juta jiwa, dan untuk penduduk dunia 1 milyar di antaranya akan kekurangan pangan. Meskipun demikian, masih banyak negara berkembang yang lalai atau abai terhadap gejala pemanasan global yang telah nyata mengancam penyediaan pangan. Usaha pertanian termasuk penyediaan pangan sangat tergantung pada potensi sumber daya alam, kenyataannya potensi sumber daya alam rusak akibat perubahan iklim dampak dari pemanasan global. Perubahan iklim bagi daerah tropis ditandai dengan peningkatan suhu dan penurunan curah hujan, sehingga menuntut strategi dan pendekatan baru dalam konservasi air dari presipitasi yang tidak teratur eratic, variasi musim yang tinggi dan peningkatan laju evapo-transpirasi dalam berbagai ekosistem. Secara umum pemanasan global didefinisikan dengan meningkatnya suhu permukaan bumi oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Meski suhu lokal berubah- ubah secara alami, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir suhu global cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan data yang terekam sebelumnya. Situasi dan perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir khususnya dalam dekade di akhir abad 20 dan awal abad 21. Seperti yang telah kita ketahui segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak feasible light. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas- gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang- ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata bumi terus meningkat Winarso, 2009. Usaha pertanian juga berkontribusi besar dalam menghasilkan gas rumah kaca yang berpengaruh terhadap pemanasan global. Menurut Nguyen 2008 maupun UNFCCC 2009 terdapat dua macam gas rumah kaca, yaitu nitrous oxide dan methane yang dihasilkan dari kegiatan pertanian yang setara dengan 8,5-16,5 milyar ton CO 2 . Artinya, kegiatan pertanian konvensional selama ini termasuk konversi hutan ke pertanian menimbulkan emisi carbon sebagai gas rumah kaca sebesar 17-32 dari total aktifitas manusia. Secara langsung kegiatan pertanian berkontribusi terhadap gas rumah kaca. Di antara gas rumah kaca tersebut, methane yang memiliki daya pemanasan 20 kali lipat daripada CO 2 sejumlah 3,3 milyar ton setara CO 2 ; sedangkan nitrous oxide yang memiliki daya pemanasan 300 kali lipat daripada CO 2 sebanyak 2,8 milyar ton setara CO 2 , dan emisi CO 2 sebesar 40 juta ton setiap tahunnya. Greenpeace 2008 menghitung besarnya emisi langsung gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh usaha pertanian, yaitu 1 nitrous oxide 2,128 milyar ton setara CO 2 , sebagai akibat dari pemberian pupuk nitrogen sintetik yang berlebihan ke tanah yang sebenarnya hanya dimanfaatkan sebagian kecil oleh tanaman, sehingga sebagian besar menguap ke atmosfer sebagai nitrous oxide; 2 fermentasi internal dalam proses dekomposisi dan mineralisasi kotoran ternak menimbulkan emisi gas rumah kaca terutama methane sebesar 1,792 milyar ton setara CO 2 ; 3 pembakaran biomass tanaman maupun tumbuhan dalam pembukaan lahan maupun sisa panen menghasilkan emisi gas sebesar 672 juta ton setara CO 2 ; 4 sistem budidaya padi terutama sawah tergenang dan padi ladanghuma bakar semak belukar untuk pengolahan tanah menghasilkan emisi gas sebesar 616 juta ton setara CO 2 ; 5 pengelolaan limbah pertanian menghasilkan gas sebesar 413 juta ton setara CO 2 . Secara tidak langsung 157 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 aktifitas pertanian yang menghasilkan gas rumah kaca, di antaranya adalah: 1 Proses produksi pupuk anorganik sintetik yang memerlukan energi fosil unrenewable dalam jumlah besar boros, sehingga membebaskan CO 2 ke atmosfer sebanyak 300-600 juta tontahun atau setara dengan 1,2 dari total gas rumah kaca yang di atmosfer. Ini berarti bahwa intensifikasi pertanian dengan meningkatkan penggunaan pupuk sintetik akan memerlukan lebih banyak energi fosil yang dibakar dan menambah CO 2 ke atmosfer, sehingga efek rumah kaca yang ditimbulkan kian besar. 2 Kebutuhan input pertanian lainnya, mulai dari mekanisasi pengolahan tanah, industri perbenihan, penanaman, pengendalian gulma, yang menggunakan bahan kimiawi, hingga panen memerlukan energi fosil sebagai bahan bakar dan menghasilkan emisi gas sebesar 60 hingga 260 juta ton setara CO 2 , irigasi juga berkontribusi terhadap emisi gas sebesar 50 hingga 680 juta ton setara CO 2 , sedangkan produksi pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman menyumbangkan emisi gas sebesar 3 hingga 140 juta ton setara CO 2 setiap tahunnya. 3 Tata kelola dan konversi lahan ke pertanian termasuk dari hutan juga sebagai penyumbang besar emisi gas carbon sebesar 2,9 hingga 5,9 milyar ton setara CO 2 setiap tahunnya atau 6-17 dari total gas rumah kaca. Wanatani sebuah kompromi ekonomi dengan ekologi Belajar dari pengalaman program transmigrasi yang awalnya selalu mengkonversi kawasan hutan menjadi lahan permukiman, pertanian, perkebunan dan perikanan maka ke depan pendekatan dengan titik berat pengelolaan hutan lestari harus dapat diimplementasikan secara nyata. Wacana ini diketengahkan bukan hanya sekedar untuk memuaskan para pegiat lingkungan yang lebih condong pada sisi ekologi, melainkan juga untuk para pelaku dan praktisi yang mengejar hasrat pertumbuhan ekonomi guna pemerataan sosial. Dalam mengimplementasikan Hutan Inti Rakyat HIR mirip dengan pelaksanaan Perkebunan Inti Rakyat PIR, namun perbedaan menyolok adalah tidak adanya konversi hutan menjadi kebun maupun peruntukan lain. Dengan demikian pembangunan infra-struktur harus seiring dengan potensi dan fungsi ekologis hutan. Sejatinya HIR telah diterapkan secara tradisional oleh masyarakat suku terasing seperti Kubu dan suku hutan lainnya, tetapi dalam pelaksanaan seyogyanya lebih mendasarkan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi science and technology innovation based serta akses terhadap kelembagaan modern untuk permodalan, pengolahan dan pemasaran juga perlu disinergikan. Hal ini bukan mustahil, mengingat dewasa ini pengkerto-ajian terhadap fungsi hutan secara ekonomi terus diperjuangkan, sehingga nantinya para pelaku dan praktisi HIR dapat mendapat sebagian pendapatan tunai dari nilai potensi hutan dalam menyerap carbon sink reward under carbon trade. Wanatani dengan mengintegrasikan tanaman pangan, jamur, paku- pakuan, algae maupun ternak serta ikan merupakan kearifan lokal yang sangat memungkinkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan Widodo, 2011 2012. Dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB tentang hak atas pangan yang disusun oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada Bulan Februari 2004, kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas-komunitas, dan negara untuk menentukan sistem produksi pangan sendiri dalam berbagai jenis lapangan pertanian, perikanan, jenis sumber pangan dan tanah, serta kebijakan-kebijakan lainnya yang secara ekologi, sosial, ekonomi dan kebudayaan sesuai dengan keadaan-keadaan khusus specific masing- masing. Kedaulatan pangan adalah hak individu dan kolektif yang memberikan kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan keinginan sosial politik ekonomi guna mendapatkan dan memproduksi pangan sendiri, serta tindakan melawan terhadap kekuasaan perusahaan-perusahaan serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi pangan rakyat melalui perdagangan, investasi, serta alat dan kebijakan lainnya. Kedaulatan pangan menuntut hak rakyat atas pangan, yang menurut Food and Agriculture Organization FAO merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-uma maupun 158 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tadisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Menjamin pemenuhan hak rakyat untuk menjalani hidup yang bebas dari rasa takut dan bermartabat, baik secara fisik maupun mental, secara individu maupun kolektif. Dalam usaha mengatasi masalah kelaparan dan akses pangan, PBB melalui FAO memperkenalkan istilah “ketahanan pangan” dengan harapan adanya persediaan pangan setiap saat, semua orang dapat mengaksesnya dengan bebas dengan jumlah, mutu dan jenis nutrisi yang mencukupi serta dapat diterima secara budaya. Konsep tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Juga mengabaikan kenyataan di mana semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk pertanian murah serta bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini dibiarkan bahkan didorong atas nama perdagangan bebas yang disokong penuh oleh negara-negara maju. Hal ini tidaklah mengherankan sebab ketahanan pangan hanya sebatas pernyataan lembaga-lembaga pemerintah dan antar-pemerintah saja, sementara pelaksanaan dan tanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan pangan telah didefinisikan kembali yaitu dialihkan dari urusan negara menjadi urusan pasar. Prinsip dan strategi neoliberal untuk mencapai tujuan ketahanan pangan ini dijalankan oleh institusi-institusi multilateral seperti International Monetary fund IMF, World Bank WB, dan World Trade Organization WTO. Rekonseptualisasi ketahanan pangan ini pada akhirnya hanya menguntungkan negara-negara dan perusahaan- perusahaan yang paling kuat yang terlibat dalam perdagangan dan investasi pangan juga agribisnis. Kebijakan perdagangan neoliberal ini menekankan bahwa mengimpor pangan murah adalah jalan terbaik bagi negara-negara miskin untuk mencapai ketahanan pangan daripada memproduksi pangannya sendiri. Bank Dunia bahkan menegaskan bahwa perdagangan bebas sangat penting bagi ketahanan pangan, dengannya pemanfaatan sumber daya di dunia lebih efisien Malonzo, 2007. Widodo 2011 mengingatkan kembali untuk menyimak pengalaman krisis multidimensi 1997, sebagai bukti bahwa Indonesia telah berhasil digerogoti oleh agensia Neolib yang sejak awal implementasi revolusi hijau mengarahkan rakyat untuk mengkonsumsi hanya beras dan serelia tertentu yaitu terigu yang harus diimpor. Energi pemerintah dan rakyat Negara seolah habis untuk mencapai swasembada beras, yang merapuhkan sendi kedaulatan pangan, akibat abai terhadap sumber pangan lokal berikut kearifan lokal dalam proses penyediaanya. Lima tahun sejak saran Bank Dunia akhirnya kerapuhan akibat penggerogotan tersebut menampakkan hasilnya, yaitu krisis multidimensi yang disertai krisis pangan, sehingga Indonesia terjebak food trap sebagai Negara yang harus menjadi asuhan atau penerima bantuan pangan dari World Food Program. Ironisnya, Singapura saat itu juga turut menyumbang beras, meski tidak memiliki lahan pertanian. Bantuan pangan yang diberikan melalui jaring pengaman sosial social safety net sejak 1998 berupa raskin beras untuk masyarakat miskin menimbulkan masalah baru hingga sekarang. Oleh karena itu, guna mengatasi masalah dengan tuntas, kedaulatan pangan harus diwujudkan, seiring dengan tuntutan untuk melestarikan hutan sebagai fasilitas global. Perangkat hukum sebagai payung usaha wanatani Tabel 1 telah termaktub dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia UURI. Wanatani merupakan kompromi agar pangan dari hutan lestari dapat terwujud, sehingga adaptasi, mitigasi terhadap perubahan iklim akibat pemanasan global serta produksi pangan menjadi satu kesatuan langkah, tidak terpisahkan integrated, comprehensive, holistic and impartial. Implementasi imaginasi menjadi inovasi Sejarah perabadan manusia dalam membangun dan mengembangkan sistem pertanian terkait dengan industri, jasa dan sektor lainnya, apabila rangkaian sistem tidak terpadu akan menimbulkan masalah serta mengancam kelangsungan peradaban manusia. Pengalaman yang panjang dalam berusaha tani konvesional yang umumnya dengan mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian terbuka Grafik 1, 159 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 kemudian deraan perubahan iklim yang menuntut dipertahankan hutan lestari memunculkan wanatani seyogyanya diterapkan secara luas. Imaginasi, intuisi dan inspirasi kolektif dari semua fihak sebagai pelaku dan pengamat stakeholders perlu disinergikan sebagai ide kolektif idea of community yang menjadi dasar penyusunan agenda penelitian dan pengembangan wanatani. Selanjutnya investigasi investigation dengan ketelitian serta kecermatan tinggi seyogyanya dilakukan untuk mendapatkan invensi invention yang handal dan meyakinkan. Invensi yang merupakan hasil temuan dari aktivitas penelitian perlu dipublikasikan, sehingga dapat diverifikasi dan dikaji ulang oleh fihak lain. Dengan demikian invensi tersebut akan menjadi lebih baik, sebab telah diverifikasi dan diperbaiki sesuai sumbang saran para pelaku dan pemerhati. Investasi atau pembiayaan yang lebih besar justru diperlukan pada tahap berikutnya, agar invensi yang telah diverifikasi dapat diterapkan pada skala lebih luas pada berbagai agroekologi dengan ragam sosial ekonomi dan budaya yang berbeda. Dari kegiatan tersebut diikuti dengan pengkajian dampak impact assesment terhadap invensi yang telah matang dan siap menjadi inovasi. Oleh karena itu dalam merumuskan imaginasi seyogyanya sudah mewadahi berbagai wawasan yang inspiratif dan diperlukan ketajaman instuisi guna merakitnya menjadi hasil penelitian yang inventif, sehingga layak untuk dirakit menjadi inovasi yang dapat menyejahterakan masyarakat di sekitar hutan. Idealnya jika kegiatan tersebut dari awal atau hulu hingga hilir dapat dilaksanakan secara partisipatif, sehingga pengembangan dan penyebarannya akan secara sadar dapat terus dievaluasi dan diverifikasi oleh banyak fihak. Dengan demikian tatkala inovasi baru tersebut direkomendasikan dalam skala yang masif tidak menimbulkan kerugian finansial bagi masyarakat desa hutan. Perlu difahami bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan umumnya tergolong dalam Program Desa Tertinggal dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi. Masyarakat di sekitar hutan yang mengelola atau bertani di kawasan hutan umumnya hanya berlahan sempit atau bahkan tidak memiliki lahan garapan, sehingga mereka memang benar-benar memerlukan lahan garapan di kawasan hutan sebagai sumber matapencaharian ekonomi Gambar 1 Gambar 2. Gambar 1. Wanatani sebagai kompromi aspek ekonomi dan ekologi Sumber CGIAR, 2013. Sebenarnya bagi masyarakat di sekitar hutan yang menggarap lahan hutan juga menguntungkan dari sisi pelestarian hutan, sebab pembalakan liar maupun terjadinya kebakaran hutan dapat dicegah. Hal tersebut berdasarkan atas pengalaman pihak Perhutani di kawasan yang dikelola oleh LMDH untuk berbagai keperluan mulai pemanfaatan lahan di bawah tegakan untuk tanaman pangan, obat serta pemeliharaan lebah madu hingga pengembangan wisata kondisi hutan relatif terjaga. Sebab fihak LMDH juga turut bertanggung jawab dalam mengawasi dan menjaga keutuhan hutan, yang pada gilirannya mendapat distribusi keuntungan tatkala kayu ditebang. Kini di beberapa kawasan wana wisata, justru hutan sangat dipertahankan utuh, jika tanaman aneka ubi ditanam di sela pepohonan di bawah tegakan juga akan 160 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 menambah pendapatan masyarakat. Apalagi jika hasil panen dapat diproses menjadi produk siap saji yang dapat dijajakan ke pada para pengunjung wana wisata, maka upaya tersebut akan mendorong tercapainya kesejahteraan masyarakat yang lebih mantap. Jika masyarakat sekitar hutan telah mapan dan sejahtera, maka mereka akan menjaga kelestarian hutan sebagai sumber mata pencaharian yang lestari lumintu. Kebakaran hutan yang kini marak, menuai protes dari beberapa negara tetangga akibat kabut atau asap yang menganggu pandangan serta memedihkan mata, sehingga memerlukan penanganan secepatnya. Integrasi tanaman aneka ubi dengan ikan nila gurami dalam kolam atau parit di bawah tegakan hutan dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan ditinjau dari aspek pre-emptif, preventif dan represif. Pre-emptif, kehadiran tanaman aneka ubi menggeser dominasi gulma jika kering rawan terbakar; selain itu tersedianya kolam parit juga menyediakan air untuk pemeliharaan ikan nila gurami yang ransum dominan dapat berupa daun talas, keladi dan aneka ubi lain. Preventif tersedianya air juga menjadikan kondisi lembah, sehingga dapat mencegah kebakaran hutan. Represif jika terjadi atau timbul kebakaran hutan, tersedianya air di kolam dan parit dapat sebagai bahan untuk memadamkan api sebagai penyebab terjadinya kebakaran di kawasan hutan. Inovasi yang kreatif dan produktif semacam ini perlu dikembangkan dalam rangka untuk mempercepat pertumbuhan dan pemerataan pendapatan, sehingga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan juga turut menikmati kesejahteraan. Guna merakit inovasi yang menyejahterakan rakyat, maka fihak inovator harus memiliki empati dan rasa simpati terhadap pengguna. Hal tersebut dapat dicapai dengan tata cara partisipatif yang tulus, sebagai perwujudan anggota masyarakat yang membudayakan kegotong-royongan Gambar 3. Dalam sistem ekonomi gotong royong maka pertumbuhan dan pemerataan akan saling mengisi sesuai prinsip humanistik manusia saling menyanyangi homo homini socius bukan saling bertikai dan kanibalistik homo homini lupus. Gambar 2. Keladi Xanthosoma sp termasuk jenis tanaman ubi yang sesuai untuk ditanam di bawah tegakan hutan, sebab pada taraf naungan 70 masih memberikan hasil ubi memadai. Daun dan biomasa lain dapat sebagai bahan pakan ikan gurami nila. Tabel 1. Landasan Undang-Undang Republik Indonesia sebagai paying hokum dalam Usaha Wanatani UURI Nomor Tentang UURI No 121992 UURI No 411999 UURI No 492000 Sistem Budidaya Tanaman Kehutanan Perlindungan Varitas Tanaman Peraturan Pemerintah No 452004 UURI No 322009 UURI No 412009 Perlindungan Hutan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan UURI No 182012 UURI No 192013 Pangan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 161 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENUTUP Atas dasar pemaparan hasil penelitian dan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan bahwa potensi yang besar dari tanaman aneka ubi untuk diintegrasikan ke dalam sistem wanatani memerlukan pemahaman prima, mengingat masyarakat penggarap di sekitar hutan umumnya dalam kelompok prasejahtera yang sangat memerlukan peningkatan kesejahteraan. Dengan demikian perakitan inovasi yang berasal dari imaginasi harus riil dan membumi, sehingga masyarakat penggarap lahan di bawah tegakan hutan terhindar dari resiko rugi dan mampu memperoleh peningkatan kesejahteraan. Justru karena itu inovasi yang diterapkan secara massif oleh masyarakat harus disikapi dengan kesiapan mulai hulu hingga hilir, agar masyarakat tidak kesulitan dalam mengkonversi produktivitasnya ke dalam bentuk finansial. Kepedulian dan kerjasama partisipatif berbagai fihak sangat diperlukan agar evaluasi dan verifikasi dapat obyektif dan rasional. Insentif layak dianugerahkan kepada masyarakat penggarap lahan di bawah tegakan hutan yang terlibat aktif dalam mengamankan dan melestarian hutan, sehingga pengurangan emisi CO 2 dapat berlangsung efektif. Fakta di lapangan menunjukkan dengan jelas bahwa kawasan hutan yang tergarap oleh masyarakat di sekitar akan aman dari resiko perambahan dan penebangan liar maupun terjadinya kebakaran hutan illegal loging and forest on fire. Justru itulah insentif sebaiknya dalam bentuk finansial dihatrukan kepada petani maupun LMDH yang bergiat aktif dalam melestarikan hutan, bukan hanya sekedar piagam atau surat penghargaan. UCAPAN TERIMA KASIH Rasa terima kasih perlu penulis sampaikan ke pada fihak Perhutani KPH. Blitar hingga Pusat, Yayasan ATAS dan masyarakat desa Ampelgading kecamatan Selorejo kabupaten Blitar yang turut membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini. Juga ke pada Balitkabi yang mengalokasikan anggaran pada periode 2013- 2014 untuk ubikayu di bawah tegakan jati. DAFTAR PUSTAKA BPS. 1982-2015 Statistik Indonesia. Statistic Indonesia. Statistical Year Book of Indonesia 1981 to 2014. Badan Pusat Statistik Jakarta Indonesia CGIAR. 2013. Hutan Pohon dan Wanatani: Penghidupan, bentang alam dan tata kelola. Consultative Group for International Agricultural Research CGIAR. 8p. Cock, J. H. 1985. Cassava New Potential for a Neglected Crop. International Agricultural Development Service. Westview Press Inc., Colorado USA. 191 p. Flach, M and Rumawas, F. Eds.. 1996 Plant Resources of South-East Asia No 9. Plants yielding non-seed carbohydrate. Backhuys Publishers, Leiden. 237 p. Howeler, R.H. 2012. The Cassava Handbook. Centro Internacional de Agricultura Tropical CIAT office for Asia. Chatuchak, Bangkok Thailand. 810 p. Pieli, K., S. Angel and L. Mansueti 2008. Understanding Cost-Effectiveness of Energy Efficiency Programs: Best Practices, Technical Methods, and Emerging Issues for Policy-Makers. Energy and Environmental Economics, Inc. and Regulatory Assistance Project. National Action Plan for Energy Efficiency. United State of Environmental Protection Agency. 96 pages. Piyachomkwan, K., S. Walapatit, T. Vetthaisong, S. Keawsompong, and K. Sriroth. 2005. Advanced technology in ethanol production from cassava chips. In Second International Symposium on Sweetpotato and Cassava. Malaysian Agricultural Research and Development Institute MARDI in cooperation with International Society for Horticultural Science ISHS. Kuala Lumpur, 14-17 June 2005. pp211. Setiadi, S. 2005. Teknologi produksi bioetanol dan pemanfaatannya sebagai bahan bakar hayati. Makalah dalam Semiloka Nasional Pengembangan Energi Alternatif Berbasis 162 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Masyarakat. Jakarta, 19-30 November 2005. Simatupang, P. dan N. Syafaat. 2000. Industrialisasi berbasis pertanian sebagai grand strategy pembangunan ekonomi nasional. Forum Penelitian Agroekonomi FAE Volume 18nomor 1 dan 2:1-15. Simatupang, P. and E. Fleming. 2001. Food Security Conditions and Problems in South Pacific Island Countries. Palawija News 182:5-16. Sriroth, K and K. Sangseethong. 2005. Biodegradable plastics from cassava starch. In Second International Symposium on Sweetpotato and Cassava. Malaysian Agricultural Research and Development Institute MARDI in cooperation with International Society for Horticultural Science ISHS. Kuala Lumpur, 14-17 June 2005. pp209. Subandi, Y. Widodo, N. Saleh dan L.J. Santoso. 2006. Inovasi teknologi produksi ubikayu untuk agroindustri dan ketahanan pangan. Dalam D. Harnowo, Subandi dan N. Saleh Eds. Prospek Strategi dan Teknologi Pengembangan Ubikayu untuk Agroindustri dan Ketahanan Pangan. Puslitbangtan Bogor. Pp 74-86. Widodo, Y. 1986. Pola pengembangan agroindustri ubikayu di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian V 3: 67-72. Widodo, Y. 1995. Ubi-ubian potensi dan prospeknya untuk dimanfaatkan dalam program diversifikasi. Majalah Pangan Media Komunikasi dan Informasi Nomor 22 VI:46-55. Widodo, Y. 2005. Managing canopy and space of cassava for inserting companion crops in a cropping system: an agronomic strategy for improving poor farmers’ income. In Second International Symposium on Sweetpotato and Cassava. Malaysian Agricultural Research and Development Institute MARDI in cooperation with International Society for Horticultural Science ISHS. Kuala Lumpur, 14-17 June 2005. pp135. Widodo, Y. 2007. Anticipating food and energy supply from rootcrops under various ecological complexity. Paper presented in the Eco Summit 2007. Jiuhua Beijing, 22- 27 May 2007. 14 pages. Widodo, Y 2008. Recent progress of cassava development in Indonesia and its transformation challenges from inferior food into various industrial and biofuel usages. Paper presented in the Global Cassava Partnership I Scientific Meeting. University of Ghent, Belgium 20-26 July 2008. 26 pages. Widodo, Y. 2009. Pengelolaan gulma dalam sistem tumpangsari terintegrasi tanaman pangan-hutan-ternak menuju hutan lestari Weed Management under Integrated Intercropping of Food crops-Forest- Livestock for Forest Sustainability. In Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional XVIII Himpunan Ilmu Gulma Indonesia HIGI Komda Jawa Barat dengan Fak Pertanian Universitas Padjadjaran UNPAD. Bandung 30-31 Oktober 2009. pp 221-230. Widodo, Y. and N. Prasetiaswati. 2011. Agronomic and economic consequences related to weed management in sweet potato farming. Paper presented in Weed Science Society of Indonesia WSSI Congress at Padjadjaran University Bandung 9-11 November, 2010. Jurnal Gulma dan Tumbuhan Invasif Tropika Juli 2011 Vol 22:70-79. Widodo, Y. 2011a. Peluang bisnis kerakyatan hasil industri agroforestry menuju hutan lestari. Makalah utama disampaikan pada Rapat dan Pembahasan Agroforestry di Perum Perhutani, Gedung Manggala Wana Bhakti Jakarta 24 januari 2011. 15 p. Widodo, Y. 2011b. Strategi Sinergistik Peningkatan Produksi Pangan dalam Hutan Lestari Melalui Wanatani. PANGAN Media Informasi dan Komunikasi BULOG Vol 203:251-268. Widodo, Y. 2012a. Food from the forest of Java: tropical agroforestry experiences in 163 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 feeding dwellers and keeping the environment greener. In C.A, Brebbia Ed. SUSTAINABILITY TODAY. Wessex Institute of Technology WIT Press, Southampton, Boston. Printed in UK. Pp 281-393. Widodo, Y. 2012b. Ubi-ubian dalam Wanatani: Sumbangsih Kearifan Lokal guna Mewujudkan Kedaulatan Pangan. Dalam Buku 2 Prosiding Seminar Nasional UNS. Pp 332-353. Widodo, Y. dan Radjit, B.S. 2013 Kinerja Wanatani: Telaah Keunggulan dari Sisi Ekonomi Kreatif Agro-forestry Performance: Advantages Elaboration from the Side of Creative Economy. Dalam Prosiding Seminar Nasional Perhepi-UNS. Pp 372-391. Tentang Penulis Yudi Widodo Lahir di Tulungagung, 14 Juni 1959. Penulis menamatkan pendidikan S1 di UNS, S2 di Unibraw-UGM dengan pengajar dari Belanda Australia. Sejak 1984 mengikuti pelatihan di IITA International Institute for Tropical Agriculture Ibadan Nigeria, kemudian 1985 berlatih di CIAT Centro Internacional Agricultura Tropical Cali Columbia Amerika Latin. Kemudian sejak 1988 aktif dalam forum seminar, konferensi internasional pada tanaman aneka ubi sekaligus sebagai anggota International Society of Tropical Root Tuber Crops ISTRC. Sejak 2001 oleh Preisden Megawati Sukarnoputri ditetapkan sebagai Ahli Peneliti Utama APU bidang Budidaya dan Produksi Tanaman Pangan Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi di litbang kementan hingga sekarang. Heny Kuntyastuti Lahir di Pasuruan, 20 September 1962. Ia menamatkan pendidikan S1 bidang Ilmu Tanah 1985 dan S2 bidang Agroklimatologi 1993 keduanya di IPB . Beberapa pelatihan yang pernah diikuti adalah tentang Metode Analisis Statistik di IPB; Statistical Soffware Training 2000; Apresiasi teknologi informasi 2002; Workshop Pemahaman SNI 19-17025:2000 2003; Audit Internal dan Pengelolaan Laboratorium di Bogor 2003; Apresiasi Pengelolaan Laboratorium Penguji Mutu Pupuk, Pestisida dan Penguji Efektivitas Pupuk 2003; Validasi Metoda dan Estimasi Ketidakpastian Laboratorium Pengujian Berdasarkan SNI 19- 17025-2000 2005. Kini bekerja sebagai peneliti bidang studi Kesuburan dan Biologi Tanah di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi pada litbang kementan hingga sekarang. Jenjang fungsional Peneliti Muda diperoleh pada tahun 2002 dan Peneliti Madya 2010. 164 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 2. Rekapitulasi hasil kegiatan wanatani komoditas pangan pakan di bawah tegakan hutan, Dusun Babadan Desa Ampelgading Kecamatan SelorejoKabupaten Blitar 2011-2016. Jenis Kegiatan Tujuan Waktu Pelaksanaan Pelaksana Identifikasi masalah pemahaman kelompok Untuk mendriskripsikan permasalahan kekurangan pangan di desa tertinggal serta menggali potensi guna menyelesaikan masalah September – November 2011 Petugas Kecamatan Selorejo Ibu Sunarsri pemberi saran awal, Desa Ampelgading, LMDH, Balitkabi, Perhutani Yayasan ATAS Penyusunan rencana aksi Untuk menyiapkan rencana beserta pendanaan November- Desember 2011 LMDH Ampelgading, Penggarap Dusun Babadan Yayasan ATAS Penyiapan lahan lokasi rintisan Untuk membersihkan lokasi dari tunggul- tunggul dan sisa batang yang rebah-rusak akibat bencana putting beliung November- Desember 2011 Penggarap Dusun Babadan Yayasan ATAS Penanaman Untuk memberikan bukti bahwa aneka ubi layak ditanam di bawah tegakan hutan Desember 2011 Penggarap Dusun Babadan Yayasan ATAS Monitoring Evaluasi Untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan kinerja serta tanggapan para penggarap Januari – Desember 2012 Penggarap Dusun Babadan Yayasan ATAS Pengembangan perluasan Untuk memperluas pengusahaan tanaman aneka ubi di bawah tegakan Desember 2012- saat ini hingga 2020 Penggarap Dusun Babadan Yayasan ATAS Tabel 3. Kinerja ekonomi wanatani di Dususn Babadan Desa Ampelgading Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar 2012-2016. Jenis Komoditas Biaya awal buka lahan penanaman Rp Hasil tha Pendapatan Rp Rumput gajah Kaliandra di bawah pinus mahoni 7.500.000 60 t hijauan Tidak dijual untuk pakan ternak sendiri Jagung di bawah pinus 12.000.000 4,8 t Rp 2500kg Impas hanya kembali modal untuk membuka lahan awal Ubikayu di bawah pinus 10.000.000 28 t Rp 900kg 15.200.000 Ubijalar di bawah pinus 10.000.000 12 t Rp 1200kg 4.400.000 Keladimbote di bawah mahoni 8.000.000 14 t Rp 700kg 1.800.000 Kacang tanah di bawah pinus 11.000.000 2,5 t Rp 5000kg 1.500.000 165 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Tabel 4. Perkembangan wanatani di Dususn Babadan Desa Ampelgading Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar 2012-2016. Jenis komoditas awal yang ditanam tahun 2012 Permasalahan dalam usahatani tahun 2014 Pola usahatani yang diminati berkembang Usaha lain yang berkembang Rumput gajah Kaliandra Relatif tidak ada gangguan Rumput gajah Kaliandra Usaha ternak kambing dan domba serta sapi merupakan tabungan hidup bagi pesanggem penggarap, sehingga rumput gajah dan kaliandra di bawah tegakan di seluruh kawasan dapat sebagai sumber pakan utama. Hijauan dari biomasa tanaman ubikayu, ubijalar kacang tanah sebagai pakan tambahan bagi ternak. Usaha perikanan air tawar dapat dirintis, sebab sumber air cukup memadai. Saat ini sedang diupayakan untuk menyalurkan air dengan pipa lebih besar, sehingga selain untuk mencukupi MCK juga usaha ikan. Jenis ikan gurami nila lebih cocok, sebab pakan daun keladi tersedia sepanjang tahun. Usaha lebah madu perlu dikembangkan, mengingat bunga-bunga dari vegetasi hutan juga tersedia sepanjang tahun Jagung Gangguan monyet, landak babi hutan Jagung jika ditanam monokultur, setelah panen lahan bero, sehingga ditumpangsari dengan ubikayu Ubikayu Kadangkala gangguan babi hutan landak Upaya peningkatan produktivitas ubikayu dengan varietas baru maupun pupuk organic anorganik terus diupayakan Ubijalar Gangguan monyet, landak, babi hutan hama boleng Ubijalar setelah panen, lahan bero. Ditanam tumpangsari kurang baik Keladimbote Kadangkala gangguan babi hutan landak Keladi kian meluas ditanam di bawah tegakan dengan tingkat nangan tinggi Kacang tanah Gangguan monyet, landak babi hutan Kacang tanah tumpangsari dengan ubikayu 166 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Imagination Inspiration Intuition Collective Idea for Investigation Invention Illustration for gathering Public Idea Publication Investment Impact assessment Implementation Recommendable INNOVATION DEVELOPMENT TECHNOLOGY PARTICIPATORY D IS C O V E R Y DISSEMINATION OF INNOVATION Gambar 3. Skema 10 langkah dari Imaginasi menjadi inovasi yang dapat diimplementasikan seiring dengan konsepsi skema 3D Widodo, 2014. 167 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Pengembangan Kapabilitas Dinamik Melalui Proses Pembelajaran Teknologi: Studi Kasus PT.RTI Developing Dynamic Capabilities Through Technological Learning: Case Study of PT. RTI Nur Laili Pusat Penelitian Perkembangan Iptek – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia PAPPIPTEK-LIPI nurl005lipi.go.id ; nurlaili.lipigmail.com Keyword A B S T R A C T dynamic capabilities, technological learning, water technology, license, RO membrane In the market conditions that dynamic with changing needs, industry must innovate to improve its competitiveness. In the context of Indonesian industry which is dominated by SMEs, limited R D resources were found, related to investment limitations. Technological learning on external technology resources becomes one of the firm’s alternative in innovating. This paper presents an empirical study that examines the development of dynamic capability in firm through technological learning. Qualitative approach is conducted through single case study at PT. RTI, producer of water installation using RO membrane. The result of the case study shows that technological learning through RO membrane license from Hydranautics is continuous, resulting in accumulation of knowledge and expertise of water installation using RO membrane. Technological learning has become a media for firm’s dynamic capability development. The development of dynamic capability occurs through enhancement of learning capability, R D capability and manufacturing capability. Kata Kunci S A R I K A R A N G A N kapabilitas dinamik, pembelajaran teknologi, teknologi air, lisensi, membran RO Pada Kondisi pasar yang bersifat dinamis dengan kebutuhan yang selalu berubah, industri harus berinovasi untuk meningkatkan daya saingnya. Dalam konteks industri Indonesia yang didominasi oleh UKM, pada umumnya industri memiliki keterbatasan sumber daya RD, terkait keterbatasan investasi. Pembelajaran teknologi terhadap sumber-sumber teknologi eksternal menjadi salah satu alternative perusahaan dalam berinovasi. Makalah ini memaparkan studi empirik yang mengkaji mengenai pengembangan dynamic capability di perusahaan melalui pembelajaran teknologi. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui studi kasus tunggal di PT. RTI, perusahaan penghasil IPAL membran RO. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa pembelajaran teknologi melalui lisensi membrane RO dari Hydranautics terjadi secara kontinyu, sehingga terjadi akumulasi knowledge dan kepakaran teknologi IPAL membrane RO. Pembelajaran teknologi membran RO telah menjadi salah satu media pengembangan dynamic capability perusahaan. Pengembangan dynamic capability terjadi melalui peningkatan kapabilitas pembelajaran, kapabilitas litbang dan kapabilitas manufaktur perusahaan. © Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 168 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 PENDAHULUAN Dalam era globalisasi, industri dihadapkan dengan pasar yang bersifat dinamis dan kebutuhan pasar yang selalu berubah. Industri dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang dinamis tersebut, salah satunya dengan mengembangkan inovasi teknologi. Performansi suatu perusahaan akan meningkat melalui inovasi teknologi, dimana implikasinya adalah peningkatan daya saing industri Gopalakhrisnan Damanpour, 1996. Perusahaan memerlukan sumber daya tertentu dalam mengembangkan inovasi teknologi, misalnya kompetensi teknologi inti perusahaan Kalmuk dan Acar, 2015. Pengembangan inovasi sendiri biasanya dilakukan di unit litbang perusahaan, dengan disertai oleh keputusan investasi perusahaan. Pengembangan inovasi teknologi dilakukan menggunakan sumber internal dan eksternal perusahaan. Secara internal, inovasi teknologi dikembangkan melalui aktivitas dan fungsi litbang yang dibuat melalui proses manufaktur Kim dan Lee, 2002. Sedangkan secara eksternal, pengembangan inovasi melalui akuisisi knowledge eksternal Hitt dkk, 2000. Dalam konteks industri Indonesia yang didominasi oleh UKM, pada umumnya industri memiliki keterbatasan sumber daya dan RD, terkait keterbatasan investasi. Kondisi ini menjadi salah satu hambatan bagi industri terutama UKM untuk mengembangkan inovasi. Pasokan teknologi diperoleh dari sumber-sumber eksternal, salah satunya melalu pembelajaran teknologi technological learning. Pembelajaran teknologi memiliki peranan penting dalam mendukung kemampuan perusahaan dalam mengembangkan, mempertahankan, dan mengeksploitasi kompetensi inti Kocoglu dkk, 2012. Dalam jangka panjang, pembelajaran teknologi juga akan meningkatkan kemampuan perusahaan dalam menyusun strategi berbasis teknologi. Pembelajaran teknologi technological learning didefinisikan sebagai proses dimana suatu perusahaan mengkreasikan, memperbarui dan meningkatkan kapabilitas teknologinya dengan memanfaatkan sumber daya perusahaan baik yang bersifat tacit maupun eksplisit Carayannis, 2000. Bell 1984 mengemukakan tipe-tipe pembelajaran bagi perusahaan- perusahaan di negara berkembang yakni learning by doing, learning by operating, learning from changing, learning by searching, learning by hiring, learning by training, dan learning by system performance feedback. Pengembangan dari tipe-tipe pembelajaran tersebut Marcelle, 2004 adalah dengan menambahkan learning by sharing, learning by field experimentation, serta learning by large-scale project management. Kajian mengenai pembelajaran teknologi telah banyak ditemukan di literatur, dimana salah satu hal yang menjadi fokus adalah eksploitasi teknologi untuk meningkatkan kapabilitas spesifik di perusahaan. Pembelajaran teknologi yang dilakukan secara intensif akan memunculkan kapabilitas baru perusahaan dalam bentuk aktivitas, rutin, dan mental model yang baru di perusahaan, yang memungkinkan pembelajaran inter-organisasi yang lebih luas Teece dan Pisano, 1994. March 1991 berargumen bahwa pembelajaran teknologi melalui eksplorasi akuisisi teknologi baru akan efektif dalam meningkatkan perfomansi perusahaan jika dilakukan paralel dengan eksploitasi sumber daya dan kemampuan yang telah dimiliki perusahaan existing resources and skills. Kemampuan untuk eksplorasi teknologi eksternal dan eksplorasi sumber daya internal ini termanifestasi sebagai kapabilitas dinamik dynamic capability. Kapabilitas dinamik merupakan kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi lingkungan yang berubah cepat. Makalah ini memaparkan studi empirik yang mengkaji mengenai pengembangan dynamic capability di perusahaan melalui pembelajaran teknologi. Studi empirik dilakukan melalui studi kasus tunggal di perusahaan teknologi pengolahan air bersih yaitu PT. RTI, yang berlokasi di Jakarta. PT. RTI merupakan perusahaan dengan kompetensi inti mengembangkan instalasi pengolahan air bersih 169 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dengan air baku berupa air laut, dengan menggunakan teknologi membran reverse osmosis RO. Pembelajaran teknologi dilakukan oleh perusahaan untuk teknologi membran RO melalui lisensi dari perusahaan Hydranautics, AS.

1. METODOLOGI

Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan studi kasus tunggal di PT. RTI. Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui serangkaian wawancara dengan direktur, manager teknik di PT. RTI, serta melalui wawancara dengan engineer asing yang merupakan adviser dari perusahaan membran RO Hydranautics, Amerika Serikat. Selain itu juga dilakukan analisis konten terhadap data sekunder,antara lain dokumen-dokumen teknis proyek instalasi pengolahan air bersih dengan teknologi membran RO yang dikembangkan oleh PT. RTI. Data primer dan data sekunder selanjutnya dianalisis secara naratif deskriptif untuk memaparkan proses pembelajaran teknologi yang terjadi di PT. RTI, serta pengaruhnya terhadap pengembangan dynamic capability di perusahaan. Kerangka analisis yang digunakan di makalah ini merupakan pengembangan dari kerangka analisis yang dikemukakan oleh Kocoglu dkk 2012. Pembelajaran teknologi yang dilakukan oleh suatu perusahaan melatih dan meningkatkan kapabilitas perusahaan dalam tiga aktivitas, sebagai berikut: 1. Screening lingkungan eksternal. 2. Beradaptasi dengan struktur,proses dan sumber daya internal 3. Meningkatkan mekanisme umpan balik yang memungkinkan perbaikan kontinyu yang terjadi secara simultan dengan aktivitas pertama dan kedua. Peningkatan kapabilitas perusahaan dalam ketiga aktivitas itu termanifestasi pada kapabilitas pembelajaran, kapabilitas litbang dan kapabilitas manufaktur perusahaan yang membentuk kapabilitas dinamik perusahaan. Kerangka analisis tersebut digambarkan pada gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Kerangka Analisis Sumber: Modifikasi dari Kocoglu dkk 2012

2. HASIL DAN DISKUSI

Studi kasus di PT.RTI dianalisis secara deskriptif meliputi proses pembelajaran teknologi membran RO, dan pengembangan dynamic capability di perusahaan. PT. RTI merupakan perusahaan lokal dengan struktur modal PMDN, yang berlokasi di Jakarta dan memiliki workshop di Tangerang. Kompetensi inti perusahaan pada bidang pengembangan instalasi pengolahan air laut IPAL dengan menggunakan membran RO. Sejak tahun 1990, membran RO yang digunakan oleh PT. RTI merupakan produksi dari Hydranautics, produsen membran RO asal Amerika Serikat. Pembelajaran teknologi • Screening lingkungan eksternal. • Beradaptasi dengan struktur,proses dan sumber daya internal • Meningkatkan mekanisme umpan balik yang memungkinkan perbaikan kontinyu Performansi perusahaan • Kapabilitas pembelajaran • Kapabilitas litbang • Kapabilitas manufaktur Pengembangan dynamic capability 170 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Pembelajaran Teknologi Membran RO Pembelajaran teknologi di PT. RTI dimulai ketika pada tahun 1990 perusahaan memutuskan strategi pada pengembangan instalasi pengolahan air laut IPALmenggunakan membran RO. Dimana sebelumnya perusahaan juga mengembangkan instalasi pengolahan air IPA namun menggunakan teknologi konvensional, dan kompetensi perusahaan hanya pada pengembangan infrastruktur instalasi perpipaannya. Strategi ini dipilih perusahaan mengingat banyaknya perusahaan sejenis di pasar teknologi air bersih di Indonesia. Perusahaan merasa perlunya pengembangan kompetensi inti khusus yang bisa memunculkan daya saing perusahaan di persaingan pasar. Pada saat itu,membran RO merupakan teknologi yang relatif baru di pasar, dimana untuk pengolahan air laut umumnya masih menggunakan teknologi desalinasi air laut yang memerlukan energi yang besar. Pada tahap inilah perusahaan melakukan proses screening lingkungan eksternal, yang merupakan tahapan pertama dalam pembelajaran teknologi. Di Indonesia, belum ada produsen membran RO, sehingga perusahaan harus mengimpor dari perusahaan asing. Perusahaan memilih untuk menggunakan membran RO dari Hydranautics melalui lisensi. Pada proses lisensi ini, Hydranautics menempatkan satu orang engineering-nya, yang berperan sebagai technical advisor di PT. RTI. Untuk IPAL yang menggunakan membran RO, desain memiliki peranan penting dalam menentukan efisiensi dan efektifitas kinerja IPAL. Maintenance dan umur pakai membran RO juga sangat dipengaruhi oleh desain IPAL yang tepat. Dalam proses lisensi membran RO Hydranautics, PT.RTI melakukan adaptasi dengan sumber daya internal perusahaan. Hydranautics menerapkan standar kualitas yang ketat untuk setiap desain IPAL yang menggunakan membran RO produksinya. Setiap desain IPAL harus mendapat persetujuan dari Hydranautics melalui technical advisor yang ditempatkan di perusahaan. Proses pengembangan desain merupakan proses utama dalam pembelajaran teknologi di PT. RTI. Perusahaan semula menggunakan teknologi konvensional dalam membangun IPA dan hanya memiliki kompetensi di bidang perpipaan dan infrastruktur. Setelah melakukan lisensi, perusahaan harus beradaptasi untuk mengembangkan IPAL dengan teknologi membran RO. Secara teknis, perusahaan belajar desain penyusunan array membran RO, serta efisiensi energy yang diperlukan oleh IPAL. IPAL membran RO memerlukan konsumsi energy yang tinggi untuk menghasilkan tekanan terhadap air laut sehingga bisa melewati membrane RO dan dihasilkan air bersih. Proses approval yang dilakukan oleh Hydranautics menyebabkan perusahaan harus melakukan revisi terhadap desain IPAL nya sebelum disetujui. Dalam proses revisi ini terjadi mekanisme umpan balik yang memungkinkan perbaikan kontinyu terhadap desain IPAL yang mereka kembangkan. Pengembangan Dynamic Capability Teece dan Pisano 1994 mengemukakan bahwa dynamic capability merupakan kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi lingkungan yang berubah cepat. Dynamic capability berpengaruh meningkatkan performansi perusahaan, dalam bentuk kemampuan untuk mengeksploitasi asset teknologi dan knowledge perusahaan yang akan membedakan perusahaan dengan kompetitornya di pasar Diaz-Diaz dkk, 2008. Pada level empiris, makalah ini menganalisis dynamic capability yang meliputi tiga hal, yaitu kapabilitas pembelajaran, kapabilitas litbang dan kapabilitas manufaktur Kocoglu dkk, 2012. Proses lisensi membran RO Hydranautics berdampak positif terhadap kapabilitas pembelajaran PT. RTI. Pergeseran kompetensi inti perusahaan terjadi dari yang semula membangun IPA dengan air baku berupa air permukaan menggunakan teknologi konvensional, menjadi membangun IPAL dengan air baku air lautpayau dengan teknologi membran RO. Proses pembelajaran teknologi 171 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 dilakukan oleh perusahaan melalui berbagai proyek pengembangan IPAL di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Lokasi pembangunan IPAL terbanyak adalah di Kepulauan Seribu, misalnya di Pulau Untung Jawa, Pulau Pramuka dan Pulau Bidadari. Kapabilitas pembelajaran perusahaan meningkat melalui pengembangan IPAL secara tailor made. IPAL membran RO bukan merupakan instalasi yang dapat dibangun dengan desain modular, meskipun memiliki kapasitas yang sama. Kondisi lokasi IPAL, berupa air baku merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap desain IPAL, sehingga IPAL yang dibangun di tiap lokasi akan memiliki desain yang berbeda satu sama lain walaupun memiliki kapasitas yang sama, misalnya sama-sama berkapasitas 5 literdetik. Proses tailor made yang dilakukan perusahaan untuk tiap IPAL meningkatkan kapabilitas pembelajaran, dalam hal desain kesesuaian IPAL terhadap air baku, termasuk proses pre-treatment yang paling efisien. Dalam mendesain IPAL, perusahaan melakukan pembelajaran melalui serangkaian pengujian air baku untuk mengetahui komposisinya, misalnya konsentrasi Fluor dan TDS nya, selanjutnya mendesain pre-treatment yang tepat. Perusahaan beberapa kali melakukan kesalahan pada desain IPAL, baik desain membran RO maupun desain pre-treatment. Kesalahan desain ini menyebabkan IPAL memiliki biaya maintenance yang tinggi, dan juga umur pakai membran RO yang lebih pendek. Kontinuitas pembelajaran perusahaan dalam pengembangan desain membran RO maupun pre-treatment menumbuhkan kompetensi inti yang saat ini telah dikuasai perusahaan, yaitu teknologi pengembangan IPAL. Hal ini sesuai dengan temuan Ernst dkk 2011, dimana pembelajaran yang berulang dalam aktivitas litbang akan menghasilkan akumulasi penguasaan teknologi, yang mengindikasikan peningkatan kepakaran teknologi pada proses iterasi. Dynamic capability perusahaan juga dilihat dari peningkatan kapabilitas manufaktur perusahaan. Kapabilitas manufaktur adalah kemampuan sistem produksi suatu perusahaan untuk berkompetisi di pasar melalui peningkatan efisiensi biaya, fleksibilitas, dan kualitas Mukerji dkk, 2010. IPAL merupakan produk diproduksi untuk tiap proyek, bukan merupakan produk modular yang diproduksi secara massal. Kapabilitas manufaktur perusahaan dianalisis dari kemampuan perusahaan untuk mendesain, serta membangun IPAL di lokasi tertentu sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh konsumen. Perusahaan menggunakan membran RO dengan beberapa ukuran yaitu 2 inchi, 2.5 inchi, 4 inchi dan 8 inchi. Dalam mendesain IPAL, perusahaan menggunakan acuan Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, serta SNI yang berkaitan dengan standarisasi air bersih dan air minum. Kapabilitas manufaktur dibentuk oleh kemampuan perusahaan untuk membuat array membran RO sehingga menghasilkan IPAL yang efisien. Array membran RO dengan desain yang baik akan mampu memproduksi air bersih secara efisien, artinya dengan kapasitas dan tekanan pompa yang tepat. Kapabilitas manufaktur yang terkandung dalam sistem teknologi perusahaan sering dikenal sebagai kemampuan untuk mengubah hasil litbang menjadi produk atau layanan komersil Guan Ma, 2003. Pembelajaran teknologi di perusahaan juga meningkatkan kapabilitas litbang dalam menghasilkan inovasi untuk pengembangan IPAL. Kendala utama dalam pengembangan IPAL adalah konsumsi energi yang tinggi, sehingga IPAL dengan teknologi membran RO menjadi alternatif terakhir untuk penyediaan air bersih. Wilayah dengan sumber air utama berupa air laut dan air payau biasanya adalah wilayah pesisir, dimana di sebagian besar wilayah pesisir Indonesia masih kekurangan pasokan energy. Kondisi inilah yang menjadi permasalahan utama dalam implementasi IPAL di wilayah pesisir. PT.RTI memandang kendala ini sebagai peluang untuk berinovasi melalui unit litbang perusahaan. Unit litbang di PT.RTI tergabung dengan unit produksi, dimana biasanya tergabung dalam tim penyelesaian proyek tertentu. Peningkatan kapabilitas litbang melalui pembelajaran teknologi terlihat dari inovasi hasil litbang yang menghasilkan sistem Energy Recovery ER. Sistem ER merupakan inovasi yang mampu 172 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 menurunkan kebutuhan energi IPAL hingga 40 lebih rendah konsumsi energinya. Pada proses produksi air bersih menggunakan IPAL membran RO, output yang dihasilkan berupa air bersih dan air reject buangan yang masih mengandung material yang tidak lolos dari penyaringan membran RO. Air reject ini pada IPAL biasanya akan dibuang keluar dari IPAL begitu saja. Air reject ini masih memiliki tekanan yang tinggi, hal inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan dan dikembangkan oleh unit litbang menjadi sistem ER. Prinsip yang digunakan dalam sistem ER adalah memanfaatkan tekanan pada air reject ini untuk menggerakkan turbin yang selanjutnya menghasilkan energi listrik. Melalui sistem ER ini, konsumsi energi dapat menurun hingga 40. Inovasi ini merupakan bukti peningkatan kapabilitas litbang PT. RTI karena inovasi ini bisa menjadi solusi dari permasalahan tingginya konsumsi energi IPAL membran RO. Lane dkk 2006 mengemukakan bahwa kapasitas litbang suatu perusahaan akan menghasilkan kepakaran di area iptek spesifik melalui serangkaian eksperimen dan eksplorasi berbasis pembelajaran. KESIMPULAN Hasil studi kasus menunjukkan bahwa pembelajaran teknologi melalui lisensi membrane RO dari Hydranautics terjadi secara kontinyu, sehingga terjadi akumulasi knowledge dan kepakaran teknologi IPAL membran RO. Pembelajaran teknologi membran RO yang dilakukan oleh PT. RTI melalui lisensi dari Hydranautics, telah menjadi salah satu media pengembangan dynamic capability perusahaan. Pengembangan dynamic capability terjadi melalui peningkatan kapabilitas pembelajaran, kapabilitas litbang dan kapabilitas manufaktur perusahaan. DAFTAR PUSTAKA Carayannis E. 2000. Investigation and validation of technological learning versus market performance. Technovation, 20: pp 389-400. Diaz-Diaz,N.L., Aguiar-Diaz, I., dan De Saa- Perez. 2008. The effect of technological knowledge assets on performance: The innovative choice in Spanish firms. Research Policy, 37: pp 1515-1529. Ernst H., Lichtenthaler U., Vogt C. 2011. The impact of accumulating and reactivating technological experiences on RD alliance performance. Journal of Management Studies, 48 6: pp 1194-1216. Gopalakrishnan S., Damanpour F. 1996. A review of innovation research in economics, sociology, and technology management. International Journal of Management Science, 25 1: pp 15-28. Guan J., dan Ma, N. 2003. Innovative capability and export performance of Chinese firms. Technovation, 23: 737-747. Hitt M., Ireland D., Lee H. 2000. Technological learning, knowledge management, firm growth and performance. Journal of Engineering and Technology Management 17: pp 231-246. Kalmuk G., Acar A.Z. 2015. The mediating role of organizational learning capability on the relationship between innovation and firm’s performance: a conceptual framework. Procedia-Social and Behavioral Sciences 210: pp 164-169. Kim Y., Lee B. 2002. Patterns of technological learning among the strategic groups in the Korean Electronic Parts Industry. Research Policy 31: pp 543-567. Kocoglu I., Imamoglu S.Z., Ince H., Keskin H. 2012. Learning, RD and manufacturing capabilities as determinants of technological learning: enhancing innovation and firm performance. Procedia-Social and Behavioral Sciences 58: pp 842-852. Lane P.J., Koka B.R., Pathak S. 2006. The reification of absorptive capacity: a critical review and rejuvenation of the construct. Academy of Management Review, 31 4: 833-863. 173 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 March J.G. 1991. Exploration and exploitation in organizational learning. Organization Science 2 1: pp 71-87. Mukerji B., Fantazy K., Kumar U., dan Kumar V. 2010. The impact of various dimensions of manufacturing capability on commercialization performace: evidence from Canadian manufacturing sector. Global Journal of Flexible Systems Management, 11 3: 1-10. Teece D., Pisano G. 1994. The dynamic capabilities of firms: an introduction. Industrial and Corporate Change 3 3: pp 537-556. 174 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016