dan tekanan terhadap industri, dan bagaimana para pelaku industri merespon peluang dan
tekanan tersebut melalui inovasi.
4. DATA DAN ANALISIS 4.1 Inovasi Produk
Secara tradisional jamu dijual dalam bentuk simplisia, yakni bahan tanaman yang telah
dikeringkan, ataupun dijual dalam bentuk cair oleh bakul jamu gendong. Cara pengolahan yang
sederhana ini membatasi ekspansi bisnis jamu, karena jamu menjadi cepat kadaluarsa ataupun
ataupun mudah rusak pada saat pendistribusiannya. Bisnis jamu bisa tumbuh
besar setelah jamu bisa diolah dalam bentuk serbuk dan dijual dalam kemasan-kemasan kecil.
Di sebagian masyarakatnya awalnya jamu lebih dikenal dibandingkan dengan obat konvensional
kimia, namun dalam perkembangannya, karena program kesehatan dari pemerintah hanya
mengandalkan pada obat konvensional ini, penggunaan obat menjadi lebih dominan
dibandingkan jamu. Ini yang kemudian mendorong industri untuk melakukan inovasi
untuk menghasilkan jamu dalam berbagai bentuk sediaan, sebagaimana bentuk sediaan obat
konvensional, seperti tablet, kapsul dan sirup. Selain itu, jamu yang awalnya dikenal memiliki
rasa pahit, oleh industri juga telah diubah menjadi memiliki berbagai rasa, terutama untuk
produk anak-anak. Dalam perkembangannya, pelaku-pelaku industri obat konvensional yang
telah memiliki kemampuan teknologinya, lebih bisa memanfaatkan peluang inovasi produk ini
dibandingkan dengan pelaku industri jamu. Misalnya produk andalan Soho Group berasal
dari temulawak yang diturunkan menjadi beberapa produk, yaitu Curcuma® Curvit®
untuk penambah nafsu makan, Curcuma® plus Emulsion Curvit® CL Emulsion® untuk
pertumbuhan anak, Curmax® Curliv® hepato protector, Curcuma Plus Milk produk
susu untuk anak-anak, dan Curcuma plus Imuns untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Persyaratan regulatori yang rendah dalam industri jamu, membuat peluang untuk melakukan inovasi
produk lebih terbuka. Kesempatan ini juga dilihat oleh perusahaan-perusahaan yang sebelumnya
dikenal sebagai produsen obat konvensional. Misalnya Soho Group, Kalbe, Dexa Medica yang
bisnis utamanya adalah obat konvensional, juga masuk dalam sektor industri jamu dan ternyata
sukses dalam memasarkan produk mereka.
Peraturan Kepala BPOM Nomor: HK.00.05.41.1384 memungkinkan industri untuk
mendaftarkan jamu dengan klaim baru dengan cara menyerahkan “dokumen yang mendukung
klaim indikasi sesuai jenis dan tingkat pembuktian” Pasal 16 Ayat 1 hurud b. Karena
persyaratan pembuktian ini tidak ketat, maka jamu dengan khasiat baru tetap bermunculan.
Menurut Bapak Dr. L.B. Kardono dari LIPI, terjadi siklus 5 tahunan untuk jamuobat herbal
baru. Misalnya di masyarakatnya kita pernah populer virgin coconut oil VCO, jamu dari buah
mengkudu yang diubah dalam berbagai bentuk sediaan, lalu buah merah, dan lain-lain. Apa yang
sempat dianggap berkhasiat dan memberikan harapan oleh masyarakatnya setelah sekian
periode kehilangan daya tariknya lagi. Namun, kemudian muncul obat herbal baru lagi yang
walaupun pembuktiannya belum jelas, tetapi disambut pasar dengan penuh antusias. Misalnya,
saat ini berbagai produk herbal yang berasal dari kulit buah manggis beredar di pasaran. Hal ini
merupakan mitos yang untuk sementara bisa dianggap sebagai peluang, namun dalam jangka
panjang mitos-mitos yang tak terbukti ini bisa menggerus reputasi industri jamu itu sendiri.
4.2 Dari Jamu ke OHT ke Fitofarmaka
Khasiat jamu didasarkan atas klaim masyarakat luas secara turun-temurun yang oleh pelaku
industri jamu disebut sebagai bukti empiris. Karena itulah pelaku industri tidak merasa perlu
untuk melakukan pengujian pada jamu yang khasiatnya sudah dipercaya masyarakat sejak
lama. Namun, dalam praktiknya industri juga menghasilkan jamu-jamu baru dengan klaim-
klaim manfaat yang baru, yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat. Ini berarti masyarakat secara
turun-temurun belum membuktikannya. Tiadanya keharus pembuktian terhadap jamu yang baru ini
bisa merugikan masyarakat, walaupun tidak pernah ada gugatan dari masyarakat terhadap
204
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
industri jamu. Dalam jangka panjang, hal ini juga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap industri jamu.
Untuk mengakomodasi kedua kepentingan, yakni masyarakat dan industri jamu, telah ditetapkan
Peraturan Kepala BPOM Nomor: Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Masyarakat
bisa mengetahui obat herbal dengan berbagai tingkat pengujiannya, mulai dari jamu yang
berdasarkan klaim, dan OHT dan fitofarmaka yang sudah dilakukan pengujian. Bagi pelaku
industri jamu, hal ini relatif meringankan, jika mereka mampu melakukan pengujian mereka
bisa memproduksi OHT dan fitofarmaka, namun, jika tidak, mereka bisa memproduksi jamu yang
berdasarkan klaim masyarakat.
Dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Kepala BPOM tersebut dinyatakan ”Jamu adalah obat tradisional
Indonesia”. Sedangkan “Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian galenik atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman” ayat 1. Sementara “Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi” ayat 3, dan “Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan
baku dan produk jadinya telah di standarisasi” ayat 4.
Saat ini telah ada 6 produk fitofarmaka. Sedangkan jumlah obat herbal terstandar OHT,
menurut Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer
Kementerian Kesehatan, Abidinsyah Siregar, ada 38 dari sekitar 19.736 jamu
5
. Masyarakat memang belum banyak mengetahui perbedaan
antara jamu, OHT dan fitofarmaka. Namun, penghargaan Top Brand for Kids 2010 dari
5 http:health.kompas.comread20120731205253
18Obat.Herbal.Terstandar.Masih.Sangat.Minim.
Frontier Consulting Group pada Stimuno, fitofarmaka yang diproduksi Dexa Medica,
menunjukkan obat tradisional yang teruji bisa lebih mudah mendapatkan kepercayaan
masyarakat
6
. Stimuno ini bahkan telah diekspor ke sejumlah negara di Asia.
Namun, kemampuan mengakses pasar bisa lebih penting dari pada khasiat suatu obat tradisional.
PT Nyonya Meneer sudah mengembangkan fitofarmaka, yakni Rheumaneer, yang
mendapatkan izin edar pada Februari 1999. Menurut Dr. Charles Saerang, CEO dari PT Jamu
Nyonya Meneer, perusahaannya membutuhkan biaya sampai 2 miliar untuk menghasilkan
fitofarmaka ini. Biaya besar ini diperlukan untuk membiayai uji klinis yang harus dilakukan
dokterrumah sakit terhadap pasien. Yang menjadi masalah, pada akhirnya, adalah
pasarnya. “Belum tentu pasarnya ada,” kata Saerang. Dan apa yang diinvestasikannya belum
kembali modalnya.
Menurut Saerang, PT Nyonya Meneer satu- satunya perusahaan jamu yang membuat
fitofarmaka, lainnya adalah perusahaan obat. Ini bukan karena secara teknologi lainnya tidak
mampu, tetapi karena pasarnya tidak ada. Dokter juga tidak meresepkan fitofarmakanya meskipun
sudah lulus uji klinis.
Jadi, pertama, perlu dilihat apakah produk tersebut memiliki potensi pasar yang besar,
misalnya potensi pasar Rheumaneer yang digunakan untuk mengobat rematik adalah di
bawah potensi pasar dari Stimuno yang digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh,
khususnya anak-anak. Kedua, pemasaran sangat penting untuk mempromosikan bahwa
fitofarmaka ini telah teruji secara klinis, tidak semata-mata berdasarkan klaim sekelompok
masyarakat. Jaringan pemasaran, lebih-lebih untuk masuk ke lingkungan medis, sangat
berperanan penting. Dexa Medica yang sudah berpengalaman memproduksi dan
mendistribusikan obat konvensional relatif cukup mudah dalam mengupayakan agar
fitofarmakanya diresepkan dokter.
6 http:health.kompas.comread2010042918362196Fitofarmaka
. Semakin.Diakui
205
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016