STUDI PUSTAKA 1 Perkembangan Jamu di Beberapa Negara

industri jamu. Dalam jangka panjang, hal ini juga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap industri jamu. Untuk mengakomodasi kedua kepentingan, yakni masyarakat dan industri jamu, telah ditetapkan Peraturan Kepala BPOM Nomor: Hk.00.05.41.1384 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar Dan Fitofarmaka. Masyarakat bisa mengetahui obat herbal dengan berbagai tingkat pengujiannya, mulai dari jamu yang berdasarkan klaim, dan OHT dan fitofarmaka yang sudah dilakukan pengujian. Bagi pelaku industri jamu, hal ini relatif meringankan, jika mereka mampu melakukan pengujian mereka bisa memproduksi OHT dan fitofarmaka, namun, jika tidak, mereka bisa memproduksi jamu yang berdasarkan klaim masyarakat. Dalam Pasal 1 ayat 2 Peraturan Kepala BPOM tersebut dinyatakan ”Jamu adalah obat tradisional Indonesia”. Sedangkan “Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian galenik atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman” ayat 1. Sementara “Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi” ayat 3, dan “Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi” ayat 4. Saat ini telah ada 6 produk fitofarmaka. Sedangkan jumlah obat herbal terstandar OHT, menurut Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer Kementerian Kesehatan, Abidinsyah Siregar, ada 38 dari sekitar 19.736 jamu 5 . Masyarakat memang belum banyak mengetahui perbedaan antara jamu, OHT dan fitofarmaka. Namun, penghargaan Top Brand for Kids 2010 dari 5 http:health.kompas.comread20120731205253 18Obat.Herbal.Terstandar.Masih.Sangat.Minim. Frontier Consulting Group pada Stimuno, fitofarmaka yang diproduksi Dexa Medica, menunjukkan obat tradisional yang teruji bisa lebih mudah mendapatkan kepercayaan masyarakat 6 . Stimuno ini bahkan telah diekspor ke sejumlah negara di Asia. Namun, kemampuan mengakses pasar bisa lebih penting dari pada khasiat suatu obat tradisional. PT Nyonya Meneer sudah mengembangkan fitofarmaka, yakni Rheumaneer, yang mendapatkan izin edar pada Februari 1999. Menurut Dr. Charles Saerang, CEO dari PT Jamu Nyonya Meneer, perusahaannya membutuhkan biaya sampai 2 miliar untuk menghasilkan fitofarmaka ini. Biaya besar ini diperlukan untuk membiayai uji klinis yang harus dilakukan dokterrumah sakit terhadap pasien. Yang menjadi masalah, pada akhirnya, adalah pasarnya. “Belum tentu pasarnya ada,” kata Saerang. Dan apa yang diinvestasikannya belum kembali modalnya. Menurut Saerang, PT Nyonya Meneer satu- satunya perusahaan jamu yang membuat fitofarmaka, lainnya adalah perusahaan obat. Ini bukan karena secara teknologi lainnya tidak mampu, tetapi karena pasarnya tidak ada. Dokter juga tidak meresepkan fitofarmakanya meskipun sudah lulus uji klinis. Jadi, pertama, perlu dilihat apakah produk tersebut memiliki potensi pasar yang besar, misalnya potensi pasar Rheumaneer yang digunakan untuk mengobat rematik adalah di bawah potensi pasar dari Stimuno yang digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh, khususnya anak-anak. Kedua, pemasaran sangat penting untuk mempromosikan bahwa fitofarmaka ini telah teruji secara klinis, tidak semata-mata berdasarkan klaim sekelompok masyarakat. Jaringan pemasaran, lebih-lebih untuk masuk ke lingkungan medis, sangat berperanan penting. Dexa Medica yang sudah berpengalaman memproduksi dan mendistribusikan obat konvensional relatif cukup mudah dalam mengupayakan agar fitofarmakanya diresepkan dokter. 6 http:health.kompas.comread2010042918362196Fitofarmaka . Semakin.Diakui 205 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Ketiadaan jaringan pemasaran yang menjangkau para dokter ini yang membuat Rheumaneer tidak pernah diresepkan dokter. Secara bisnis tidak akan menguntungkan bagi PT Nyonya Meneer untuk membangun jaringan pemasaran tersebut karena perusahaan ini hanya memiliki satu produk fitofarmaka, sedangkan yang lainnya adalah jamu. Ini berbeda dengan Dexa Medica yang memang memiliki banyak obat yang bisa diresepkan dokter.

4.3 Saintifikasi Jamu

Secara resmi Indonesia masih belum meregulasi pengintegrasian jamu dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Namun, dalam skala terbatas program saintifikasi jamu yang dilakukan Kementerian Kesehatan bisa dilihat sebagai upaya ke arah tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Permenkes Nomor: 003MENKESPERI2010 Tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan Pasal 2, saintifikasi jamu ini ditujukan untuk “Memberikan landasan ilmiah evidence based penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan” dan “Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu”. Namun, upaya ini tidak melibatkan industri jamu karena yang digunakan adalah simplisia. Pelaku utama dalam kegiatan ini adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional B2P2TOOT yang ada di Tawang Mangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Dr. Charles Saerang menginginkan agar yang digunakan produk dari industri jamu, walaupun tetap harus melalui proses pengujian. Jika saintifikasi jamu tidak melibatkan industri jamu, maka upaya ini tidak akan berkontribusi mendorong pertumbuhan industri jamu. Jika simplisia yang digunakan, maka – menurut Prof.Dr. Suwidjiyo Pramono dari Fakultas Farmasi UGM – marjin keuntungan sangat rendah, sehingga tidak menarik bagi industri jamu. Kalangan dokter sudah dilibatkan dalam program saintifikasi jamu ini, dan mereka telah membentuk Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia PDHMI yang dideklarasikan pada tanggal 10 Juni 2009 dan bernaung di bawah Ikatan Dokter Indonesia IDI.

4.4 Inovasi Proses

Inovasi proses perlu dilakukan karena pengolahan bahan herbal menuntut perlakuan yang lebih rumit daripada bahan obat kimia. Bahan herbal gampang sekali tercemari mikroba. Jika pengendalian mutu pada proses pembuatan jamu ini lemah, maka dampaknya tidak hanya merugikan perusahaan tersebut, tetapi juga industri secara keseluruhan yang diakibatkan oleh menurunnya kepercayaan masyarakat pada industri. Untuk melindungi kepentingan masyarakat inilah industri jamu diwajibkan melaksanakan cara pembuatan obat tradisional yang baik CPOTB sebagaimana tertera dalam Peraturan Kepala BPOM Nomor: HK.00.05.41.1384. Menurut Dr. Charles Saerang, kewajiban penerapan CPOTB ini diturunkan dari CPOB untuk industri farmasi. Ini sangat memberatkan industri jamu yang mayoritas adalah industri kecil. CPOTB ini memaksa industri memperbaiki fasilitas produksi mereka. Sementara ini bentuk keringanan terhadap industri jamu hanya berupa penundaan penerapan CPOTB. Namun, cepat atau lambat industri jamu harus menerapkannya, karena ini demi kelangsungan hidup mereka sendiri juga. Menurut RD Manager PT Sidomuncul Wahyu Widayani industri farmasi konvensional lebih mampu menerapkan CPOTB. Ini dikarenakan CPOTB memang diturunkan dari CPOB. Namun, saat ini Sidomuncul sudah menerapkan CPOB, dan menjadi satu-satunya perusahaan jamu yang mendapatkan sertifikat CPOB.

5. SIMPULAN

Peluang inovasi pada jamu cukup tinggi, karena tingginya keanekaragaman hayati Indonesia, dan masih banyak obat tradisional dari suku-suku terpencil yang belum dipopulerkan secara nasional. Dari pembahasan sebelumnya bisa 206 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 disimpulkan beberapa hal yang menjadi peluang sekaligus tekanan untuk berinovasi bagi industri jamu, namun juga bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan bisnis industri ini jika mereka tidak bisa memenuhinya. Pertama, rendahnya atau tiadanya persyaratan bagi pembuktian khasiat jamu. Di satu pihak hal ini memberi peluang bagi industri jamu untuk menghasilkan produk-produk baru hanya berdasarkan klaim masyarakat saja, ataupun klaimnya sendiri tanpa bukti yang kuat. Namun di sisi lain, hal ini juga menjadikan rintangan memasuki barrier to entry industri jamu menjadi rendah, sehingga bisa dengan mudah dimasuki oleh produsen obat konvensional yang memiliki kemampuan produksi maupun pemasaran yang lebih unggul dibandingkan perusahaan-perusahaan yang bisnis intinya adalah jamu. Kerugian lain dari rendahnya persyaratan ini adalah kepercayaan masyarakat yang semakin kritis juga menjadi rendah, khususnya terhadap jamu baru dengan klaim yang baru. Kedua, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal pemerintah membuat dua kebijakan utama: i penerapan CPOTB, dan ii pengklasifikasian obat herbal menjadi jamu, OHT dan fitofarmaka. Serta inisiatif saintifikasi jamu yang masih belum dilakukan dalam skala luas. Dengan penerapan CPOTB maka masyarakat bisa mendapatkan produk yang kualitas produksinya terjaga, walaupun khasiatnya belum bisa dibuktikan. Namun, saat ini peraturan yang mengharuskan CPOTB belum dilakukan dengan tegas ke seluruh industri jamu, karena sebagian besar industri jamu berbentuk UKM yang tidak mampu mengadakan fasilitas produksi yang memenuhi persyaratan CPOTB. Pengklasifikasian dengan peningkatan persyaratan dari jamu ke OHT kemudian meningkat ke fitofarmaka diakui bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal. Fitofarmaka, obat herbal yang sudah menjalani uji praklinis dan uji klinis, bahkan bisa diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Namun, peluang dari peningkatan citra obat herbal ini lebih bisa diambil oleh produsen obat konvensional daripada produsen jamu. Ini dikarenakan produsen obat konvensional lebih memiliki kemampuan produksi dan pengujian dibandingkan produsen jamu. Selain itu pengklasifikasian ini juga menempatkan jamu pada ketegori paling rendah - yakni di bawah OHT dan fitofarmaka - dari pengklasifikasian ini. Selain itu yang membuat produsen jamu kurang terdorong untuk meningkatkan produk jamunya menjadi OHT dan fitofarmaka adalah karena kebanyakan masyarakat masih belum mengetahui perbedaan pembuktian dari ketiga jenis produk herbal tersebut. Pengujian yang dipersyaratkan untuk membuat OHT dan fitofarmaka juga tidak bisa dilakukan oleh kebanyakan produsen jamu. Selain itu, meskipun fitofarmaka bisa diresepkan oleh dokter dan telah masuk dalam cakupan asuransi namun untuk mendorong dokter meresepkannya bukanlah hal mudah bagi industri jamu. Hal ini lebih bisa dilakukan oleh produsen obat konvensional yang sudah memiliki jaringan luas dan hubungan yang dekat dengan para dokter. Kebijakan lain berkenaan dengan peningkatan kepercayaan terhadap jamu namun belum diimplementasi secara luas adalah saintifikasi jamu. Namun, karena sediaan yang digunakan dalam saintifikasi jamu adalah simplisia, maka hal ini tidak menarik bagi industri jamu karena keuntungan dari simplisia adalah sangat kecil, dan simplisia bukanlah produk andalah dari industri jamu, tetapi merupakan bahan baku yang dipasok oleh perusahaan lain. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Trina Fizzanty yang telah menyampaikan koreksi, memberi masukan dan saran yang sangat berarti bagi perbaikan makalah ini. Makalah ini didasarkan atas penelitian yang mendapatkan dana DIPA Pappiptek - LIPI. PUSTAKA Connor, N., 2008. Shamans of the World: Extraordinary First-Person Accounts of 207 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016 Healings, Mysteries, and Miracles. Boulder, CO: Sounds True, Inc. ITC, 2005. Indonesia - Supply And Demand Survey On Pharmaceuticals And Natural Products. International Trade Center, UNCTADWTO. Jumarani, L., 2009. The Essence of Indonesian Spa: Spa Indonesia Gaya Jawa dan Bali. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Melzer, J. Saller, R., 2009. Proprietary Herbal Medicines in Circulatory Disorders: Hawthorn, Ginkgo, Padma 28. Dalam K.G. Ramawat Ed., Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine. Heidelberg: Springer. Ramawat, K.G. Ed., Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine . Heidelberg : Springer. Ramawat, K.G. Goyal, S., 2009. Natural Products in Cancer Chemoprevention and Chemotherapy. Dalam K.G. Ramawat Ed., Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine. Heidelberg: Springer. Ramawat, K.G., Dass, S. Mathur, M., 2009. The Chemical Diversity of Bioactive Molecules and Therapeutic Potential of Medicinal Plants. Dalam K.G. Ramawat Ed., Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine. Heidelberg : Springer. Robinson, M.M. Zhang, X., 2011. The World Medicines Situation 2011 Traditional Medicines: Global Situation, Issues And Challenges. Geneva: World Health Organization. Sampurno, 2007. Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis. MOT, Vol 12, No. 42. Verpoorte, R., 2009. Medicinal Plants: A Renewable Resource for Novel Leads and Drugs . Dalam K.G. Ramawat Ed., Herbal Drugs: Ethnomedicine to Modern Medicine . Heidelberg : Springer. WHO, 2002. WHO Traditional Medicine Strategy 2002 – 2005. Geneva: World Health Organization. WHO, 2005. National policy on traditional m edicine and regulation of herbal medicines: Report of a WHO global survey. Geneva: World Health Organization. 208 Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016