SIMPULAN Abstrak Makalah Terbaik
terus mengembangkan pemasaran yang ada.
5. Resource leveraging, merupakan kemampuan perusahaan untuk dapat
melihat potensi-potensi yang ada serta cara menggunakan dan mengontrol potensi atau
sumber daya yang ada agar dapat membantu proses pemasaran perusahaan.
6. Value creation, kata kunci utama dalam EM adalah value creation yang didaptkan
dari transaksi dan hubungan antara perusahaan dan konsumen. Tugas utama
dari seorang pemasar adalah dapat mengenali nilai-nilai yang adapa pada
konsumen yang kemudian diadopsi dan digunakan untuk menciptakan produk yang
akan atau sedang dipasarkan.
Konsep strategi diistilahkan sebagai sebuah alat untuk mencapai
tujuan. Dalam perkembangannya, konsep mengenai strategi terus berkembang.
Analisis SWOT merupakan salah satu analisis untuk menentukan strategi dalam
sebuah perusahaan atau industri. Analisis ini mengkombinasikan faktor strategi
eksternal dan juga faktor strategi internal untuk pengambilan keputusan strategi
terbaik yang dapat digunakan Rangkuti, 1997.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kota Kediri yang berlokasi di Sentra Tenun Ikat
Bandar Kidul Kediri dengan menggunakan metode deskriptif. data yang digunakan
adalah data primer berupa hasil wawancara semi terstruktur dengan responden sejumlah
7 tujuh orang yang merupakan pengusaha Tenun Ikat Bandar Kidul Kediri. Teknik
pengambilan sample menggunakan total sampling
dimana sample yang diambil adalah keseluruhan total populasi. Hal ini
dikarenakan jumlah sampel sama dengan populasi. Analysis data menggunakan
pendekatan Entreprenenural Marketing dan Analisis SWOT untuk merumuskan strategi
atau model penguatan Entrepreneurship Tenun Ikat Bandar Kidul Kota Kediri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan Entrepreneur Marketing pada Tenun Ikat Bandar Kidul Kota Kediri
Jiwa kewirausahaan memiliki peranan penting dalam keberhasilan usaha. Salah satu
pendekatan untuk memahami konsep jiwa kewirausahaan adalah konsep Enterpreneur
Marketing EM yang meliputi 1 innovativeness,
2 proactiveness, 3 opportunity, 4 resource leveraging, 5
calculating risk, 6 consumer intensity, dan 7 value creation.
Analisis pertama dimulai dari dimensi proactiveness. Berdasarkan hasil wawancara
terlihat bahwa pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Disperindag
dan Dinas UMKM dan Koperasi memberikan dukungan untuk turut mempromosikan
produk TIB Kediri melalui berbagai pameran. Meski telah difasilitasi oleh
pemerintah, para pengrajin membuat berbagai cara promosi lain seeprti yang
dilakukan oleh Pengarjain TIB AAM Putra, yang menggelar pameran sendiri di acara
car free day setiap hari minggu di ruas Jalan Dhoho Kediri dan melakukan kerjasama
dengan perancang busana dari Jakarta untuk membuat variasi produk.
Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh Pengrajin TIB Sempurna 2
yang melakukan promosi produknya dengan melakukan kerjasama dengan beberapa toko
busana di daerah Tulungagung, Jawa Timur. Lebih dari Pengrajin TIB Sampurna 2,
Pengrajin TIB Sinar Barokah 1 dan 2 telah melakukan promosi sampai Pulau Sulawesi
dan Timur Tengah, akan tetapi teknik promosi yang digunakan masih berupa word
of mouth WOM. WOM ini dilakukan
211
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
dengan cara, semisal ada pelanggang yang membeli produk TIB Sinar Barokah 1
dan 2 kemudian dibawa ke tempat lain dan kemudian ada beberapa orang tertarik yang
selanjutnya melakukan proses pemesanan. Selain itu TIB Sinar Barokah juga membuka
agen penjualan produk TIB Sinar Barokah di kota besar lain seperti Solo dan Surabaya.
Pada dasarnya cara promosi yang dilakukan oleh beberapa pengrajin di atas
masuk dalam konsep personal selling yang bertujuan pemasar langsung dapat menyasar
kepada calon pelanggang. Hal ini juga dilakukan oleh pengrajin TIB Kodok Ngorek
2, yang melakukan personal selling dengan mempromosikan produk mereka melalui
berbagai acara arisan dan pengajian. Akan tetapi selain personal selling seperti
membuka showroom pribadi di temapt usaha mereka atau usaha bersama dan event
marketing
seperti pameran, beberapa pengarajin juga telah memanfaatkan
teknologi untuk mempromosikan produk mereka.
Pada umumnya hampir seluruh pengrajin telah memanfaatkan teknologi
untuk membantu mempromosikan produk mereka, akan tetapi tidak semua pengrajin
memanfaatkannya secara optimal, seperti TIB Medali Mas. TIB Medali Mas, meski
juga menggunakan teknologi seperti blog dan website akan tetapi TIB Medali Mas tidak
merasa penggunaan teknologi ini cukap penting karena nama dan showroom TIB
Medali Mas sudah cukup dikenal. Berbeda dengan beberapa pengrajian lainnya seperti
AAM Putra, Sinar Barokah 1 dan 2, dan Sempurna 2, yang menggunakan teknologi
untuk mempromosikan produknya melalui konsep direct marketing dengan langsung
menghubungi calon konsumen melalui whatsup, blackbery massanger bbm, dan
email. TIB Medali Mas juga menggunakan konsep
direct marketing untuk
mempromosikan produk mereka, akan tetapi pengimplementasian direct marketing ini
hanya menggunakan saluran telephone biasa. Selain pemanfaatan teknologi,
personal selling, direct marketing, dan event marketing, salah satu pengrajin juga
menfaatkan iklan televisi, seperti yang dilakukan oleh TIB Sinar Barokah 1 dan 2.
TIB Sinar Barokah 1 dan 2 memasang iklan di stasiun televisi lokal JTV. Selain televisis
TIB Sinar Barokah juga memasang iklan yang disponsori oleh Koperasi Jatim.
Berdasarkan beberapa analisis di atas pada dasarnya para pengrajin belum
sepenuhnya menggunakan inovasi-inovasi dengan mengadopsi hal-hal baru untuk
mempromosikan produknya, meski beberapa pengrajin telah menggunakan teknologi
internet. Penggunaan teknologi internet ini hanya pada sebatas personal selling dan
direct marketing. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa para pengrajin telah
mengadopsi teknologi baru berupa internet untuk membantu mempromosikan produk
mereka akan tetapi para pengrajin belum mengadopsi cara-cara baru yang dapat
diimplementasikan melalui pemanfaatan internet atau dengan kata lain beberapa
pengrajin belum mengoptimalkan pemanfaatan internet. Hal ini berdasarkan
definisi proactivness yang memaparkan bahwa dimensi proactiveness terpenuhi
ketika individu secara utuh mengimplementasikan suatu hal yang baru
untuk dapat memanfaatkan kesempatan guna memberikan dampak positif bagi usahanya.
Analisis entreprenurial marketing berikutnya adalah pada dimensi 2
inovactivness. Pada dimensi ini individu dikategorikan telah memenuhi aspek pada
dimensi ini ketika individu mampu menemukan ide kreatif dan menguji ide
tersebut juga menambah alur informasi serta kebaruan perkembangan produk. Pada
analisis ini peneliti hanya melihat pada aspek
212
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
promosi. Peneliti menganalisis inovasi- inovasi yang digunakan oleh pengrajin untuk
mempromosikan produk mereka.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, ditemukan
beberapa hasil bahwa adaptasi inovasi pengrajin terhadap penggunaan media baru
seperti internet masih rendah. Hal tersebut terbukti dari delapan pengrajin yang
diwawancarai oleh peneliti hanya satu pengrajin yang mengoptimalkan penggunaan
internet dengan aplikasi youtube. TIB AAM Putra secara mandari membuat vidio
dokumentasi tentang proses pembuatan tenun ikat. Pengrajin menjelaskan bahwa dengan
menunjukkan proses pembuatan tenun ikat akan tercipta sebuah citra bahwa produk
yang dihasilkan oleh TIB AAM Putra merupakan produk budaya home made yang
berkualitas. Selain itu dengan menggunakan youtube
pengrajin berasumsi dapat memberikan gambaran secara audiovidual
kepada calon konsumennya secara utuh serta dapat menjangkau lebih banyak calon
konsumen. Hal tersebut terbukti, ada salah satu konsumen TIB AAM Putra yang berasal
dari Zimbabwe. Selain youtube TIB AAM Putra juga memanfaatkan media sosial
seperti instagram dan facebook.
Meski demikian beberapa pengrajin lainnya seperti TIB Sempurna 2 juga
menggunakan facebook
untuk mempromosikan produk TIB Sempurna. TIB
Sempurna memaparkan alasan penggunaan facebook untuk mempermudah memberikan
visualiasi kepada calon konsumen atas produk TIB Sempurna 2. Akan tetapi
selain TIB
AAM Putra pengrajin lain yang memanfaat intagram untuk mempromosikan produknya
adalah TIB Sinar Barokah 1 dan 2 meski tidak begitu aktif. TIB Sinar Barokah 1 dan 2
lebih memilih memanfaatkan teknologi internet untuk personal selling melalui
aplikasi seperti whatsup dan email. Meski demikian semua pengrajin memiliki blog
untuk membantu promosi produk mereka.
Berdasarkan analisis pada inovactivness, dapat disimpulkan bahwa
hanya ada tiga pengrajin yang memanfaatkan teknologi dengan beberapa inovasi promosi
dengan menggunakan youtube dan media sosial seperti instagram dan facebook.
Pengrajin lainnya belum dapat memanfaatkan teknologi internet dengan
berbagai inovasi untuk dapat membantu mempromosikan produk mereka.
Analisis berikutnya adalah analisis EM dimensi 3 opportunity. Pada dimensi
ini, individu dikategorikan telah memenuhi EM ketika individu mampu melakukan
analisis seperti analisis, pasar, konsumen, dan segmenting, targeting, and positioning
STP untuk usahanya. Pada dimensi ini peneliti menganalisis kemampuanpara
pengrajin TIB untuk melakukan analisis terhadap usaha mereka. Analisis pertama
dimulai dari TIB Kodok Ngorek 2. Berdasarkan hasil wawancara dan tabulasi
hasil wawancara didaptkan bahwa TIB Kodok Ngorek dua belum mampu melakukan
analisis pasar dengan baik terbukti dengan pemahaman pengrajin TIB Kodok Ngorek 2
yang menganggap bahwa tenun ikat akan selalu memiliki pangsa pasar. Pengrajin TIB
Kodok Ngorek 2 juga belum mampu melakukan analisis kompetitor dengan
beranggapan bahwa sesama pengrajin TIB bukanlah pesaing. Pada analisis konsumen
TIB Kodok Ngorek 2 juga tidak sepenuhnya mampu melakukan analisis konsumen hal ini
terbukti bahwa TIB hanya bekerja berdasarkan permintaan dan kebutuhan
konsumen bukan menawarkan dan membuat pilihan bagi konsumen. Oleh karena hal
tersebut maka TIB Kodok Ngorek 2 juga tidak mampu melakukan analisis STP.
213
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Samhalnya dengan TIB Kodok Ngorek 2, TIB Sempurna juga tidak mampu
melakukan analisis pada dimensi oppurtunity dengan baik. Hal tersebut
terbukti pada analisis kompetitor yang dilakukan oleh TIB Sempurna yang
memaparkan bahwa pengrajin lain bukanlah kompetitor akan tetapi pelengkap. Pada
analisis konsumen, TIB Sampurna juga tidak memaprkan secara rinci karakter konsumen
yang disasar, TIB Sampurna hanya memaparkan bahwa TIB Sempurna telah
memiliki konsumen yang loyal. Meski demikian pada analisis pasar TIB
Sempurna cukup mampu menjelaskan bahwa perkembangan produksi TIB mereka
akan terus menyesuaikan dengan permintaa pasar misal tentang warna dan motif. Akan
tetapi untuk memberi ciri khas pengrajin TIB Sampurna akan tetap memperhatikan motif
dan warna dari generasi kegenerasi yang telah ada.
Berbeda dengan TIB Kodok Ngorek 2 dan TIB Sampurna, TIB Medali Mas yang
telah cukup mampu melakukan analisis pada dimensi oppurtunity. Hal tersebut dapat
dilihat pada analisis pasar yang dilakukan oleh TIB Medali Mas yang memaparkan
bahwa pengrajin telah memperhatikan pasar dengan cara memproduksi motif dan warna
yang diminati oleh konsumen serta melakukan pencatatan tersendiri bagi
segmen-segmen pasar tertentu seperti instansi. Selanjutnya, pada analisis
konsumen, analisis yang dilakukan oleh TIB Medali Mas menjelaskan bahwa pengrajin
selalu berusaha memberikan pelayan seperti memberikan diskon, fasilitas seperti
pembungkusan kado , dan kemudahan akses seperti penjahitan baju dengan mendatangkan
penjahit khusus kain tenun. Oleh karena hal tersebut, TIB Medali Mas dapat
memmosisikan diri sebagai market leader TIB di Kediri.
Tidak jauh berbeda kemampuan analisis yang dilakukan oleh TIB Medali Mas
dengan TIB Sinar Barokah 1 dan 2. Sinar Barokah 1 dan 2 merupakan satu group akan
tetapi memiliki analisis pasar yang berbeda. Sinar Barokah 1 fokus pada produk sarung
goyor dengan tujuan mempertahankan warisan budaya dan Sinar Barokah 2 fokus
pada produksi kain dan variasinya. Akan tetapi untuk analisis kompetitor kedua TIB
ini memiliki pandangan yang sama bahwa karena kedua TIB ini merupankan perintis
TIB di Kediri maka menganggap para pengrajin lain hanya sebagai pelengkap dna
bukan kompetitor. Analisis kompetitor ini mencerminkan bahwa Sinar Barokah 1 dan 2
tidak dapat melakukan analisis kompetitor. Meski demikian Sinar Barokah 1 dan 2 telah
memetakan konsumen yang loyal terhadap Sinar Barokah 1 dan 2. Oleh karena hal
tersebut Sinar Barokah 1 dan 2 sangat memperhatikan kualitas produk, warna, dan
kualitas jahitan untuk barang jadi.
TIB AAM Putra juga cukup baik melakukan analisis dalam dimensi
opportunity. Hal tersebut dapat dilihat dari analisis Pasar yang dilakukan oleh TIB AAM
Putra yang menjelaskan bahwa pasar yang dituju oleh TIB AAM Putra merupakan pasar
dalam negeri dan luar negeri untuk itu TIB AAM Putra gencar melakukan promosi
melalui berbagai event internasional. Selanjutnya, pada analisis kompetitor TIB
AAM Putra menjelaskan bahwa, kompetitor yang dianggap berpotensi adalah produsen
kain sejenis yang menggunakan mesin dan memproduksi secara masal. Akan tetapi
meski demikian, TIB AAM Putra mengantisipasi hal tersebut dengan
mempertahankan kualitas produk bagi konsumen.
Berdasarkan, hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa hanya ada
beberapa pengrajin seperti TIB Sinar Barokah 1 dan 2, TIB Medali Mas, dan TIB
214
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
AAM Putra sudah cukup mampu melakukan analisis pasar dan konsumen. Akan tetapi
hampir semua pengrajin kecuali TIB AMM Putra belum mampu melakukan analisis
kompetitor secara spesifik. Selain itu, hampir seluruh pengrajin tidak dapat melakukan
analisis STP, oleh karena hal tersebut tidak terlihat dengan jelas pembeda antara satu
penrajin dengan pengrajin lainnya. Analisis STP tidak hanya berdarkan harga jual produk
atau segmentasi konsumen saja. Saat ini STP yang dilakukan oleh tiap pengrajin hanya
pada harga jual produk dan segmentasi konsumen.
Analisis ke-empat dalam entreprenurial marketing adalah dimensi 4
resource leveraging. Dimensi resource leveraging didefinisikan sebagai pengolahan
dan pendayagunaan sumberdaya- sumberdaya internal dan eksternal untuk
turut mengembangkan usaha. Pada dimensi ini peneliti menganalsis cara para pengrajin
memanfaatkan sumberdaya internal dan eksternal yang ada. Setiap pengrajin sebelum
mempekerjakan karyawna baru maka para pengrajin akan memberikan pelatihan
terlebih dalu sekitar satu sampai dua belas minggu. Selanjutnya, setelah masa pelatihan
selesai, karyawan akan ditempatkan bada bidang keahlian tertentu. Secara keseluruhan
para pengrajin memperhatikan karyawan mulai dari sistem penggajian sampai
memberikan fleksibilitas pekerjaan. Sistem penggajian yang digunakan oleh para
pengrajin adalah sistem gaji mingguan. Fleksibilitas kerja yang diberikan kepada
pengrajin adalah dengan memperbolehkan karyawan membawa beberapa pekerjaan
kerumah. Hampir semua pengrajin sangat memperhatikan hubungan baik dengan
karyawan.
Selanjutnya, dimensi kedua dalam resource leveraging adalah pemanfaatan
potensi eksternal. Secara umum semua pengrajin mendapatkan dukungan eksternal
dari berbagai pihak seperti pemerintah, bank, dan beerapa pihak swasta lainnya. Akan
tetapi, pada analisis dimensi ini pengrajin tidak menjelaskan secara rinci cara mereka
menjalin dan mengelola hubungan dengan para pihak eksternal. Sehingga tidak dapat
dianalisis secara lebih dalam pola pemanfaatan sumberdaya eksternal oleh para
pengrajin.
Analisis dimensi selanjutnya dalam entreprenurial marketing adalah calculating
risk. Analisis pada dimensi ini hampir sama dengan analisis pada opportunity. Analisis
pada calculating risk merupakan analisis pengimplementasian analisis pada dimensi
opportunity. Hal tersebut seperti yang ditunjukkan oleh TIB Sempurna 2. TIB
Sempurna memilih mempertahnkan produk sarung goyor dengan calculating risk bahwa
sarung goyor memiliki keuntungan tidak sambung tengah. Selanjutnya TIB AAM
Putra juga melakukan calculating risk dengan pertimbangan opportunity yang
dimiliki dengan melakukan variasi produk seperti sepatu, baju, dan tas. TIB AAM Putra
melihat bahwa ada peluang pasar yang baik terhadap variasi yang dilakukan. Demikian
juga dengan TIB Kodok Ngorek 2 yang telah melakukan
calculating risk dengan mengambil inovasi memadukan teknik
pembuatan produk dengan songket. Tidak jauh berbeda dengan AAM
Putra TIB Medali Mas juga melihat peluang dengan menyediakan faslitas dan variasi
produk yang hampir sama dengan AAM Putra dengan telah melakukan calculating
risk bahwa dengan menyediakan fasilitas dan kemudahan bagi konsumen maka konsumen
akan merasa lebih nyaman untuk bertransaksi di TIB Medali Mas. TIB Sinar Barokah
memiliki calculating risk yang berbeda dengan pengrajin lainnya karena TIB Sinar
Barokah membaca peluang lain sehingga TIB Sinar Barokah membuat kain yang instan
tanpa harus dikombinasi dengan kain selain
215
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
tenun atau siap untuk baju dengan model- model terkini dan terutama untuk kaula
muda.
Pada analisis calculating risk, secara umum pengrajin telah mampu
menghubungkan antara dimensi opportunity yang dimiliki dengan dimensi calculating
risk. Hal tersebut akan membantu pengrajin untuk dapat meminimalisir resiko terhadap
pilihan-pilihan peluang yang diambil.
Selanjutnya dimensi ke-enam dalam entrepenurial marketing adalah consumer
intensity. Consumer intensity didefinisikan sebagai sebuah cara perusahaan membangun
dan menjaga hubungan dengan konsumen. Pada dimensi ini peneliti menganalisis cara
pengrajin membangun dan menjaga hubungan dengan konsumen. Analisis
dimulai dari TIB Kodok Ngorek 2, secara umum TIB Kodok Ngorek 2 tidak melakukan
pendataan konsumen secara terperinci, pengrajin hanya menyimpan data nomor
telephon konsumen sehingga TIB Kodok Ngorek 2 akan kesulitan untuk melakukan
follow up pada konsumen terlebih TIB Kodok Ngorek 2 tidak menyediakan tempat
untuk konsumen dapat memberikan kritik dan saran. Akan tetapi untuk membangun
hubungan baik TIB Kodok Ngorek 2 berusaha memberikan pelayanan dengan
menyediakan jasa penjahitan dengan
berbagai variasi model dan menjaga kualitas produk.
Tidak jauh berbeda dengan TIB Kodok Ngorek 2, TIB Medali Mas juga tidak
melakukan pendataan dan followup terhadap konsumen
secara terperinci karena
bernaggapan brand TIB Medali Mas sudah terkenal. Akan tetapi TIB Medali Mas
menyediakan ruang untuk konsumen dapat memberikan kritik dan saran karena bagi
TIB Medali Mas hubungan baik dengan konsumen adalah priotitas utama. Oleh
karena hal tersebut TIB Medali Mas berusaha memberikan
pelayanan dan
kemudahan fasilitas bagi para konsumennya. TIB Medali Mas juga menjadi pelopor TIB
good service. TIB AAM Putra juga tidak melakukan pendataan konsumen secara
terperinci, akan tetapi TIB AAM Putra melakukan followup secara berkala kepada
konsumen melalui berbagai lini komunikasi seperti whatsup, email, dan bbm. TIB AAM
Putra juga membangun hubungan dengan konsumen dengan cara memberikan
kemudahan
dan fasilitas bagi para
konsumen. Selain itu AAM Putra juga dengan terbuka memberikan ruang pada
konsumen untuk dapat memberikan kritik dan saran.
TIB Sempurna 2 juga melakukan pendataan kepada konsumen dan melakukan
followup. Followup yang dilakukan biasanya menggunakan media online seperti whatsup,
bbm, dan media offline seperti telephone. Akan tetapi TIB Sempurna 2 tidak
menyediakan tempat untuk konsumen dapat memberikan kritik dan saran dengan alasan
telah melakukan quality control.
Berbeda halnya yang dilakukan oleh TIB Medali Mas, Kodok Ngorek 2, dan TIB
AAM Putra, dengan yang dilakukan oleh TIB Sinar Barokah 1 dan 2. Sinar Barokah 1 dan
2 tidak melakukan pendataan konsumen secara terperinci, tidak melakukan followup,
dan tidak memmberikan ruang pada konsumen untuk memberikan kritik dan
saran.
Berdasarkan paparan di atas pada dimensi consumer intensity dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara umum para pengrajin belum mampu melakukan
consumer intensity dengan baik. Hal tersebut terbukti bahwa tidak semua sistem pendataan
dan followup yang dilakukan oleh para pengrajin terorganisir dengan baik. Selian itu
tidak semua pengrajin menyediakan ruang kritik dna saran secara terbuka dengan
216
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
berbagai alasan. Oleh karena hal tersebut maka secara umum para pengrajin belum
dapat memenuhi dimensi consumer intensity.
Berikutnya, adalah analisis dimensi value creation pada entrepenurial marketing. Value
creation didefiniskan sebagai pemaduan anatar nilai-nilai pada konsumen dan produk
untuk menciptakan keterkaitan antara konsumen dengan produk. Pada dimensi
terakhir hampir seluruh pengrajin kecuali, TIB AAM Putra dan TIB Sampurna 2 tidak
melakukan value creation pada konsumen. Pada dasarnya value creation dapat
dilakukan dengan cara memberikan penjelasan terhadap makna budaya dalam
produk tenun ikat. Selain itu peneliti juga menemukan bahwa value creation juga
tidak dibentuk bahkan dengan cara yang paling sederhana dengan melakukan labeling
pada produk. Para pengrajin hanya menggunakan totebag atau kantong plastik
yang bertuliskan nama dan logo pengrajin pada produk.
Strategi Penguatan Entrepreneural Marketing pada TIB
Analisis SWOT digunakan untuk memetakan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan
yang dihadapi oleh Industri TIB berdasarkan permasalahan yang telah didefinisikan
terlebih dahulu di dalam Entrepreneurial Marketing.
217
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 1. Matriks Kekuatan Strength dan Kelemahan Weakness pada SWOT No
Keterangan Bobot
Rating Skor
Strength Kekuatan = 0,60
1. Usaha Tenun Ikat Bandar Kidul merupakan usaha turun menurun
warisan yang dilestarikan secara terus menerus 0,1
4 0,4
2. Industri Tenun Ikat menggunakan ATBM untuk menghasilkan kain,
sehingga memiliki nilai hand made otentik hasil karya bernilai tinggi 0,1
4 0,4
3. Pengrajin Industri TIB selalu berusaha memacu kreativitas dan inovasi
0,1 3
0,3 4.
Pengusaha Tenun Ikat telah memberikan akses kemudahan dalam pelayanan kepada konsumen
0,05 4
0,2 5.
Produksi yang dilakukan sudah berorientasi pasar dan konsumen 0,025
3 0,075
6. Adanya bentuk inovasi yang beragam dari penggunaan Tenun Ikat selain
produk kain, yaitu untuk dasi, shawl, sepatu, sarung goyor panjang tanpa sambung tengah, dan tas memberikan pilihan beragam pada konsumen
0,05 4
0,2 7.
Para pedagang tenun ikat di sentra Tenun Ikat Bandar Kidul telah memiliki koperasi sebagai bentuk ikatan kebersamaan untuk memajukan
usaha dengan simbiosis mutualisme 0,025
4 0,1
8. Pengusaha telah memperhatikan kesejahteraan karyawannya dengan baik 0,05
4 0,2
9. Secara umum pengusaha telah mampu mengkalkulasikan resiko dalam
usahanya 0,05
4 0,2
10. Pengusaha Tenun Ikat telah melakukan analisis, pasar, konsumen, dan
segmenting, targeting, and positioning STP untuk usahanya 0,025
4 0,1
11. Teknik marketing yang digunakan pengusaha tenun ikat sudah beragam,
seperti personal selling, direct marketing, dan event marketing 0,025
3 0,075
2,25
Weakness Kelemahan = 0,40
1. Pengusaha Tenun Ikat menggunakan ATBM yaitu mesin yang terbuat
dari kayu sehingga tidak bisa digunakan untuk produksi massal 0,1
3 0,3
2. Tidak semua pengusaha melakukan pendataan motif produk tenun ikat
yang dibuat 0,1
3 0,3
3. Pengusaha belum melakukan value creation pada produk tenun ikat yang
dibuat. 0,05
4 0,2
4. Pengusaha belum berani mengunakan merek sendiri saat produksi untuk
memenuhi kebutuhan pesanan, misalnya untuk produk sarung goyor 0,05
2 0,1
5. Kurang optimalnya pemanfaatan teknologi internet sebagai salah satu
cara pemasaran produk tenun ikat 0,05
4 0,2
6. Para pengusaha belum mengelola konsumen dengan baik misalnya
melalui pendataan dan follow up pelanggan 0,05
4 0,2
1,3
Kekuatan – Kelemahan = 0,95
218
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Tabel 2. Matriks Peluang Opportunity dan Ancaman Threat pada SWOT No
Keterangan Bobot
Rating Skor
Peluang = 0,60
1. Adanya dukungan dari Pemerintah Kota Kediri berupa diterbitkannya
Peraturan Daerah yang mewajibkan para pejabat PNS untuk menggunakan kain tenun ikat sebagai seragam kerja di kantor
pemerintahan. 0,1
4 0,4
2. Adanya dukungan dari pihak swasta, berupa kemudahan akses
permodalan kepada para pengusaha tenun Ikat Bandar Kidul 0,05
4 0,2
3. Adanya Permintaan ekspor kain tenun yang semakin tinggi di luar negeri
khususnya di Eropa dan Timur Tengah 0,1
3 0,3
4. Adanya potensi tinggi terhadap penjualan Industri Fashion terutama
berbasis Tenun Ikat yang diminati oleh kalangan menengah ke atas. 0,05
3 0,15
5. Adanya potensi tinggi terhadap permintaan produk sovenir Tenun Ikat
Bandar Kidul yang semakin tinggi. 0,05
3 0,15
6. Adanya dukungan pemerintah dalam hal peningkatan kapasitas Industri
Tenun Ikat, baik itu dari segi peningkatan skill pengusahanya maupun dukungan modal dan peralatan pemberian ATBM
0,1 4
0,4
7. Adanya permintaan yang tinggi terhadap produk Sarung Goyor dalam
negeri khususnya saat bulan-bulan Ramadhan 0,05
3 0,15
8. Adanya dukungan pemerintah dalam hal pemasaran, misalnya dengan
memfasilitasi adanya ekspo dan pameran, melakukan training untuk menghasilkan produk baru dengan teknik pemasaran baru
0,1 3
0,3
2,05
Ancaman = 0,40
1. Penetapan harga jual yang cukup tinggi produk Tenun Ikat Bandar Kidul
sehingga tidak dapat dijangkau oleh setiap orang 0,05
3 0,15
2. Bentuk dan sistem usaha yang masih tradisional sehingga sulit untuk
bersaing di pasar internasional. 0,1
4 0,4
3. Adanya persaingan produk tenun ikat di pasaran dengan kain tenun ikat
yang berasal dari luar pulau Bali. 0,05
3 0,15
4. Adanya sistem produksi yang lebih canggih dengan berbasis pada mesin
cetak printing pada usaha tenun ikat luar Kota Kediri Lombok dan Bali sehingga mampu memproduksi massal.
0,1 4
0,4
5. Adanya pesaing dalam usaha tenun ikat, yaitu misalnya pengusaha dari
Bandung, Bali dan Lombok 0,05
3 0,15
6. Produk kain tenun ikat belum memiliki hak paten, sehingga rentan
terhadap penjiplakan. 0,05
4 0,2
1,45
Peluang – Ancaman : 0,6
219
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Strategi penguatan Entrepreneurship di Industri Kreatif Tenun Ikat Bandar Kidul
untuk Menyongsong Indonesia Kreatif dan MEA.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa nilai matriks SWOT terdapat pada
kuadran SO Strength-Opportunity 1, sehingga strategi yang sesuai untuk diaplikasikan untuk
penguatan Industri Tenun Ikat Bandar Kidul adalah Strategi Comparative Advantages. Ini
merupakan strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk memperoleh peluang. Adapun langkah-
langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
INTERNAL
1. Peningkatan Sumberdaya Manusia, selain
pelatihan pembuatan desain dan motif tenun, pelatihan kemampuan berbahasa
asing, dan kemampuan bernegosiasi sangat
diperlukan agar dapat menguasai pasar nasional dan internasional.
2. Peningkatan dan pengembangan kreativitas dan inovasi para pengusaha industry TIB
harus dilakukan misalnya dengan mengajukan hak paten motif khas Kota Kediri.
3. Pelestarian Industri Tenun Ikat perlu dilakukan dengan pembentukan nilai value
creation yang juga merupakan daya tarik dari industri tenun ikat tersebut.
4. Peningkatkan strategi pemasaran dapat dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh
teknik pemasaran. Penetrasi pasar perlu dilakukan di tempat baru, seperti Membuka
Gerai di Pare kampung Inggris dan di kota lainnya seperti Surabaya, Mojokerto dan
Jombang dan juga membuka koneksi di luar negeri.
5. Pengoptimalan penggunaan teknologi pemasaran dilakukan dengan memanfaatkan
dan mengoptimalkan penggunaan internet marketing e-commerce, dengan demikian
pemahaman terkait dengan hal tersebut perlu dilakukan dalam bentuk pelatihan.
EKSTERNAL
1. Pengoptimalan fungsi koperasi dengan manajemen yang baik.
2. Dukungan dari Pemerintah dan Swasta yang sudah baik perlu lebih dioptimalkan terhadap
industri ini dari hulu maupun hilir.
KESIMPULAN
Secara umum para pengrajin pada industri Tenun Ikat Bandar Kidul belum memenuhi seluruh
dimensi dalam Entreprenurial Marketing, namun demikian dari Analisis SWOT dapat dilihat
bahwa Industri Tenun ini memiliki kekuatan karena produk kain yang dihasilkan merupakan
produk otentik yang merupakan ciri khas Kota Kediri dan merupakan salah satu bentuk industri
kreatif yang menjanjikan dalam Ekonomi Kreatif Indonesia dan juga Masyarakat Ekonomi Kreatif.
Berbagai upaya perlu dilakukan secara internal adalah dengan
pengoptimalan kapasitas sumberdaya, sedangkan eksternal adalah adanya
dukungan dari pemerintah, swasta, akademisi dan seluruh pihak untuk mempromosikan tenun ikat
ini di masa yang akan datang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada para pengusaha tenun ikat:
1. Bapak Eko Haryanto, TIB AAM Putra 2. Bapak Sulkhan, TIB Kodok Ngorek I
3. Bapak Sholehudin Ibu Hanafiyah, TIB Kodok Ngorek II
4. Ibu Siti Rukhayah, TIB Medali Mas 5. Bapak M. Asharul Ma’arif, TIB Sempurna II
6. Bapak Sudarman, TIB Sinar Barokah 2 7. Bapak Erwin Wahyu N, TIB Sinar Barokah I
220
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
DAFTAR PUSTAKA
Afiff, F. 2012. Strategi Kombinasi Bauran Pemasaran Marketing Mix. Jatinangor:
Universitas Padjajaran. Andriani, N dan F. Fahminnansih. 2013.
Branding Sentra Kerajinan Tenun Ikat Bandar Kidul. Jurnal Createvitas Vol. 2 No.
2, Juli 2013.
Krauss, Harm, dan Fink, 2009. Entrepreneurial Marketing: Moving Beyond Marketing in
New Ventures. Netherland: University of Liechtenstein.
Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad
21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rezvani dan Khazei. 2013. Prioritization of
Entrepreneurial Marketing Dimensions a case of in higher education institutions by using
entropy. International Journal of Informations, Business Management, 53, 30, 2013.
Educational Reserach and Multimedia and Publications
221
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Pemanfaatan Informasi Paten Teknologi Pengalengan Makanan dalam Menunjang Pengembangan Industri Kreatif
The Ulization of Patent Information for Food Canning Technology to Enhance Development Creative Industries
Tommy Hendrix
1
, V. Susirani Kusumaputri
1
1
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Email:
tommy.hendrixgmail.com
Keyword A B S T R A C T
patent information, food canning technology,
creative industry, development
Business diversification, especially in the era of globalization is an important requirement in the development of national economy. Optimal development of
technology can create new forms of output products are unstable and provide a loophole entry of a competitor in the form of a more superior. The use of
technology in fostering the technology transfer process is done through the use of patent information which contains technologies that can be used as
input material derived from the results of research and development. Food canning technology has enough potential to be developed as a production
process that is appropriate, increased market share, attractive packaging that consumers preferred and an affordable price. This paper aimed to find
relevant information through a database of international patent especially with regard to the results of research and technology development canning
food. This paper analyzed using software Total Patent aimed to determine the orientation of technological development to the market through a portfolio of
patents, licenses, status, competitors, innovation and market monitoring are derived from the patent database. The results showed very important
information that most of the inventions and patent applicants and beneficiaries are from the Asian region, it was because the captive market and
the potential for abundant natural resources can be used as the reasons
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
informasi paten, teknologi pengalengan makanan,
industri kreatif, pengembangan
Diversifikasi usaha terutama dalam era globalisasi menjadi syarat mutlak dalam upaya pengembangan perekonomian nasional. Belum optimalnya
pengembangan teknologi dapat menciptakan bentuk-bentuk luaran produk yang tidak stabil dan menjadi celah masuknya pesaing dalam bentuk yang
lebih unggul. Pemanfaatan teknologi dalam upaya menciptakan proses alih teknologi dilakukan melalui pemanfaatan informasi paten yang berisikan
teknologi-teknologi yang dapat dipergunakan sebagai bahan input berasal dari hasil penelitian dan pengembangan. Teknologi pengalengan makanan cukup
potensial untuk dikembangkan karena merupakan proses produksi yang bersifat tepat guna, peningkatan pangsa pasar, kemasan menarik yang disukai
konsumen dan harga yang terjangkau. Tujuan dari makalah ini adalah mencari informasi yang terkait melalui database paten internasional khususnya yang
berkaitan dengan hasil penelitian dan pengembangan teknologi pengalengan makanan. Makalah ini dianalisa dengan menggunakan software Total Patent
yang ditujukan untuk mengetahui pengembangan teknologi untuk orientasi pasar melalui portofolio paten, lisensi, status, pesaing, inovasi dan monitoring
pasar yang berasal dari database paten. Hasil menunjukkan informasi yang sangat penting bahwa hampir sebagian besar invensi dan pendaftar serta
pemanfaat paten berasal dari wilayah Asia, hal tersebut disebabkan captive market dan potensi sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alasan
selain masih murahnya harga yang ditawarkan didalam sistem perdagangan internasional..
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
222
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Hilirisasi dari pengembangan suatu produk saat ini tidak dapat dilepaskan dari banyaknya
permintaan pasar yang timbul, hal ini tidak terlepas dari dominasi perusahaan-perusahaan
besar dalam mendisversifikasikan produknya untuk mengisi celah pasar yang ada. Untuk
melengkapi fungsi dari diversifikasi produk tersebut, sangatlah dibutuhkan peran dan
pemahaman tentang Kekayaan Intelektual KI.
Pemahaman KI yang ada saat ini cenderung sebagai “cost center” bukan sebagai
“asset center” McDonald, 2013. Pemahaman ini tidak menilai KI sebagai aset yang dimiliki
negara untuk berkembang dan wujud dari tingkat kemajuan teknologi. Pemanfaatan informasi
paten dapat dijadikan upaya untuk menggantikan pemahaman tersebut. Pemanfaatan informasi
paten merupakan upaya yang dapat dilakukan lebih ditekankan kepada peningkatan daya saing
dalam rangka membuka akses menuju pasar baik nasional maupun internasional.
Sejalan dengan persaingan yang makin ketat antar industri melalui perkembangan
teknologi tersebut ternyata sistem perekonomian dunia pun mengalami pergeseran menuju ke arah
terbentuknya sistem ekonomi global. Pengembangan teknologi saat ini bukan
merupakan sesuatu yang baru, dalam upaya meningkatkan daya saing nasional. Dinamika
percepatan terbentuk melalui proses alih teknologi yang bersifat on site technology
sehingga dapat membantu pengguna dalam mengaplikasikan teknologi yang dibutuhkan.
Belum optimalnya pengembangan teknologi dapat menciptakan bentuk-bentuk luaran produk
yang tidak stabil dan menjadi celah masuknya pesaing dalam bentuk yang lebih unggul. Proses
hilirisasi dari pengembangan produk merupakan jalan alternatif dalam menyeimbangkan tingginya
permintaan pasar dari produk sejenis yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Melalui diversifikasi usaha terutama dalam era globalisasi menjadi syarat mutlak dalam
upaya pengembangan perekonomian nasional. Tingginya permintaan akan produk yang
mempunyai nilai jual ekonomis serta yang mengakomodir perkembangan trend produk
sangatlah perlu diteliti guna mengambil perhatian pembeli dalam upaya menembus pasar yang ada.
Adanya permintaan produk yang mencirikan lokasi geografis perlu dilihat dari segi
komoditas yang dihasilkan, diantaranya kekayaan sumber daya alam yang melimpah dapat di
jadikan sumber tolok ukur dalam pengembangan ekonomi kreatif yang ada disuatu daerah.
Penerapan teknologi merupakan proses untuk mempercepat pemanfaatan teknologi dari
pencipta kepada pengguna. Menerapkan teknologi berarti menjadikan teknologi itu
sebagai bagian dari pengoperasian fungsi-fungsi kehidupan pengguna teknologi, menjadikan
teknologi diketahui, dapat dijangkau dan di fungsikan di lingkungan yang membutuhkan.
Manfaat aplikasi teknologi adalah menyadarkan msyarakat akan pentingnya dukungan teknologi
untuk meningkatkan produktifitas usahanya; memberikan sentuhan teknologi dengan harapan
akan meningkatkan produktifitas dan menyebarluaskan hasil teknologi akan
berdampak pada banyak usahaproduksi dapat memanfaatkan teknologi tersebut sehingga
diharapkan dapat memberikan nilai tambah Stock, 2000.
Pemanfaatan teknologi dalam upaya menciptakan proses alih teknologi dilakukan
melalui pemanfaatan informasi paten yang berisikan teknologi-teknologi yang dapat
dipergunakan sebagai bahan input berasal dari hasil penelitian dan pengembangan. Penerapan
terhadap hasil penelitian dan pengembangan teknologi saat ini cenderung banyak mengarah ke
tahap komersial, tentu saja diperlukan perlindungan kekayaan intelektual berupa paten
melalui proses Know How ketrampilan yang merupakan cara atau bentuk lain dari perwujudan
teknologi dalam kehidupan manusia diartikan sebagai informasi teknik, data atau pengetahuan
hasil dari pengalaman atau kecakapan yang dapat dipakai dalam praktek, khususnya di industri.
Pengembangan teknologi pengalengan makanan merupakan salah satu dari banyaknya
hasil penelitian dan pengembangan yang diaplikasikan oleh industri, hal ini menjadi sangat
penting karena alih teknologi memerlukan
223
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
beberapa perbaikan dalam proses produksinya terutama dalam mengejar permintaan pelanggan.
Teknologi Pengalengan didefinsikan sebagai suatu metode pengawetan bahan pangan dalam
suatu wadah tertutup dan kedap terhadap udara, yang dipanaskan sedemikian rupa, sehingga
bahan pangan tersebut tahan lama dan tidak mengalami kerusakan secara fisik, kimia,
maupun biologis Hendrix, 2011.
Pengalengan makanan cukup potensial untuk dikembangkan karena teknologi proses
produksi yang bersifat tepat guna, peningkatan pangsa pasar, kemasan menarik yang disukai
konsumen dan harga yang terjangkau. Tingginya nilai tambah yang diperoleh para pelaku usaha
agroindustri memicu persaingan yang makin meningkat baik dalam memperoleh bahan baku
maupun dalam pemasaran produk hasil olahan Zulkarnain, 2013.
Tujuan dari tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi terkait teknologi-
teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna serta implementasi melalui proses alih
teknologi pengalengan makanan, dengan pengembangan potensi lokal daerah khususnya di
sektor pengalengan makanan sehingga mampu bersaing dipasar yang berbasis pada paten-paten
yang telah terdaftar. Berkenaan dengan tujuan kajian tersebut di atas, maka perlu dilakukan
usaha-usaha untuk menggali potensi industri kreatif yang berbasis budaya lokal berbasis
teknologi pengalengan makanan. Budaya lokal yang ada perlu dikembangkan sebagai salah satu
kekuatan untuk menumbuhkan budaya lokal dan meningkatkan kreatifitas masyarakat yang dapat
bernilai ekonomi.
Makalah ini dianalisa dengan menggunakan software Total Patent yang
ditujukan untuk mengetahui pengembangan teknologi untuk orientasi pasar melalui portofolio
paten, lisensi, status, pesaing, inovasi dan monitoring pasar yang berasal dari database
Paten. Selain itu juga dapat dijadikan rekomendasi bagi pengguna dalam memilih
alternatif teknologi yang bersifat tepat guna berorientasi pasar. Terkait dengan informasi
paten teknologi pengalengan makanan, arah pengembangan teknologi dapat dilihat dari
berbagai sisi terutama pemanfaatan yang telah dilakukan oleh pengguna teknologi serta prospek
alih teknologi melalui proses komersialisasi. Diluar hal yang disifatnya teknis, luaran
penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi dalam mengambil arah kabijakan pemanfaatan
teknologi yang saat ini sangat dibutuhkan guna meningkatkan perekonomian nasional.
PERAN INFORMASI PATEN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF
PENGALENGAN MAKANAN
Tren teknologi yang berkembang saat ini membawa banyak perubahan pada tataran
pengelolaan alih teknologi yang berbasis IPTEK. Hal tersebut menjadi pertimbangan dalam upaya
menciptakan daya saing nasional, terutama dalam pemanfaatan industri berskala nasional.
Sinergitas terhadap interaksi yang terjadi membuat dinamisnya arus globalisasi terhadap
produk terutama dalam bentuk inovasi produk yang dapat memenuhi permintaan pasar. Peran
inovasi dalam pemanfaatan teknologi dapat dijadikan alternatif dalam penciptaan ruang
dalam berkreativitas sehingga Iptek melalui hasil penelitian dan pengembangan dapat
dipergunakan oleh pengguna secara optimal. Dimana fungsi inovasi dapat terus berkembang
apabila dilakukan perubahan secara terus menerus, hadir dalam ritme kehidupan modern,
dan mutakhir. Seiring perubahan zaman dan selera pasar yang terus berkembang, pelanggan
lebih peka dalam menentukan produk apa yang sekiranya dapat memberikan kepuasan baginya
Kotler dan Keller, 2012.
Hak atas Kekayaan Intelektual HaKI merupakan suatu perlindungan kekayaan
intelektual yang di atur jelas dalam perundangan di Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan
tersebut adalah paten. Dokumen paten memuat informasi mengenai cara menerapkan suatu
teknologi serta teknologi-teknologi pendahulunya. Melalui dokumen paten,
perkembangan teknologi dalam suatu bidang mudah untuk ditelusur darena setiap dokumen
paten memiliki unsur kebaruan dari teknologi- teknologi pendahulunya.
224
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Paten mempunyai peran yang kuat untuk melindungi teknologi yang dihasilkan oleh
inventor, memberikan hak monopoli kepada pemegang paten untuk menentukan harga
disamping hak-hak lain Adhiyati, 2009. Namun bagi inventor atau peneliti paten juga merupakan
alat diseminasi ilmu pengetahuan yang dapat membuka akses teknologi untuk masyarakat
umum dan industri.
Era globalisasi, transfer teknologi dan informasi akan semakin mudah dan fleksibel bila
dilakukan dengan pemanfaatan yang lebih optimal, salah satunya melalui penerapan HKI
dalam meningkatkan inovasi teknologi yang akhirnya dapat berdampak positif terhadap
peningkatan ekonomi suatu negara. Inovasi teknologi merupakan stimulus untuk
meningkatkan total factor productivity dan standar kehidupan masyarakat melalui produksi
produk dan jasa yang memiliki kualitas yang lebih baik. Kemajuan teknologi juga
meningkatkan efektivitas dalam hal teknik pengolahan sehingga dapat meningkatkan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi Sattar dan Mahmood, 2011. Gambar 1.
Memperlihatkan bagaimana fungsi pemanfaatan HKI dalam perkembangan teknologi pengalengan
makanan.
Gambar 1.
Fungsi HKI dalam Teknologi Pengalengan Makanan
Fungsi paten dalam konsep pemanfaatan penelitian dan pengembangan dapat diterapkan
dalam makalah ini dengan melakukan interaksi yang bersifat fleksibel guna memperoleh hasil
yang optimal, melalui; 1. Konsep “from idea to invention” dan “from
invention to innovation” perlu dilaksanakan secara utuh;
2. Menghasilkan “pemecahan baru atas suatu masalah teknis” new solution to a technical
problem; 3. Berorientasi komersial;
4. Mengikuti mekanisme standar dalam melaksanakan gagasan hingga masuk ke
pasar. Hubungan antara pemanfaatan paten
teknologi pengalengan makanan dan industri kreatif memiliki nilai yang strategis dalam
penciptaan daya saing usaha terutama pada percepatan pembangunan ekonomi. Munculnya
industri kreatif diartikan sebagai kelompok industri yang terdiri dari berbagai jenis industri
yang masing-masing memiliki keterkaitan dalam proses pengeksploitasian ide atau KI menjadi
nilai ekonomi tinggi yang dapat menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan. Sehingga
peran industri kreatif dalam sektor kuliner melalui pemanfaatan teknologi pengalengan
makanan dapat dilihat dalam Gambar 2 berikut.
Gambar 2.
Dampak dan Peranan Industri Kreatif
Peran teknologi dalam pengemasan produk saat ini memperlihatkan tren positif dalam
perdagangan produk, hal tersebut dikarenakan mempunyai keunggalan dalam fungsi preservasi
produk diantaranya untuk :
225
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
1. Melindungi bahan pangan yang dikemas dari kerusakan selama distribusi;
2. Melindungi produk dari kerusakan fisik, kimia, biologis;
3. Mencegah terjadinya kontaminasi cemaran; 4. Menjaga mutu selama penyimpanan;
5. Pengawetan pangan. Penggunaan kemasan dalam kaleng dipilih
untuk makanan karena sifatnya kedap udara, athogen ringan, mudah dibentuk, dan tidak
mudah pecah. Kelebihan menonjol khususnya dari kemasan kaleng bisa dilakukannya proses
sterilisasi, sehingga makanan yang disimpan di dalamnya menjadi steril, tidak mudah rusak, dan
awet. Sedangkan faktor yang sering kali menjadi permasalahan dalam pengemasan kaleng adalah
terjadi pada bahan makanan mikroba, dimana jasad renik itulah yang menyebabkan makanan
jadi bau, busuk, dan bahkan menjadi beracun. Selain itu juga perlu diperhatikan dalam proses
alih teknologinya dikarenakan karakteristik dari setiap produk yang dikalengkan berbeda dalam
penanganan dan perlakuan didalam proses produksinya. Pengalengan merupakan cara
pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat hermentis dan distelirkan dengan
panas. Cara pengawetan ini merupakan cara yang paling umum dilakukan karena bebas dari
kebusukan, serta dapat mempertahankan nilai gizi, cita rasa dan daya tarik. Secara umum,
proses pengalengan meliputi tahap-tahap persiapan bahan mentah, blansir, pengisian bahan
kedalam kemasan, pengisian larutan media, penghampaan udara, proses sterilisasi,
pendinginan dan pengimpanan Winarno, 1994.
Informasi paten terkait dengan teknologi pengalengan makanan dapat dimanfaatkan untuk
membantu dalam melihat prospek perkembangan trend technology suatu potensi teknologi
pengalengan makanan dapat diaplikasikan kedalam penelitian dan pengembangan yang
bersifat menghilirisasikan proses komersialisasi dari produk yang akan dihasilkan. Cakupan dari
sumber informasi paten tersebut sangat berguna dalam membangun networking
diantara pengguna dan penghasil teknologi yang nantinya
diskemakan dalam bentuk proses alih teknologi. Upaya tersebut dapat dijadikan sebagai bahan
rujukan dalam mengetahui probabilitas dari hasil penelusuran memakai software Total Patent
Klappera, 2006. Penggunaan alat penelusuran didasarkan pada subjek kata kunci dari sebuah
teknologi berguna untuk meningkatkan daya saing, mempromosikan dan mengamankan modal
serta know how, menghadapi kompetisi global. Secara rinci teknik penelusuran searching
dokumenteknologi terdahulu dalam bidang yang sama, yang berdekatan prior art dengan
menggunakan semua informasi, baik dalam bentuk paten atau dokumen permintaan paten
yang dipublikasikan maupun yang bukan paten seperti jurnal, tabloid, majalah dan sebagainya.
Kaitannya dengan makalah penelitian dan pengembangan teknologi pengalengan makanan
sangatlah penting dalam melihat tingkat keusangan dari teknologi yang dihasilkan.
Banyak cara dan metode yang dipergunakan dalam melihat sisi perkembangan teknologi yang
sedang populer dalam pasar global, sehingga keterlibatan dari sektor industri memerlukan
perhatian yang sangat besar dalam pemanfaatan hasil litbang yang ditawarkan
dikomersialisasikan.
METODE PENELITIAN
Makalah ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
literatur melalui penelusuran informasi paten, analisis database dokumen paten dengan
menggali data dan informasi yang terkait dengan topik penelitian dengan memfokuskan pada
pencarian jawaban atas masalah penelitian. Penggalian data dan informasi tersebut dilakukan
dengan dua pendekatan yaitu:
1 Studi Literatur Menelusuri informasi yang terkait dengan
topik dan permasalahan dari berbagai sumber tertulis, berupa buku, jurnal, artikel atau
tulisan-tulisan ahli lainnya dengan penggalian data data mining dimana
merupakan salah satu metode atau proses untuk mengekstrak pola tersembunyi dari
koleksi data tertentu yang menekankan tahapan penggalian data yang paling penting
untuk mengubah data menjadi informasi paten Yanhong dan Runhua, 2013;
2 Analisis database dokumen paten tentang potensi paten teknologi pengalengan
226
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
makanan melalui software Total Patent yang didalamnya bersumber pada database WIPO.
Tujuan dari makalah ini adalah mencari informasi yang terkait melalui database paten
internasional khususnya yang berkaitan dengan hasil penelitian dan pengembangan teknologi
pengalengan makanan. Sedangkan sasarannya pencarian dan analisis data ini adalah untuk
mengetahui sejauhmana penelitian yang sudah dan sedang berlangsung di bidang teknologi
pengalengan makanan sehingga dapat mengetahui tren teknologi dan penelitian yang
saat ini berlangsung.
Makalah ini dapat bersifat implementatifaplikatif, dimana hasilnya
diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Lebih khusus lagi, makalah ini merupakan proses
diseminasi paten dan perekayasaan ulang reverse engineering dari suatu teknologi yang
bersumber dari informasi paten.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelusuran paten yang dilakukan dengan mengacu pada database yang
berasal dari World Intelectual Property Organization WIPO melalui potensi paten
menggunakan software Total Patent didapatkan 286 patent terdaftar dan tersertifikasi.
Penelusuran dilakukan dengan menggunakan kata kunci “food and canning” yang mengacu
pada masa minimal perlindungan paten sederhana selama 10 tahun, untuk penelusuran data dimulai
dari tanggal 20 Oktober 2006 – 20 Oktober 2016. Data yang dipergunakan berasal dari USPTO,
EPO, WIPO, CPTO, JPO, KIPO, INPI, GPTO, IPO dan CIPO. Dengan memperimbangkan
jumlah paten terbesar sebanyak 10 judul dengan jangka waktu termasuk masa pendaftaran dan
sertifikasi selama 10 tahun 20 Oktober 2006 – 20 Oktober 2016 dengan mempergunakan
bentuk gambar pie chart.
Uraian penelusuran diambil 3 data terbesar yang terdiri dari tempat dan negara dimana paten
didaftarkan Authority, Penemu Paten Inventor, Pengguna Paten Assignee,
Klasifikasi Paten IPC dan Tanggal Publikasi Publication Date yang dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1. Tempat dan negara dimana paten didaftarkan Authority. Dari data yang diperoleh
menunjukkan bahwa China mempunyai sebanyak 433 paten terdaftar 50,6 yang
dikuti oleh Jepang sejumlah 110 paten terdaftar 12,9 serta Korea sebanyak 74
paten terdaftar 8,7 . Kesimpulan yang didapat menunjukkan bahwa pemanfaatan
paten terdaftar banyak didaftarkan diwilayah Asia, hal tersebut disebabkan oleh banyaknya
potensi-potensi lokal dimulai dari penciptaan produk-produk dengan inovasi teknologi
terkait dengan pengalengan makanan diproduksi mengikuti permintaan pasar.
Sebaran Paten yang didaftarkan disetiap negara seperti pada Gambar 3.
Gambar 3.
Paten Authority Teknologi Pengalengan Makanan
2. Penemu Paten Inventor, adalah orang yang membuat kontribusi yang inventif melalui
penemuan sebagaimana didefinisikan dengan klaim dari aplikasi paten. Dari data yang
didapat, menunjukkan data blank inventor yang mendaftarkan patennya dengan
minimum 1 paten sebanyak 20 invensi 23,6 , Prof. Luo Xiao-Dong dari Kunming
Institute of Botany, Chinese Academic Sciences CAS sebanyak 13 invensi 15,3
dan Yongkang Visita Appliance Co. Ltd. Merupakan perusahaan Manufaktur,
distribusi dan ekspor berbagai macam makanan olahan kaleng, dan saus. Sebaran
227
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
data dari inventor menunjukkan wilayah Asia masih menjadi unggulan dalam komoditi
pada pengalengan makanan dan dapat dilihat dari Gambar 4. berikut.
Gambar 4
. Nama Inventor Teknologi Pengalengan Makanan
3. Pengguna Paten Assignee Name adalah seseorang, sekelompok orang atau organisasi
yang menerima hak-hak kepemilikan intelektual. Dari data penelusuran paten
didapatkan untuk pemanfaatan oleh industri diperoleh hasil diantaranya Tetra Laval
Holdings Finance S.A. memproduksi bahan kemasan minuman ringan sebanyak 27
paten 18,7 , Blank pendaftar yang mendaftarkan paten dengan minimum 5
paten sebanyak 24 paten 16,6 dan PPG Industries Ohio, Inc. perusahaan
multinasional dibidang pelapisan kaleng sebanyak 18 paten 12,5 . Sebaran
pengguna paten dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5
. Pengguna Paten Teknologi Pengalengan Makanan
4. Klasifikasi Paten IPC, adalah sistem hierarki simbol independen untuk klasifikasi
paten dan utility model sesuai dengan berbagai area teknologi. Dari hasil
penelusuran paten diperoleh data meliputi B32B1509 sebanyak 21dengan area
klasifikasi paten B Performing Operations B32 Layered Products B32B Layered
Products, i.e. Products Built-Up of Strata of Flat or Non-Flat, e.g. Cellular or
Honeycomb, Form B32B1500 Layered Products Essentially Comprising Metal.
B32B1509 Comprising Polyesters, A22C1300 sebanyak 19 dengan area
klasifikasi paten A Human Necessities A22 Butchering; Meat Treatment; Processing
Poultry A22 or Fish A22C Processing Meat, Poultry, or Fish A22C1300 Sausage
Casings. C09D13306 sebanyak 16 dengan area klasifikasi paten C Chemistry;
Metallurgy C09 Dyes; Paints; Polishes; Natural Resins; Adhesives; Compositions not
otherwise provided for; applications of materials not otherwise provided for C09d
Coating Compositions, e.g. Paints, Varnishes, Lcquers; Filling Pastes; Chemical
Paint or Ink Removers; Inks; Correcting Fluids; Woodstains; Pastes or Solids for
Colouring or Pinting; use of Materials Therefor C09D133 Coating Compositions
based on Homopolymers or Copolymers of Compounds having one or more Unsaturated
Aiphatic Radicals, each having only one Carbon-to-Carbon Double Bond, and at least
one being terminated by only one Carboxyl Radical, or of Salts, Anhydrides, Esters,
Amides, Imides, or Nitriles thereof; Coating Compositions based on Derivatives of such
Polymers C09D13306 of Esters Containing only Carbon, Hydrogen, and
Oxygen, the Oxygen Atom being present only as part of the Carboxyl
Radical. Sebaran untuk data klasifikasi paten berdasarkan hasil penelusuran dapat dilihat
pada Gambar 6.
228
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Gambar 6.
Klasifikasi Paten Teknologi Pengalengan Makanan
5. Tanggal Publikasi Publication Date, adalah tanggal dimana paten didaftarkan,
dipublikasikan dan mendapatkan nomor registrasi patent. Dari hasil penelusuran
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir didapatkan data terbaru dari teknologi
pengalengan makanan pada tanggal 14 Desember 2006 dengan judul Coating
Composition For Outside Surface Of Food Can And Coated Food Can dan Inventornya
Tahashi shoji dan Kubo Mamiko serta Assignee dari Dainippon Ink and Chemichal,
tanggal 30 November 2006 dengan judul A Cooling Or Heating System For Cans And
Bottles Of Drink Or Food Has A Deep Cylindrical Insulated Vessel And A Thermal
Transfer System, inventor blank serta assignee dari Mayr Hassler Rainer Dominik,
Republic of Austria. Serta tanggal 29 November 2006 dengan judul Compositions
And Methods For Coating Food Cans, Inventor Ambrose Ronald R Ziegler Micha,
M. J. Ziegler, J. M. du Dick, dengan assignee PPG INDUSTRIES OHIO INC, United
States of America. Sedangkan sebaran tanggal publikasi paten dari teknologi
pengalengan makanan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7
. Tanggal Publikasi Paten Teknologi Pengalengan Makanan
Dari rekapitulasi penelusuran data paten teknologi pengalengan makanan, didapatkan
informasi yang sangat penting bahwa hampir sebagian besar invensi dan pendaftar serta
pemanfaat paten berasal dari wilayah Asia, hal tersebut disebabkan captive market dan potensi
sumber daya alam yang melimpah dapat dijadikan alasan selain masih murahnya harga
yang ditawarkan didalam sistem perdagangan internasional.
PENUTUP
Inovasi produk tidak selalu memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk tetap
berkreasi, tetapi hanya sebatas motif yang lebih dulu ada, sedangkan selera pasar mengalami
perkembangan demikian pesat mengingat trend mode yang cepat berubah.
Potensi pemanfaatan paten yang sifatnya kadaluarsa freedom to operate saat ini menjadi
peluang yang sangat strategis dalam upaya pengembangan diversifikasi produk turunan yang
bersifat siap dipasarkan. Untuk mengetahui hasil analisis paten yang tepat, memerlukan beberapa
informasi dasar yang berhubungan dengan kata kunci subjek yang akan di cari. Hasil analisis
paten dapat digunakan, baik manajemen strategis dan aplikasi, terutama dalam penyebaran
teknologi yang bersifat tepat guna Hendrix, 2016. Hasil data dapat diasumsikan sebagai;
1. Konten visual data paten dengan keterangan teknologi database utama.
229
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
2. Pengelolaan menilai penilaian paten, yang menghasilkan kebutuhan teknologi untuk
menentukan analisis seperangkat selektif berpengaruh paten yang pantas lebih intensif
kontrol dalam manajemen pengetahuan.
3. Mengidentifikasi analisis pengembangan produk dan tren teknologi
4. Mengelola portofolio paten dan peramalan riset pasar untuk aplikasi industri.
Hasil dari penelusuran data yang diperoleh terkait dengan pemanfaatan informasi paten
teknologi pengalengan makanan menunjukkan bahwa tren publikasi dari pendaftaran dan
sertifikasi paten cenderung masih sedikit dimanfaatkan oleh pengguna. Dari jumlah
keseluruhan 286 paten, tidak semuanya dapat jelas ditelusur pada database paten, hal tersebut
dikarenakan ada beberapa yang ditarik atau cukup didaftarkan saja sebagai penemuan baru
belum termanfaatkan oleh pengguna. Mayoritas paten yang banyak dipergunakan 21 paten
dengan area klasifikasi paten B Performing Operations, hal ini diartikan bahwa teknologi
yang diperkenalkan berbasis pada keadaan fisik, prinsip proses yang digunakan dan jenis
peralatan, khususnya pada sektor teknologi pengemasan makanan.
Hal lain yang perlu di perhatikan adalah belum membudayanya pemanfaatan dari
penelusuran data paten, sehingga informasi teknologi belum dapat diterapkan secara optimal.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bidang Inkubasi dan Alih Teknologi Pusat Inovasi LIPI yang telah memfasilitasi selesainya
penulisan makalah ini dan membantu selama pengambilan data. Serta ketersediaan Software
Total Patent sebagai sarana penelusuran database paten terkait hasil penelitian dan pengembangan
sektor teknologi pengalengan makanan. DAFTAR PUSTAKA
Stock, G.N., and M.V. Tatikonda. 2000. A Typology of Project-level Technology
Transfer Processes, Journal of Operations Management 18, 719-737. Elsivier Science
B.V. Hendrix, T dan A. Nurhikmat. 2011. Inovasi
Produk Pada Industri Kecil Menengah IKM Gudeg Wijilan Melalui Pengemasan
Produk Dalam Kaleng, Seminar dan Workshop Indonesian Life Cycle Assesment
on Food Product. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Zulkarnain; Lamusa, A. dan Tangkesalu, D. 2013. Analisis Nilai Tambah Kopi Jahe
Pada Industri Sal-Han di Kota Palu. e- Journal Agrotekbis. Vol. 1 5 : 493-499.
Adlhiyati Z. 2009. Produk Rekayasa Genetika GMOGenetically Modified Organism
Sebagai Subjek Perlindungan Paten dan Perlindungan Varietas Tanaman. [Tesis].
Universitas Diponegoro, Semarang.
Yanhong L., Runhua T. 2007. Text Mining Based Patent Analysis in Product Innovative
Process “, Boston: Springer Verlag. Sattar, Abdul Tahir Mahmood. 2011.
Intellectual Property Rights and Economic Growth. Pakistan Economic and Social
Review. Vol 49, No. 2. Pp 163 – 186.
Kotler Keller. 2012. A Famework for Marketing Management. Prentice Hall
International Inc: New Jersey. Winarno. 1994. Commercial Sterilization of
Product Food, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Klappera, Leora; Laevena, Luc; Rajan, Raghuram. 2006. Entry regulation as a
barrier to entrepreneurship. Journal of Financial Economics, Vol. 82 3, pp. 591–
629.
McDonald, Robert. 2013. Contingent Capital with a Dual Price Trigger. Journal of
Financial Stability, vol.9 2, pp. 230-241. Hendrix, T. 2016. Implementation of Research
and Development Based on Patent Natural Ingredient and Potential Ulization of
Tradition Medicine, The Asian Journal of technology Management, Vol. 9 No. 1, 8-
20.
230
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Sistem Inovasi Sektoral
dan Kebijakan Industri
Learning region for Regional Development :
Menciptakan learning region melalui Industri batik di Kota
Pekalongan
Nimas Maninggar
ab
Delik Hudalah
b a
Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi BPPT
b
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Keyword A B S T R A C T
Learning; Batik; Regional Development
Learning region, recently, has become a new phenomenon in regional development. It provides a conducive environment and infrastructure to
facilitate the flow of knowledge and ideas that, in turn, create qualified human resources to support innovation and production. In its development,
the regional policy became a strategy. It produces regulation and institution to drive the activation of learning process in a region. Besides,
history, culture and social communities are also the important factors to drive learning process in a region.
The Pekalongan City has become a learning region due to the hereditary batik industry. Non-governmental actors such as industry and university
are capable to transfer the ideas both inter and intra-industry. The inter- and intra-industry learning process creates the accumulation of ideas that
led to innovation. These Innovations lead to create new entrepreneurs that could make the batik industry in Pekalongan survive and develop. At the
same time, the regional policy serves to support the ongoing batik learning through obligating the batik curriculum and optimizing the function of the
batik museum for practicing the batik making. As a result, the learning process of batik has become a culture. It can also improve the local and
regional economy.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
pembelajaran, batik, pembangunan regional
Learning region menjadi fenomena baru dalam perkembanagn wilayah dewasa ini. Region dengan learning menyediakan lingkungan dan
infrastrutur untuk mengalirnya knowledge dan ide sehingga mampu menciptakan sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan untuk
mendukung inovasi dan produksi. Dalam proses pembentukannya, kebijakan wilayah menjadi strategi dengan membentuk aturan dan institusi
yang berperan dalam learning. Namun yang tak kalah pentingnya adalah faktor sejarah, budaya dan sosial masyarakat.
Kota Pekalongan telah menjadi learning region melalui indusri batik yang turun temurun. Aktor non pemerintah seperti industri dan universitas
mampu mentransfer ide baik didalam maupun antar industri. Proses learning didalam dan antar industri mengakibatkan akumulasi ide yang
berujung pada inovasi. Inovasi inilah yang membuat industri batik bertahan dan berkembang dengan mencetak entrepreneur baru.
Sedangkan kebijakan wilayah, berfungsi menunjang learning batik yang telah berjalan dengan menerbitkan kebijakan kurikulum wajib untuk batik
dan mengoptimalkan fungsi museum untuk praktek batik. Hasinya learning batik telah menjadi budaya dan mampu meningkatkan
perekonomian lokal dan regional.
.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
231
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENDAHULUAN
Learning adalah kendaraan dari teralirnya informasi dan ilmu pengetahuan. Lundvall 2000
lebih memilih menggunakan istilah learning economy daripada knowledge-based economy
untuk menyebut pergeseran basis ekonomi yang sekarang lebih mengarah pada pentingnya ilmu
pengetahuan, teknologi dan inovasi. Alasannya karena tidak akan berguna jika knowledge hanya
menjadi stock dan tidak dialirkan Cappellin, 2007. Knowledge akan dapat menciptakan dan
merubah sesuatu jika terdapat pembelajaran didalamnya.
Dalam learning economy terdapat istilah learning region.
Learning region masih menjadi
perdebatan hangat dikalangan akademisi, policy maker dan planner terkait definisi dan
kemanfaatannya dalam pengembangan wilayah. Beberapa akademisi seperti Florida 1995;
Moulaert Sekia 2003 berpendapat bahwa learning region merupakan konsep untuk
menciptakan inovasi dengan difusi ilmu pengetahuan. inovasi dan difusi pengetahun yang
terjadi dalam satu wilayah mengakibatkan region juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ide
dan knowledge yang mampu mensupply tenaga kerja berkualitas yang dibutuhkan untuk
mendukung inovasi dan produksi Florida, 1995. Kondisi tersebutlah yang memicu terciptanya
learning region
yang didalamnya juga menyediakan lingkungan dan infrastrutur untuk
mengalirnya knowledge dan ide Florida, 1995 Dalam proses pembentukannya learning region
menekannya peran regional Asheim, 2001. Dengan kata lain learning region seharusnya
dilihat sebagai kerangka kebijakan dalam pengembangan inovasi berbasis learning
Asheim, 2001. Pendapat ini sejalan dengan Hassink 2001 menggungkapkan bahwa learning
region mampu menjadi sebuah strategi inovasi wilayah dengan menghubungkan serangkaian
aktor inovasi. Dengan demikian kekuatan kebijakan wilayah mampu menciptakan sebuah
learning region
dengan menghubungkan serangkaian aktor untuk saling bertukar ide.
Di dalam makalah ini akan dihadirkan bahwa kebijakan bukan satusatunya alat untuk
menciptakan lenring region. Kebijakan hanya mendukung dari kondisi yang telah berkembang
di wilayah tersebut. Faktor sejarah dan sosial budaya dapat menjadi memicu terbentuknya
leanring antar masyarkat. Seperti yang diungkapkan Asheim 2007 pentingnya sosial
budaya dan sejarah dalam pembangunan ekonomi masyarakat untuk mencapai daerah yang
kompetitif dan inovatif.
Dengan menggunakan studi kasus industri batik di Kota Pekalongan makalah ini bertujuan untuk
mengidentifikasi transfer pengetahuan yang terjadi antar aktor-aktor non pemerintah dan
kebijakan wilayah yang menjadi rangsangan dalam berkembangnya learning region serta
dampaknya pada pengembangan ekonomi lokal dan regional. Hasil studi mengungkapkan bahwa
hubungan yang terjadi antar aktornya serta dukungan kebijakan wilayah, secara sadar atau
tidak kota Pekalongan telah menjadi learning region yang mampu mengiring pada peningkatan
ekonomi lokal dan regional.
Learning region: Antara kekuatan kebijakan atau sosial.
Learning region menurut Moulaert Sekia 2003 masuk dalam kelompok Territorial
Innovation Model TIM bersama konsep lainnya seperti Milieu innovateur, Industrial
district, new Industrial space, Local Production system dan Regional Innovation system.
Learning region bergema bersama Regional Innovation System RIS. Keduanya bersumber
dari teori inovasi Scumpeter dan memiliki cara kerja yang hampir sama yaitu mendasarkan
kerjasama institusi untuk mewujudkan inovasi yang mampu diadopsi oleh seluruh masyarakat di
wilayah tersebut Moulaert Sekia, 2003. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari fokus
implementasi, pada RIS memberatkan inovasi sedangkan pada learning region berfokus pada
learning Hassink, 2001.
Perbedaan fokus implementasi tersebut memicu dua pendapat berbeda terkait dengan keterlibatan
aktor. RIS yang dalam implementasinya tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan inovasi
232
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
seringkali dipandang lebih luas daripada learning region. RIS akan lebih banyak melibatkan aktor
regional agen inovasi yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan inovasi wilayah
dan berfokus pada dukungan kebijakan inovasi Hassink, 2001; Morgan, 2007. Kebijakan
inovasi pada suatu wilayah akan mampu mengiring aktor-aktor pemerintahan yang terlibat
untuk mewujudkan terciptanya inovasi . Inovasi tercipta dengan adanya learning. Hassink 2001
menyebutkan bahwa learning region adalah bagian dari Kebijakan inovasi.
Boekema Rutten 2003 menyangkal keterkaitan learning region dengan kebijakan
inovasi. Menurut Rutten pemerintah bukan satu- satunya aktor yang mampu menciptakan
innovation network. Banyak aktor regional bukan dari pemerintah dapat menjadi agen
penting dalam learning seperti perusahaan, pusat penelitian, dan lembaga intermediasi. Jika agen
tersebut saling berinteraksi akan mampu mencapai sebuah learning region. Learning
region yang tercipta akan banyak melakukan strategi inovasi diantaranya dengan memfasilitasi
pertukaran knowledge antar aktor dibandingkan dengan yang dilakukan oleh kebijakan inovasi.
Dari kedua pendapat tersebut menyiratkan adanya kekuatan top down dan bottom up dalam
learning region. Pendapat pertama menggambarkan bahwa terdapat kekuatan
pemerintah top down pada implementasi kebijakan inovasi yang mempengaruhi learning
disuatu wilayah. Kebijakan inovasi dapat mengatur kembali organisasi yang berperan
dalam learning dan inovasi untuk mencapai visi wilayah. Sedangkan pendapat kedua mendukung
kekuatan bottom up pada learning region. Kekuatan aktor-aktor non pemerintah mampu
membangun budaya learning. Pada akhirnya pertukaran knowledge dan ide yang terjadi pada
aktar aktor tersebut mampu membentuk suatu learning region.
Dalam learning region yang terjadi di Kota Pekalongan kekuatan pemerintah melalui
kebijakan inovasi dan masyarakat menjadi faktor pembentuk inovasi. Tidak bisa dipungkiri
gerakan masyarakat dan institusi non pemerintah yang telah bergelut dengan batik sejak lama
mampu mengiring wilayah menjadi sebuah learning region. Sedangkan kebijakan pemerintah
mendukung learning yang telah ada sebelumnya
Institusi dan learning region
Kelembagaan inovasi memainkan peran vital dalam learning region. Kelembagaan inovasi ini
dianggap mampu mempromosikan kerjasama terutama melalui kedinamisan learning dalam
suatu lembaga, antar lembaga dan lembaga dengan masyarakat Asheim, 2007. Lembaga
inovasi yang umumnya berperan dalam pembangunan wilayah melalui learning antara
lain policy maker, industri dan perdagangan, institusi pendidikan dan lembaga penelitian
Hassink, 2001.
Peran dan kerjasama antar intitusi dalam learning region tidak lepas dari kebijakan inovasi yang
diterapkan di suatu wilayah. Menurut Rutten, Boekema, others 2007 kebijakan inovasi
daerah akan mempengaruhi institutional setting. Hal serupa juga diungkapkan oleh Morgan
2007 bahwa pemerintah sebagai policy maker memiliki dampak penting dalam kolaborasi dan
koordinasi inovasi dalam suatu wilayah.
Selanjutnya Hassink 2001 menjelaskan bahwa learning region sebagai strategi inovasi wilayah
akan mendasarkan strateginya pada kebijakan yang berlaku di wilayah tersebut. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam learning region, pengaturan peran dan kerjasama
antar aktor akan sangat dipengaruhi oleh pemerintahan dan kebijakan inovasi yang
diterapkan di wilayah tersebut.
Selain pemerintah sebagai policy maker, keberadaan lembaga non pemerintah seperti
universitas, lembaga penelitian dan sekolah sebagai learning organization juga memegang
peran penting dalam learning region. Peran utama yang dimainkan oleh universitas dalam
learning region adalah sebagai hub bagi transfer pengetahuan bagi masyarakat. Dalam prakteknya
universitas ini membantu dalam menciptakan tenaga kerja yang terampil dan professional serta
beberapa diantaranya menjelma menjadi entrepreneur organization yang menghasilkan
entrepreneur Ho, 2014. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Castells Hall 1994 yang
233
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
membagi peran universitas menjadi 3 yaitu sebagai
research universities, training universities dan entrepreneur universities. lebih
jauh lagi Simha 2005 membuktikan adanya hubungan antara universitas dengan
perkembangan ekonomi wilayah yang menjadikan wilayah tersebut magnet bagi
penelitian, inovasi dan paten teknologi sehingga menjadi daya tarik bagi investor, industri dan
ilmuwan untuk bekerjsama dan berada dalam lingkup wilayah dimana universitas didirikan.
Jika dilihat dari hubungan perkembangan ekonomi wilayah, transfer pengetahuan dan
univesitas, umumnya akan terkait dengan high- tech industri. High-tech industri sendiri dinilai
sebagai sektor paling potensial dalam pengembangan inovasi yang mampu menjawab
tantangan globalisasi dan modernisme dunia. tak heran jika high tech region yang banyak didirikan
oleh negara maju memasukan universitas ke dalam kawasan yang dibangun. Sebut saja Silicon
Valley ,Research Triangle Park kemudian Boston’s highway 128 yang tak lepas dari
universitas pada awal dan perjalanan pengembangannya Castells Hall, 1994; Link
Scott, 2003; Simha, 2005.
Namun sepertinya hal tersebut tidak berlaku pada industri low tech. Universitas pada industri low-
tech tidak memiliki peran yang signifikan dalam pengembangan inovasi Kaufmann Tödtling,
2003. Peran univeritas terbatas pada sebagai tempat laboratorium uji kelayakan dan sertifikasi
Kaufmann Tödtling, 2003. Hal ini disebabkan oleh jenis pengetahuan yang
umumnya digunakan pada industri low tech adalah practical knowledge dimana praktek
learning by doing dan interaksi dengan konsumen dan supplier menjadi hal utama dalam
penciptaan inovasi sedangkan universitas akan sangat Kental dengan basic science dan bukan
applied scienceAsheim Coenen, 2005; Kaufmann Tödtling, 2003.
Hal berbeda ditunjukan oleh universitas di Kota Pekalongan. dengan basis low-tech industri yaitu
batik universitas pekalongan memiliki peran penting bagi leanring, training dan penciptaan
entrepreneur baru.
Pentingnya Social Capital dalam learning region
Dalam learning region terdapat penekanan pada pentingnya sosial budaya dan sejarah dalam
pembangunan ekonomi masyarakat untuk mencapai daerah yang kompetitif dan inovatif
Asheim, 2007. Selain itu faktor trust juga menjadi salah satu kunci penting dalam transfer
pengetahuan. Hal ini wajar karena interaktif antar aktor merupakan proses terbaik dalam learning,
sehingga faktor-faktor sosial dan trust tidak dapat dilepaskan dalam proses learning di suatu
wilayah Asheim Isaksen, 2003.
Localised learning juga disebut-sebut sebagai variabel yang efektif dalam mentransfer
pengetahuan Perry, 2014. Kedekatan spasial akan mempermudah dalam melakukan pertemuan
face to face untuk saling bertukar ide dan practical. Selain itu efisiensi biaya juga menjadi
isu penting dalam localised learning.
Namun seiring dengan berkembangnya teknologi ICT information, communication technology,
transfer pengetahuan dapat dilakukan pada jarak yang berjauhan antar negara dan antar benua.
Kecanggihan teknologi mengurangi biaya perjalanan untuk saling bertatap muka. Bagi ilmu
pengetahuan yang telah dikodifikasi ICT akan sangat membantu untuk pengembangan inovasi
dengan jarak jauh. Tetapi bagi pengetahuan yang bersifat tacit kedekatan spasial masih menjadi hal
utama dalam keteraliran dengan sesama.
Learning Region di Pekalongan
Kota Pekalongan dikenal sebagai kota Batik. di Indoensia sendiri 3 Kota besar yang penghasil
Batik di sematkan pada Solo, Jogja dan Pekalongan Sindonews, 2014. Namun dari
ketiga wilayah tersebut Pekalongan menjadi produsen batik terbesar dan yang paling
berkembang dengan marketshare sebesar 30 dari seluruh pasar batik di Indoensia Noviani,
2010; Nurainun, 2008; Pratiwi, 2013.
Saat ini batik Pekalongan berkembang menjadi bisnis yang mampu menggerakkan perekonomian
dan telah menjadi soko guru ekonomi masyarakat. Data yang didapat dalam lima tahun
terakhir ini beberapa variabel ekonomi seperti
234
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
jumlah industri, jumlah tenaga kerja, investasi dan omset mengalami peningakatn setiap
tahunnya. Jumlah industri terus meningkat dan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 8.7
pertahunnya, sedangkan tenaga kerja meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5.08.
Hal serupa juga terjadi pada jumlah investasi dan omset yang meningkat masing-masing 12.9 dan
31.39 BPS Kota Pekalongan, 2015
Salah satu faktor yang diklaim dalam meningkatkan dan membuat usaha batik tetap
bertahan di kota Pekalongan adalah Inovasi produk Bakhtiar, Sriyanto, Amalia, 2009;
Christiana, Pradhanawati, Hidayat, 2014. Dalam berinovasi pengusaha dan pekerja batik
tidak akan lepas dari learning baik learning yang dilakukan secara indivudu maupun berkelompok.
Transfer pengetahuan dan learning yang dilakukan dalam satu kelompok akan lebih
berpeluang untuk menghasilkan ide-ide baru. Hal ini tak lepas dari sifat inovasi yang terbuka dan
membutuhkan ide dari berbagai kepakaran yang berbeda.
Selain inovasi produk, Kebijakan dan dukungan dari Pemerintah dalam pengembangan industri
Batik juga turut andil dalam mempertahankan industri batik Astuty, 2014; Bakhtiar et al.,
2009; Christiana et al., 2014; Susanty, Handayani, Jati, 2013. Kebijakan inovasi
yang diterapkan oleh pemerintah Pekalongan mampu memfasilitasi terciptanya learning region
yang diduga telah berkembang sebelumya. Dukungan kebijakan inovasi adalah berupa
inisiasi pembentukan lembaga dan kebijakan yang meudahkan pembelajaran batik bagi
masyarakat Pekalongan khususnya.
Proses Transfer Pengetahuan di Kota Pekalongan
Dalam transfer pengetahuan dan ide pada pengembangan industri batik terdapat 2 node
yang mampu menjadi pusat penyebaran pengetahuan yaitu industri dan universitas. Peran
kedua aktor tersebut diduga mampu menjadi kekuatan bottom up untuk menggerakkan
pembelajaran masyarakat. Dengan pembelajaran masyarakat akan mampu menghasilkan ide-ide
baru yang memberikan nilai tambah bagi produk batik dan selanjutnya inovasi batik akan
terwujud. Pembelajaran masyarakat secara simultan dan berkembang tersebut secara sadar
atau tidak akan mewujudkan sebuah learning region
1 Industri
Pembahasan mengenai transfer pengetahuan dan ide dalam industri akan dibagi menjadi dua yaitu
transfer secara didalam industri dan antar industri. Pembagian ini bertujuan untuk
mengetaahui secara rinci transfer pengetahuan yang dilakukan secara individu dan kelompok
baik dalam satu industri atau antar industri. a
Transfer pengetahuan dalam satu industri
Dalam transfer pengetahuan dalam satu industri, perlu diketahui sebelumnya terdapat 4 aktor
utama yang berperan dalam aliran pengetahuan dan ide. Aktor tersebut adalah pengusaha atau
yang umumnya disebut juragan batik, pekerja, tukang mbabar dan makelar. Juragan batik adalah
orang yang memiliki modal sedangkan pekerja adalah sebutkan untuk orang yang bekerja pada
juragan batik. Tukang mbabar juga bekerja untuk juragan batik namun bedanya dengan pekerja
adalah tukang mbabar ini umumnya bekerja dirumah masing-masing. Juragan batik hanya
memberikan kain mori pada tukang mbabar, material selebihnya seperti pewarna dan malam
disediakan sendiri oleh tukang mbabar. Sedangkan makelar adalah penghubung antara
juragan dan tukang mbabar. Hubungan transfer knowledge dan penciptaan ide
keempat aktor tersebut akan sangat tergantung dari type juragan dalam memproduksi batik.
Terdapat 3 type juragan yaitu 1 Juragan yang memiliki rumah produksi dengan seluruh pekerja
bekerja dirumah produksi 2 Juragan yang memiliki rumah produksi dengan tenaga kerja
sebagain dirumah dan sebagian mbabar 3 Juragan yang membabarkan seluruh pekerjaan
produksinya. Untuk juragan tipe 1, pengusaha batik yang
memiliki rumah produksi sendiri umumnya memilki sejumlah pekerja yang kemudian
mengerjakan proses membatik dari awal sampai akhir di rumah produksi pengusaha tersebut.
Dalam kasus ini ide desain dan resep malam serta resep pewarna semuanya dipegang oleh
235
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
pengusaha. Pengusaha memberikan instruksi kepada pekerja untuk mengerjakan motif yang
telah dibuat oleh pengusaha. dalam pencarian idenya tak jarang pengusaha terinspirasi dari
konsumen.
Gambar Aliran ide Type JuraganPengusaha pengusaha batik yang memiliki rumah produksi
sendiri Juragan type 2, Pengusaha ini memiliki pekerja
yang bekerja dirumah produksi dan sebagian menyerahkan pekerjaan membatiknya pada
tukang mbabar untuk memenuhi produksi. Pengusaha jenis ini memiliki 2 saluran gagasan.
Gagasan pertama adalah dari pengusaha itu sendiri. Pengusaha menciptakan ide motif, resep
warna dan malam untuk produksi dirumah sendiri. Sedangkan gagasan kedua berasal dari
tukang mbabar. Tukang mbabar akan menawarkan sejumlah desain motif kreasi
sendiri. Selanjutnya Gambar Aliran ide Type JuraganPengusaha yang
memiliki pekerja yang bekerja dirumah produksi dan sebagian menyerahkan pekerjaan
membatiknya pada tukang mbabar jika pengusaha berminat maka akan dilakukan
pemesanan. Jika tidak maka tukang mbabar akan mengerjakan pesanan pengusaha dengan ide dari
pengusaha. Tak jarang dalam type ini pengusaha mengorder
pesanan melalui makelar. kemudian makelar akan menunjuk tukang mbabar dan menyerahkan
pesanan juragan kepadanya. Tukang mbabar sendiri umumnya telah memiliki pelanggan baik
pengusaha maupun tukang mbabar. Jika hal ini terjadi dimungkinkan saluran gagasan ide juga
muncul melalui makelar Sedangkan Juragan type 3, Pengusaha dengan
tipe ini tidak memiliki rumah produksi. Meraka hanya memiliki modal. Seluruh proses
pembatikan diserahkan pada tukang mbabar. Pengusaha hanya perlu membeli mori dan
menyalurkannya pada pengrajin. Umumnya ide motif dan warna adalah dari tukang mbabar.
Pengusaha hanya memilih motif yang akan diproduksi.
Type ketiga ini juga ada yang melibatkan makelar sebagai perantara. Jika hal ini terjadi
maka penciptaan ide juga dapat datang dari
makelar. Makelar akan menyarankan tukang mbabar untuk menciptakan motof sesuai
dengan masukannya, kemudian contoh motif tersebut akan di tawarkan kepada juragan.
Jika juragan berminat akn dilanjutkan dengan pemesanan namun tak jarang juragang akan
mengimprovisasi desain yang telah ditawarkan oleh makelar sebelum dipesan.
Pengusah
a
Pekerja
Ide motif, resep
warna dan malam
Pasar konsumen
Ide motif, warna
Pengguna
Pengusah
a
Pekerja
Pasar konsumen
Ide motif, warna
Pengguna
Tukang Mbabar
Ide motif, resep
warna dan malam
Ide motif, resep
warna dan malam
Ide motif, warna
Makelar
Ide motif, resep
warna dan malam
236
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Gambar Aliran ide Type JuraganPengusaha yang
tidak memiliki rumah produksi Dari ketiga type tersebut dapat diketahui juragan
dan tukang mbabar adalah titik simpul dalam proses learning. Tukang mbabar seringkali
memiliki pekerja dalam pengerjakan batik pesanan Juragan. Jadi secara tidak langsung
tukang mbabar ini juga bisa disebut juragan, namun untuk supply kain dan jenis pesanan
masih ditentukan oleh juragan besar batik. Bagi pekerja, rumah juragan batik dan juragan mbabar
menjadi lokasi yang tepat bagi transfer pengetahuan. dalam rumah juragan pekerja akan
diberikan instruksi mulai dari peracikan malam, warna dan detail motif yang harus diaplikasikan
ke kain. Dari hal tersebut pekerja akan belajar cara menghasilkan bahan dan produk sesuai
instruksi. Tak jarang sesama pekerja akan saling berbagi ilmu tentang cara yang efektif dalam
membatik. b
Transfer pengetahuan antar industri
Transfer pengetahuan antar industri batik umumnya dilakukan oleh juragan, baik juragan
batik maupun juragan mbabar. Media yang digunakan adalah berupa pertemuan informal
yang dijadwalnya sebulan sekali. Tempat pertemuan digilir oleh sesama pengusaha
berdasarkan asas kesukarelaan. Materi pertemuan umumnya tidak dijadwalankan dan hanya
mengalir begitu saja namun jika ada isu dan permasalaah terkait desain, teknik, dan racikan
warna baru yang sedang booming saat itu akan menjadi topik pembicaraan.
Pertemuan informal ini di inisiasi oleh pengusaha di Kota pekalongan. Tujuannya
adalah untuk saling membagi ilmu tentang batik. Anggota pertemuan ini tidak terbatas dari Kota
Pekalongan banyak diantaranya yang berasal dari kabupaten Pekalongan, Batang dan Pemalang.
Profesi pada anggota pun tidak terbatas ada pengusaha dan praktisi batik, tak jarang para
akademisi dan seniman ikut bergabung dalam forum.
Dari pertemuan informal tesebut para anggotanya mendapatkan feedback yang berguna
bagi pengembangan industri batik dan keilmuan. Keuntungan tersebut yang membuat forum ini
tetap berjalan hingga sekarang walau tanpa susunan organisasi yang baku. Keuntungan-
keuntungan yang didapatkan anggotanya antara lain:
1. Mendapatkan wawasan baik seputar warna,
teknik dan desain batik yang banyak diminati konsumen untuk saat ini dan
prediksi di masa akan datang
2. Masukan terhadap permasalahan batik saat ini terutama untuk mengatasi mewabahnya
kain bermotif batik batik printing yang sempat menghancurkan pasar batik.
3. Berbagi ilmu terbaru khususnya terkait warna alam.
2 Universitas dan vokasi Politeknik
dengan fokus pada batik
Peran universitas dan politeknik di Kota Pekalongan dalam pengembangan batik tidak
bisa dianggap remeh. Ketika batik telah menjadi icon dan pondasi ekonomi bagi masyarakat
ketika itu pula dibutuhkan dukungan pendidikan untuk memberikan nilai lebih pada industri batik.
Pendidikan yang bukan hanya menkankan pada teori namun lebih pada praktek-praktek dan
pengaplikasian teori tentang batik.
Terdapat dua universitas dan politeknik yang memberikan pengaruh besar pada pembelajaran
masyarakat di Kota pekalongan yaitu universitas Pekalongan dan Politeknik Batik Pusmanu
Perguruan Tinggi Usaha Sosial Bersama Nahdatul Ulama. Kedua lembaga pendidikan ini
Pengusah
a
Pasar konsumen
Ide motif, warna
Pengguna
Tukang Mbabar
Ide motif, resep
warna dan malam
Makelar
Ide motif, warna
produk
237
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
memiliki keunggulan dalam menawarkan program studi khusus untuk batik. universitas
Pekalongan unggul pada filososfi batik dan teknik membatik sedangkan Politeknik Batik
fokus pada pewarna alam.
Jika ditilik secara fungsi, universitas Pekalongan dan Polteknik batik memilik dua kemanfaatan
bagi terwujudnya leanring region yaitu sebagai training dan Entrepreneur University. Sebagai
training university, universitas pekalongan dan Politeknik batik mendidik mahasiswa untuk
menjadi lulusan yang memiliki skill dan keilmuan tentang batik. sedangkan sebagai
entrepreneur university, universitas menjadi jalan pembuka bagi terciptanya entrepreneur baru di
bidang batik.
Ketrampilan dan keilmuan batik ini diperlukan untuk memperbaiki dan mengimprovisasi tacit
knowledge yang berkembang di industri batik. Seperti diketahui, industri batik di Kota
Pekalongan adalah industri turun temurun dengan ilmu yang tururn temurun pula. Teori dan praktek
yang diajarkan di Universitas terkadang berbeda dengan ilmu turun temurun yang mereka
pelajarai sebelumnya.Tak jarang permasalahan yang berkembang seputar batik baik warna dan
teknik tidak memenemui jalan dan hanya disikapi dengan kegagalan produk. Dengan ilmu batik dan
proses learning by doing yang dilakukan mahsiswa bersama pengajar di universitas
seringkali memberikan masukan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan permasalahan dan mencari
solusi terbaik bagi pengembangan usaha batik.
Namun bagaimanapun juga Ilmu batik adalah ilmu terapan yang membutuhkan praktisi
dibidang batik untuk pengaplikasian ilmu. Praktisi memiliki pengalaman lapangan yang
terkadang lebih dalam dibanding akdemisi. Oleh karena itu banyak dari praktisi batik,
pengusahajuragan batik seringkali diundang untuk menjadi dosen tamu di universitas. Selain
itu beberapa dosen juga banyak yang mempraktekkan ilmu mereka dengan membuka
usaha batik.
Kebijakan Wilayah terkait Learning
Terdapat beberapa perubahan yang dilakukan oleh Kota Pekalongan untuk mencapai visi
menjadikan kota batik dunia yaitu menyusun kurikulum batik untuk sekolah dan berdampak
pada pengoptimalan fungsi museum.
1 Batik menjadi Kurikulum Wajib untuk Sekolah Dasar
Kebijakan yang berpengaruh pada pembelajaran batik adalah masukan ‘batik’ ke dalam kurikulum
muatan lokal untuk sekolah dasar. Disdikpora menjadi salah satu aktor penting dalam
peningkatan pengetahuan dan pembelajaran batik di Kota Pekalongan. Sebagai policy maker,
produk kebijakan disdikpora akan mempengaruhi berjalannya proses dan bahan ajar yang
digunakan oleh sekolah mulai dari tingkat dasar sampai menengah.
Pemilihan batik sebagai muatan lokal wajib Kota Pekalongan tidak lepas dari intervensi Bupati
pada masa itu Bashir 2005-2010 dan 2010- 2015. Bupati mengusulkan kepada disdispora
untuk mengkaji batik sebagai muatan lokal sekolah. Alasannya jelas karena besarnya potensi
batik di Kota Pekalongan sebagai mata pencaharian utama penduduk serta sebagai salah
satu jalan melestarikan budaya bangsa.
2Pengoptimalan fungsi museum
Dengan dicanangkannya kurikulum wajib untuk muatan lokal batik, pemerintah kota melalui
didiskpora memprogramkan untuk memberikan praktek membatik pada siswa-siswa sekolah
dasar. Praktek membatik ini dilakukan di Museum Kota Pekalongan. Setiap akhir tahun
yaitu bulan November dan Desember sekolah- sekolah Sekolah Dasar di Kota Pekalongan
secara bergilir mengirimkan siswa-siswa untuk berlatih membatik di museum. Bukan hanya
siswa sebelum pembukaan pelatihan untuk siswa- siswa Sekolah dasar tersebut, Museum juga
mengadakan TOT Training of Trainer kepada guru-guru seni dan guru batik SD seluruh Kota
Pekalongan.
Jika ditilik dari fungsinya, museum Kota Pekalongan selain berfungsi sebagai tempat
pamer dan peyimpanan sejarah batik, museum juga membuka workshop yang menawarkan kelas
238
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
membatik untuk seluruh kalangan. Pembukaan workshop ini untuk mewujudkan salah satu
tujuan utama didirikannya museum yaitu sebagai pusat edukasi dan pelestarian batik.
Kelas workshop telah memberikan kontribusi yang besar pada pendidikan dan pelatihan
membatik bagi masyarakat luas. Kelas ini tidak hanya menerima siswa dari Kota Pekalongan,
namun juga banyak yang datang dari luar Pekalongan bahkan sampai luar negeri baik yang
datang secara individu maupun secara berkelompok. Tidak jarang sekolah-sekolah baik
dari Pekalongan dan luar Pekalongan mengadakan kerjasama berupa pelatihan
membatik di museum. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap pengunjung yang ingin
berlatih membatik maka museum juga memiliki tenaga pengajar dalam membatik. Terdapat 6
tenaga pengajar batik di museum yang telah dibekali ilmu membatik sebelumnya. beberapa
pengajar masih menempuh pendidikan teknik batik di PUSMANU salah satu universitas yang
membuka jurusan batik di Kota Pekalongan.
Tabel Sebaran Peserta Pelatihan Batik di Museum batik Pekalongan
Jenis Peserta Daerah
Sekolah siswa dan guru
Kota Pekalongan, Kab. Pekalongan, Kab. Batang,
Kab. Pemalang, Kab. Kendal, Kab. Cirebon,
Semarang,Kab.
Tegal, Karanganyar, Jakarta,
Bandung Individu
Thailand, Belanda, Jepang, Jakarta, bandung, Depok,
Semarang, Sragen, Bogor, Bali, Batam, Kalimantan,
Lampung, Malang, Polandia, Kendal, Surabaya
Lembaga selain sekolah
dharmawanita, komunitas,
instansi pemerintahan
Bogor Alumni IPB, Sumatera, Semarang
PKK,BKM Pelalangan Makmur, Jakartamajalah
Asri, Salatiga PPA YOhanes,
Jenis Peserta Daerah
Pekalongan,Purwokerto dahrmawanita unsoed,
Seatrack mancanegara, Tegal ibuibulanal, yogja
Dharmawanita PLN
Sumber: Museum Batik Pekalongan 2016 Peran yang besar dari museum batik dalam hal
edukasi, learning dan training batik ditunjukan dengan peningkatan jumlah permintaan pelatihan
batik. Dari tahun 2012 sampai 2015 tercatat jumlah pelatihan secara berturut-turut adalah
sebesar 1239 kali ditahun 2012, 4330 dan 5373 kali ditahun 2013 dan 2014, dan 5835 kali
pelatihan di tahun 2015
Berbagai usaha dilakukan museum untuk menarik minat masyarakat untuk terlibat dalam
pelatihan dan pembelajaran batik baik di dalam Kota pekalonagn maupun di luar Kota
Pekalongan. Museum melakukan promosi melalui penyebaran leaflet dan pameran. Tak
jarang untuk memperlancar promosinya museum batik juga melakukan workshop di sekolah, mall
dan yang sedang dikaji adalah workshop di dalam lembaga pemasyarakatan.
Learning region untuk pengembangan ekonomi regional
Proses transfer pengetahuan dan learning yang terjadi di Pekalongan menggiring pada
perkembangan ekonomi yang bukan hanya lokal namun juga regional. Inovasi yang menjadi visi
daerah menstimulasi wilayah untuk melakukan learning. Hal ini disebabkan sifat penciptaan
inovasi yang tak lepas dari sistem, saling ketergantungan dalam bertukar ide dari berbagai
macam keilmuan. sistem dan saling ketergantungan dalam pertukaran ide ini
kemudian yang memunculkan hubungan kerjasama antar aktornya.
Hubungan antar aktor pemerintah dan non pemerintah membuat transfer pengetahuan terus
berjalan. Industri, universitas dan museum adalah aktor-aktor penting dalam penciptaan leanirng
region di kota pekalongan. Tiap-tiap aktor
239
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
memainkan peran masing-masing dan saling terkait satu dengan lainnya.
Tabel Peran aktor yang mempengaruhi perkembangan ekonomi lokalregional
Aktor peran
Pengaruh pada ekonomi lokalregional
Industri • Akumulasi ide-ide teknik batik
dan pewarnaan invovasi baru • Pengajar bagi universitas
Enterprenur baru lapangan pekerjaan baru yang sekarang untuk pekerja batik sudah
merambah ke Kabupaten pekalongan,Batang dan Pmealang
Universitas • Menciptakan tenaga kerja yang
terampil dalam membatik • Mendidik pengajar untuk
museum Enterprenur baru
Museum batik Menjadi tempat praktek batik bagi
siswa SD Kota pekalongan dan masyarakt luas pada umumnya
Meningkatkan pemasukan daerah dengan wisatawan, mahasiswa, siswa sekolah dan
masyarakat umum yang datang dan belajar di Museum batik Kota Pekalongan
Sumber: Hasil Identifikasi, 2016 Industri dan universitas berperan
untuk menciptakan entrepreneur batik, yang manfaat ekonominya
tidak hanya dapat dirasakan oleh Kota Pekalongan namun daerah-
daerah sekitarnya. Universitas pun demikian, keberadaaannya
membantu menghasilkan pekerja batik yang terampil. Mahasiswa
universitas di Pekalongan tidak hanya terbatas di Kota Pekalongan
namun juga Kabupaten Pekalongan, Batang, Pemalang dan Jakarta.
Gambar: Proses aliran kerjasama aktor di Kota Pekalongan dalam
membentuk learning region Sedangkan museum batik adalah
aktor yang dibentuk oleh pemerintah untuk turut memperkuat
pembelajaran batik di Kota Pekalongan. Namun dampak dari kebijakan ini meluas, dengan kelas
workshop yang dibuka oleh Museum batik banyak dari masyarakat luar Pekalongan yang
mengikuti kelas tersebut. Tak terbatas dalam negeri bahkan sampai turis mancanegara baik
Asia dan Eropa banyak yang mengikuti workshop batik.
Kesimpulan
Learning region tidak selalu dirangsang oleh kebijakan wilayah, namun kebijakan wilayah
dapat memberikan dukungan pada terciptanya learning region. Sejarah dan budaya serta
industri yang turun temurun disuatu wilayah dapat menjadi kekuatan besar bagi learning di
240
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
masyarakat. Social trust menjadi kunci pertukaran ide dan collective learning.
Kota Pekalongan secara sadar atau tidak telah menjadi learning region dengan dukungan besar
dari learning yang terjadi pada industri batik. Transfer pengetahuan yang terjadi didalam
industri maupun antar industri batik terakumulasi menjadi collective learning yang
mampu memunculkan inovasi-inovasi pada batik. Selain itu collective learning yang terjadi
memicu banyaknya individu yang tadinya berprofesi sebagai pekerja untuk membuka
usaha batik baru. Pembukaan usaha baru membuka juga peluang individu lain untuk
menjadi pekerja yang akhirnya transfer pengetahuan dan collective learning terus
berjalan. Learning ini meluas tidak hanya di Kota Pekalongan. Banyak pekerja akhirnya yang
datang dari daerah sekitarnya sepeti Kabupaten Pekalongan, Batang dan Pemalang.
selain itu peran universitas tidak dapat dikesampingkan dalam usaha transfer
knowledge, learning yang berujung pada inovasi. Universitas ini menghadirkan cara baru
belajar batik. Sebagai training dan entrepreneur University, universitas ini menjadi tempat untuk
menghasilkan pekerja yang terampil serta memunculkan banyak entrepreneur baru.
Mahasiswa di universitas ini tidak hanya dari Kota Pekalongan namun juga Kabupaten
Pekalongan, Batang, Pemalang, Jakarta bahkan Jepang.
Selanjutnya perkembangan industri batik yang kemudian memunculkan image sebagai pusat
batik membuat pemerintah memberikan dukungan kebijakan. Salah satu kebijakan yang
membuat wilayah terus belajar adalah kurikulum wajib batik untuk sekolah dasar dan
mengoptimalkan fungsi museum. Museum, kemudian menjadi pusat pembelajaran batik
tidak hanya di Kota Pekalongan namun di Indonesia bahkan dunia.
Dengan demikian Kota Pekalongan mampu menyediakan tenaga-tenaga terampil, fasilitas
pendidikan, industri dan kebijakan yang mendukung pembelajaran pada batik. Seperti
yang diungkapkan oleh Florida 1995 learning region berfungsi sebagai kolektor dan gudang
penyimpanan dari knowledge dan ide dan menyediakan lingkungan dan infrastruktur untuk
mengalirnya knowledge, ide dan learning. Learning region di Kota Pekalongan juga
mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya pada Kota Pekalongan sendiri
tapi daerah-daerah sekitarnya.
Acknowledgement Penulis menyampaikan terima kasih kepada
Prof. Tommy Firman dan Dr. Ridwan Sutriadi atas masukan dan input yang diberikan selama
proses penulisan
Daftar Pustaka
Asheim, B. T. 2001. Learning regions as development coalitions: Partnership as
governance in European workfare states? Concepts and Transformation, 61, 73–
101.
Asheim, B. T. 2007. Industrial districts as “learning region”: a condition for
prosperity. In The Learning Region Foundations, State of the art, Future pp.
71–100. Cheltehnham: Edwar Elgar.
Asheim, B. T., Coenen, L. 2005. Knowledge bases and regional innovation systems:
Comparing Nordic clusters. Research Policy, 348, 1173–1190.
Asheim, B. T., Isaksen, A. 2003. SMEs and the regional dimension of innovation. In
B. T. Asheim, A. Isaksen, C. Nauwelaers, F. Todtling Eds., Regional Policy For
Small-Medium Enterprises pp. 21–48. Northampton: Edward Elgar Publishing
Inc.
Astuty, E. D. 2014. Conditions and the Existence of Cluster Development
Business Batik Pekalongan City, Central Java, Indoensia. European Journal of
Business and Management.
Bakhtiar, A., Sriyanto, Amalia. 2009. Analisa Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pengembangan Kreativitas Industri Kerajinan Batik. J
TI UNDIP, 41, 27–41.
Boekema, F., Rutten, R. 2003. Economic geography of higher education:
241
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
Knowledge, infrastructure and learning regions. Routledge.
Cappellin, R. 2007. The Territorial Dimension of the Knowledge Economy Collective
Learning, Spatial Changes, and Regional and Urban Policies. American Behavioral
Scientist, 507, 897–921.
Castells, M., Hall, P. 1994. Technopoles of the world: The making of 21st century
industrial complexes. New York: Routledge.
Christiana, Y., Pradhanawati, A., Hidayat, W. 2014. Pengaruh Kompetensi, Pembinaan
Usaha dan Inovasi Produk terhadap perkembangan Usaha Studi pada Usaha
Kecil dan Menengah batik di Sentra Pesindon Kota Pekalongan. Diponegoro
Journal of Social and Politic, 1–10.
Florida, R. 1995. Toward the learning region. Futures, 275, 527–536.
Hassink, R. 2001. The learning region: A fuzzy concept or a sound theoretical basis
for modern regional innovation policies? Zeitschrift Für Wirtschaftsgeographie,
451, 219–230.
Ho, K. C. 2014. The university’s place in Asian cities. Asia Pacific Viewpoint,
552, 156–168. Kaufmann, A., Tödtling, F. 2003.
Innovation Patterns of SMEs. In Regional Innovation Policy for Small-Medium
Enterprises pp. 78–118. Northampton: Edward Elgar Publishing Inc.
Link, A. N., Scott, J. T. 2003. The growth of research triangle park. Small Business
Economics, 202, 167–175. Lundvall, B.-\AAke. 2000. The Learning
Economy: Some Implications for the Knowledge Base of Health and Education
Systems. In Knowledge Management in The Learning Society pp. 125–140.
France: Organisation For Economic Co- operation and DevelopmentD.
Morgan, K. 2007. The learning region: institutions, innovation and regional
renewal. Regional Studies, 41S1, S147– S159.
Moulaert, F., Sekia, F. 2003. Territorial innovation models: a critical survey.
Regional Studies, 373, 289–302. National Bureau of
Statictics. 2015. Pekalongan Dalam Angka 2015.
Pekalongan: National Bureau of Statistics. Noviani, I. R. 2010. Pengaruh Design Produk
dan Penetapan Harga terhadap Pangsa pasar Batik Trusmi Cirebon survei pada
pengrajin batik trusmi Kecamatan Plered kabupaten Cirebon. Universitas
Pendidikan Indonesia, Jakarta.
Nurainun, N. 2008. Analisis industri batik di Indonesia. Fokus Ekonomi, 73.
Perry, M. 2014. Learning regions as a framework for innovation policy: A
review of the issues. Innovation, 163, 286–302.
Pratiwi, E. 2013. Perkembangan batik Pekalongan tahun 1950–1970. Unnes.
Rutten, R., Boekema, F., others. 2007. The learning region: Foundations, state of the
art, future. Chapters. Simha, O. R. 2005. The economic impact of
eight research universities on the Boston region.
Tertiary Education and Management, 113, 269–278.
Sindonews. 2014, November 13. 10 Daerah produsen batik terpopuler
[sindonews.com]. Retrieved September 16, 2016, from nasional.sindonews.com:
nasional.sindonews.comread923771163 10-daerah-penghasil-batik-terpopuler-
1415863079
Susanty, A., Handayani, N. U., Jati, P. A. 2013. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan klaster batik pekalongan studi kasus pada klaster batik
kauman, pesindon dan jenggot. J TI UNDIP: JURNAL TEKNIK INDUSTRI,
81, 1–14.
242
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
PENGEMBANGAN PRODUK PADA INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN BERBASIS KOMODITI BANDENG: PENDEKATAN
SISTEM INOVASI SEKTORAL
PRODUCT DEVELOPMENT IN MILK FISH PROCESSING INDUSTRY: AN ANALYSIS OF SECTORAL INNOVATION SYSTEM
Hadi Kardoyo dan Setiowiji Handoyo
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek PAPPIPTEK-LIPI, Gedung A PDII-LIPI, Jl. Jend. Gatot Subroto, No.10, Jakarta Selatan, 12710,
hadikardoyogmail.com
Keyword A B S T R A C T
sectoral innovation system, milk-fish based food
processing industry, technology capability, food
canning technology This article aims to examine the activity aquaculture-based processing industry by
using the analytical framework of sectoral innovation system. Analyses were performed using the framework Malerba and Mani 2009, which emphasizes the
importance of understanding the process of interaction, cooperation, and other forms of competition in the analysis of sectoral innovation systems. The findings of case
studies show that the activity of milk-fish based food processing industry is still dominated by small and medium-sized businesses that are spread in several processed
milkfish production centers. Activities in milkfish-based food industries generally uses low technology and is done for generations. Evolution of processed milkfish products
grown in harmony with the development of learning capabilities and technological capabilities of businesses in response to market and demand. Activities of efforts in
using high technology such as canning processed milkfish is still undeveloped. This is due to the mastery of technology businesses still limited. The role of innovation system
elements, such as R D institutions, associations, technical ministries need to be actualized. Thus, the potential for large milkfish aquaculture can be utilized by
businesses through product differentiation using canning technology.
Kata Kunci S A R I K A R A N G A N
sistem inovasi sektoral, industri pengolahan bandeng,
kapabilitas teknologi, teknologi pengalengan makanan
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas industri pengolahan produk unggulan berbasis perikanan bandeng dengan menggunakan kerangka analisis sistem inovasi
sektoral pada beberapa pelaku industri pengolahan makanan berbasis bandeng. Analisis dilakukan dengan menggunakan kerangka Malerba dan Mani 2009 yang
menekankan pentingnya pemahaman terhadap proses interaksi, kerjasama, dan bentuk-bentuk kompetisi dalam analisis sistem inovasi sektoral. Hasil studi kasus
menunjukkan bahwa aktivitas industri pengolahan makanan berbasis bandeng saat ini masih didominasi pelaku usaha kecil dan menengah yang tersebar pada beberapa
sentra produksi bandeng olahan. Aktivitas pengolahan bandeng pada umumnya menggunakan teknologi sederhanarendah dan dilakukan secara turun temurun.
Evolusi produk olahan bandeng berkembang selaras dengan perkembangan kapabilitas learning dan kapabilitas teknologi pelaku usaha dalam merespon
permintaan pasar. Aktivitas pelaku usaha dalam menggunakan teknologi tinggi seperti untuk pengalengan bandeng olahan masih belum berkembang. Hal ini disebabkan
penguasaan teknologi pelaku usaha masih terbatas. Peran elemen sistem inovasi, seperti lembaga litbang, asosiasi, kementerian teknis perlu diaktualisasikan. Sehingga,
potensi budidaya bandeng yang besar dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha melalui diferensiasi produk bandeng olahan dengan teknologi pengalengan.
© Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016
243
Forum Tahunan Pengembangan Iptek dan Inovasi Nasional VI, Tahun 2016