Hubungan Perilaku Konsumsi Singkong dengan Sikap terhadap
cenderung memiliki rasa gengsi jika singkong dijadikan sebagai makanan pokok. Sikap melekat dengan budaya, dalam hal ini budaya yang terdapat pada responden
adalah singkong sebagai makanan cemilan dan tambahan, karena beraslah yang menjadi makanan pokok. Sementara itu, responden yang jarang mengkonsumsi
singkong, maka sikapnya cenderung lebih positif terhadap singkong. Artinya, semakin jarang responden mengkonsumsi singkong, maka sikapnya terhadap
singkong menjadi lebih positif. Jika dihubungkan dengan pendapatan, maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan responden, maka responden tersebut
lebih beragam konsumsinya dibandingkan dengan responden dengan pendapatan rendah, sehingga responden dengan pendapatan tinggi karena jarang
mengkonsumsi singkong, maka sikapnya cenderung positif terhadap singkong. Sementara itu, responden yang lebih sering mengkonsumsi singkong dalam hal ini
responden dengan pendapatan rendah, maka sikap terhadap singkong cenderung netral atau biasa saja. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi
mempengaruhi sikap responden terhadap singkong, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan antara dugaan peneliti dengan hasil penelitian.
Perilaku dapat mempengaruhi sikap responden terhadap singkong juga dapat terjadi jika seseorang tidak memiliki pilihan lain selain singkong sebagai
makanan pokok, sehingga sikapnya akan positif terhadap singkong. Namun, pada kenyataannya responden di desa ini memiliki pilihan lain sebagai makanan pokok
mereka yaitu beras, karena beras masih mudah ditemukan di Desa Cibatok Satu. Artinya, faktor ketersediaan bahan pangan dalam hal ini beras juga mempengaruhi
perilaku konsumsi responden. Selama beras masih mudah di dapat dan didukung oleh faktor lingkungan lahan yang subur untuk menanam padi, maka perilaku
konsumsi responden terhadap beras semakin tinggi. Berdasarkan gambaran umum Desa Cibatok Satu dapat diketahui bahwa petani sebagian besar menanam
singkong, jagung, dan ubi di sawahnya, namun lebih sering dijual dibandingkan untuk dikonsumsi sendiri dengan alasan memiliki nilai jual yang cukup tinggi
sehingga tingkat konsumsi non beras pada petani lebih rendah dibandingkan non petani. Seharusnya petani lebih tinggi tingkat konsumsi non berasnya karena
didukung oleh faktor ketersediaan bahan pangan non beras yang lebih mudah didapatkan dibandingkan non petani.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara perilaku singkong dengan sikap terhadap singkong, maka akan diuji dengan uji statistik Chi-square.
Berdasarkan hasil analisis uji statistik Chi-square didapatkan koefisien kontingensi sebesar 0.375 dengan tingkat signifikansi 0.017 0.05 level of
significant α. Artinya, terdapat perbedaan perilaku konsumsi singkong dengan
sikap responden terhadap singkong, walaupun hubungan keduanya lemah, namun menunjukkan hubungan yang positif. Dengan kata lain, semakin tinggi perilaku
konsumsi singkong, maka sikapnya cenderung netral, dan sebaliknya semakin jarang mengkonsumsi singkong, maka sikapnya semakin positif terhadap
singkong. Dengan demikian, hasil analisis tabel silang dengan uji statistik Chi- square memberikan hasil yang sama yaitu kedua variabel tersebut memiliki
hubungan yang signifikan.