Contoh 89 menunjukkan hubungan tidak akrab. Hal tersebut ditunjukkan dengan penggunaan kata sapaan
Wo’u oleh penutur kepada mitra tutur dan begitu juga mitra tutur kepada penuturpenyapa. Dalam contoh tersebut tampak bahwa
penutur belum mengenal atau berada dalam hubungan yang tidak akrab dengan mitra tutur sehingga menggunakan sapaan W
o’u. Jika mitra tutur mempunyai usia lebih tua lansia daripada penutur dan
sudah saling mengenal maka sapaan yang digunakan adalah Ina Kaweda, Ama Kaweda, InnaAma diikuti nama anak pertama atau terakhir. Berikut contoh dan
penjelasannya. 90
A : Co Inna Meri, ge kako niamu kapotta dana? „Mama meri, pergi kemana gelap-gelap begini?
B : Hetti gai wo’i gula ne kios iyaro
„Saya pergi beli gula di kios depan‟
Jika mitra tutur memiliki umur lebih tua dewasa daripada penutur dan saling mengenal maka sapaan yang digunakan adalah om, tante diikuti nama diri
mitra tutur. Tetapi jika belum mengenal maka sapaan yang digunakan adalah tante dan om tanpa diikuti nama diri. Berikut contoh dan penjelasannya.
91 A : Om Hanis, maida kata rai rujak
„Om Hanis, ayo bikin rujak‟ B : Rai yemmi to. Ba paddo ga yawa wadde.
„Kalian buat sudah. Nanti bagikan ke saya.‟ 92
A : Om, pirra ne beras igha kilo? „Om beras satu kilo berapa?
B : Kabullu rat igha kilo. „Sepuluh ribu satu kilo.‟
Contoh dialog 91 menunjukkan penggunaan sapaan kepada orang dewasa dalam hubungan akrab atau sudah saling mengenal sedangkan contoh
dialog 92 menunjukkan penggunaan sapaan kepada orang dewasa dalam hubungan tidak akrab atau tidak saling mengenal.
Apabila mitra tutur memiliki umur yang lebih tua dalam artian masih tergolong muda dan mitra tutur memiliki umur yang lebih muda daripada penutur
dan dalam hubungan yang akrab maka sapaan yang digunakan adalah ka’aalli
diikuti nama diri. Tetapi jika belum saling mengenal maka dapat digunakan kata sapaan Wou
, ka’a tanpa diikuti nama diri, dan alli tanpa diikuti nama diri.
93 A : Ka’a Rambu, pirra duki ne sumba? Tabba ka’bola ponggu e.
„Kakak Rambu, kapan tiba di sumba? Kakak makin cantik‟ B: Bu
’di du’ki gu manna male. „Saya baru tiba kemarin malam.‟
3.7 Faktor Perbedaan Jenis Kelamin
Kelamin merupakan sifat jasmani ataupun rohani yang membedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan atau wanita dan pria. Pemakaian kata sapaan
yang dipengaruhi faktor jenis kelamin yaitu berdasarkan jenis kelamin mitra tutur. Oleh karena itu, faktor jenis kelamin merupakan salah satu faktor pembeda sapaan
dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Sapaan yang dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin dalam bahasa Weejewa ada dua, yaitu sapaan yang digunakan untuk orang berjenis
kelamin laki-laki dan sapaan yang digunakan untuk orang berjenis kelamin perempuan. Sapaan dalam bahasa Weejewa yang digunakan untuk menyapa orang
yang berjenis kelamin laki-laki adalah Ama Kaweda, Ama, Ana Mane, Na’a,
Umbu, Tamoama, Aiba, Amaangua, Loka, Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Olesawa, Wasse,
Pa’ama, Om, Ka’a,
Alli, Tokko, Maromba, Toungguru kabani, Tokko, Bapak. Sedangkan sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang
berjenis kelamin perempuan adalah Inna Kaweda, Inna, Ana Mawine, Leiro, Wotto, Umbu, Tamoina, Aiba, Inaangua, Loka, Cama, Anakabine, Anguleba,
Olebei, Wera, Wasse, Ippa, painna, Ka’a, Alli, Nyora, Dawa, sutera, ibu.
Berikut bebrapa contoh dialog yang menunjukkan penggunaan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin.
94 A : Leiro, patama beli ne motora dana. Na male ba ne.
„Anak, masukkan motor itu ke dalam. Hari sudah malam‟ B
: O‟o, Ama. „Iya, Bapak.‟
95 A : Wotto, tolong isi beli gai pulsa 5 rata.
‘Nona, tolong isikan saya pulsa lima ribu’ B : Arroge dai kaiki ritigu ge
Na’a. „Aduh, saya tidak punya uang, kakak.‟
Contoh dialog 94 dan 95 menunjukkan adanya pengaruh faktor jenis kelamin. Dalam contoh 94 terdapat sapaan Leiro dan Ama. Penutur
menggunakan sapaan Leiro karena mitra tutur yang diajak bicara berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur menanggapi penyapa dengan menggunakan kata
sapaan Ama yang menunjukkan bahwa penutur atau penyapa berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan pada contoh 95 terdapat kata sapaan Wotto dan
Na’a. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penutur menggunakan sapaan Wotto karena mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur menggunakan sapaan
Na’a karena penyapa berjenis kelamin laki-laki. Penggunaan sapaan-sapaan pada contoh dialog di atas juga
dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu faktor hubungan kekerabatan. Berikut contoh dialog yang juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin.
96 A : Ibu sutera,na ana gu bisa kana priksa dara lengkap belli ne
lodo? „Ibu Suster, Apakah hari ini anak saya boleh menjalani
pemeriksaan darah lengkap?‟ B : „O’o na bisa we Bapa.’
„Iya, sudah boleh, Bapak.‟ 97
A : Ge la’a mu, maromba? „Mau ke mana, Pater?
B : Etiga pimpin misa ne wanno kalembuweri? „Saya mau pergi pimpin misa di kampung kalembuweri‟
3.8 Faktor Situasi
Faktor situasi juga mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Situasi adalah unsur-unsur luar bahasa yang berhubungan dengan
ujaran atua wacana sehingga ujaran atau wacana tersebut bermakna Kridalaksana, 1982: 115. Dalam hal ini, situasi yang dimaksud adalah situasi
resmi dan situasi tidak resmi. Pemakaian kata sapaan dalam bahasa Weejewa sebagian besar terjadi
dalam situasi tidak resmi atau santai. Dalam situasi ini penutur dan lawan bicara tidak terikat pada hubungan-hubungan atau kepentingan yang bersifat
resmiformal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI