Penutur menggunakan sapaan Wotto karena mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur menggunakan sapaan
Na’a karena penyapa berjenis kelamin laki-laki. Penggunaan sapaan-sapaan pada contoh dialog di atas juga
dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu faktor hubungan kekerabatan. Berikut contoh dialog yang juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin.
96 A : Ibu sutera,na ana gu bisa kana priksa dara lengkap belli ne
lodo? „Ibu Suster, Apakah hari ini anak saya boleh menjalani
pemeriksaan darah lengkap?‟ B : „O’o na bisa we Bapa.’
„Iya, sudah boleh, Bapak.‟ 97
A : Ge la’a mu, maromba? „Mau ke mana, Pater?
B : Etiga pimpin misa ne wanno kalembuweri? „Saya mau pergi pimpin misa di kampung kalembuweri‟
3.8 Faktor Situasi
Faktor situasi juga mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Situasi adalah unsur-unsur luar bahasa yang berhubungan dengan
ujaran atua wacana sehingga ujaran atau wacana tersebut bermakna Kridalaksana, 1982: 115. Dalam hal ini, situasi yang dimaksud adalah situasi
resmi dan situasi tidak resmi. Pemakaian kata sapaan dalam bahasa Weejewa sebagian besar terjadi
dalam situasi tidak resmi atau santai. Dalam situasi ini penutur dan lawan bicara tidak terikat pada hubungan-hubungan atau kepentingan yang bersifat
resmiformal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam situasi resmi, seperti kegiatan adat perkawinan misalnya, sapaan yang biasa digunakan untuk kepala desalurah atau pastorromo sesuai dengan
jabatan dan kedudukannya. Dalam hal ini, seseorang yang umurnya lebih tua daripada kepala desalurah atau pastorromo tersebut tetap akan menyapa kepala
desalurah atau pastorromo dengan sapaan Pak Lurah dan pastorroom dengan maromba.
Sebagaimana dalam kehidupan masyarakat Sumba Barat Daya, yakni dalam kegiatan adat perkawinan, misalnya masuk mintameminang, keluarga akan
mengirim utusan yang disebut ata panewe. Jika yang menjadi ata panewe itu seorang Ayah dan anaknya adalah Lurah atau romopastor, sang ayah akan
menyapa anaknya yang berstatus sebagai Lurahpastorromo itu dengan sapaan Pak LurahMaromba bukan menggunakan sapaan yang biasa digunakan ketika
sedang berada di rumah. Hal tersebut terjadi dalam kegiatan resmiformal lainnya. Seorang ayahibu biasa menggunakan sapaan Pak Bupati atau Pak Dokter kepada
anaknya jika anaknya mempunyai kedudukan sebagai BupatiDokter. Demikian pula halnya dengan seorang yang bekerja sebagai guru akan disapa toung guru
oleh ayahibunya jika peristiwa tutur itu berlangsung dalam situasi resmi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3.9 Faktor Asal Penutur
Faktor asal penutur juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Dalam hal ini, kata sapaan yang
digunakan oleh penutur kepada mitra tutur berubah sesuai dengan asal penutur. Dalam peristiwa komunikasi, ada beberapa sapaan yang digunakan oleh
masyarakat di perkotaan berbeda dengan di desa, khususnya sapaan kekerabatan. Misalnya, seorang cucu yang baru datang dari kota akan menyapa kakeknya
dengan kata „Opa‟ bukan „Ama Kaweda’. Hal tersebut disebabkan penutur merupakan orang yang baru datang tinggal di kota. Sapaan untuk menyapa kakek
kandung di masyarakat perkotaan bukan lagi „Ama Kaweda’ melainkan „Opa‟. Kata sapaan lain yang dipengaruhi oleh faktor asal penutur, yaitu Inna Kaweda
menjadi Oma , Cama menjadi tante, dan Loka menjadi Om. Sapaan-sapaan tersebut dipandang juga sebagai pembeda antara orang berpendidikan dengan
yang tidak. Artinya, orang yang tinggal di kota diangap memiliki pendidikan lebih baik daripada yang tinggal di desa.
Berikut beberapa contoh dialog yang menunjukkan penggunaan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor penutur. Berikut contoh dialog 98 menunjukkan
seorang cucu yang baru datang dari kotatinggal di kota berbicara kepada kakeknya dan contoh dialog 99 menunjukkan seorang anak yang juga baru
datang atau tinggal di kota berbicara kepada bibinya. 98
A : Opa, masih nga’a po pama’ma debe hinna? „Kakek, apakah kakek masih makan srih dan pinang saat ini?