Kepadatan DINAS KEBERSIHAN DAN PERTAMANAN

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH KOTA DENPASAR TAHUN 2015 BAB II- 54

3. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis kelamin

Piramida penduduk merupakan grafik yang menggambarkan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin. Berdasarkan bentuk piramida penduduk Denpasar tahun 2013 dimana penduduk kelompok umur 0 – 14 tahun berjumlah 157.424 orang atau 22,22, penduduk yang tergolong dalam kelompok umur 15 – 49 tahun berjumlah 423.808 orang atau 59,82, sedangkan penduduk Kota Denpasar yang tergolong kelompok umur 50 tahun keatas berjumlah 127.256 orang atau 18.07. Bentuk piramida penduduk Kota Denpasar juga menandakan telah terjadinya migrasi penduduk ke Kota Denpasar dan didominasi oleh mereka yang tergolong dalam usia produktif.

9. URUSAN KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA BADAN

KELUARGA BERENCANA DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Sampai saat ini permasalahan gender dan pemberdayaan perempuan masih tetap menjadi isu strategis yang memerlukan penanganan yang serius, lebih-lebih saat ini permasalahan gender sudah menjadi isu global dengan dimasukkannya dalam kesepakatan Millenium Development Gols MDGs yang dicanangkan oleh PBB dalam Millenium Summit yang diselenggarakan pada bulan September tahun 2000. MDGs telah menyepakati 8 goal dan 17 target yang harus dicapai oleh 191 negara anggota PBB pada tahun 2015 yang meliputi : 1. Meniadakan kemiskinan dan kelaparan ekstrim 2. Mencapai pendidikan dasar secara universal 3. Meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan 4. Mengurangi tingkat kematian anak 5. Memperbaiki kesehatan ibu 6. Memerangi HIVAIDS, malaria dan penyakit-penyakit lainnya 7. Menjamin kelestarian lingkungan hidup dan 8. Membentuk sebuah kerjasama global untuk pembangunan Dari ke 8 tujuan tersebut di atas, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menjadi goal ke tiga sehingga hal ini cukup menjadi isu prioritas. Ini berarti bahwa setiap Negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut haraus mampu menanggulangi isu tersebut di tahun 2015. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam pendeklarasian kesepakatan tersebut berarti juga dituntut untuk mampu menangani 8 goal yang salah satunya adalah mampu mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tahun 2015. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tentu tidak bisa tinggal diam untuk bisa mencapai target ini. Untuk bisa mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan bukanlah perkara mudah mengingat hal ini berkaitan erat dengan konstruksi social budaya yang sudah tertanam sejak lahirnya adam dan hawa di muka bumi ini. Namun demikian tidak berarti kita harus menyerah, karena segala sesuatu bentukan manusia tidak ada yang bersifat statis tetapi semua bisa diubah dan diperbaiki. Tentu hal ini memerlukan komitmen dan perjuangan yang serius dan konfrehensif, untuk itu sangat diperlukan adanya dukungan dari semua pihak baik masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait. Secara historis,upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 70-an yang diawali dengan dengan dibentuknya menteri muda urusan peranan wanita MEN UPW pada tahun 1978 yang saat ini sudah berubah menjadi Kementrian Negara Pemeberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sebelum dibentuknya lembaga ini, perhatian terhadap nasib perempuan yang kurang beruntung jika RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH KOTA DENPASAR TAHUN 2015 BAB II- 55 dibandingkan dengan laki-laki sudah dilakukan oleh kaum feminis baik di dunia barat maupun di Indonesia. Untuk di Indonesia salah seorang pejuang nasib kaum perempuan yang tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat adalah Raden Ajeng Kartini. Perjuangan R.A Kartini tidak berhenti walaupun ia telah tiada, cita-citanya ditindaklanjuti oleh tokoh-tokoh perempuan Indonesia lainnya yang memiliki visi serupadengan Kartini seperti R.A Sutinah Joyopranoto, Rr. Rukmini dan lain-lain. Wujud pergerakan perempuan Indonesia pasca Kartini adalah terbentuknya berbagai organisasi perempuan yang mempunyai visi memperbaiki status kaum perempuan melalui berbagai upaya seperti peningkatan pendidikan dan keterampilan, perlindungan hukum dan lain-lain. Pada dekade berikutnya organisasi perempuan ini menyelenggarakan kongres perempuan pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Jogyakarta dan ini merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi pergerakan perempuan Indonesia. Komitmen Pemerintah untuk memperjuangkan nasib perempuan terus berlanjut. Melalui lembaga kementrian yang sudah terbentuk di tingkat pusat dan lembaga pemberdayaan perempuan di daerah baik dalam bentuk badan maupun kantor, maka berbagai program pun diimplementasikan ke masyarakat. Pendekatan awal yang diimplementasikan pada saat itu adalah women in developmentWID karena saat itu disadari bahwa perempuan merupakan sumberdaya manusia yang sangat berharga sehingga perempuan yang posisinya termajinalkan perlu diikutsertakan dalam pembangunan. Pendekatan WID memberikan perhatian pada peran produktif perempuan dalam pembangunan, seperti inisiatif pengembangan teknologi yang lebih baik dan tepat guna agar dapat meningkatkan beban kerja perempuan. Tujuannya adalah menekankan kepada sisi produktivitas tenaga kerja perempuan khususnya berkaitan dengan pendapatan perempuan, tanpa terlalu peduli dengan sisi reproduktifnya. Setelah dilakukan evaluasi, nampaknya dalam pelaksanaannya pendekatan ini tidak terlalu berhasil dalam menghapus masalah diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai respon dari ketidakberhasilan pendekatan ini, selanjutnya pada tahun 90-an dilakukan pendekatan baru yang dikenal dengan pendekatan gender dan pembangunan gender and developmentGAD. Konsep ini lebih didasarkan pada suatu pendekatan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan Nugroho,2008;140. Konsep ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa konstruksi sosial yang dibuat atas peran perempuan dan laki-laki dapat diubah. Pendekatan ini lebih memusatkan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan semata. Dari pendekatan pembangunan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan seperti tersebut diatas, nampaknya juga masih belum efektif untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Oleh karena itu, upaya lain pun diusahakan untuk mempercepat terwujudnya visi pembangunan pemberdayaan perempuan. Pada tahun 2000 bersamaan dengan dicetuskannya kesepakatan MDGs, pemerintah Indonesia mengambil suatu strategi pengarusutamaan gender PUG yang dilegitimit melalui inpres No. 92000 tentang pelaksanaan strategi pengarusutamaan gendergender mainstreaming. Strategi ini merupakan strategi untuk mengintregasikan isu gender dalam setiap perencanaan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasi. Oleh karena itu, strategi ini pada dasarnya ditujukan kepada para penyusun kebijakanprogramkegiatan pembangunan sehingga mereka dapat dan mampu menyusun programkegiatan yang responsive gender. Untuk bisa mengaplikasikan strategi ini secara baik dan benar, hal penting yang harus diketahui oleh para penyusun program adalah memahami teknik analisa gender TAG. Analisa gender merupakan perangkat analisa yang dapat membantu para perencana dalam menganalisa suatu kebijakanprogram apakah sudah responsive gender atau belum. Dengan menggunakan analisa gender bisa diidentifikasi dalam hal apa kesenjangan gender yang masih terjadi, apakah dalam akses, partisipasi, control atau manfaat. Juga kesenjangan itu sudah bisa