19
oleh manusia atau pabrik, meskipun demikian pakan alami dapat dibuat dengan cara membudidayakannya. Disamping pakan tersebut, ada satu lagi jenis pakan
yang dapat diberikan, yaitu pakan alternatif. Pakan alternatif yang dapat diberikan kepada ikan lele antara lain ikan
rucah atau ikan-ikan hasil tangkapan dari laut yang sudah tidak layak dikonsumsi manusia, limbah peternak ayam, limbah pemindangan ikan, dan daging bekicot
atau daging keong mas. Karena ikan lele tergolong karnivora atau pemakan daging, pakan yang diberikan, baik buatan maupun alami harus yang mengandung
daging. Pakan buatan seperti pelet biasanya telah mengandung daging yang berasal dari tepung ikan, dengan kandungan protein tidak kurang dari 30 persen.
Pakan buatan dalam bentuk pelet diberikan pada lele yang telah berukuran agak besar, yakni 30 gram ke atas. Sementara itu, ikan lele yang berukuran lebih kecil
dapat diberi pakan pelet, tetapi dalam bentuk tepung atau crumble yang ukurannya lebih besar daripada tepung. Ukuran pakan buatan yang diberikan disesuaikan
dengan bukaan mulut lele. Semakin kecil bukaan mulut, semakin kecil ukuran pakan yang diberikan Khairuman dan Amri 2008.
Jenis pakan ikan lele yang diberikan pada usaha Gudang Lele adalah ayam dan pelet kasar untuk pakan induk ikan lele, sedangkan jenis pakan yang
diberikan pada benih ikan lele adalah cacing sutra dan pelet halus pelet F999. Dosis yang diberikan pada ikan lele adalah 3 kali dalam satu hari yaitu pada pagi,
sore dan malam hari. Pakan untuk lele segar atau lele konsumsi adalah jenis
pakan pelet f999, pelet 781-2, pelet 781 polos dan pelet tenggelam.
2.6. Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya perikanan seperti lobster air tawar, udang dan budidaya ikan konsumsi
maupun ikan hias. Salah satunya adalah Perdana 2007 yang meneliti tentang “Analisis Kelayakan Usaha secara Partisifasif pada Usaha Budidaya Pembesaran
Ikan Gurame Studi Kasus Kelompok Tani Tirta Maju, Desa Situgede”. Analisis kelayakan usaha yang dilakukan menunjukkan bahwa usaha keseragaman
budidaya pembesaran ikan gurame pada Kelompok Tani Tirta Maju layak untuk diimplementasikan dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen
maupun finansial. Analisis pendapatan usahatani menunjukkan nilai keuntungan
20
sebesar Rp 16.238.500,00 dan RC sebesar 1,29, sedangkan dalam analisis penilaian investasi usaha diperoleh nilai NPV, PI, IRR dan PBP masing-masing
sebesar Rp 10.433.512,00 : 1,67 ; 28,9 persen ; dan 2,9 periode. Namun demikian, usaha ini masih termasuk kurang profitable dan menarik bagi bank atau investor
untuk menanamkan modalnya. Hal ini dikarenakan keuntungan per bulan usaha ini selama 5 periode berjalan hanya sebesar Rp 260.838,00. Selain itu, pendapatan
per bulan setiap anggota yang terlibat berdasarkan nilai keuntungan satu periode hanya sebesar Rp 225.535,00 dan lebih rendah dari kebutuhan rumah tangga yang
mencapai Rp 450.000,00 per bulan. Hasil perhitungan dari analisis sensitivitas menunjukkan bahwa kelayakan
usaha Tirta Maju cukup peka terhadap perubahan yang terjadi pada faktor harga jual ikan gurame dan volume produksi. Sementara itu, perubahan pada faktor
harga pakan buatan pelet tidak terlalu berpengaruh terhadap kelayakan usaha ini. Pada kenaikan harga pelet mencapai 61 persen dapat menyebabkan usaha ini
menjadi tidak layak. Anggraini 2008 melakukan penelitian yang berjudul ”Analisis Kelayakan
Finansial Usaha Ikan Mas Cyprinus carpio dengan cara Pemberokan Kasus : Desa Selajambe, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat”.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis kelayakan finansial pada tingkat diskonto sebesar 5,5 persen dan umur ekonomis selama 10 tahun menunjukkan bahwa
usaha ikan Mas dengan cara pemberokan pada ketiga skala usaha kecil, menengah, dan besar di daerah penelitian layak diusahakan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa nilai NPV pada skala kecil sebesar Rp 112,293 juta, pada skala menengah sebesar Rp 1.588,601 juta, dan pada skala besar sebesar Rp
6.772,189 juta. Sementara itu nilai IRR yang diperoleh pada skala kecil adalah 14 persen, pada skala menengah sebesar 59 persen, dan pada skala besar diperoleh
IRR sebesar 55 persen. Nilai Net BC yang diperoleh pada skala usaha kecil adalah 1,511, pada skala menengah adalah 4,45, dan pada skala besar adalah 4,19,
sedangkan payback period pada skala kecil yaitu 9 tahun 3 bulan, pada skala menengah adalah selama 2 tahun 10 bulan, dan pada skala besar adalah selama 3
tahun 7 bulan.
21
Jika dilihat dari nilai IRR, Net BC, dan payback period pada ketiga skala usaha tersebut, dapat disimpulkan bahwa usaha ikan Mas dengan cara
pemberokan pada skala menengah adalah yang paling efisien untuk diusahakan. Hal tersebut dikarenakan usaha yang dilakukan pada skala menengah merupakan
yang paling optimal di mana produksi ikan Mas per meter perseginya sudah lebih sesuai dengan kondisi ideal menurut dinasperikanan. Sementara itu untuk skala
usaha kecil dan skala usaha besar, produksi ikan mas per meter perseginya belum mencapai kondisi ideal. Jumlah tenaga kerja yang kurang seimbang dengan luas
usaha yang diolah mengakibatkan sistem budidaya pada skala usaha besar, khususnya cara pemupukan dan pemberian pakan, tidak dilakukan secara optimal.
Pada skala usaha kecil, penggunaan benih yang kurang berkualitas menyebabkan usaha ikan Mas pada skala tersebut memiliki tingkat kelayakan lebih rendah
dibandingkan dengan skala lainnya. Beberapa penelitian lain yang terkait dengan kelayakan usaha budidaya
komoditas perikanan juga dilakukan oleh Sugama 2008 yang melakukan penelitian mengenai ”Analisis Kelayakan Usaha Pembenihan Kerapu Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali”. Berdasarkan hasil analisis finansial diperoleh nilai NPV pada usaha pembenihan ikan kerapu macan, kerapu bebek,
kerapu sunu dan masingmasing hasilnya adalah Rp 330.405.688,00, Rp 448.428.815,00, dan Rp 206.600.377,00 keuntungan yang diperoleh pada selama
10 tahun. Nilai IRR yang diperoleh yaitu pada ikan kerapu macan sebesar 72 persen, ikan kerapu bebek sebesar 96 persen, dan ikan kerapu sunu sebesar 46
persen, sedangkan nilai Net BC yang diperoleh pada usaha pembenihan ikan kerapu macan sebesar 3,179, pembenihan ikan kerapu bebek diperoleh 4,867, dan
pembenihan ikan kerapu sunu diperoleh nilai sebesar 2,431. Payback periodyang diperoleh dalam usaha pembenihan ikan kerapu macan adalah 3 tahun,
pembenihan ikan kerapu bebek adalah 2 tahun 2,9 bulan dan untuk pembenihan ikan kerapu sunu adalah 3 tahun 3,36 bulan.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka usaha pembenihan ikan kerapu secara masing-masing layak untuk diusahakan. Dari hasil analisis sensitivitas,
diperoleh bahwa usaha pembenihan ikan kerapu macan paling sensitif dan tidak layak diusahakan jika terjadi pada penurunan harga benih, diikuti dengan
22
pembenihan gabungan, pembenihan kerapu bebek, dan pembenihan kerapu sunu tetapi masih layak untuk dilaksanakan. Jika terjadi penurunan tingkat kematian
SR, usaha pembenihan ikan kerapu sunu dan ikan kerapu macan merupakan usaha yang paling sensitif dan tidak layak untuk dilaksanakan, diikuti dengan
pembenihan kerapu gabungan, dan kerapu bebek tetapi masih layak untuk dilaksanakan. Jika terjadi kenaikan harga telur, usaha pembenihan ikan kerapu
sunu merupakan usaha yang paling sensitif diikuti pembenihan ikan kerapu macan, pembenihan ikan kerapu bebek, pembenihan ikan gabungan tetapi usaha
masih tetap layak untuk dilaksanakan. Surahmat 2009, meneliti mengenai Analisis Kelayakan Usaha
Pembenihan Larva Ikan Bawal Air Tawar Ben’s Fish Farm Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Berdasarkan kriteria kelayakan finansial pada skenario I
dengan tingkat diskonto 7,25 persen usaha pembenihan larva ikan bawal Ben’s Fisha Farm di cabang usaha yang ke 24, diperoleh NPV lebih besar dari nol yaitu
sebesar Rp 587.596.184,05 artinya usaha ini layak untuk dilaksanakan, sedangkan nilai Net BC rasio yang diperoleh sebesar 4,15 lebih besar dari satu yang berarti
dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar 4,15 rupiah dan usaha ini layak untuk
dilaksanakan. Nilai IRR sebesar 61 persen lebih besar dari tingkat suku bunga deposito, sedangkan waktu yang diperlukan untuk pengembalian total investasi
selama 2 tahun 3 bulan. Hasil analisis finansial dengan skenario II yang berasal dari modal
pinjaman diperoleh nilai NPV sebesar Rp 9.501.982,34 yang artinya usaha pembenihan larva Ben’s Fish Farm di cabang yang ke 24 memberikan manfaat
yang positif pada tingkat suku bunga kredit 14 persen. Usaha tersebut jika dilaksanakan akan masih memperoleh keuntungan yang sangat kecil yaitu sebesar
Rp 9.501.982,34. Nilai Net BC rasio sebesar 3,9 lebih besar dari satu yang berarti dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan selama umur proyek mampu
menghasilkan manfaat bersih sebesar 3,9 rupiah dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Nilai IRR sebesar 21 persen lebih besar dari tingkat suku bunga
pinjaman sebesar 14 persen, artinya investasi di usaha ini masih menguntungkan dan usaha ini layak untuk dilaksanakan. Waktu pengembalian modal investasi
23
melebihi dari 10 tahun yang lebih besar dari umur proyek, sehingga usaha tersebut tidak layak.
Dari hasil analisis switching value untuk mengetahui tingkat perubahan harga jual larva, penurunan produksi larva, dan kenaikan harga input ovaprim,
sehingga keuntungan mendekati normal, dimana NPV mendekati atau sama dengan nol atau bisa juga dengan menggunakan parameter IRR sama dengan
tingkat suku bunga. Skenario I dengan modal sendiri, penurunan harga jual larva yang masih dapat ditolerir sebesar 7,04 persen yaitu dari harga Rp 8 per ekor
menjadi Rp 7,43 per ekor. Pengusahaan pembenihan larva ikan bawal masih layak diusahakan apabila penurunan jumlah produksi tidak melebihi 42,1 persen yaitu
dari 29.030.400 ekor menjadi 16.810.661 ekor, sedangkan untuk peningkatan harga input agar usaha tersebut masih layak diusahakan sampai 95,89 persen.
Untuk skenario II dengan modal pinjaman, tidak dilakukan switching value karena dengan modal pinjaman usaha tidak layak untuk dilaksanakan berdasarkan waktu
pengembalian modal investasi yang lebih besar dari umur proyek. Dengan demikian dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial, bahwa
skenario I dengan modal sendiri usaha tersebut layak untuk dilaksanakan, sedangkan dengan modal pinjaman tidak layak untuk dilaksanakan, hal ini
dikarenakan waktu pengembalian investasi lebih besar dari umur proyek. Hasil analisis switching value usaha tersebut sangat sensitif terhadap perubahan harga
jual larva ikan bawal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, persamaan penelitian yang
dilakukan dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada kriteria analisis kelayakan usaha yaitu menggunakan alat analisis data seperti NPV, Net BC, IRR,
Payback Period dan analisis switching value. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah mengambil topik dan komoditi yang berbeda yaitu
analisis kelayakan usaha ikan lele dan tempat yang berbeda dengan yang sebelumnya. Narasumber dalam penelitian ini merupakan petani lele dan pekerja
pada usaha Gudang Lele yang melakukan pengusahaan ikan lele di daerah Kecamatan Bekasi Utara yang melakukan kegiatan pembenihan dan pembesaran
ikan lele. Modal awal yang ditanamkan dalam pengusahaan ikan lele phyton
merupakan modal pinjaman, selain itu juga yang membedakan penelitian ini
24
dengan penelitian terdahulu adalah membandingkan jenis pengusahaan yang dilakukan oleh petani lele yaitu pengusahaan pembenihan ikan lele phyton dengan
pengusahaan pembesaran ikan lele phyton, serta merencanakan untuk mengembangkan skala usaha kecil menjadi skala usaha besar. Data diolah dengan
menggunakan sofware Microsoft Excel dan interpretasi data secara deskriptif untuk melihat apakah investasi usaha ini nantinya akan layak untuk dilaksanakan
atau tidak.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis