143 masyarakat di Kepulauan Togean masih sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan
oleh tingkat pendidikan masyarakat lokal terutama etnis Bajau yang umumnya adalah sekolah dasar, dan fasilitas pendidikan hanya sampai pada sekolah lanjutan
pertama SLTP, sementara setingkat tingkat atas berada di kecamatan lain aksesibilitas yang sulit. Hal ini disebabkan karena pola matapencaharian sebagai
nelayan yang menyebabkan seluruh anggota keluarga ikut pindah ke wilayah lain dengan tidak menetap menurut musim penangkapan ikan. Selain itu, saat anak
masih dalam usia prasekolah, kegiatan melaut telah diakulturasikan ke anak sehingga lingkungan kehidupan laut identik dengan kegiatan sehari-hari. Dari sisi
kesehatan, hanya beberapa desa memiliki sumber air bersih dan prasarana kesehatan yang cukup, sementara limbah rumahtangga umumnya dibuang ke laut.
Permasalahan ini dapat menjadi faktor penghambat dalam upaya mobilitas vertikal sosial masyarakat, sehingga diperlukan pendekatan kultural dan struktural dalam
pemecahannya Satria 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kenyamanan wisman dan
masyarakat lokal merupakan atribut penting yang terkait dengan terjadinya perubahan sikap dan perilaku dalam masyarakat. Perilaku wisman dari sisi
pengetahuan dan penghargaan terhadap alam yang sangat besar diharapkan dapat diserap oleh masyarakat lokal, secara ekologi dan ekonomi mampu meningkatkan
efektivitas pengelolaan ekowisata pesisir. Pengetahuan masyarakat terhadap kegiatan wisata pesisir berbasis ekosistem dan nilai budaya sangat penting dalam
melestarikan sumberdaya alam atraksi utama ekowisata pesisir. Disadari bahwa ada kecenderungan pelaksanaan nilai budaya lokal dalam pemanfaatan sumberdaya
alam di Kepulauan Togean mengalami pergeseran Sangadji 2010. Sebaliknya, kehadiran wisman dalam jumlah besar melebihi daya dukung berpotensi merubah
nilai-nilai sosial budaya cultural identity masyarakat lokal Orams 1999.
d. Dimensi Kelembagaan
Tabel 29 juga menunjukkan bahwa atribut yang memberikan nilai sensitivitas tertinggi dalam mempengaruhi efektivitas pengelolaan wisata pesisir berbasis
ekosistem ditinjau dari dimensi kelembagaan adalah efektivitas regulasi tentang pembayaran fee untuk konservasi dan ketersediaan infrastruktur penunjang
kegiatan ekowisata pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa aturan pembayaran fee
144 untuk konservasi bagi pengusaha melalui pembayaran pajak usaha wisata hotel
dan restoran bagi setiap pengunjung telah diatur oleh pemerintah daerah. Namun wujud program yang ditujukan untuk konservasi terumbu karang dan mangrove
belum nyata keberadaannya. Di lain pihak masih ditemukan beberapa pelanggaran pemanfaatan sumberdaya PPK baik di kawasan terumbu karang penangkapan ikan
menggunakan bom dan kompresor. Terkait dengan penyediaan infrastruktur, kebutuhan akan transportasi yang
efisien sangat diperlukan di kawasan ini guna meminimalkan biaya perjalanan. Selain itu, diperlukan ketersediaan prasarana air bersih, kelistrikan dan
telekomunikasi yang memadai. Program pengadaan prasarana perlu melibatkan pemerintah pusat, oleh karena membutuhkan biaya yang cukup besar. Keberadaan
prasarana tersebut diharapkan dapat meminimalisir biaya bagi usaha wisata dan juga bagi penduduk secara umum. Hall 2001 menyatakan bahwa salah satu
strategi pengelolaan wisata pesisir berkelanjutan yakni dengan pemberlakuan insentif keuangan financial incentives seperti pajak, harga, subsidi, dan bantuan
yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur wisata dan pemberdayaan masyarakat lokal. Perencanaan pengelolaan kegiatan ekowisata mangrove yang
terpadu tidak akan berhasil tanpa adanya intervensi ekonomi dan regulasi serta peningkatan pengawasan oleh masyarakat lokal dalam mengimplementasikan
rencana tersebut Ellison 2008. Ekowisata juga memiliki prinsip menjaga nilai budaya dalam masyarakat
guna menjaga kelestarian sumberdaya PPK. Bentuk kepedulian kegiatan wisata atas nilai budaya tersebut adalah insentif ekonomi yang diperoleh seharusnya juga
dinikmati oleh masyarakat yang menjaga kulturnya. Nilai kearifan lokal yang dianut oleh etnis Bajau dan Bobongko dalam menjaga kelestarian terumbu karang
dan mangrove harus dijaga dan “dihargai” keberadaannya. Nilai kearifan lokal ini memiliki aturan yang mampu mengontrolmengawasi pemanfaatan sumberdaya,
penzonaan dan konsekuensi yang ditanggung jika melanggar aturan nonfomal yang telah disepakati secara turun-temurun. Sudarmadji 2001, bahwa pendekatan
bottom up akan menjadikan masyarakat enggan untuk memotong kayu atau hutan
mangrove yang telah mereka pelihara, sekalipun tidak ada yang mengawasinya; karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong tersebut sebenarnya
145 adalah milik mereka bersama. Tugas pemerintah saat ini adalah memberikan
arahan yang jelas tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan mangrove dalam jangka panjang.
e. Gabungan Dimensi