98 diperinci secara jelas oleh wisatawan. Terkait dengan obyek wisata, wisatawan
memiliki persepsi yang baik tentang alam dan lingkungan masyarakat sebagai atraksi wisata di Togean sehingga untuk mempertahankan kelestarian alam tersebut,
seluruh wisatawan bersedia membayar fee untuk upaya konservasi. Sebaliknya upaya melakukan promosi akan eksistensi obyek wisata pesisir dan Taman Nasional
Kepulauan Togean oleh pihak pemerintah dinilai oleh wisatawan masih sangat minim. Hal ini juga dikemukakan oleh Kasim 2008 bahwa pengetahuan dan
sumber informasi tentang obyek wisata Pulau Togean oleh wisatawan umumnya diperoleh dari promosi pengelola cottage dan informasi teman yang pernah
berkunjung ke lokasi ini. Tabel 17 Tingkat persepsi wisatawan terhadap atraksi dan pelayanan ekowisata
pesisir di gugus Pulau Togean No. Uraian
Keterangan
1. Distribusi asal wisatawan Eropa=86.62; Amerika=6.02;Afrika=0.33;
Asia=3.01 Australia-Oceania=4.01 2. Umur tahun
Rata-rata= 36; kisaran= 15-57 3. Incomebulan wisman US
Rata-rata= 3 226.22; Kisaran= 1 234 – 5 601 4. Distribusi jenis pekerjaan wisatawan
Swasta=42; Pelajar=10; Pengajar= 14; Pensiunan=8; Pekerja Bank=6, lainnya=6
sisanya = peneliti, enginer, tenaga medis, diver dan pelaut.
5. Alasan berwisata ke Togean Keindahan dan kealamiahan alam=100
6. Penilaian terhadap obyek wisata Sangat baik = 100
7. Penilaian obyek wisata Togean dibanding Lokasi lain
Better = 32; Same= 48; Worse= 16; Ragu- ragu= 4
8. Persepsi turis terhadap masyarakat lokal Baik = 91.3; Sedang = 8.7
9. Pelayanan usaha wisata terhadap wisatawan Sedang = 50 10. Penilaian terhadap living cost di Togean
Rendah-sedang US500-1 500 11. Kesediaan membayar fee untuk konservasi
sumberdaya alam di TNKT Bersedia= 100; Tidak bersedia=0
12. Penilaian terhadap promosi wisata Baik =0; sedang=80;buruk=20
Catatan: Jumlah Contoh Wisatawan N 50 orang
Sumber: Data Primer Yang Diolah 2009.
4.1.4. Karakteristik Sosial dan Budaya Masyarakat Lokal
Karakteristik sosial budaya masyarakat lokal yang dikaji dalam penelitian ini terkait dengan kondisi penduduk, etnis dan nilai budaya serta sistem interaksi sosial.
Karakteristik sosial budaya ini selanjutnya dapat mempengaruhi penerimaan atau pun penolakan kehadiran orang luar di lingkungannya, produktivitas kerja, dan nilai
tambah bagi kepariwisataan di daerah setempat.
99
A. Perkembangan Jumlah Penduduk
Penelitian ini mengkaji jumlah penduduk dan karakteristik sosial budaya masyarakat yang berdiam di gugus Pulau Togean. Perkembangan jumlah dan
kepadatan penduduk di Kecamatan Togean disajikan pada Lampiran 6. Lampiran 6 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Togean
pada tahun 2007 adalah berjumlah 9 839 jiwa yang tesebar di 14 Desa dengan kepadatan rata-rata 43 jiwa per km
2
. Jumlah kepadatan tertinggi berada di Desa Tongkabo 222 jiwa per km
2
dan yang terendah berada di Desa Benteng 14 jiwa per km
2
. Jumlah rumahtangga terdiri atas 2 396 rumah tangga, dengan rata-rata jumlah jiwa perumahtangganya adalah 4 jiwa. Kecuali Desa Bangkagi dan Desa
Tobil sebanyak 5 jiwa per rumah tangga. Berdasarkan data tahun 1997-2007, rata- rata laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Togean yakni 3.81 pertahun.
Secara umum perkembangan jumlah dan kepadatan penduduk di Kecamatan Togean meningkat, namun trend pertumbuhan menurun setiap tahunnya.
B. Etnis dan Nilai Budaya Lokal
Terkait dengan etnis dan nilai budaya, penduduk Togean memiliki latar belakang etnis yang beragam seperti Bobongko, Bajau, Saluan, Togean, Kaili,
Bare’e, Taa, Gorontalo dan Bugis. Etnis Bobongko, Bajau, Saluan dan Togean sering dianggap sebagai kelompok masyarakat asli Kepulauan Togean. Etnis
Togean banyak mendiami wilayah bagian barat; etnis Saluan tersebar di beberapa desa kecamatan Walea Kepulauan. Masyarakat Bajau antara lain Kabalutan, Pulau
Anam, Siatu, Milok; sementara etnis Bobongko tersebar di beberapa desa seperti Lembanato, Matobiyai dan Tumbulawa.
Masyarakat Togean masih memiliki beberapa aturan dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang ramah lingkungan di daratan yang diperoleh secara turun-
temurun guna kelestarian alam Togean. Ini merupakan bentuk-bentuk budaya lokal hasil dari proses adaptasi dan interaksi antara masyarakat Togean dan alamnya
selama bertahun-tahun. Etnis Bajau dan Bobongko sangat mengenal lapangan kehidupan mereka, sehingga mereka
mampu mensosialisasikan dan mempersepsikan lingkungan menjadi bagian dari sistem pengetahuannya. Laut bagi
etnis Bajau dipandang sebagai bagian dari kehidupan, sehingga harus dijaga kelestariannya. Masyarakat Bajau juga melakukan ‘bapongka’, yaitu suatu kegiatan
100 mengumpulkan hasil laut yang dilakukan secara berkelompok, biasanya pergi untuk
beberapa hari atau minggu Hutabarat 2001. Etnis Bajau percaya dengan “Umboh” yang digambarkan sebagai lelaki perkasa yang melindungi kehidupan
orang Bajau. Proses alam yang terjadi seperti gelombang laut yang tinggi, dan badai serta ikan yang berlimpah diyakini sebagai kemarahan kemurahan dari “Umboh”,
sehingga kepercayaan ini diwujudkan dalam suatu pemberian sesajennya. Peralatan penangkapan ikan yang digunakan masyarakat Bajau umumnya
ramah lingkungan seperti pancing layang-layang, ladung dan tonda pukat, bubu, sero, kanjai, panah, dan gogoro. Orang Bajau pergi melaut bukan semata-mata
memburu atau menangkap ikan sebanyak-banyaknya, melainkan lebih kepada menikmati kehidupan laut dengan mengambil ikan secukupnya untuk dimakan.
“Sejauh kayuh sampan, sekuat tangan mendayung” itulah prinsip seorang Bajau dalam melaut. Seperangkat aturan dalam mengatur tatacara melaut menunjukkan
bahwa masyarakat Bajau tidak hanya mengambil ikan, tetapi juga membudidayakan ikan secara alami dengan cara mengembalikan ikan-ikan yang masih muda ke laut
Darnaedi 1996. Nilai dan kegiatan-kegiatan budaya tersebut dapat dijadikan sebagai modal konservasi dan potensi atraksi ekowisata yang berbasis budaya lokal.
Etnis Bobongko memandang hutan termasuk hutan mangrove sebagai tempat keramat, karena hutan diyakini sebagai tempat tinggal leluhur yang
merupakan pelindung dari kekuatan jahat atau malapetaka. Guna menjaga sistim perlindungan ini, maka daerah hutan keramat, disakralkan dan pantang dibuka.
Hutan yang dapat dibuka adalah hutan ‘Pangale’ dan ‘Yopo’ Darnaedi 1996. ‘Pangale’
adalah hutan yang kondisi geografisnya tidak terlalu curam dan tidak terdapat tanda-tanda atau benda-benda yang dikeramatkan, dan dikelola secara
bersama-sama. Sementara ‘Yopo’ adalah hutan dengan kondisi yang sama, tetapi pengelolaannya secara privat dan sebagian dari hasil hutan tersebut dimasukkan
sebagai kas desa. Aturan adat ini merupakan bagian dari penerapan hukum bayan dan aturan adat yang disebut “gonggan pagaluman” dalam pemanfaatan hutan
sagu. Gonggan pogalumun merupakan salah satu contoh bahwa sistem adat memiliki kemampuan mengatur sumberdaya milik bersama secara berkelanjutan.
Nilai kearifan lokal yang berlaku di kawasan hutan mangrove adalah setiap masyarakat dilarang melakukan penebangan hutan mangrove untuk tujuan
101 komersialisasi. Penggunaan mangrove terutama kayu bakau, Rhizophora sp.
hanya ditujukan untuk keperluan masak dan bangunan rumah dengan aturan-aturan non formal. Aturan tersebut adalah 1 tidak boleh mengambil kayu bakau pada
bagian luar berbatasan langsung dengan laut, tetapi pada bagian dalam, 2 kayu bakau yang ditebang diutamakan pada pohon yang akan mengalami kematian
dengan lingkar batang bawah lebih dari 1 meter, 3 volume penebangan dibatasi hanya untuk kebutuhan 1 satu rumahtangga, dan 4 pelanggaran ketiga ketentuan
tersebut akan diselesaikan secara adat-istiadat dan jika tidak terselesaikan secara adat maka dilanjutkan ke pihak yang berwajib.
Kearifan budaya pada dua kelompok masyarakat etnis ini terletak pada cara mengatur keseimbangan antara kebutuhan dan kesinambungan. Adat dan sistem
kepercayaanreligi telah membungkus kearifan budaya melalui berbagai pantangan, kewajiban, dan sanksi, serta menjadi sistem pengetahuan dalam sistem budaya yang
diyakini kebenarannya. Walaupun demikian, keberadaan nilai budaya lokal tersebut tidak selamanya langsung menghilangkan pelanggaran nilai budaya, oleh karena
ada saja segelintir nelayan yang masih menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan karang di kawasan perairan gugus Togean. Selain itu, Laapo et al.
2007 menemukan masih adanya nelayan yang mengumpulkan teripang dan penangkapan ikan karang umumnya kerapu sampai kedalaman 20 m dilakukan
pada malam hari dengan menggunakan alat kompresor dan cara bius. Pelanggaran sistem nilai budaya lokal atau penyimpangan perilaku segelintir masyarakat lokal
dalam pemanfaatan sumberdaya alam disebabkan karena adanya intervensi dari orang luar. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Sangadji 2010, adanya
desakan kebutuhan dari dalam rumahtangga dan masuknya pihak luar sebagai pesaing dalam pemanfaatan sumberdaya alam menjadi penyebab penyimpangan
perilaku dan terkikisnya budaya masyarakat Togean. Bahkan diduga bahwa pihak luarlah yang membawa bahan dan alat berbahaya bom, potasium dan kompresor
untuk dioperasionalkan oleh nelayan lokal dengan sistem bagi hasil yang tidak menguntungkan nelayan. Satria 2009 menyatakan bahwa permasalahan praktek
pemanfaatan sumberdaya PPK yang tidak bertanggungjawab terkait dengan persoalan ekonomi politik nelayan dengan pemodal, dan penegakan hukum.
102
C. Persepsi Masyarakat Lokal terhadap Kegiatan Wisata
Persepsi masyarakat lokal terhadap keberadaan wisatawan terkait dengan tanggapan masyarakat akan nilai manfaat dan biaya sosial dan ekonomi yang akan
diperoleh dari kunjungan wisatawan. Terkait dengan persepsi masyarakat terhadap ekowisata pesisir dan kehadiran wisatawan selengkapnya disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata pesisir No. Uraian
Keterangan
1. Pengetahuan tentang ekowisata Tahu mengerti = 10; Tahu, Tidak
mengerti= 84; Tidak tahu= 6 2. Kontribusi usaha wisata ke masyarakat lokal
Ada kontribusi= 30; Tidak ada=70 3. Masyarakat lokal yang bekerja di usaha wisata
Ada= 38; Tidak ada=62 4. Partisipasi masyarakat terkait pengel SDA
Ada=26; Tidak ada= 74 5. Persepsi ekonomi masyarakat dengan keberadaan
wisatawan Menguntungkan= 28 ; Tidak ada
pengaruh= 72; Merugikan= 0 6. Perubahan perilaku masyarakat dgn adanya turis
Ada=18;Tidak ada = 68; Tidak tahu= 14
7. Sikap masyarakat dengan kedatangan wisatawan Senang= 24; Biasa saja= 72;
Acuh= 4 8. Perubahan kualitas hidup masyarakat dengan
adanya kegiatan wisata pesisir Ada perubahan= 8; Tidak ada= 82
9. Rasio wisatawan dengan masyarakat lokal 1:10=10; 1:20=64; 1:30=20;
1:40=2; 1:50=4 10. Frekuensi konflik
Sering = 4; kadang-kadang=78; Tidak pernah= 18
Jumlah responden wisatawan n 50 orang mancanegara
Sumber: Data Primer Yang Diolah 2009. Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang wisata yang berbasis konservasi masih rendah. Selain itu, keberadaan usaha wisata pesisir dan wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata
Togean belum memberikan kontribusi dan pengaruh yang nyata terhadap kualitas hidup masyarakat lokal. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola
lingkungan dan usaha wisata pesisir masih rendah. Keberadaan wisman bagi masyarakat lokal masih dianggap biasa saja atau belum mempengaruhi secara nyata
budaya lokal. Namun demikian, keberadaan wisman relatif menguntungkan, dimana beberapa pengelola transportasi lokal dan usaha wisata berupaya untuk
meningkatkan pengetahuan mereka belajar langsung dengan turis terhadap bahasa umum yang digunakan untuk berkomunikasi dengan wisatawan.
Keberadaan wisman juga belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap pola dan gaya hidup masyarakat lokal. Hal ini disebabkan oleh antara lokasi usaha
wisata dengan pemukiman masyarakat lokal relatif jauh, sehingga tingkat
103 pembauran antara turis dengan penduduk rendah dan pengetahuan masyarakat
secara mendalam tentang pola hidup wisman juga sangat terbatas. Terkait dengan dampak kegiatan ekowisata pesisir terhadap kualitas hidup masyarakat lokal,
menunjukkan bahwa pengaruhnya masih sangat kecil 8 . Kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat dan meningkat kualitas hidupnya dari kegiatan wisata
pesisir adalah masyarakat lokal yang terkait langsung dengan pengelolaan usaha wisata seperti tenaga kerja lokal di cottage, sebagian kecil nelayan penyuplai ikan,
pengusaha homestay dan transporter ataupun tourist guide Depbudpar 2007.
4.1.5. Kondisi Kelembagaan Pendukung Wisata Pesisir