II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sinopsis Penunjukkan Taman Nasional Kepulauan Togean
Sebelum dicetuskan ide kepulauan Togean menjadi TNKT, sejak awal tahun 2004 masyarakat yang difasilitasi oleh Conservation International Indonesia CII
dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una, telah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat DPLBM. Survei biologi dan sosial ekonomi yang
dilakukan oleh CII telah menetapkan 2 lokasi sebagai DPLBM yaitu DPL Kabalutan bagian selatan antara Pulau Togean dan Talatakoh dan DPL Teluk
Kilat bagian utara Togean. Teluk Kilat memiliki wilayah perairan seluas 875.32 ha dan secara administratif termasuk wilayah kecamatan Togean. Kawasan ini
memiliki perairan yang cenderung tertutup dengan panjang muka teluk sekitar 500 m. Desa Lembanato dan Desa Matobiyai yang berada dalam DPL Teluk Kilat
adalah dua desa yang terlibat dalam pengelolaan DPL tersebut bersama CII. Perairan Kabalutan yang dikembangkan untuk DPL seluas 3 800 ha meliputi
10 lokasi hamparan terumbu karang yang selama ini dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan sekitarnya. Termasuk di dalam 10 lokasi tersebut
adalah terumbu karang di Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha yang telah disepakati masyarakat Bajau Kabalutan menjadi zona inti no-take zone. Gagasan
pembentukan DPL Kabalutan timbul dari kesadaran sebagian besar nelayan di Desa Kabalutan bahwa telah terjadi penyusutan hasil tangkapan ikan akibat lokasi-lokasi
karang telah dirusak oleh aktifitas pemboman dan pembiusan ikan. Meskipun dalam pelaksanaannya mengalami hambatan, namun dalam
beberapa hal mengalami kemajuan pesat dan signifikan dalam upaya pengelolaan DPL di TNKT. Beberapa indikator keberhasilan yang terlihat yakni adanya
peningkatan kesadaran, pemahaman dan keterlibatan masyarakat dalam upaya pengelolaan DPL, inisiatif masyarakat membuat ‘sabua’ rumah jaga yang
berdekatan dengan zona inti, patrolipengawasan terhadap kegiatan pemboman dan bius ikan oleh nelayan. Indikator ekologi dan ekonomi juga diperlihatkan adalah
peningkatan yang signifikan kepadatan ikan-ikan karang yang bernilai ekonomis, hasil tangkapan dan pendapatan nelayan CII 2006.
10 Beberapa kegiatan masyarakat bersama CII dalam pengembangan DPL di
perairan Teluk Kilat maupun Kabalutan telah dilakukan, antara lain CII 2006: 1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa
secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan bersama masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi
seluas 22 ha. Di Teluk Kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembanato dan Matobiyai, yaitu di Urung Dolom dan Manggafai
dengan total luas areal sekitar 36.92 ha. 2. Pembuatan Peraturan Desa Perdes yang mengatur pemanfaatan dan
perlindungan sumberdaya alam dan air. 3. Penyediaan sarana penunjang, seperti papan peringatan, pelampung, sabua
yang berfungsi sebagai pos penjagaan di sekitar DPL. 4. Studi Banding ke Taman Nasional Bunaken dan DPL berbasis masyarakat di
Desa Blongko dan Tumbak, Sulawesi Utara serta pelatihan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove.
5. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove.
6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dari pemerintah daerah setempat.
7. Kerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil small grant.
Eksistensi Kepulauan Togean sebagai salah satu taman nasional di Indonesia pertama kali diatur melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Nomor 418Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan kepulauan Togean sebagai Taman Nasional seluas 362 605 ha yang meliputi
wilayah laut dan daratan. Hal ini adalah hasil dari usaha panjang pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan kabupaten Tojo Una-Una untuk meningkatkan status
kawasan kepulauan Togean. Perjuangan itu sendiri sesungguhnya telah dimulai sejak 1989, ketika pemerintah daerah Sulawesi Tengah mengusulkan perubahan
status kepulauan Togean menjadi Taman Wisata Alam. Kepulauan Togean merupakan bagian dari sejumlah PPK yang ada di Indonesia. BRKP 2008
menyatakan bahwa Kepulauan Togean memiliki sebelum verifikasi 211 PPK
11 47 teregistrasi dan 164 belum teregistrasi, diantaranya berada di gugus Pulau
Togean 45 pulau. Kronologi terbentuknya TNK disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kronologi penunjukkan Taman Nasional Kepulauan Togean
TAHUN DASAR KEBIJAKAN
USULAN STATUS
1989 Surat Gubernur Sulawesi Tengah No.503391DINHUT89
tanggal 30 Agustus 1989 kepada Menteri Kehutanan RI merekomendasikan Kawasan Kepulauan Togean seluas 100ribu
ha sebagai Taman Wisata Laut TWL Taman Wisata Alam
Laut Usulan RePPProT Tahun 1989 mencantumkan Kepulauan Toegan
sebagai Suaka Margasatwa yang mencakup seluruh kawasan darat dan laut
Suaka Margasatwa Usulan
1990 Surat Keputusan Gubernur KDH I Sulawesi Tengah No.
188.140840Dephut90 tanggal 10 Pebruari 1990 tentang Penunjukkan Sementara Kepulauan Togean seluas 100ribu ha
sebagai Taman Wisata Alam Taman Wisata Alam
Laut Penunjukkan sementara
1992 Laporan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup tahun 1992 Country study on Biological Diversity yang mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar Alam Laut
seluas 100ribu ha. Cagar Alam Laut
Usulan 1993
Bappenas dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia tahun 1993 mengusulkan status Kepulauan Togean sebagai Cagar
Alam Multiguna Cagar Alam
Multiguna Usulan 1997
SK Gubernur KDH Tk. I Sulawesi Tengah No. 556138DIPARDA1997 tanggal 18 Maret 1997 tentang
Penetapan ObyekKawasan Daya Tarik Wisata di Propinsi Sulawesi, pada salah satu point lampirannya menunjuk Taman
Laut Togean sebagai obyekkawasan daya tarik wisata bahari Taman Laut
Kepulauan Togean Penetapan sebagai
obyek wisata bahari di Sulawesi Tengah
2003 Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Mencanangkan
Kepulauan Togean sebagai Kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional
Daerah Tujuan Ekowisata Bahari
Unggulan Nasional Pencanangan
2004 Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah Nomor
55638DishutGST tanggal 21 Pebruari 2004 tentang usul penetapan Taman Wisata Laut TWL Kepulauan Togean seluas
411.373 ha di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah
Taman Wisata Laut Usulan
Surat Bupati Tojo Una-Una No. 556.10144B-TU Perihal Dukungan Atas Usulan Taman Wisata Laut Kepulauan Togean
Taman Wisata Laut dukungan usulan
Gubernur Surat Gubernur Sulawesi Tengah No.522283DISHUT tanggal
14 Oktober 2004 tentang Usulan Penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas 411.373 ribu ha di Kabupaten Tojo
Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah Taman Nasional
perubahan atas usulan Taman
Wisata Laut
Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.418Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan Fungsi dan
Penunjukkan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan
wilayah perairan laut Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah seluas ±362 605 tiga ratus
enam puluh dua ribu enam ratus lima ha sebagai kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean.
Penunjukkan sebagai Taman
Nasional Kepulauan Togean
Sumber: CII 2006.
12 Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Penunjukkan Kepulauan Togean
sebagai kawasan taman nasional merupakan salah satu upaya dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan di Kabupaten Tojo Una-Una
khususnya dan Teluk Tomini pada umumnya BKSDA Sulawesi Tengah 2004. Perubahan status menjadi TNKT perlu diiringi komitmen kuat terhadap dua
kepentingan utama, yaitu keberlanjutan sumberdaya alam dan perbaikan kehidupan masyarakat di dalamnya. Meskipun penunjukkan dan penetapan sebuah kawasan
konservasi berada pada pemerintah pusat namun pelibatan masyarakat dan pihak lainnya mendapat porsi yang cukup besar seperti yang termaktub dalam peraturan
Menteri Kehutanan Nomor PP.19Menhut-II2004 tentang kolaborasi pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Pemerintah daerah dan taman nasional, dibantu pihak lain seperti pengusaha dan LSM seharusnya lebih berperan dalam membantu tumbuhnya inisiatif-inisiatif
perlindungan dari masyarakat, sambil memperkuat kelembagaan-kelembagan lokal yang masih ada. Hal ini dapat dilakukan melalui sebuah jaringan konservasi
berbasis masyarakat yang idealnya dapat menjadi unsur utama pengelolaan kawasan TNKT secara keseluruhan. Pengembangan wisata bahari berbasis konservasi di
PPK merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan taman nasional di wilayah perairan laut dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat community base
management . Proses inilah bisa menjadi salah satu strategi bagi penguatan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNKT. 2.2. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil
Defenisi pulau menurut UNCLOS 1982, Bab VIII pasal 121 ayat 1, bahwa “pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan
selalu beradamuncul di atas permukaan air pasang tertinggi” IHO 1993 dalam Bengen dan Retraubun 2006. Pulau-Pulau Kecil PPK adalah kumpulan pulau-
pulau gugusan pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individuial maupun secara sinergis dapat
13 meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya DKP 2002.
Berdasarkan luas dan jumlah penduduknya, PPK small island memiliki karakteristik yakni:
1. Lebih kecil dari atau sama dengan 2 000 km
2
Republik Indonesia 2007 dengan jumlah penduduk lebih kecil atau sama dengan 20 000 orang UNESCO 1991
dalam Bengen dan Retraubun 2006.
2. Lebih kecil dari atau sama dengan 1 000 km
2
dengan jumlah penduduk di bawah 100 000 orang Brookfield 1990.
3. Lebih kecil dari atau sama dengan 10 000 km
2
berpenduduk lebih kecil atau sama dengan 500 000 orang Hess 1990; DKP 2002, atau dengan luas yang
sama tapi memiliki penduduk lebih kecil dari 200 000 jiwa DKP 2000. 4. Pulau-pulau sangat kecil menurut Hess 1990 memiliki luas pulau lebih kecil
atau sama dengan 1 000 km
2
dengan jumlah penduduk di bawah 10 000 orang. Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol Brookfield 1990,
yaitu 1 terpisah dari habitat pulau induk mainland island, sehingga bersifat insular; 2 sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan catchment area
airnya relatif kecil; 3 peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami badai dan tsunami maupun akibat kegiatan manusia; 4 memiliki sejumlah jenis
endemik yang bernilai ekologis tinggi dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh organisme tertentu yang datang dari luas pulau, dan 5
memiliki sumberdaya alam daratan yang sangat terbatas, baik yang terkait dengan mineral, air tawar maupun kehutanan dan pertanian. Karakteristik lingkungan yang
berkaitan erat dengan proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologi pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur
yang berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki kondisi yang spesifik Bengen dan Retraubun 2006.
Karakteristik yang terkait dengan faktor sosial-ekonomi-budaya antara lain adalah memiliki infrastruktur yang terbatas, pasar domestik dan sumberdaya alam
kecil sehingga iklim usahanya kurang kompetitif, kegiatan ekonomi sangat terspesialisasi, tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai
tempat yang posisinya bernilai strategis dan jumlah penduduk tidak banyak dan biasanya saling mengenal satu sama lain serta terikat oleh hubungan persaudaraan
14 Hein 1990. Masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan
pulau kontinen dan daratan Beller 1990. Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan, kemudian
menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari sistem yang lebih luas yakni budaya. Selanjutnya budaya terkait dengan adaptasi manusia
terhadap lingkungannya melalui sistem teknologi matapencaharian dan pola pemukiman, keduanya disebut juga sebagai cultural core Bengen dan Retraubun
2006. Kusumastanto 2003, beberapa kendala pembangunan PPK adalah :
1 Ukuran yang kecil dan terisolasi keterasingan menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, sumberdaya manusia yang andal
dan mau bekerja di lokasi tersebut sedikit, jumlah pangan yang diproduksi terbatas sehingga diperlukan barang dan jasa dari pulau lain.
2 Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi;
3 Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, yang pada gilirannya
menentukan daya dukung sistem pulau kecil dan menopang kehidupan masyarakat serta segenap kegiatan pembangunan. Sumberdaya air PPK selain
sangat tergantung pada curah hujan, bentuk dan penyebaran batuan reservoir, ketebalan tanah pelapukan, dan jenis vegetasi yang ada, juga mendapat
pengaruh interaksi air laut dan air tawar yang terdapat di kawasan tersebut, yang dikenal dengan gejala penyusupan air laut. Gejala ini sangat menyolok
dan mudah diamati terutama untuk pulau sangat kecil yaitu yang berukuran lebih kecil dari 200 km
2
Falkland 1991. 4 Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan di setiap unit ruang
PPK dan sekitarnya saling terkait satu sama lain secara erat. 5 Budaya lokal kepulauan merupakan kendala tersendiri, terkadang bertentangan
dengan kegiatan pembangunan. Di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan dianggap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat.
Meskipun demikian, PPK memiliki potensi ekonomi yang tinggi namun dengan karakteristik yang sangat rentan terhadap aktifitas ekonomi. Kesukaran atau
15 ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan
dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia Kusumastanto 2003. Daya
dukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas. Aktifitas sosial dan ekonomi PPK merupakan interaksi kawasan daratan terrestrial dengan
lingkungan laut, sehingga hampir semua bentuk aktifitas pembangunan akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Bengen dan Retraubun 2006
menyatakan bahwa salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat dan laut PPK dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan run-off, dan
aliran air tanah ground water dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar yang pada akhirnya
bermuara di perairan pesisir PPK. Potensi kerusakan sumberdaya alam yang sangat tinggi seperti kenaikan permukaan laut, badai tsunami, dapat dengan mudah terjadi
apabila kualitas lingkungan sudah menurun. Untuk itu, pendekatan ekosistem dalam penataan ruang wilayah dan gugus pulau harus berdasarkan daya dukung ekologis,
jaringan sosial budaya dan integrasi kegiatan sosial ekonomi Dahuri 2003.
2.3. Pengelolaan Ekowisata Pesisir di Pulau-Pulau Kecil 2.3.1 Konsep Dasar dan Peraturan Pendukung