Kondisi Kelembagaan Pendukung Wisata Pesisir

103 pembauran antara turis dengan penduduk rendah dan pengetahuan masyarakat secara mendalam tentang pola hidup wisman juga sangat terbatas. Terkait dengan dampak kegiatan ekowisata pesisir terhadap kualitas hidup masyarakat lokal, menunjukkan bahwa pengaruhnya masih sangat kecil 8 . Kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat dan meningkat kualitas hidupnya dari kegiatan wisata pesisir adalah masyarakat lokal yang terkait langsung dengan pengelolaan usaha wisata seperti tenaga kerja lokal di cottage, sebagian kecil nelayan penyuplai ikan, pengusaha homestay dan transporter ataupun tourist guide Depbudpar 2007.

4.1.5. Kondisi Kelembagaan Pendukung Wisata Pesisir

Kelembagaan merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Jika dikaitkan defenisi tersebut dengan ekowisata pesisir, maka kelembagaan dalam ekowisata pesisir adalah suatu sistem yang mengatur tata kelakuan dan hubungan aturan antara aktivitas wisata pesisir, pengusaha wisata, pemerintah dan masyarakat guna memperoleh manfaat ekologi, ekonomi dan sosial dari aktivitas wisata tersebut. Komponen kelembagaan ekowisata pesisir yang dikaji dalam penelitian ini yakni aturan pengelolaan sumberdaya di kawasan TNKT tujuan konservasi SDA dan kesejahteraan masyarakat, aturan kegiatan usaha wisata pesisir, hak dan kewajiban seluruh pemangku kepentingan, peran fasilitator pemerintah, dan peran masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya di gugus Pulau Togean. Untuk lebih jelasnya kondisi kelembagaan penunjang kegiatan ekowisata pesisir di gugus Togean disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 menunjukkan bahwa belum ada aturan yang terkait langsung dengan pengelolaan TNKT secara khusus Rencana Pengelolaan Taman Nasional RPTN dalam proses penyusunan kebijakan. Keterbatasan payung hukum tersebut dapat dieliminir dengan keberadaan tataruang wilayah dan pedoman pengelolaan sumberdaya di kawasan TNKT termasuk di dalamnya kegiatan pariwisata bahari di daerah, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW kabupaten Tojo Una-Una, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan RDTK Togean dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah RIPPDA Kabupaten Tojo Una-Una. 104 Tabel 19 Kondisi kelembagaan penunjang kegiatan ekowisata pesisir di gugus Pulau Togean No. Uraian Keterangan 1. Peraturan dan pedoman pengelolaan pariwisata di Taman Nasional Kepulauan Togean - SK Menteri Kehutanan RI No.418 Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan Fungsi dan Penunjukkan sebagai kawasan TNKT. - RTRW Kab. Tojo Una-Una - RDTRK Kepulauan Togean - Master Plan Pengembangan Pariwisata Daerah Kab. Tojo Una-Una - Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait 2. Zonasi Taman Nasional Kepulauan Togean Belum ada 3. Keberadaan Daerah Perlindungan Laut DPL 1 kawasan di Desa Lembanato 4. Penyuluhan konservasi, ekowisata dan hukum 1-2 kali setahun 5. Ketersediaan personil penegak hukum di TNKT 2 orang per kecamatanUPTD 6. Intensitas pelanggaran hukum 1-2 kali setahun 7. Fungsi penegakan hukum oleh aparat Kadang-kadang 1 dari 3 pelanggaran 8. Peran pemerintah dalam promosi Festival Togean 1x setahun 9. Penyediaan prasarana penunjang Kurang tersedia 60.00 Sumber: Data Primer Yang Diolah 2009; TNKT 2009. Sistem zonasi untuk tujuan konservasi sumberdaya laut di kawasan TNKT masih dilakukan dalam lingkup skala kecil yakni dengan keberadaan Daerah Perlindungan Laut DPL, dan terbatas pada dua desa. Sementara desa lain menilai keberadaan DPL sebagai salah satu cara pemerintah dalam membatasi masyarakat lokal dalam pemanfaatan SDA di Kepulauan Togean. Di lain pihak, keberadaan DPL harus dioptimalkan sehingga target mengurangi degradasi, mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan konservasi. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahap II, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut memfokuskan tugas pokok dan fungsi di bidang pengelolaan konservasi kawasan dan jenis ikan sampai luas 5 dari total wilayah perairan Indonesia dapat terpenuhi. Secara nasional program konservasi dan pemanfaatan PPK untuk tujuan konservasi sumberdaya didukung oleh UU RI No.51990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, UU RI No.272007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, UU RI No.452009 tentang Perikanan, dan PP No.602007 tentang konservasi sumberdaya ikan. Upaya penyuluhan dan pemberian pemahaman tentang konservasi SDA dan hukum oleh pihak pemerintah dan non-pemerintah NGO kepada masyarakat lokal masih sangat sulit dan terbatas. Hasil penelitian Sangadji 2010, bahwa terjadi bias 105 dan distorsi dalam proses penyampaian informasi yang sangat tajam tentang fungsi, peran, manfaat dan pengelolaan TNKT kepada masyarakat mulai dari proses sosialisasi hingga pengadopsian informasi tentang TNKT. Selain itu, persepsi dan koordinasi program dan budget antar pelaku penyelenggara baik tingkat pusat Balai TNKT maupun pemda nampak belum berjalan dengan baik sehingga terjadi reaksi prokontra yang mengarah pada opini negatif terhadap keberadaan TNKT. Terkait dengan peran dan keterlibatan pemangku kepentingan lain seperti NGO, swasta dan masyarakat lokal dalam proses pembentukan TNKT, juga memberi perbedaan bahkan lebih bersifat antagonistik. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya beberapa kasus seperti ketidak-sepahaman antara pemerintah pusat dan daerah tentang pengelola TNKT, NGO lokal yang tidak sepenuhnya percaya tentang maksud baik pembentukan TNKT, lalu NGO lain CII yang selama ini mendampingi masyarakat Pulau Togean dan dianggap memiliki andil dalam penetapan TNKT, serta merta meninggalkan kawasan ini dengan alasan masa kontrak selesai. Selain itu, terjadi konflik horisontal antar pengguna sumberdaya laut seperti pihak swasta perusahaan mutiara dan usaha wisata Walea Dive Resort dengan masyarakat lokal. Kondisi ini memunculkan opini di dalam masyarakat bahwa keberadaan TNKT dan pemberian izin kepada swasta akan menyebabkan hilangnya pekerjaan yang turun-temurun digeluti akibat adanya pembatasan akses dalam memanfaatkan sumberdaya laut. Peran pemerintah pusat dan daerah dalam penyediaan prasarana pariwisata didasarkan pada INPRES No.162005 tentang kebijakan pembangunan kebudayaan dan pariwisata. Sarana transportasi yang menuju daratan Sulawesi Ampana dan Gorontalo atau pulau lain melalui kapal-kapal penumpang umum yang tersedia saat ini melayani rute pelayaran Ampana-Togean-Gorontalo-Pangimana-Bunta, atau sebaliknya. Selain itu terdapat rute yang melayani Ampana ke dalam kawasan Kepulauan Togean, seperti Wakai, Katupat, Malenge, Lebiti, Dolong, Popolii dan Pasokan, serta sebaliknya ke Ampana dengan jalur yang sama, dimana frekuensi pemberangkatan 3 kalihari per minggu. Sementara sarana pendukung transportasi lokal umumnya menggunakan perahu katinting 5.5 PK. Lama perjalanan dari Ampana ke Kecamatan Wakai yaitu ± 5 jam menggunakan kapal penumpang reguler. Jika rute laut menggunakan speedboat 106 maka waktu tempuh akan lebih pendek yaitu ± 2 jam. Kedua sarana transportasi tersebut merupakan sarana utama digunakan oleh wisatawan dari daratan utama Sulawesi menuju lokasi wisata Togean. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur perjalanan turis ke Kepulauan Togean umumnya 40 melalui Makassar-Toraja- Tentena-Togean, dan melalui Gorontalo 30 setelah dari Bali dan atau Menado. Sementara turis yang masuk via kota Palu 22 dan sebagian kecil via Gorontalo merupakan turis yang menjadwalkan kunjungan wisatanya langsung ke Pulau Togean. Ini menunjukkan bahwa umumnya turis yang berkunjung ke kawasan wisata Togean merupakan rangkaian perjalanan yang tidak hanya mengunjungi satu lokasi dan menikmati satu jenis atraksi wisata saja. Selain ketersediaan prasarana dan sarana transportasi, penerangan listrik dan sarana telekomunikasi juga merupakan fasilitas penunjang yang perlu diperhatikan. Keberadaan umumnya hanya di ibukota kecamatan, dengan sumber penerangan listrik diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PLTD. Namun di desa- desa lainnya, listrik diperoleh lewat generator bantuan pemerintah maupun perusahaan, atau diupayakan secara swadaya oleh satu atau dua orang penduduk yang memiliki generator. Demikian pula untuk keperluan usaha wisata pesisir, sumber listrik berasal dari generator yang diatur jadwal penerangannya. Untuk sarana telekomunikasi, hampir setiap usaha wisata menyediakan jasa warung telepon Wartel satelit, kecuali di Pulau Kadidiri masih terjangkau oleh jaringan selular dengan kondisi yang terbatas.

4.2. Kesesuaian Kegiatan Ekowisata Pesisir di Gugus Pulau Togean