Lapangan Kerja Pertanian DAMPAK EKONOMI
79 lama dan dilakukan dalam baki nampan. Kegiatan ini dapat dikerjakan di rumah
dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga dan t dilakukan kapan saja, namun kegiatan ini tetap dihitung sebagai kegiatan yang memerlukan tenaga kerja.
Tabel 30. Biaya Tenaga Kerja Usahatani Padi di Kabupaten Tasikmalaya
No. Kegiatan
Padi SRI Ciramajaya
Padi SRI Manonjaya dan
Cisayong Padi
Konvensional
HOK Biaya
dalam Rp HOK
Biaya dalam
Rp HOK
Biaya dalam
Rp 1.
Pengolahan Lahan
57 852.991
47 697.221
59 882.708
2. Persemaian
1 11.739
1 16.428
2 31.333
3. Penanaman
Penyulaman 7
109.000 6
91.857 11
167.767 4.
Penyiangan 49
739.348 32
484.000 23
350.900 5.
Pengairan 1
21.304 10
147.857 4
56.833 6.
Pemupukan 9
140.435 5
68.571 16
238.000 7.
Pengendalian HPT
6 86.957
4 65.714
5 67.667
Jumlah 131
1.961.773
105
1.571.650 120
1.795.208
Kegiatan lain yang pengerjaannya lebih lama dan memerlukan tenaga
kerja yang banyak yaitu pada proses penanaman, dimana penanaman padi pada metode SRI dilakukan lebih lama pada awal penerapan metode SRI karena
kegiatan penanamannya lebih susah dan memerlukan keahlian yang khusus sehingga tenaga kerja yag melakukan kegiatan penanaman tersebut membutuhkan
waktu yang lebih lama dalam pengerjaannya. Apabila teknik penanaman padi metode SRI tersebut telah dikenal luas dan sudah terbiasa, maka kegiatan
penanaman bisa dilakukan lebih cepat sehingga pengeluaran biaya tenaga kerja untuk kegiatan penanaman menjadi lebih hemat.
Penambahan tenaga kerja juga terjadi pada proses pembuatan pupuk organik, mulai dari pengumpulan bahan pembuatan pupuk organik, yang
umumnya diperoleh dari hijauan dan kotoran hewan. Proses pembuatan pupuk
80 organik pada umumnya dilakukan sendiri oleh petani atau kelompok tani. Tenaga
untuk pengendalian gulma pada metode SRI ini meningkat sebesar kurang lebih 30 persen. Ini merupakan konsekuensi dari pola irigasi berselang sehingga hal ini
memacu pertumbuhan gulma, tenaga pengendalian hama, dan kegiatan pengairan juga menjadi lebih besar. Dalam metode SRI, kegiatan penyiangan justru
memberikan manfaat kepada tanaman padi, karena gerakan mencabut gulma oleh petani, akan menyebabkan tanaman padi berguncang. Guncangan ini justru
membuat pertumbuhan bulir padi semakin baik, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan hasil panen pada akhir musim.
Metode SRI memerlukan pengamatan yang lebih intensif dibandingkan dengan pola konvensional. Pengamatan yang dilakukan secara simultan dengan
aktivitas pengairan, pengendalian gulma dan hama, pada umumnya dilakukan sendiri oleh petani dan keluarganya sehingga secara riil tidak berdampak pada
biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh petani, meskipun dalam perhitungan biaya usahatani pengorbanan anggota keluarga ini tetap dianggap sebagai
pengeluaran tenaga kerja. Pada metode SRI pengendalian gulma umumnya dilakukan sebanyak 3
– 4 kali dalam satu musim, sehingga terjadi peningkatan biaya tunai untuk tenaga kerja, sementara pada pola konvensional hanya
dilakukan 2 – 3 kali saja.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari lapangan bahwa penggunaan tenaga kerja sejak pengolahan lahan hingga panen secara umum tidak banyak
berubah. Pengurangan tenaga kerja terjadi pada pengolahan lahan sekalipun dalam persentase yang kecil. Pemakaian tenaga kerja mulai berkurang karena tenaga
kerja pada fase pengolahan tanah dalam metode SRI yang telah berjalan lebih dari dua musim dan struktur tanah yang relatif sudah gembur sehingga pekerjaan
pengolahan relatif lebih mudah dan dapat dikerjakan oleh tenaga kerja yang lebih sedikit. Pada petani pemula yang menerapkan metode SRI, kegiatan pengolahan
tanah relatif hampir sama dengan kegiatan pengolahan pada pola konvensional. Penggunaan tenaga kerja dalam penerapan metode SRI di Kabupaten
Tasikmalaya didominasi oleh tenaga kerja keluarga. Pada metode SRI ini petani lebih banyak melibatkan keluarga dalam kegiatan usahataninya karena dianggap
81 lebih murah dan lebih mudah untuk diarahkan dalam melakukan metode SRI yang
masih dianggap sebagai suatu pola penanaman yang baru. Dampak terhadap penawaran tenga kerja di tingkat desa saat ini belum terlihat secara nyata karena
petani yang melaksanakan metode SRI masih terbatas, yaitu hanya sekitar 10 persen. Selain itu, petani yang menerapkan metode SRI rata
–rata mengerjakan sendiri pengolahan lahannya sehingga permintaan tenaga kerja untuk metode SRI
ini tidak mengalami peningkatan yang berarti.