Peningkatan Kreativitas Petani Berbasis Spesifikasi Lokal
90 munculnya revolusi hijau, dimana penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia
sangat dominan dalam kegiatan usahatani. Pupuk dan obat-obatan kimia dibuat dalam bentuk yang lebih praktis dan
mudah didapat oleh petani dan untuk memperolehnya petani cukup membeli di toko pupuk. Hal ini diakui oleh petani di wilayah daerah aliran sungai Ciramajaya
sebagai salah satu penyebab ketergantungan petani terhadap pupuk dan obat- obatan kimia menjadi sangat besar. Petani tidak mau lagi menghabiskan waktu
dan tenaganya untuk membuat pupuk kompos nabati, sehingga secara perlahan –
lahan kondisi sosial petani menjadi berubah. Budaya instan yang selama ini terdapat di petani padi Kabupaten Tasikmalaya dilahirkan dari kepraktisan
tinggal menaburkan, tanpa harus membuat sendiri dan kemudahan input luar tersedia di toko-toko sarana produksi.
Kondisi ini menyebabkan petani meninggalkan budaya atau kebiasaan –
kebiasaan lamanya dalam mengelola lahan pertaniannya, yaitu dengan menggunakan bahan-bahan di lingkungan sekitar sebagai bahan utama dalam
pengelolaan lahan usahataninya. Metode SRI sebagai salah satu metode pertanian yang mengutamakan konsep organik dalam pelaksanaannya tampaknya
membutuhkan waktu untuk bisa kembali diterima di tingkat petani. Petani padi di Kabupaten Tasikmalaya yang telah lama menerapkan metode SRI mulai dari
Tahun 2000 seperti di Kecamatan Manonjaya dan Kecamatan Cisayong secara umum telah memiliki kemampuan yang cukup memadai dalam memanfaatkan
kearifan lokal untuk mengelola lahan sawahnya. Namun untuk wilayah – wilayah
pengembangan SRI baru, seperti di wilayah aliran Sungai Ciramajaya, petani masih belajar dalam mengembalikan kearifan lokal yang sebenarnya telah mereka
miliki sejak lama. Kebiasaan
petani dalam
menggunakan bahan-bahan
kimiawi menyebabkan petani melupakan pengetahuan lokal setempat yang telah ada
sebelumnya. Petani yang mayoritas merupakan adalah generasi baru saat ini memiliki keterbatasan dalam pengetahuan lokal setempat. Menurut pengurus
kelompok tani Barokah di Kecamatan Tanjungjaya sebenarnya di Kabupaten Tasikmalaya terdapat banyak pengetahuan lokal yang diwariskan oleh para
91 leluhur, baik pengetahuan lokal pupuk organik maupun pestisida hayati
pengendalian hama secara tradisional. Pada kenyataannya sekarang, pengetahuan lokal tersebut semakin terdegradasi dari sistem sosial petani.
Kecenderungannnya petani di Kecamatan Tanjungjaya khususnya dan di Kabupaten Tasikmalaya umumnya hanya memiliki satu atau sebagian dari
pengetahuan masyarakat lokal, bahkan banyak yang tidak mengetahuinya sama sekali. Kelemahan petani selama ini adalah tidak ada dokumentasi tertulis
sehingga sulit bagi generasi selanjutnya untuk mengadopsi teknologi konvensional.
Ketergantungan pada input luar ternyata membuat petani selama ini menjadi tidak kreatif. Dalam menghadapi masalah serangan hama biasanya petani
tidak mencari solusi lain, malah menambah dosis pestisida atau pupuk anorganik, tidak mencari solusi yang lebih ramah lingkungan. Metode SRI ini pada
prinsipnya suatu metode “baru” namun “ lama” dimana dalam pengelolaan lahan
digunakan bahan –bahan organik. Untuk itu dalam penerapan metode SRI ini
petani dituntut untuk kembali belajar mengenai pengetahuan lokal setempat. Metode SRI ini hanyalah sebagai alat untuk memancing kreativitas petani dalam
menggunakan kembali pengetahuan yang berbasis lokal tadi, sehingga dapat diperoleh hasil panen yang sehat dan layak konsumsi.
Prinsip pengelolaan pertanian SRI yang merupakan suatu bentuk pertanian yang berkelanjutan adalah menghargai keanekaragaman hayati, menghargai
kearifan lokal, memanfaatkan bahan-bahan lokal, tidak bergantung bahan luar, tidak mengekploitasi alam serta sesuai budaya dan pilihan serta kemampuan
petani. Petani kecil yang seringkali mempunyai keterbatasan dalam mengakses sarana dan prasarana produksi pertanian, melalui pertanian lestari mempunyai
peluang yang luas dalam membangun usaha pertaniannya. Kepercayaan petani kembali tumbuh karena bisa membuat keputusan sendiri terhadap usaha taninya
serta mampu membuat benih pupuk dan pestisida sendiri, mempunyai organisasi, serta jaringan antar petani
Dalam SRI, nilai ekologis merupakan hal yang sangat penting karena terdapat anggapan bahwa SRI tidak harus atau bahkan tidak menggunakan
92 masukan input pertanian anorganik, tetapi mengarah pada upaya budi daya
organik dengan penerapan komponen-komponen teknologi indigenous yang ada dalam model pertanian SRI, seperti:
1. Pengolahan tanah yang sehat serta pengelolaan bahan organik; 2. Pengelolaan potensi tanaman secara optimal; serta
3. Pengelolaan air yang baik dan teratur. Ketiga unsur ini merupakan hal yang esensial dilakukan oleh petani padi
SRI di Kabupaten Tasikmlaya dalam kaitannya dengan penerapan padi SRI. Penerapan teknologi SRI ini tentunya memberikan suatu perubahan dalam aspek
sosial masyarakat pada umumnya dan petani pada khususnya. Dalam penerapan teknologi SRI ini petani pada dasarnya harus merubah beberapa kebiasaan yang
terdapat dalam padi konvensional. Berikut adalah beberapa perubahan perilakupeningkatan kreativitas petani
dalam kaitannya dengan penerapan SRI pada lahannya berdasarkan kepada Metode SRI yang telah dikenal oleh petani padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya.
Peningkatan kreativitas petani yang berbasis spesifikasi lokal tersebut meliputi aspek
–aspek yang ada dalam penerapan metode SRI, yaitu dalam hal perubahan dalam penggunaan bibit, penerapan jarak tanam, penggunaan bahan
–bahan organik pada lahannya, penerapan sistem irigasi, perilaku pengendalian hama
penyakit dan kegiatan penyiangan pada lahan padi SRI: 1. Bibit Muda
SRI menganjurkan untuk menanam bibit muda dengan sangat hati-hati agar tidak cacat dan untuk mendapatkan jumlah anakan serta pertumbuhan akar
yang maksimum. Dalam konsep SRI, tanaman padi diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang
dapat dimanipulasi. SRI menerapkan konsep sinergi, dimana semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling menunjang sehingga asilnya
secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing – masing bagian. Dalam
pelaksanaannya sangat ditekankan bahwa SRI hanya akan berhasil jika semua komponen teknologi dilaksanakan secara bersamaan.
93 Konsep kehati-hatian dalam penanaman bibit muda ini memberikan suatu
perubahan dalam perilaku petani dalam memperlakukan bibit padi muda. Petani yang pada awalnya menanam padi dengan cara yang kurang memperhatikan aspek
kehati-hatian dalam penanamannya, sekarang petani harus merubah caranya tersebut dengan lebih berhati-hati. Keadaan ini ternyata telah menjadikan sense of
belonging petani terhadap tanaman padinya semakin meningkat dan perilaku petani dalam penanaman padi muda saat ini semakin baik.
Persepsi komunitas petani yang terkait dengan penggunaan benih muda, model persemaian serta penanaman dangkal dengan benih satu batang, pada
awalnya dirasakan terlalu berisiko dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Penggunaan bibit muda dengan pola tanam satu
– satu, mempunyai risiko kegagalan tanam terutama pada saat curah hujan tinggi dan lahan tergenang
sehingga banyak benih yang hanyut, begitu pula saat terjadi serangan hama pada benih yang baru ditanam. Risiko
– risiko tersebut menyebabkan petani harus melakukan penyulaman yang lebih sering sehingga membutuhkan tenaga
tambahan yang lebih banyak pula. Pola pertanaman tersebut banyak disangsikan oleh petani konvensional,
karena tanaman padi SRI pada awal ditanam selain tidak terlihat juga dianggap berisiko tinggi. Tekstur benih padi yang hanya satu batang membuat kepercayaan
petani terhadap tanaman padi tersebut menjadi berkurang. Namun demikian setelah padi tumbuh 2 minggu dan sampai pada saat pembiakan anakan,
ternyata padi SRI menghasilkan anakan jauh lebih banyak daripada cara penanaman benih dengan cara konvensional. Persepsi petani terhadap proses
tanam dan persemaian benih, secara umum merasakan bahwa pada awalnya petani merasa kesulitan, karena memerlukan ketelitian serta keterampilan dalam
memperlakukan benih. Dalam pemenuhan tenaga kerja, petani padi SRI di Kabupaten
Tasikmalaya relatif tidak mengalami kesulitan karena rata – rata petani
mengerjakan sendiri penanaman padi di lahannya atau menggunakan tenaga kerja keluarga dalam proses penanaman. Rata
– rata petani yang menerapkan SRI di
94 Kabupaten Tasikmalaya adalah petani penggarap yang memiliki luas lahan 100
– 300 bata.
2. Jarak Tanam Lebar SRI menganjurkan untuk menanam bibit muda tunggal satulobang satu
tanaman dengan jarak tanam lebih lebar agar tanaman tidak berkompetisi dan mempunyai cukup ruang untuk berkembang sehingga anakan maksimum dapat
dicapai karena cukup sinar dan udara. Penanaman padi dengan jarak tanam yang lebar pada awalnya merupakan suatu kendala bagi petani karena biasanya petani
menanam padi dengan jarak tanam yang sempit. Petani lebih menyukai penanaman dengan jarak tanam yang sempit karena dianggap dapat memberikan
hasil yang lebih banyak dan memberikan kesan bahwa dengan jarak tanam yang sempit maka pertumbuhan padi tersebut ke depannya akan lebih kuat. Hal ini
sangat mempengaruhi petani karena apabila dilihat secara kasar, penanaman dengan jarak tanam yang sempit ini memang terlihat lebih meyakinkan dan
menjanjikan hasil yang lebih banyak, namun secara ilmiah ternyata hal ini tidak tepat.
Perubahan jarak tanam ini ternyata sangat mempengaruhi aspek sosial dari petani karena petani membutuhkan waktu dan pembuktian yang cukup mengenai
perubahan jarak tanam ini. Dari hasil kajian di Kabupaten Tasikmalaya, hingga saat ini petani yang telah bersedia atau mau untuk merubah cara tanamnya
tersebut adalah sebesar 10 dari total petani padi. Petani yang telah menerapkan pola penanaman padi dengan jarak tanam lebar ini pada umumnya telah 2-3 kali
menerapkan teknologi SRI dan hasil yang diperoleh dari musim ke musim saat ini belum memperlihatkan suatu trend peningkatan yang signifikan sehingga belum
bisa memberikan contoh nyata kepada petani lainnya yang menanam padi konvensional.
3. Bahan Organik SRI menganjurkan pemakaian bahan organik kompos untuk
memperbaiki struktur tanah agar akar dapat tumbuh baik dan hara tersuplai kepada tanaman secara perlahan.Pemupukan dengan bahan organik dapat berupa
95 pupuk kandang, pupuk kompos, atau pupuk organik cair MOL. Pupuk dasar
diberikan pada saat pengolahan tanah pertama berupa pupuk kandang dengan anjuran sebanyak 7-10 tonHa dan pupuk kompos jerami sisa panen sebelumnya.
Jumlah jerami rata-rata dua kali lipat jumlah padi, apabila hasil padi 1 ton maka jeraminya 2 ton. Namun pelaksanaannya disesuaikan dengan keadaan dan
kemampuan petani. Responden memberikan pupuk kandang disamping pupuk kompos jerami adalah sebanyak 4-7 tonHa karena keterbatasan ketersediaan
pupuk kandang. Pupuk kandang berupa pupuk dari kotoran ayam atau kotoran domba,
sebaiknya kotoran hewan tersebut dihaluskan agar cepat terserap oleh akar padi. Untuk mempercepat proses pembusukan pada pembuatan pupuk kompos
digunakan MOL yang terbuat dari berbagai macam tumbuhan dan hewan. MOL juga digunakan sebagai bibit pupuk organik cair yang anjurannya disemprotkan
setiap 10 hari sekali. MOL yang mengandung unsur nitrogen adalah dari bahan hijauan seperti daun kalikiria, daun kirinyuh, dll. Zat tumbuh adalah zat zyberlin
yang terkandung dalam rebung dan pucuk labu. Keong, dan ikan sapu untuk kandungan protein, dan buah-buahan untuk kandungan vitamin. Bahan tersebut
dihaluskan, kemudian dicampur dengan air gulaair kelapa, dan difermentasikan sekitar 15 hari. 1 liter bibit larutan ini dicampur dengan 15 lt air dan disemprotkan
ke tanaman padi, ramuan MOL dapat dilihat di lampiran 4. Responden melakukan hal ini meskipun bahan-bahannya ada yang berbeda disesuaikan ketersediaan
bahan. Penggunaan pupuk organik ini tentunya memerlukan ketelatenan dan
kerajinan ekstra dari petani. Petani selama ini telah terbiasa menggunakan pupuk anorganik yang dengan mudah didapatkan di toko pupuk terdekat. Dengan
membeli pupuk anorganik , petani tidak perlu “cape” untuk membuat pupuk
organik, dan ini tentunya merupakan suatu penghambat bagi petani untuk beralih menggunakan pupuk organik. Peralihan dari pupuk anorganik kepada pupuk
organik ini diperlukan suatu kesadaran dari petani tentang ekologi tanah yang saat ini telah mengalami kerusakan dikarenakan pupuk anorganik. Petani yang
96 mengikuti program SRI di Kabupaten Tasikmalaya pada umumnya telah
menyadari akan pentingnya penggunaan pupuk organik di lahan mereka. Dari sudut perspektif ekologi, pertanian organik merupakan suatu upaya
manusia memperbaiki hubungannya dengan alam. Bisa dikatakan saat ini manusia sedang berupaya menebus dosanya kepada alam. Sekian puluh tahun petani
Indonesia telah “memperkosa” tanah dengan berbagai masukan input anorganik. Berjuta-juta ton bahan anorganik tersebut dijejalkan pada tanah sehingga tanah
pun mengalami kejenuhan dan kerusakan. Tidak hanya tanah yang menjadi korban, berbagai spesies hewan maupun jasad renik juga telah lenyap seiring
penggunaan pestisida yang membabi buta. Hewan dan jasad renik tidak berdosa tersebut ikut musnah bersama hewan dan jasad renik yang dianggap sebagai hama
oleh petani. Padahal sangatlah mungkin beberapa diantaranya justru merupakan musuh alami dari sang hama yang berperan dalam menjaga keseimbangan
ekosistem. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama
mulai disadari oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya sehingga mereka saat ini mencari alternatif bercocok tanam yang dapat menghasilkan produk yang bebas
dari cemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat. Petani padi yang telah menyadari pentingnya penggunaan pupuk organik di
Kabupaten Tasikmalaya adalah petani yang mengikuti program SRI. Mereka pada umumnya telah menyadari bahwa penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan
dapat merusak tanah dan ekologi alam secara keseluruhan. Petani yang belum mau beralih kepada pupuk organik ini didasarkan pada
berbagai macam alasan, diantaranya adalah : a. Penggunaan pupuk organik memerlukan waktu dan tenaga lebih besar
karena pembuatan pupuk organik dianggap masih rumit b. Perilaku petani yang ingin mendapatkan pupuk secara mudah, yaitu
dengan cara membeli pupuk dari toko c. Belum adanya kesadaran dari petani mengenai pentingnya menjaga
kelestarian alam
97 d. Tidak memiliki binatang ternak sehingga terkendala dalam pengadaan
kotoran hewan sebagai bahan dasar dari pupuk organik Penggunaan pupuk organik oleh petani dinilai masih sangat sedikit
dibanding pupuk kimia pabrikan. Jumlah petani yang menggunakan pupuk organik di Kabupaten Tasikmalaya saat ini baru mencapai lima hingga sepuluh
persen, padahal penggunaan yang dominan seharusnya mencapai 60 persen. Selama ini petani lebih menyukai hal praktis yaitu dengan membawa satu zak
pupuk Urea, mereka bisa langsung menaburkan pupuk dengan mudah. Jika harus memakai pupuk organik dari kotoran ternak, mereka harus mengolah dulu dan
minimal membutuhkan satu unit truk pupuk organik untuk lahan seluas 1000 meter. Cara itu dinilai para petani tidak praktis dan cukup repot. Karena itu,
mereka memilih cara yang praktis dan mudah dengan menggunakan pupuk kimia pabrikan seperti Urea.
4. Irigasi Berselang SRI menganjurkan teknik irigasi berselang agar tercipta kondisi perakaran
yang teroksidasi untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mendapatkan akar yang panjang dan lebat.Perubahan teknik irigasi ini pun mempengaruhi petani
dalam penerapan teknologi SRI di lahannya. Petani selama ini menganggap bahwa padi merupakan tanaman yang memerlukan air banyak dalam
pengelolaannya. Sehingga ketika diperkenalkan teknologi SRI dimana penggunaan air lebih sedikit, petani merasa keberatan karena menurut
pandangannya penggunaan air yang lebih sedikit dirasa tidak “afdol” sehingga akan mempengaruhi hasil panen. Manfaat dari irigasi berselang ini baru dirasakan
manfaatnya oleh petani ketika musim kemarau, dimana petani menyadari keunggulan dari teknologi SRI ini yang memang hemat air.
Persepsi petani terhadap irigasi berselang, menunjukkan bahwa pola pertanaman padi SRI sangat hemat air, sehingga bagi daerah-daerah yang
mempunyai sumber pengairan yang terbatas , pola tanam SRI ini sangat membantu. Intensitas pengaturan air ini telah menuntun pada prinsip dasar
menghargai tanaman sebagai makhluk hidup menjadi lebih intensif. Dengan
98 pengaturan irigasi berselang maka risiko sosial seperti persaingan penggunaan air
di masyarakat dapat dihindarkan atau diminimalisasi. 5. Penyiangan
SRI menganjurkan teknik penyiangan dengan menggunakan ”gasrok atau lalandak” untuk memperbaiki areasi tanah dan menekan pertumbuhan gulma.
Dalam teknologi SRI, penyiangan dilakukan lebih sering apabila dibandingkan dengan konvensional. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk organic yang
memicu pertumbuhan gulma yang lebih banyak. Hal ini tentunya menambah pekerjaan petani, dimana pada padi konvensional penyiangan hanya dilakukan
sebanyak dua kali dalam satu kali musim tanam, sedangkan pada padi SRI penyiangan dilakukan sebanyak empat kali dalam satu musim.
Persepsi petani terhadap kegiatan penyiangan mengisyaratkan bahwa dengan pola pertanaman SRI, intensitas pemeliharaan tanaman dari gulma dan
rumput menjadi lebih intensif, mengingat pertumbuhan rumput maupun gulma pada pola pertanaman SRI relative lebih cepat, sehingga secara tidak langsung
juga memberikan tambahan waktu untuk pemeliharaan dan tenaga kerja yang dibutuhkan. Hal ini tentunya secara tidak langsung merubah perilaku petani dalam
proses pemeliharaan tanaman padi yang mereka miliki dan memerlukan kerajinan yang lebih dari petani dalam memelihara tanaman padinya.
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman padi lain. Penerapan SRI juga bisa diperuntukkan bagi
berbagai varietas padi lain yang pernah ditanam oleh petani, namun diperlukan suatu pikiran yang terbuka untuk menerima suatu metode baru dan juga kemauan
untuk terus menerus melakukan eksperimen. Apabila dilihat dari sudut pandang petani, secara umum teknologi SRI masih relatif sulit untuk dilaksanakan, karena
membutuhkan tambahan tenaga kerja yang banyak pada saat kondisi keuangan petani rendah. Permasalahan ini cukup kompleks untuk petani kecil, karena
dihadapkan pada dilema antara mencari tambahan pendapatan diluar usahatani atau mengalokasikan tenaga kerja pada usahatani padi.
99 Dalam beberapa forum diskusi, pengembangan SRI diantaranya
permasalahan tenaga kerja tersebut masih menimbulkan debat dan polemik teknis yang kadangkala bersifat kontroversi. IRRI sebagai lembaga penelitian padi
internasional yang lebih berkompeten dalam inovasi teknologi padi tidak begitu antusias dalam mengembangkan SRI. Terlepas dari hal tersebut, diakui atau tidak
penerapan SRI di Indonesia umumnya dan di Kabupaten Tasikmalaya khususnya terus berkembang dan dipraktekan terus oleh para petani.
Secara umum, petani di Kabupaten Tasikmalaya masih meragukan peningkatan produksi dari metode SRI ini, namun hal ini terjadi pada petani yang
memang belum pernah menerapkan penanaman dengan cara SRI ini. Hal ini lebih disebabkan karena pemahaman petani yang kurang memadai tentang jumlah bibit
yang ditanam hanya satu batang pada awal penanaman tanpa penggunaan pupuk dan pestisida anorganik yang biasanya digunakan. Kondisi ini menyebabkan
petani menganggap pola tanam SRI ini tidak lazim dari kebiasan yang selama ini dilakukan.
Bagi komunitas petani SRI sendiri, pada awalnya sebagian besar petani merasa ragu, bahkan memperkirakan bahwa pola SRI akan menyebabkan
penurunan produktivitas. Petani yang merupakan “early adopter” terhadap pola SRI ini mendapat respon yang negative dari masyarakat sekitarnya. Keraguan
tersebut tidak hanya terjadi pada masyarakat saja, namun juga pada pemerintah pusat dan daerah. Namun hal ini tidak menjadi penghalang bagi komunitas SRI di
Kabupaten Tasikmalaya untuk menerapkan teknologi SRI ini secara partisipatif, melalui berbagai kreativitas dan pengalaman masing
– masing. 6. Pengendalian Hama dan Penyakit
Pada umumnya petani mengetahui OPT utama tanaman padi sepeti tikus, walangsangit,sipuit murbaei, wereng,penggerek batang dan ulat grayak.
Sedangkan beberapa jenis binatang seperti serangga, laba-laba, ular sawah, capung, kodok, kumbang kubah kukuyaan, dll yang dulunya dianggap hama
setelah adanya Sekolah lapang PET-SRI dikatahui sebagai musuh alami OPT sekarang dianggap sebaga karyawan petani di sawah yang membantu petani
100 memanfaatkan siklus ekologi secara alami. Hal ini menujukkan adanya perubahan
sikap petani terhadap hama dan gulma sejalan dengan meningkatnya pengetahuan petani.
Pada prinsipnya budidaya padi SRI adalah salah satu upaya untuk mengendalikan agroekosistem termasuk pengendalian hama, sehingga unsur
– unsur ekosistem mulai dari tanah, air, tanaman serta unsur biotik lainnya tersusun
menjadi kekuatan yang saling berintegrasi satu sama lain saling berinteraksi sebagaimana layaknya daur aliran energi dan terjadinya siklus nutrisi. Namun
demikian, apabila terjadi ketidakseimbangan pengaruh faktor lain ekstern sehingga terjadi perubahan status serangga menjadi hama yang merusak dan bakal
merugikan, maka dikendalikan dengan bahan –bahan yang terbuat dari ramuan
pestisida alami yang dimaksudkan agar populasi hama dapat ditekan sekaligus keberlanjutan ekosistem tetap dapat dipertahankan.
Perubahan teknik penanganan hama dan penyakit ini tentunya merubah aspek sosial budaya dari masyarakat petani. Petani saat ini dituntut untuk lebih
peduli kepada lingkungannya, sehingga musuh alami sepertiserangga, laba-laba, ular sawah, capung, kodok, kumbang kubah kukuyaan tidak hilang. Tentunya
hal ini harus dilakukan secara terintegrasi antar petani dalam satu desa Kecamatan dan tidak dapat dilakukan secara parsial di lahan masing
–masing. Kerjasama antar petani dalam menjaga lingkungannya secara tidak langsung dapat
meningkatkan tali silaturahmi