Kajian Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi Sri Bagi Petani Dan Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.

(1)

KAJIAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI

BUDIDAYA PADI SRI BAGI PETANI DAN

MASYARAKAT

KABUPATENTASIKMALAYA

Oleh :

Dr. Ronnie S Natawidjaja, Ir., MSc

Endah Djuwendah, SP., MSi

Gema Wibawa Mukti, SP., MSi

KERJASAMA SWAKELOLA NON SWADANA

LEMBAGA PENELITIAN UNPAD DENGAN

DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN

KABUPATEN TASIKMALAYA

TAHUN ANGGARAN 2008


(2)

(3)

i

KATA PENGANTAR

Laporan ini kami sampaikan sebagai hasil akhir dari kajian keadaan lapangan yang telah dilaksanakan Tim Peneliti dalam kegiatan penelitian

Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi SRI Bagi Petani dan Masyarakat Kabupaten Tasikmalaya” yang dipercayakan kepada kami oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya.

Pengkajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan budidaya padi SRI (Sistem of Rice Intensification) di Kabupaten Tasikmalaya, membandingkan produksi dan produktifitas budidaya padi SRI dan konvensional, mengidentifikasi dampak teknis, sosial, dan ekonomi dari pelaksanaan budidaya padi SRI, serta mengidentifikasi hambatan pelaksanaan budidaya padi SRI secara teknis (operasional), sosial, dan ekonomi yang terdapat di lapangan. Dari hasil kajian ini, dibuat saran sebagai arahan kebijakan dalam pengembangan budidaya padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini, Sdr Dea Maulana Yusuf, SP dan Andri Rakhmansyah, SP yang telah membantu mengolah dan kompilasi data lapangan serta kepada semua pihak yang telah membantu sehingga kajian ini dapat berjalan dengan lancar.

Bandung, 28 Desember 2008 a.n. Ketua Lembaga Penelitian Kepala Puslit Kebijakan Pertanian

dan Agribisnis Unpad


(4)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFRAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Sasaran ... 3

1.4. Keluaran ... 4

1.5. Ruang Lingkup ... 4

1.6. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Logis ... 5

BAB II METODE PENELITIAN ... 14

2.1. Metode Pengambilan Sampel dan Lokasi Penelitian ... 14

2.2. Jenis dan Sumber Data ... 15

2.3. Tahapan Kerja dan Teknis Analisis Data ... 15

2.4. Personalia ... 17

BAB III KEADAAN DAERAH DAN PERKEMBANGAN SRI DI KABUPATEN TASIKMALAYA ... 18

3.1. Geografis dan Topografis Kabupaten Tasikmalaya ... 18

3.2. Administrasi dan Pemerintahan ... 19

3.3. Keadaan Hidrologi dan Iklim ... 21

3.4. Jumlah Penduduk dan Mata Pencahariannya ... 22

3.5. Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Tsikmalaya ... 23

3.6. Karakteristik Responden Petani SRI dan Konvensional ... 25

3.7. Kebijakan Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya ... 31

BAB IV PENERAPAN SRI OLEH PETANI ... 33

4.1. Sejarah Penerapan SRI di Kabupaten Tasikmalaya ... 33

4.2. Adopsi Teknologi SRI di Kabupaten Tasikmalaya ... 37

4.3. Kondisi Aktual Penerapan SRI Oleh Petani di Kabupaten Tasikmalaya ... 38

4.3.1. Pemilihan Varietas dan Benih ... 39

4.3.2. Persemaian ... 41

4.3.3. Pengolahan Tanah ... 42

4.3.4. Penanaman ... 44

4.3.5. Perawatan Tanaman ... 44

4.3.6. Pengaturan Air ... 45

4.3.7. Pemupukan ... 46

4.3.8. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman ... 48

4.3.9. Panen dan Pasca Panen ... 49 4.4. Kendala Teknis, Sosial Ekonomi dan Pengembangan Pelaksanaan


(5)

iii

Budidaya Padi SRI ... 53

4.4.1. Kendala Teknis ... 53

4.4.2. Kendala Sosial ... 54

4.4.3. Kendala Ekonomi ... 56

4.4.4. Kendala Pengembangan ... 57

BAB V PEMASARAN HASIL PANEN PADI SRI ... 58

5.1. Jumlah yang Dipanen dan yang Dijual ... 58

5.2. Saluran Pemasaran ... 59

5.3. Pengemasan (Handling) ... 66

BAB VI DAMPAK EKONOMI ... 69

6.1. Biaya Usahatani ... 69

6.2. Pendapatan Petani ... 73

6.3. Penyediaan Pupuk dan Pestisida Organik ... 76

6.4. Lapangan Kerja Pertanian ... 78

6.5. Terbangunnya Rantai Nilai (Value Chain) Padi SRI ... 81

BAB VII DAMPAK SOSIAL ... 83

7.1. Perubahan Paradigma Petani ... 83

7.2. Peningkatan Kreativitas Petani Berbasis Spesifikasi Lokal ... 89

7.3. Perkembangan Kelembagaan Petani ... 100

BAB VIII PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN PADI SRI DI KABUPATEN TASIKMALAYA ... 105

8.1. Prospek ... 105

8.2. Strategi Pengembangan ... 106

8.3. Kebijakan ... 109

8.4. Program ... 110

BAB IX KESIMPULAN DAN PENUTUP ... 117


(6)

iv

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal.

1 Perbandingan Antara Hasil Produksi Rata-rata dan Maksimum SRI

Dengan Konvensional (Konvensional) di 13 Negara ... 8

2 Jumlah Sampel yang Diambil ... 15

3 Personalia Pelaksana Penelitian ... 17

4 Batas Wilayah Administratif Kabupaten Tasikmalaya ... 18

5 Karakteristik Ketinggian Wilayah Kabupaten Tasikmalaya ... 19

6 Daftar Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Tasikmalaya 2007 ... 20

7 Jumlah Hari Hujan dan Rata-rata Curah Hujan Per Bulan Tahun 2006 ... 23

8 Jumlah Penduduk Kabupaten Tasikmalaya ... 23

9 Mata Pencaharian Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2007 ... 24

10 Jenis Tanah di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006 ... 25

11 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006 ... 25

12 Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Padi Sawah di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006 ... 26

13 Distribusi Responden Petani Berdasarkan Usia ... 27

14 Tingkat Pendidikan Petani Responden ... 28

15 Pengalaman Berusahatani Responden ... 29

16 Pola Tanam Usahatani Padi ... 29

17 Sumber Pengairan Pertanian ... 30

18 Luas Lahan Garapan Petani Responden ... 30

19 Status Penguasaan Lahan ... 30

20 Distribusi Responden Petani Berdasarkan Sumber Modal Usahatani ... 31

21 Distribusi Responden Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani SRI ... 32

22 Faktor Penghambat Penerapan SRI ... 32

23 Kronologis Singkat SRI di Tasikmalaya ... 36

24 Perbedaan Budidaya Padi Organik SRI dengan Padi Konvensional ... 54

25. Alokasi Hasil panen Padi ...58

26 Pemasaran Hasil Panen Padi ... 60

27 Biaya Usahatani Padi SRI dan Padi Konvensional di Kabupaten Tasikmalaya ... 72

28 Total Biaya Penerimaan Pendapatan dan R/C Usahatani Padi di Kabupaten Tasikmalaya ... 74

29 Biaya Tenaga Kerja Usahatani Padi di Kabupaten Tasikmalaya ... 79

30 Perubahan Paradigma Petani Dalam Kegiatan Usahatani Padi ... 88

31 Matrik Kebijakan ... 111


(7)

v

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

1 Kerangka Logis (Kajian Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi

Organik Metode SRI) ... 13 2 Foto Petani Sedang Melakukan Percobaan Aerasi Tanah Saat Pelatihan .... 35 3 Proses Seleksi Benih Dalam Larutan Garam ... 40 4 Foto Metode Penanaman SRI ... 43 6 Foto Lahan Sawah Macak-macak Dengan Saluran Air Ditengahnya ... 47 6 Kegiatan Panen Padi SRI di Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten

Tasikmalaya ... 49 7 Saluran Pemasaran Khusus Padi SRI di Ciramajaya ... 62 8 Kemasan Beras Organik SRI di Kecamatan Cisayong ... 67 9 Saluran Pemasaran Padi yang Dianjurkan Untuk Pemasaran Padi


(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Produksi padi yang berhasil dilipatgandakan dengan pesat pada masa revolusi hijau dengan menggunakan bibit varietas baru, penggunaan pestisida kimia dan pupuk buatan secara intensif semenjak tahun 1990-an memperlihatkan gejala adanya stagnasi. Penggunaan tambahan input dan usaha ekstensifikasi tidak mampu lagi menghasilkan kenaikan produktivitas dan produksi. Kenaikan produksi padi pada satu dekade terakhir hanya diperoleh dari peningkatan intensitas tanam dan perluasan areal produksi. Berbagai upaya dan inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi padi telah dilakukan, baik berupa inovasi sistem maupun inovasi komponen. Salah satu inovasi sistem yang menunjukkan hasil menonjol dan memberikan harapan baru adalah Sistem of Rice Intensification (SRI).

Metode SRI diklaim bisa meningkatkan produksi padi lebih dari 50 persen dengan kualitas beras yang dihasilkan lebih baik. Dinyatakan pula oleh penggagas metode ini bahwa penggunaan SRI dapat mengurangi input dan biaya yang dikeluarkan petani berupa efisisensi penggunaan bibit sebesar 80–90 persen, pemberian air irigasi antara 25–50 persen serta mengurangi ketergantungan pada penggunaan pupuk kimia.

Di Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya adalah salah satu sentra produksi padi yang dijadikan “pilot project” oleh Departemen Pertanian RI untuk uji coba SRI. Pada Tahun 2004 telah memberikan hasil yang nyata berupa peningkatan produktivitas sebesar 25–50 persen. Petani di Kabupaten Tasikmalaya yang telah menerapkan budidaya padi SRI saat ini sudah mencapai 933 orang dengan areal pertanaman seluas 122 ha (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kab. Tasikmalaya, 2006). Dengan demikian, masihbesar potensi untuk dilakukannya pengembangan metode SRI di lahansawah pada sentra padi Kabupaten Tasikmalaya. Melalui teknologi SRI ini produksi padi dapat meningkat sampai 8–


(9)

2 10 ton perhektar, bahkan secara kasuistis ada yang dapat mencapai 12 ton per hektar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan cara intensifikasi yang biasa dilakukan (6 ton per ha). Apabila dirata-ratakan, peningkatan produksi gabah dalam sekali musim panen mencapai 30 persen dari teknik budidaya konvensional. Dengan menggunakan perhitungan kasar, pendapatan petani akan naik 30 persen.

Namun disamping adanya potensi besar yang mungkin diperoleh dari budidaya padi dengan SRI tersebut, masih banyak hal-hal yang masih meragukan keberhasilannya apabila diaplikasikan secara meluas di Kabupaten Tasikmalaya. Sejauh ini teknik budidaya padi dengan sistem SRI hanya dipandang sebagai langkah taktis untuk menekan penggunaan air dan optimalisasi lahan pertanian. Belum dilihat sebagai prioritas peningkatan produksi beras dan menaikkan pendapatan petani padi, padahal berdasarkan perhitungan di atas, jelas memberikan kontribusi pendapatan yang tinggi. Disamping itu, masih banyak kendala yang dihadapi petani dalam mengadopsi budidaya padi SRI yaitukendala sosial, teknis, politis, budaya dan kelembagaan. Secara sosial, SRI sulit diterima, apalagi diadopsi oleh para petani.

Penelitian Royan (2005) di Tasikmalaya menemukan kasus yang sama, bahwa sebagian besar petani padi organik yang sebelumnya mendapatkan pelatihan SRI dan telah menerapkannya selama dua musim, kini sebagian besar kembali ke pendekatan konvensional. Secara teknis, SRI masih dinilai rumit oleh para petani. Secara kelembagaan, petani menghadapi kesulitan di dalam memasarkan hasil, karena jaringannya kurang dapat terakses dengan mudah oleh para petani. Petani tidak mendapatkan bimbingan SRI yang efektif dan berkelanjutan dari pendamping atau fasilitator. Petani menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pupuk organik dan bahan pupuk organik. Petani kurang mendapatkan dukungan sosial, baik dari keluarga maupun mayoritas petani di sekitarnya. Secara politis, pemihakan pemerintah sendiri masih setengah hati untuk melegalisasi pengembangan SRI.


(10)

3 Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, diduga terjadi karena pengembangan SRI di Tasikmalaya masih belum terintegrasi. Padahal, pendekatan sistem agribisnis menghendaki terjadinya integrasi atau sinergisme antara satu subsistem dengan subsistem lainnya. Untuk itu, diperlukan alternatif strategi bagi pengintegrasian kegiatan on-farm dengan of-farm (up-stream, down-stream and supporting institution)dalam sistem agribisnis untuk mewujudkan pola pengembangan SRI secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Agar dihasilkan rumusan strategi yang tepat, maka perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian untuk mengungkap kinerja penerapan SRI di Tasikmalaya serta dampak sosial ekonomi dari budidaya padi SRI terhadap petani dan masyarakat secara luas.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan dan dampak budidayapadi SRI di Kabupaten Tasikmalaya dan membuat Arahan Pola Pengembangan Padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah:

1) Mendeskripsikan pelaksanaan program budidaya padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya

2) Menganalisis aspek sosial, ekonomi dan teknis budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilaksanakan oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya.

3) Menyusun arahan pola pengembangan SRI berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan teknis di Kabupaten Tasikmalaya.

1.3. Sasaran

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka sasaran kegiatan ini adalah hasil studi yang mencakup :

1) Tersedianya informasi mengenai pelaksanaan program budidaya padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya


(11)

4 2) Mengetahui aspek sosial, ekonomi dan teknis budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilaksanakan oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya.

3) Tersusunnya arahan pola pengembangan SRI aspek sosial, ekonomi dan teknis di Kabupaten Tasikmalaya.

1.4. Keluaran

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan arahan dan kebijakan dalam pengembangan budidaya padi SRI sebagai bentuk kelembagaan yang menunjang sistem inovasi dan pengembangan teknologi dalam memajukan komoditas unggulan daerah yang sampai saat ini belum tersentuh oleh lembaga litbang dan penyuluhan yang merupakan sektor publik (pelayanan masyarakat). Secara lebih spesifik keluaran jangka panjang dari penelitian ini adalah:

(1). Sebagai keluaran diperolehnya gambaran lengkap tentang pelaksanaan budidaya padi SRI, hambatan, dan kemungkinan dampak sosial ekonominya sebagai bahan masukan bagi perbaikan secara teknis maupun rekayasa sistem kelembagaan petani untuk mendukungpenerapan budidaya padi SRI secara meluas di Kabupaten Tasikmalaya

(2). Dari hasil evaluasi kemudian disusun perumusan Arahan dan Kebijakan Pengembangan Padi SRI sebagai komoditas bernilai tinggi unggulan daerah yang pada akhirnya diharapkan akan menunjang upaya peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dengan mengambil lokasi di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini akan memfokuskan pada upaya untuk mengevaluasi budidaya padi SRI yang dilakukan oleh masyarakat selama 2 tahun terakhir.

Sebagai langkah pertama untuk bisa mengevaluasi pelaksanaan budidaya padi SRI adalah dengan observasi menggali kondisi lokal spesifik lingkungan agro-ekologis pada sawah petani yang menerapkan budidaya padi SRI di Kabupaten


(12)

5 Tasikmalaya. Dari hasil pelaksanaan kegiatan survey dengan pendekatan wawancara menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) diperoleh informasi berupa gambaran realistis kondisi lapangan yang merupakan hasil dari sebuah bentuk intervensi (baik sukses maupun kekurangberhasilan). Guna memperoleh informasi yang bersifat umum mengenai kondisi wilayah dan kegiatan program budidaya padi metode SRI dalam skala luas dilakukan penggalian informasi menggunakan FGD (Focus Group Discussion). Untuk lebih mempertajam analisis yang dilakukan, perbandingan kondisi faktual akan dibandingkan dengan kondisi normatif didasarkan pada kerangka acuan teoritis terkini mengenai sistem budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional.

Untuk menciptakan arah dan kebijakan pengembangan padi SRI akan dikembangkan strategi pemodelan yang didasarkan pada kerangka normatif teori yang menjadi rujukan, kemudian di konfirmasi dan didiskusikan dengan para pelaku (stakeholder) secara partisipatif melalui pendekatan PRA (Paticipatory Rural Appraisal) di tingkat kabupaten.

1.6. Tinjuan Pustaka dan Kerangka Logis

Padi sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia akan tetap menduduki posisi strategis dalam pembangunan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia, karena itu pemerintah senantiasa berupaya untuk meningkatkan produksi dan produktifitas padi bagi terciptanya ketahanan pangan. Salah satu strategi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, khususnya beras adalah program intensifikasi. Secara historis-empiris intensifikasi padi yang telah dioperasikan sejak tahun 1970-a melalui gerakan revolusi hijau telah terbukti mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan.

Kebehasilan yang dicapai revolusi hijau mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras Tahun 1985 dan meraih produksi yang tinggi di Tahun 1998-2001, program intensifikasi yang tidak terkendali juga memunculkan permasalahan baru. Menurut Agus Andoko (2008), permasalahan lingkungan yang muncul sebagai dampak revolusi hijau diantaranya : (1) kemajuan teknologi


(13)

6 pemuliaan tanaman yang hanya mengembangkan dan menanam varietas unggul yang menguntungkan secara ekonomis menyebabkan banyak jenis tanaman akan tersingkir dan akhirnya musnah sehingga akan mengancam keanekaregaman hayati, (2) penggunaan pupuk kimia secara intensif mempunyai efek merusak struktur tanah, dan (3) penggunanan pestisida kimia menganggu aktivitas mahluk hidup dalam tanah, menimbulkan pencemaran lingkungan dan menyebabkan penyakit pada manusia.

Terganggunya kehidupan dan keseimbangan, meningkatnya dekomposisi bahan organik yang kemudian menyebabakan degradasi sturktur tanah, kerentanan yang tinggi terhdap kekeringan dan keefektifan yang lebih rendah dalam menghasilkan panenan. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral Nitrogen bisa menyebabkan menurunkan PH tanah dan ketersediaan fospor bagi tanaman. Penggunaan pupuk buatan NPK yang terus-menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan, magnesium, molybdenum, boro bisa mempengaruhi tanaman, hewan dan kesehatan manusia. Bila unsur mikro ini tidak diganti oleh pupuk buatan NPK, produksi lambat laun akan menurun dan serangan hama penyakit akan meningkat (Sharma, 1985; Tandon, 1990).

Fenomena kerusakan lingkungan yang munculnya berbagai kritik atas model pembangunan pertanian dengan input tinggi, perlahan namun pasti telah mendorong berkembang dan memasyarakatnya pertanian ramah lingkungan. Pada kasus pangan, pengertian ramah lingkungan tidak hanya sekedar aman (bersih, sehat, bergizi, bermutu dan berwawasan lingkungan) tetapi juga memberikan jaminan kesejahteraan bagi petani dan ketersediaan pangan secara berkelanjutan. Pada perkembangannya, konsep pertanian ramah lingkungan diarusutamakan menjadi pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development).

Salah satu program pembangunan pertanian ramah lingkungan yang mulai mendapat perhatian serius di Asia adalah System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan teknik budidaya padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanah, air dan


(14)

7 tanaman (kelompok studi petani, 2003). SRI yang berbasis pada padi organik merupakan program pertanian dalam rangka meningkatkan hasil produksi padi baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Secara empiris, SRI mulai dikembangkan di Madagaskar sekitar 20 tahun yang lalu sebagai respon atas menurunnya kesuburan lahan, langka dan tingginya harga pupuk kimia, serta suplai air yang terus berkurang. Saat ini, SRI telah dikembangkan di banyak negara, seperti Thailand, Philipina, India, China, Kamboja, Laos, Srilangka, Peru, Cuba, Brazil, Vietnam dan termasuk di Indonesia. SRI dikatakan organik karena mulai dari pengolahan lahan, pemupukan, hingga penanggulangan serangan OPT menggunakan bahan organik. SRI masuk ke Indonesia Tahun 1997 dan mulai dikembangkan di Jawa Barat pada Tahun 2003. Produktivitas padi dengan metode SRI sangat menakjubkan, karena mencapai angka rata-rata 9-11 ton per hektar, bahkan lebih (Raphaella dkk., 2003; dan Royan, 2005). Metode ini menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff yang memperkenalkannya kepada masyarakat Indonesia Tahun 1997 yang merupakan solusi dan dapat menjadi titik tolak untuk membangkitkan kembali sektor pertanian, khususnya padi.

Melalui SRI, produktivitas padi bisa lebih tinggi, sebagai contoh, produktivitas padi di Madagaskar bisa meningkat hingga 500 persen, yakni dari semula 2,6 ton/ha menjadi 21 ton/ha. (Tabel 1). Di Indonesia, pada panen perdana di Sukabumi, SRI mampu meningkatkan produktivitas padi hingga 9,4 ton/ha. Selain itu, SRI juga hemat dalam penggunaan bibit (93 persen), hemat air irigasi (50 persen) dan hemat pestisida (100 persen). International Federation of Organic Agriculture Movements (2004), melaporkan bahwa metode SRI juga memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman dan memelihara mikroba tanah yang beragam ( Tarya S Sugarada, dkk, 2008)

Secara umum dalam konsep SRI semua potensi tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya. Hal ini disebabkan SRI menerpakan konsep sinergi dimana semua komponen teknologi Sri terinteraksi secara positif dan saling menunjang sehingga hasilnya secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah


(15)

masing-8 masing bagian. Dalam pelaksanaanya sangat ditekankan bahwa SRI dapat berhasil apabila semua komponen teknologi dilaksanakan secara bersamaan dan berkesinambungan.

Tabel 1. Perbandingan Antara Hasil Produksi Rata-rata dan Maksimum SRI dengan Konvensional (Konvensional) di 13 Negara

No Negara No. of Data Sets (No. of Farmers)

Produktivitas Usahatani Padi Konvensional (Ton/Ha) Produktivitas Rata- Rata Usahatani Padi SRI (Ton/Ha)

Produktivitas Maksi- mum Usahatani Padi SRI (Ton/Ha)

1.

Bangladesh 4 farm (261) 6

on-station 4,9 ( 4,4 – 5,0) 6,3 (5,3 – 7,3) 7,1 ( 5,6 – 9,5) 2. Cambodia 3 on-farm (427) 2,7 ( 2,0 – 4,0) 4,8 (3,4 – 6,0) 12,9 (10,0 – 14,0) 3.

China `7 on-station w/

hybrid varieties 10,9 (10,0 – 11,8) 12,4 (9,7 – 15,8) 13,5 (10,5 – 17,5) 4. Cuba 17 on-farm trials 4,3 ( 1,6 – 7,6) 7,4 (3,0 – 12,0) 13,3 (12,0 – 14,0) 5.

Gambia 1 farm (10) 1

on-station 2,3 ( 2,0 – 2,5) 7,1 (6,8 – 7,4) 8,8 ( 8,3 – 9,4) 6. India on-farm trials(134) 4,0 ( 2,0 – 6,0) 8,0 (3,2 – 16,2) 15,3 (14,3 – 16,2) 7. Indonesia 2 on-farm 5 on-station 5,0 ( 4,1 – 6,7) 7,4 (6,2 – 8,4) 9,0 ( 7,0 – 10,3) 8.

Madagas-car

11 on-farm (3.025) 3

on-station 2,6 ( 1,5 – 3,6) 7,2 (4,2 – 10,4) 13,9 ( 5,6 – 21,0) 9.

Myanmar 121 farmer field

schooltrials 2,0 5,4 (2,0 – 15,3) 15,3 10.

Nepal 13 farmer field school trials

4,2 – FP (3,0 – 5,2)

6,3 – IP (3,8 – 8,5) 8,5 (7,5 – 11,0) 11,0 11.

Philippines 4 farm (47) 1

on-station 3,0 ( 2,0 – 3,6) 6,0 (5,0 – 7,6) 7,4 ( 7,3 – 7,6) 12 Sierra

Leone 8 on-farm (160) 2,5 ( 1,9 – 3,2) 5,3 (4,9 – 7,4) 7,4 13.

Sri Lanka 6 farm (275) 2

on-station 3,6 ( 2,7 – 4,2) 7,8 (7,0 – 13,0) 14,3 (11,4 – 17,0) Sumber : Most Data are From Country Report is Norman Uphoff (2002)

Keterangan : Angka dalam Kolom Merupakan Kisaran Produksi; FP (Farmer Practice); IP (ImprovedPractice)

Program SRI menawarkan pertumbuhan akar yang besar dan mudah beradaptasi dengan aktivitas biologis tanah yang tidak terlihat. SRI tidak tergantung dari input luar bahkan sebaliknya mampu meningkatkan produktifitas lahan, tenaga kerja, air dan modal pada produksi padi beririgasi dengan mendayagunakan potensi genetik dan proses biologis yang ada terutama di dalam tanah (Nippon Koei Co,.2004)


(16)

9 Adapun hasil-hasil yang berkaitan dengan pelaksanaan progam padi SRI yaitu meningkatnya jumlah anakan, pertumbuhan akar yang besar,kualitas gabah lebih tinggi dan lebih berat, hemat air, mengurangi serangan hama dan penyakit tanaman, biaya produksi rendah karena tidak memerlukan pupuk kimia, meningkatkan produktivitas faktor, keuntungan, dan mengurangi risiko.

Namun berdasarkan hasil penelitian Moser dan Baret (2003) dalam Wardana et all, (2005) dilihat dari sudut pandang petani sebagian besar petani merasakan bahwa teknologi SRI sulit dilaksanakankarena membutuhkan tambahan tenaga kerja yang banyak pada saat keuangan petani rendah. Pada awal penerapan SRI terjadi penurunan produktivitas, terutama pada tanah-tanah yang memiliki kesuburan rendah. Penurunan produksi pada musin tanam pertama dan kedua dalam penerapan SRI bisa mencapai 30-50 persen. Namun melalui pemberian kompos yang kontinue, produktifitas lahan secara perlahan meningkat.

Hasil penelitian Iwan setiajie, dkk, (2008) di daerah Garut dan Ciamis menunjukkan bahwa penerapan SRI mampu menghemat saprodi berupa benih, pupuk, dan insektisida, namun lebih boros dalam penggunaan kompos. Kurangnya ketersediaan pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI karena petani tidak mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya. Oleh karena itu petani hanya mempu menerapkan SRI pada 30-50 persen lahannya. Peningkatan penggunaan input tenaga kerja terutama dalam fase pembuatan kompos maupun pengendalian gulma. Pemakaian tenaga kerja dalam model SRI lebih banyak dibandingkan dengan cara konvensional.

Penerapan SRI sangat ideal dilakukan pada kondisi lingkungan yang mendukung terhadap komponen inovasi yang dipersyaratkan. Kendala yang dihadapi pada saat pengembangan SRI pada skala luas terkait dengan aspek teknis dan non teknis. Aspek non teknis diantaranya ketersediaan bahan baku kompos yang berupa kotoran hewan (kohe) untuk pembuatan pupuk organik, kebutuhan tenaga kerja yang meningkat, penanganan hasil produksi gabah dan perubahan pasar sasaran beras organik untuk mempertahankan harga jual.Kendala dalam aspek teknis terkait dengan tingkat adopsi teknologi SRI.


(17)

10 Secara sosiologis, lamban tidaknya adopsi sistem pertanian organik yang berbasiskan pupuk dan pestisida organik disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 1. Secara psikologis, perilaku petani masih sangat tergantung kepada input luar

(pupuk anorganik dan pestisida sintetis. Hal ini dapat dimaknai bahwa kemandirian petani telah menurun. Budaya instan yang dilahirkan dari keprakatisan seperti tinggal menabur tanpa harus membuat sendiri dan kemudahan input dari luar karena selalu tersedia di toko-toko sarana produksi pertanian tampaknya masih menjadi perhitungan dan pertimbangan para petani, baik secara sosial, ekonomi maupun teknis. Secara riil Rientjies et all, (1992) menyatakan bahwa para petani telah menyadari bahwa lingkungan (khususnya tanah telah mengalami penurunan produktifitas (levelling –off), namun pada kenyataannya sikap masyarakat atas pupuk dan pestisida hayati masih tetap tidak menyakinkan. Bagi sebagian besar petani dan masyarakat pertanian yang masih awam, pertanian organik, pupuk organik dan pestisida organik masih identik dengan pertanian tradisional (kuno) yang produktivitasnya rendah.

2. Lemahnya pengetahuan petani mengenai pertanian organik terjadi karena kurangnya komunikasi antar petani, baik di dalam menginternalisasikan praktek pembuatan dan penggunaan pupuk dan pestisida organik maupun dalam menginternalisasikan manfaat, keuntungan dan keunggulan dari pertanian organik. Bagi petani yang kadang mengabaikan dampak negatif dari pupuk atau pestisida yang penting hasil harus maksimal. Aspek lingkungan, kesehatan, dan masa depan lahan, belum menjadi prioritas. Lemahnya komunikasi juga terjadi dalam proses diseminasi informasi pertanian organik oleh sumber-sumber informasi, baik kepada petani maupun kepada khalayak umum. Reintjes et al. (1992) menyatakan bahwa kemerosotan pengetahuan petani dan masyarakat pada umumnya atas agroekosistem setempat dan teknik pertanian, strategi dan sumber daya genetik lokal setempat karena menurunnya kedudukan praktek tradisional dan pertanian sebagai suatu profesi.


(18)

11 3. Permasalahan sosial budaya dalam pengembangan pertanian organik juga datang dari petani sebagai konsumen. Di mata konsumen, produk organik relatif masih mahal, kurang menarik secara fisik dan susah didapat. Sebagian besar konsumen belum memahami bahaya pestisida atau keberadaan residu pestisida dalam makanan yang dikonsumsinya, sehingga secara riil telah menurunkan minat petani untuk mengembangkan pertanian organik. Pada kasus padi organik, Royan (2005) mengungkapkan bahwa beberapa petani – yang semula menerapkan pertanian organik (SRI)– kembali menerapkan cara konvensional karena harga gabah konvensional tidak berbeda secara nyata dari harga gabah organik. Royan pun mengungkapkan bahwa petani yang menerapkan pertanian organik tidak saja mendapatkan tantangan (cemoohan) dari tetangga tetapi juga dari keluarganya. Kendala sosial yang paling dirasakan oleh petani dalam menerapkan pertanian organik adalah hilang atau memudarnya budaya dan pengetahuan lokal tentang pupuk maupun pestisida organik. Hampir sebagian besar petani merasa asing dengan cara yang diterapkan dalam SRI, kondisi tersebut sejalan dengan tererosinya kearifan lokal dan ketersediaan tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk pestisida dan pupuk organik.

4. Faktor keamanan sebaiknya tidak dilihat secara sempit menyangkut minimalisasi risiko atau kerugian tetapi juga dilihat secara makro menyangkut kemanan pangan. Secara sempit, ancaman kemanan bisa datang dari cuaca, munculnya hama, permintaan pasar yang belum jelas, taksiran sumber daya dan ketersediaan tenaga kerja. Petani merasakan bahwa penggunaan pestisida dan pupuk organik belum memberikan jaminan keamanan baik secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Bagi petani, berusahatani merupakan jaminan untuk mendapatkan ketahanan pangan dan bagi negara usahatani hendaknya menjamin ketahanan pangan negara yang erat kaitannya dengan politik. Menerapkan pertanian organik secara politis menyimpan keraguan terhadap kemampuan dalam menjaga stabilitas pangan terutama pada tahap awal.


(19)

12 Secara ekonomis penerapan pertanian organik terutama untuk pupuk organik akan memberatkan bagi petani, terutama pada tahap awal penerapan. Permasalahan ekonomi yang paling menjadi kendala bagi pengembangan pertanian organik yang paling dirasakan adalah pasar. Hal ini disebabkan konsumen belum menyadari keuntungan dari produk organik, selain itu struktur pasar yang tidak bersaing sempurna kurang mendukung dalam pemasaran produk pertanian organik.

Kendala kelembagaan pendukung (supporting system) dalam pertanian organik menyangkut aspek kelembagaan pengelolaan lahan, kelembagaan penyedia atau pelayanan sarana produksi, kelelmbagaan pengembangan sumberdaya manusia(pemberdayaan), kelembagaan pemasaran (distribusi) kelembagaan keuangan(permodalan)kelembagaan penanganan dan pengolahan hasil. Secara riil, kelembagaan tersebut belum semuanya terbentuk dan yang sudah ada juga masih belum berfungsi secara optimal.

Kendala pertanian organik secara teknis adalah petani masih beranggapan bahwa pertanian organik belum praktis dimana mereka masih merasa lebih nyaman apabila menggunakan pupuk dan pestisida sintetis karena hampir selalu tersedia kapanpun dan dimanapun ketika petani membutuhkannya. Petani juga masih menganggap bahwa kelemahan pertanian organik adalah terjadinya penurunan produktivitas pada tahap awal penerapan dan pestisida organik. Pada tahap ini, petani maengalami kesulitan karena disamping penurunan produktifitas terjadi pula peningkatan biaya produksi. Pada tahap awal penerapan pertanian organik, pupuk kandang atau kompos yang diperlukan cukup banyak, bagi petani yang tidak memiliki ternak, hal ini akan cukup menyulitkan. Oleh karena itu, pendampingan atau penyuluhan dari para fasilitator atau penyuluh sangat diperlukan terutama dalam penguatan motivasi.


(20)

13 - Skala luasan Usaha kecil

- Perubahan Perilaku

- Perubahan Teknik budidaya

Gambar 1. Kerangka Logis (Kajian Dampak Sosial Ekonomi Budidaya Padi Organik Metode SRI)

Kekurangan Pangan SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

(SRI)

K

a

j

a

i

n

S

o

s

i

a

l

E

k

o

n

o

m

i

- Ketersediaan Air terbatas - Ketersediaan Pupuk Organik - Ketersediaan Modal Terbatas Perubahan Penggunaan

Input Revolusi Hijau

Perubahan Teknologi - Stagnasi Hasil Pertanian

- Kerusakan Lingkungan - Gangguan Kesehatan

- Pemasaran Hasil Terbatas -Fluktuasi Harga

Perubahan Pasar


(21)

14 BAB II

METODE PENELITIAN

2.1. Metode Pengambilan Sampel dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk menggali informasi untuk memberikan gambaran tentang sesuatu, baik situasi maupun peristiwa yang bersifat meluas dari objek yang dikaji. Hasil survei akan digunakan untuk menyusun arahan pola pengembangan budidaya padi organik metode System of Rice Intencification (SRI) di Kabupaten Tasikmalaya,

Penelitian ini dilakukan pada daerah sentra produksi padi SRI yang dijadikan lokasi intervensi penerapan teknologi oleh Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya selama 2 tahun terakhir, yang dikelompokan menjadi 5 wilayah kecamatan yaitu: Cisayong, Manonjaya, Sukaraja, Mangunreja, dan Tanjungjaya.

Dari masing-masing kecamatan diambil sampel secara acak berdasarkan proporsi dari jumlah petani yang menerapkan SRI dan yang tidak menerapkan SRI sebagai kontrol. Kecamatan Mangunreja, petani SRI sebanyak 8 orang dan Konvensional 7 orang, Kecamatan Manonjaya petani SRI sebanyak 5 orang dan Konvensional 5 orang, Kecamatan Cisayong, petani SRI sebanyak 2 orang dan Konvensional sebanyak 3 orang, Kecamatan Sukaraja, petani SRI sebanyak 5 orang dan Konvensional sebanyak 5 orang, terakhir Kecamatan Tanjungjaya petani SRI sebanyak 10 orang dan Konvensional sebanyak 10 orang, jadi jumlah seluruh sampel adalah 60 orang petani. Selain petani, juga dilakukan wawancara terhadap petugas paling sedikit 10 orang, mulai dari tingkat kecamatan, Balai Penyuluhan Pertanian dan dinas terkait dengan aktivitas di lingkungan agroekologis padi sawah. Data sekunder akan diambil dari BPS, dinas, BPP, dan instansi terkait lainnya.


(22)

15 Tabel 2. Jumlah Sampel yang Diambil

No. Kecamatan Luas Lahan SRI (Ha)

Jumlah Petani SRI

Jumlah Sampel Petani SRI Konvensional

1. Cisayong 88,00 2 3

2. Manonjaya 115,60 5 5

3. Sukaraja 156,84 1.049 5 5

4. Mangunreja 299,71 1.219 8 7

5. Tanjungjaya 411,15 2.746 10 10

Total 1.071,30 30 30

2.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang diperlukan tediri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung dari lokasi kegiatan dengan metode observasi dan Focus Group Discussion (FGD). Data ini terutama yang menyangkut pelaksanaan budidaya padi metode SRI dan konvensional mulai dari pengadaan input, usahatani, panen dan pasca panen, pemasaran hasil produksi, serta kendala dan manfaat yang diperoleh dari penerapan budidaya padi metode SRI. FGD dilakukan terutama untuk menangkap kondisi umum serta peluang dan hambatan dari penerapan budidaya padi metode SRI per wilayah penelitian.

Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan yang bersumber dari Dinas Petanian dan Tanaman Pangan ,BPS, serta hasil penelitian terdahulu. Data tersebut diantaranya data produksi dan produkstifitas tanaman padi, dan data keadaan umum pertanian di Kabupaten Tasikmalaya.

2.3. Tahapan Kerja dan Teknis Analisis Data

Tahapan penelitian yang akan dilakukan mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan, terdiri atas:

1. Melakukan pemetaan dan menganalisis keragaan budidaya padi SRI di lokasi penelitian selama 2 tahun terakhir. Dalam tahap ini akan digunakan kerangka model input-output sistem agribisnis sebagai pijakan analisis dan sintesis.


(23)

16 2. Menghitung dan Membandingkan hasil produksi dan produktivitas budidaya padi SRI dengan budidaya padi konvensional yang dilaksanakan oleh petani setempat. Dalam tahap ini akan digunakan pengukuran dengan model analisis usahatani.

3. Mengidentifikasi hambatan dan mengukur kemungkinan dampak sosial ekonomi dari budidaya padi SRI oleh petani di Kabupaten Tasikmalaya. Tahapan ini dihasilkan dari dialog partisipatif dengan para pelaku. Sebagai cara perumusan untuk model yang disepakati adalah dengan melakukan pertemuan partisipatif dengan seluruh stakeholder terkait dan menjadikan hasilnya sebagai kesepakatan dan komitmen dari seluruh stakeholder. Bentuk penggalian informasi menggunakan PRA (Participatory Rural Appraisal) dan FGD (Focus Group Discussion) dimaksudkan untuk menggali solusi pada permasalahan secara partisipatif dengan para stakeholders sistem usaha padi SRI dan konvensional di lokasi kajian.

Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan teknis tabulasi, crosstab, dan diperbandingkan sehingga dapat memberikan informasi yang sistematis.


(24)

17 2.4. Personalia

Tabel 3. Personalia Pelaksana Penelitian

No. Nama lengkap Dan Gelar

Gol/ Pangkat NIP Jabatan Fungsional Jabatan Struktural Bidang Keahlian Alokasi Waktu 1. 2.

Dr. Ronnie S. Natawidjaja, Ir., MSc. Endah Djuwendah,SP., MS. IVa/Pembina/1 31 471 344

IIId/ Pembina/ 132 146 255

Lektor Kepala Lektor Kepala Direktur Pusat Kajian Kebijakan Pertanian dan Agribisnis - Kebijakan Pertanian, Ekonomi Kelemba-gaan Manajeme n Usaha Tani 12 jam 12 jam


(25)

18 BAB III

KEADAAN DAERAH DAN PERKEMBANGAN SRI DI KABUPATEN TASIKMALAYA

3.1. Geografis dan Topografis Kabupaten Tasikmalaya

Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak diantara 7 02o dan 7 50o Lintang Selatan serta 109 97 dan 108 25 Bujur Timur dengan jarak membentang utara-selatan terjauh 75 km dan arah barat-timur 56,25 km. Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut:

Tabel 4. Batas Wilayah Administratif Kabupaten Tasikmalaya

No. Batas Wilayah Kabupaten/ Kota

1. Utara Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan Majalengka

2. Timur Ciamis

3. Selatan Samudra Indonesia

4. Barat Garut

Kabupaten Tasikmalaya berada di bagian tenggara dari Propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 268,090 ha yang sebagian besarnya yaitu 218.428 ha merupakan tanah darat dan selebihnya yaitu 46.662 ha merupakan tanah sawah. Kabupaten ini resmi menjadi daerah otonom tersendiri terpisah dengan Kota Tasikmalaya sejak tanggal 23 Juni 2001. Lokasi Ibukota Kabupaten Tasikmalaya yang terletak di Kecamatan Singaparna berbatasan dengan kota Tasikmlaya dan berada pada lokasi yang relatif di tengah-tengah wilayah Tasikmalaya. Hal ini merupakan suatu keuntungan geografis mengingat aksessibilitas ke seluruh Kabupaten Tasikmalaya menjadi lebih baik.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Tasikmalaya berada pada ketinggian antara 0 – 2000 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan karakteristik bergunung-gunung. Berdasarkan ketinggiannya, maka Kecamatan Bojonggambir dan Taraju mempunyai wilayah paling tinggi dibandingkan wilayah lainnya dengan ketinggian rata-rata 800 meter dari permukaan laut dan wilayah yang


(26)

19 terendah adalah Kecamatan Cikalong dengan ketinggian hanya 25 meter dari permukaan laut. Untuk lebih jelasnya, karakteristik ketinggian Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Ketinggian Wilayah Kabupaten Tasikmalaya

No. Ketinggian (m dpl)

Proporsi

(%) Sebaran Wilayah

1. 000-100 5,80 Pantai Cipatujah, Cikalong, dan bagian tengah dan utara 2. 101-200 7,25 Pantai Cipatujah, Cikalong, dan bagian tengah dan utara 3. 201-500 53,64 Bagian tengah dan selatan

4. 501-700 15,26 Sedikit bagian utara dan selatan 5. 701-1000 11,82 Sedikit bagian tengah dan utara 6. 1001-2000 6,23 Sedikit bagian tengah dan utara

Sumber : Bappeda Tasikmalaya, diolah

3.2. Administrasi dan Pemerintahan

Kabupaten Tasikmalaya mengalami perkembangan. Pada Tahun 2001 terdiri dari 39 kecamatan dan 345 desa, sedangkan pada Tahun 2007 jumlah desa berkembang menjadi 351 desa. Dalam rangka memudahkan mengatur pembangunan Kabupaten Tasikmalaya dengan keseluruhan luas wilayah 268.090 ha, maka dilakukan pembagian wilayah menjadi enam satuan wilayah pembangunan (SWP).


(27)

20 Tabel 6 . Daftar Kecamatan dan Jumlah Desa di Kabupaten Tasikmalaya 2007

No SWP Kecamatan Luas daerah Jumlah Desa

1. SWP I Ciawi 4.223 11

Kadipaten 4.356 6

Pagerageung 6.376 10

Sukahening 2.603 7

Rajapolah 1.491 8

Jamanis 1.547 8

Sukaresik 1.709 8

Sukaratu 3.235 8

Cisayong 4.610 13

2. SWP II Singaparna 2.168 10

Padakembang 3.015 5

Tanjungjaya 3.637 7

Sukarame 1.722 6

Leuwisari 4.628 7

Cigalontang 11.913 16

Sariwangi 3.917 8

Mangunreja 2.832 6

Sukaraja 4.314 8

Salawu 6.823 12

3. SWP III Taraju 5.552 9

Puspahiang 5.155 8

Bojonggambir 22.784 10

Sodonghilir 9.711 12

4. SWP IV Manonjaya 4.290 12

Gunungtanjung 3.820 7

Cineam 7.720 10

Karangjaya 4.834 4

Salopa 10.923 9

Jatiwaras 7.964 11

5. SWP V Karangnunggal 13.628 14

Cibalong 6.446 6

Bojongasih 4.336 6

Parungponteng 4.102 8

Cipatujah 22.306 15

Bantarkalong 6.701 8

Culamega 6.198 5

6. SWP VI Cikatomas 13.263 9

Pancatengah 19.905 11

Cikalong 13.372 13

Kabupaten Tasikmalaya 268.090 351


(28)

21 3.3.Keadaan Hidrologi dan Iklim

Kondisi hidrologi Kabupaten Tasikmalaya dibagi menjadi air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang dimaksud adalah air yang mengalir dan muncul di permukaan sseperti mata air, kawah dan sungai, sedangkan air tanah pada umumnya berupaair tanah bebas yang seringkali digunakan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Secara geografis, wilayah Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah siklus air, dekat dengan pemukaan laut dan pegunungan beriklim tropis.Pesediaan air relatif merata sepanjang tahun dan secara kuantitatif relatif dapat mencukupi jumlah kebutuhan. Secara umum kebutuhan air masih dapat dipenuhi, walaupun di beberapa tempat sudah menunjukkan adanya kesulitan air terutama pada musim kemarau. Kabupaten Tasikmalaya dilalui oleh sungai besar seperti Ciwulan, Citanduy, Cikunten, Cimawate, Cupatujah, Cipalu, dan Cilangka.

Secara keseluruhan, konsumsi air di Kabupaten Tasikmalaya adalah 1.971,90 juta meter kubik. Penggunaan atau konsumsi air terbesar untuk proses produksi di sektor pertanian hingga mencapai 1.281,70 juta meter kubik dengan komposisi 65 persen total konsumsi air. Penggunaan kedua adalah konsumsi rumah tangga (untuk air minum, mandi, cuci, dan kakus) yaitu 394,40 juta meter kubik dengan komposisi 20 persen, Industri menyerap 10 persen dan sisanya untuk penggunaan lain-lain sebesar 5 persen.

Hasil pengukuran curah hujan di Kabupaten Tasikmalaya oleh instansi terkait dirasakan kurang bermanfaat untuk keseluruhan daerah. Hal ini disebabkan peralatan pengukuran curah hujan di beberapa kecamatan sudah banyak yang rusak. Diantara peralatan tersebut yang masih baik hanya di 8 stasiun pengukuran yang terdapat di Kecamatan Karangnunggal, Cikatomas, Pancatengah, Bantarkalong, Taraju, Rajapolah, Salopa, dan Pagerageung.


(29)

22 Tabel 7. Jumlah Hari Hujan Dan Rata-rata Curah Hujan Per Bulan Tahun 2006

No SWP Jumlah Hari

Hujan

Curah hujan

Jumlah Rata-rata/bln

1. SWP I 33 538,00 538,00

2. SWP II - - -

3. SWP III 41 782,50 391,30

4. SWP IV 25 391,00 130,30

5. SWP V 56 2.675,00 668,70

6. SWP VI 143 3.001,00 500,20

Kabupaten Tasikmalaya 37 923,40 278,60

Sumber: BPS Kabupaten Tsikmalaya, 2007

3.4. Jumlah Penduduk dan Mata Pencahariannya

Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya pada Tahun 2007 adalah 1.668.581 orang yang terdiri dari 833.018 orang penduduk laki-laki dan 835.563 penduduk perempuan. Dengan demikian, angka sex ratio sebesar 99,77 persen, sedangkan kepadatan penduduk mencapai 651 orang per kilometer persegi. Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Rajapolah yaitu 2.204 orang per kilometer persegi, sedangkan terendah berada di Kecamatan Pancatengah sebesar 210 orang per kilometer persegi.

Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Tasikmalaya setiap tahunnya menunjukkan kecenderungan menurun. Pada Tahun 2006, LPP mencapai 1,01 persen, sedangkan pada Tahun 2005 yaitu sebesar 1,85 persen. Tabel 8. Jumlah Penduduk Kabupaten Tasikmalaya

No. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Jumlah Penduduk

1. SWP I 378.916

2. SWP II 452.154

3. SWP III 173.074

4. SWP IV 232.439

5. SWP V 283.972

6. SWP VI 148.066

Total 1.668.621


(30)

23 Mata pencaharian penduduk Kabupaten Tasikmalaya didominasi oleh lapangan kerja di sektor pertanian yang mencapai 46,53 persen. Kedua terbesar adalah lapangan kerja disektor perdagangan mencapai 25,20 persen. Dengan demikian, dapat dikatakan penduduk Kabupaten Tasikmalaya berifat agraris. Hal ini merupakan peluang untuk dapat mengembangkan kegiatan pertanian dalam rangka mendukung perekonomian masyarakatnya.

Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2007

No. Lapangan usaha Jumlah (Orang) Persentase (%)

1. Pertanian 329.846 46,2

2. Pertambangan 3.254 0,46

3. Industri pengolahan 75.177 10,60

4. Listrik, gas dan Air 540 0,08

5. Bangunan 32.715 4,61

6. Perdagangan 178.665 25,20

7. Angkutan 42.108 5,94

8. Keuangan 4.789 0,68

9. Jasa Kemasyarakatan 41.637 5,87

10. Lainnya 271 0,04

Jumlah 709.002 100

Sumber : BPS kabupaten Tasikmalaya, 2007

3.5. Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Tasikmalaya Secara regional, kondisi geologi daerah Tasikmalaya didominasi oleh batuan vulkanik, batuan intrusi, serta batuan dasar lainnya, termasuk diantaranya adalah batuan sedimen. Proses pembentukan batuan wilayah Tasikmalaya merupakan bagian dari pembentuka batuan pegunungan selatan Jawa Barat yang membentangdari barat ke timur, mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga Pulau Nusa Kambangan. Pegunungan Jawa Barat selatan ini merupakan rangkaian gunung api tua yang sudah tidak aktif lagi.


(31)

24 Tabel 10. Jenis Tanah di Kabupaten Tasikmalaya

No. Jenis tanah Luas (Ha)

1. Alluvial Kelabu Kekuningan 5.529,16

2. Regosol Coklat Kelabu 1.445,35

3. Asosiasi Regosol Kelabu, Regosol Coklat Keabuan Dan Litosol 6.530,94

4. Asosiasi Regosol Coklat Dan Litosol 9.534,27

5. Asosiasi Glei Humus 5.201,34

6. Andosol Coklat Kekuningan 11.140,82

7. Asosiasi Andosol Coklat Dan Regosol Coklat 6.409,28

8. Rensina Litosol Dan Brown Forestsoil 60.628,84

9. Latosol Coklat Kekuning 7.410,51

10. Latosol Coklat Kekuning 3.164,70

11. Latosol Coklat Kemerahan 22.639,12

12. Asosiasi Podsolit Kuning Dan Regosol 74,43

13. Podosolit Merah Kekuningan, Podsolit Merah Kekuningan Dan Litosol 131.542,96

Jumlah 271.251,71

Sumber: BPS Kabupaten Tasikmalaya,2007

Terkait dengan kondisi geologi daeahnya, batuan yang terbentuk di wilayah Kabupaten Tasikmalaya termasuk dalam kategori batuan tua yaitu batuan tersier. Berkaitan dengan jenis batu tersebut, jenis tanahnya didominasi oleh mediteran, latosol, dan aluvial. Jenis tanah tersebut banyak ditemukan di sepanjang daerah aliran sungai. Persebaran jenis tanah tersaji pada Tabel 11. Tabel 11. Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006

No. Jenis Pengggunaan lahan Luas (ha) Prosentasi (%)

1. Lahan pesawahan 49.658 18,52

2. Lahan pekarangan 16.543 6,17

3. Tegal 57.160 21,32

4. Perkebunan 27.276 10,17

5. Hutan rakyat 34.556 12,89

6. Hutan Negara 32.121 11,98

7. Kolam 4.101 1,53

8. Lainnya 46.675 17,41

Jumlah 268.090 100


(32)

25 Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya setelah terpisah dari Kota Tasikmalaya adalah 268.090 hektar, dengan sebagian besar lahannya merupakan tanah darat (bukan sawah) yaitu 218.432 ha (81,48 persen) dan selebihnya 49.658 ha (18,52 persen) merupakan tanah sawah (sawah irigasi, maupun bukan irigasi). Jenis dan luas penggunaal lahan di Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Padi Sawah di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006

No. Keterangan Tahun

2002 2003 2004 2005 2006

1. Luas tanam (ha) 106.790 114.410 120.861 125.078 98.456

2. Luas panen(ha) 102.981 102.063 113.404 120.201 103.825

3. Produksi (ha) 516.141 503.642 592.196 648.740 574.468

4. Produktifitas (ku/ha) 50,12 49,35 52,22 53,97 55,34

Sumber : BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2007

Dari lahan sawah yang tersedia selama 5 tahun terakhir trend produktifitasnya cenderung meningkat sedangkan produksi padi cukup berfluktuasi. Hal ini memberikan suatu potensi bahwa produktifitas lahan sawah di Kabupaten Tasikmalaya memiliki peluang yang besar untuk terus ditingkatkan. 3.6. Karakteristik Responden Petani SRI dan Konvensional

Responden yang diambil di dalam penelitian ini sebanyak 60 orang petani yang terdiri dari 30 petani yang menerapkan SRI dan 30 petani yang tidak menerapkan SRI di dalam usahataninya. Jumlah responden yang diambil tersebut tersebar ke dalam lima Kecamatan, diantaranya Kecamatan Manonjaya, Kecamatan Cisayong, Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Mangunreja, dan Kecamatan Tanjungjaya.

Karakterisitik umum responden yang diteliti dan dijelaskan dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan formal dan non formal, pengalaman berusahatani , luas lahan usahatani, pola tanam, status penguasaan lahan, motivasi


(33)

26 penerapan budidaya padi SRI, dan faktor penghambat dalam penerapan budidaya padi SRI.

Usia berkaitan erat dengan kesehatan, kemampuan fisik petani dalam melakukan kegiatan usahataninya, dan pengalaman yang diperolehnya. Banyak petani yang mengungkapkan bahwa faktor usia sangat berpengaruh dalam melakukan kegiatan usahatani padi, terutama padi organikmetode SRI yang menurut mereka memerlukan usaha pengelolaanyang relatif lebih telaten apabila dibandingkan dengan usaha pengelolaan padi konvensional. Usia juga berkaitan erat dengan kemampuan petani dalam mengadopsi suatu inovasi baru, dimana dalam kajian ini metode padi SRI merupakan suatu inovasi baru yang merubah kebiasaan petani bertani secara konvensional menjadi bertani organik.

Tabel 13. Distribusi Responden Petani Berdasarkan Usia

No.

Kelompok Usia (Tahun)

Petani SRI Petani Konvensional

Orang Presentase Orang Presentase

1. 24 – 36 4 13,33 3 10,00

2. 37 – 49 12 40,00 9 30,00

3. 50 – 62 12 40,00 13 43,33

4. 62> 2 6,67 5 16,67

Jumlah 30 100 30 100

Umur petani secara umum di daerah penelitian bervariasi mulai dari 24 sampai 70 tahun. Jika mengacu pada batasan usia produktif menurut BPS, LembagaDemografi UI dan BKKBN yaitu dibawah 50 tahun, maka hampir separuh ( 46,67 persen) petani termasuk kategori usia muda dan produktif. Secara empiris petani SRI yang berusia muda relatif lebih banyak daripada petani konvensional.


(34)

27 Tabel 14. Tingkat Pendidikan Petani Responden

Keterangan Petani SRI Petani Konvensional

I. Pendidikan Formal

1. Tidak sekolah -

-2. Tidak tamat SD 1 1

3. Tamat SD 10 20

4. SLTP 11 6

5.SLTA 7 3

6. sarjana 1

-Jumlah 30 30

II. Pendidikan Non-Formal

1.SLPHT 19 5

2.Pelatihan dan pelatihan SRI 30 21

3.PTT - 15

4.tidak pernah - 3

Jumlah 49 44

Tingkat pendidikan formal akan berpengaruh terhadap produktifitas tenaga kerja serta tingkat penyerapan teknologi. Tingkat pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan rendahnya tingkat iterasi dan produktifitas. Pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah merupakan suatu sistem pendi-dikan praktis yang proses belajarnya dilakukan sambil mengerjakan (learning by doing), belajar berdasarkan permasalahan yang dihadapi (problem based learning).

Tabel 15 . Pengalaman Berusahatani Responden

No. Keterangan Petani SRI Petani Konvensional SRI Usahatani Biasa Usahatani Biasa Pengalaman Usahatani

1. < 5 tahun 29 1 -

2. 5-10 tahun 1 10 5

3. 11-20 tahun - 6 12

4. >20 tahun - 13 13


(35)

28 Hasil penelitian mengungkap bahwa tingkat pendidikan formalpetani SRI dan konvensional relatif sama yaitu tergolong rendah hanya tamat SD dan SLTP. Namun keterbatasan pengetahuan dari pendidikan formal ini dapat diperkecil dengan partisipasi petani yang cukup baik dalam pendidikan non formal. Cukup tingginya tingkat pendidikan non formal petani terjadi karena sejak tahun 2002 pemerintah daerah setempat melalui instansi terkait (Dinas Pertanian) telah menyelenggarakan program SLPHT, PET-SRI, PTT, dan lain sebagainya

Pengalaman berusaha tani padi petani relatif cukup lama, lebih dari 20 tahun. Namun untuk budidaya padi SRI relatif baru, kurang dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan introduksi budidaya padi SRI relatif baru di daerah penelitian. Tabel 16. Pola Tanam Usahatani Padi

No. Pola tanam Petani SRI Petani Konvensional

orang % orang %

1. padi-padi-padi 29 96,6 27 90

2. padi-padi-palawija 1 3,4 3 10

Jumlah 30 100 30 100

Berdasarkan pengakuan responden baik petani yang menerapkan budidaya padi SRI maupun yang konvensional, mayoritas memiliki pola tanam padi tiga kali dalam setahun. Hal ini disebabkan sistem irigasi di wilayah kajian yang diteliti umumnya merupakan daerah pertanian irigasi teknis dan setengah teknis dengan sarana pengairan yang relatif lancar sepanjang tahun. Walaupun terdapat petani yang menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun, jumlahnya sedikit terutama ditemukan di daerah pesawahan setengah teknis dan sawah tadah hujan. Tabel 17. Sumber Pangairan Pertanian

No. Sumber pengairan Petani SRI Petani Konvensional

1. Teknis 4 6

2. Setengah teknis 23 18

3. Irigasi pedesaan 2 3

4. Tadah hujan 1 3


(36)

29 Berdasarkan data pada Tabel 18, diketahui bahwa lahan garapan yang dikelola para petani baik yang menerapkan budidaya padi SRI maupun yang konvensional memiliki luasan yang relatif sempit (kurang dari 0,5 hektar).

Tabel 18. Luas Lahan Garapan Petani Responden

No. Luas Lahan Garapan Petani SRI Petani Konvensional SRI Sawah Biasa Sawah Biasa

1. 0- 0,25 ha 13 12 19

2. 0,26- 0,50 ha 8 10 5

3. 0,51-1,0 ha 2 8 6

Jumlah 23 30 30

Status kepemilikan lahannya sebagian besar adalah petani pemilik dan penggarap. Seperti terlihat pada Tabel 19, lebih dari 70 persen merupakan petani pemilik dan penggarap.

Tabel 19. Status Penguasaan Lahan

No. Status Penguasaan Lahan Sample SRI Sample Konvensional

1. penggarap dan bagi hasil 8 8

2. Pemilik dan penggarap 22 21

3. penggarap dan penyewa - 1

Jumlah 30 30

Hingga saat ini, modal masih menjadi salah satu permasalahan bagi sebagian besar petani. Pada umumnya petani, masih mengandalkan hasil tani (hasil penjualan produk pertanian) sebagai modal untuk mengoperasikan kegiatan usahatani berikutnya.Hal ini terlihat dari data lapangan yang mengungkapkan bahwa sebagian besar (75 persen) petani menggunakan modal pribadi. Tetapi ditemukan pula petani yang mendapata modal tambahan berupa pinjaman dari kerabat, teman ataupun bandar penampung hasil pertanian.


(37)

30 Tabel 20 . Distribusi Responden Petani Berdasarkan Sumber Modal Usahatani

No. Sumber Modal Petani SRI Petani Konvensional

1. Pinjaman 8 7

2. Pribadi 22 23

Jumlah 30 30

Motivasi berusahatani adalah dorongan yang datang dari dalam diri (instrinsik) dan lingkungan sekitar (ekstrinsik) petani, baik untuk melakukan kegiatan fisik maupun meningkatkan kualitas, kuantitas, daya saing dan nilai tambah. Hasil penelitian menunjukkan motivasi yang utama dari para petani untuk menerapkan budidaya SRI adalah meningkatkan produktifitas usahatani padi hingga 54,5 persen, dan meningkatkan pendapatan 21,2 persen. Dengan demikian, motivasi ekonomi merupakan motivator yang paling besar untuk menerapakan buidaya padi SRI.

Tabel 21. Distribusi Responden Petani Berdasarkan Motivasi Berusahatani SRI No. Motivasi penerapan SRI Petani Persentase (%)

1. Meningkatkan produksi 18 54,5

2. Meningkakan pendapatan 7 21,2

3. Ingin mencoba metode usahatani baru 5 15,2

4. Konservasi lahan 2 6,1

5. Untuk kesehatan 1 3,0

Jumlah 33 100

Berdasarkan jawaban petani konvensional yang enggan untuk menerapkan budidaya padi SRI, diperoleh beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya motivasi petani untuk mengerapkan budidaya padi SRI, yaitu keraguan terhadap hasil produksi (33,30 persen) dan lebih repot karena intensifnya teknik budidaya SRI yang memerlukan curahan waktu kerja yang lebih banyak (26,70 persen). Dengan demikian faktor penghambat tesebut lebih disebabkan terbatasnya pengetahuan petani yang berpengaruh teradahap sikap keragu-raguan serta faktor


(38)

31 teknis, yaitu meningkatnya serapan waktu kerja terutama pada pemeliharaan tanaman.

Tabel 22. Faktor Penghambat Penerapan SRI

No. Faktor penghambat penerapan SRI Jumlah petani Persentase (%) 1. Masih ragu dan belum lihat hasil SRI 10 33.33

2. Belum lihat hasil produksi SRI 2 26.70

3. Masih ragu 2 13.30

4. Biaya lebih mahal 2 6.70

5. Lebih repot butuh banyak waktu 8 6.70

6. Belum memahami SRI 4 6.70

7. Perlu coba dulu 2 6.70

Jumlah 30 100

3.7. Kebijakan Dinas PertanianKabupaten Tasikmalaya

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya memiliki visi yaitu “Terwujudnya Agribisnis Tanaman Pangan Pada Tahun 2010”. Visi ini merupakan suatu dasar untuk pencapaian tujuan, yang merupakan rencana menyeluruh dan terpadu mengenai upaya-upaya dinas untuk mencapai visi yang diinginkan melalui suatu bentuk kebijakan, program dan kegiatan.

Salah satu bentuk implementasi kebijakan untuk mendukung tercapainya visi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya adalah dengan pengembangan pertanian organik sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui perkembangan agribisnis dengan didukung oleh sektor penunjang lainnya. Pertanian organik merupakan suatu model usahatani spesifik lokalita maju bagi petani di Kabupaten Tasikmalaya. Model usahatani ini pada dasarnya ditujukan untuk menunjang program unggulan dari Kabupaten Tasikmalaya yaitu menjadi lumbung padi organik di Jawa Barat pada Tahun 2010.


(39)

32 Bentuk dukungan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya dalam pengembangan pertanian padi SRI adalah dengan menerbitkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pengembangan usahatani padi sawah organik metode SRI yang dijabarkan lebih lanjut dalam petunjuk pelaksanaanyang dibuat oleh Dinas PertanianTanaman Pangan Propinsi danpetunjuk teknis oleh DinasPertanian Tanaman PanganKabupaten Tasikmalaya denganmemperhatikan kondisi lapangan.

Dukungan yang diberikan pihak pemerintah Tasikmalaya adalah dengan mengadakan Sekolah Lapangan SRI (SL-SRI). Pelaksanaan SL-SRI yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya ini meliputi pembelajaran di kelas yang dilaksanakan selama 5 (lima) hari. Sebagai pengajar dalam pembelajaran di kelas ini adalah Petugas Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya dan Petugas Lapangan yang telah mengikuti Training of Trainer Pemandu Lapang 1 SRI(TOT – PL 1 SRI ) dan petani yang telah berpengalaman dalam melaksanakan SRI.

Peserta pembelajaran di kelas adalah petani hasil dari penjaringan lokasi. Materi yang disampaikan berupa teori dan praktek yang terdiri dari:

1. Pertemuan Persiapan

2. Proses Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) 3. Sifat Biologi Tanah

4. Sifat Kimia Tanah 5. Pembelajaran SRI 6. Studi Banding

Studi banding dilaksanakan untuk melihatkelompok tani yang telah berhasilmenerapkan usahatani padi sawah organikmetode SRI.


(40)

33 BAB IV

PENERAPAN SRI OLEH PETANI

4.1 Sejarah Penerapan SRI di Kabupaten Tasikmalaya

SRI adalah sistem budidaya padi dengan pendekatan manajemen perakaran, yang berbasis pada pengelolaan tanah, tanaman dan air dengan mengutamakan berjalannya aliran energi dan siklus nutrisi untuk memperkuat suatu kesatuan agroekosistem. Metode ini menggunakan bibit dan input yang lebih sedikit dibandingkan metode tradisional (misalnya air) atau metode yang lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain).

Aplikasi SRI di Indonesia pertama kali di uji coba di Balai Penelitian Padi, Sukamandi Tahun 1999 dengan hasil 6-9 ton/ ha (CIIFAD, 2002), inputnya masih menggunakan bahan non organik dalam jumlah sedikit. Program SRI di Jawa Barat dilaksanakan di Ciamis pada Tahun 2001 dengan hasil sampai 12 ton GKP/ha(Pikiran Rakyat, 2003), namun tidak didukung oleh Pemda setempat sehingga penyebarannya kurang sporadis. Salah satu petugas SRI di Indonesia asal Jawa Barat yaitu Ir. Alik Sutaryat yang bertugas melatih petani Tasikmalaya dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) mulai memperkenalkan metode SRI ini kepada petani di Tasikmalaya sambil melatih PHT tahun 2001. Pertama kali diperkenalkan kepada petani di daerah Sukaratu, Salawu dan Cineam. Sejak saat itu pelatihan SRI dikombinasikan dengan Pembelajaran Ekologi Tanah yang merekomendasikan untuk memberi masukan bahan organik seluruhnya sehingga pemahaman petani lebih komprehensif.

Pelatihan di balai desa Sukagalih dilaksanakan pada bulan Januari 2001 diikuti 22 orang, saat itu sudah ada petani yang telah melaksanakan SRI selama tiga musim yaitu Pak Yayat yang padinya dijadikan sampel pelatihan. Pada saat itu Ir. Alik sebagai pemandu bertemu dengan H. Uu (ketua KTNA Kab. Tasikmalaya) dan tercetuslah untuk memprogramkan PET &SRI ini menjadi program daerah Tasikmalaya. Sosialisasi kemudian dilakukan ke Dinas Pertanian, DPRD dan Bupati Tasikmalaya. Akhirnyapada tahun anggaran 2003 dan 2004


(41)

34 pelatihan PET dan SRI menjadi program Dinas Pertanian kabupaten Tasikmalaya, sedangkan pelatihan tahun 2005 dikoordinasikan oleh Kantor Penyuluh Pertanian Kabupaten Tasikmalaya.

Tabel 23. Kronologis Singkat SRI di Tasikmalaya

No. Tahun Keterangan

1. 1980 SRI disintetiskan oleh Fr. Henri de Laulanie S.J. 2. 1999 SRI diuji coba di Balai Penelitian Padi, Sukamandi 3. 2001 Aplikasi SRI di 8 daerah di Indonesia termasuk di Ciamis 4. 2002 Pelatihan PET & SRI secara swadaya di Tasikmalaya 5. 2003-2008 Program pelatihan PET & SRI di Tasikmalaya

Pertanian padi organik SRI saat ini telah ada di seluruh kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya dengan jumlah yang berbeda-beda. Total luas lahan padi organik di Tasikmalaya saat ini mencapai 200 hektar. Bimbingan dan pengawasan dilakukan oleh KTNA, Dinas Pertanian dan Penyuluh. Kelancaran program SRI di Tasikmalaya tidak terlepas dari diadakannya pelatihan PET & SRI. Pembelajaran Ekologi Tanah merupakan hal yang pertama dipelajari agar konsep pertanian organik dapat dipahami. Setelah petani mengerti tentang ekologi tanah barulah diberikan materi SRI, keduanya saling terkait erat.

Dalam pelatihan PET dan SRI petani diberikan pemahaman bahwa tanah dan air mempunyai peranan dalam mendukung tumbuhnya tanaman, komponen dalam tanah seperti mikro organisme (MO), cacing, serangga atau binatang lain seperti plankton yang diistilahkan chiroidentik dengan karyawan petani yang berada di dalam tanah dan air, karena makhluk hidup tersebut bekerja setiap masa menggemburkan dan menyuburkan tanah sehingga memperbaiki struktur tanah. Chiro ini aktif bekerja sekaligus membuat tanah mampu menahan air, membuat bahan-bahan segar/mentah menjadi zat yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Dengan demikian mereka adalah perangkat benda hidup yang memberikan keseimbangan aliran energi dalam siklus nutrisi di ekosistem sawah.


(42)

35 Praktek pertanian konvensional menganggap tanah sebagai mesin produksi dan tidak diperlakukan sebagai sistem yang hidup, mengabaikan fungsi dan peranan serta bahan organik tanah. Pada pertanian organik, bahan organik tanah merupakan bahan esensial yang tidak tergantikan oleh bahan lain di dalam tanah. Selain peranannya dapat mempertahankan atau memperbaiki sifat fisik tanah baik tekstur maupun struktur tanah, juga bahan organik dapat mendukung kehidupan mikro dan makroorganisme tanah sebagai sumber nutrisi bagi berbagai makhluk hidup di dalamnya, termasuk tumbuhan.

Sebagai salah satu upaya dalam menyediakan bahan organik, model budidaya SRI ditempuh dalam dua cara, yaitu pertama pengembangan mikroorganisme lokal (MOL), pembuatan kompos dan kedua pembuatan pestisida nabati. Kedua hal tersebut diberikan kepada petani secara detail dalam pelatihan PET dan SRI.

Prinsip dasar SRI adalah: 1). Benih bernas, sehat dan bermutu; 2). Benih disemai di tanah : bahan organik = 1 : 1 dengan kondisi lembab; 3). Benih ditanam umur muda 7-10 hari; 4). Benih ditanam tunggal; 5). Benih ditanam dangkal; 6). Jarak tanam lebar minimal 25x25 cm; 7). Menggunakan Mikro Organisme Lokal (MOL); 8). Pengairan macak-macak; 9). Penyiangan sering; 10). Menggunakan pupuk organik; dan 11). Menggunakan pestisida organik.


(43)

36 Tujuan PET adalah untuk meningkatkan kemampuan petani dalam menganalisis kondisi tanah, dan menganalisis agroekosistem secara utuh. Setelah petani belajar ekologi tanah kemudian belajar tumbuhan yang akan ditanam diatasnya yaitu padi melalui metode SRI. Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata bukan tanaman air tetapi dalam pertumbuhan membutuhkan air, dengan tujuan menyediakan oksigen lebih banyak di dalam tanah, kemudian dimanfaatkan oleh akar. Dengan keadaan tidak tergenang akar akan tumbuh dengan subur dan besar maka tanaman dapat menyerap nutrisi sebanyak-banyaknya.

Tabel 24. Materi Pelatihan PET & SRI

Pertemuan Materi

Pertemuan ke-1 Pembukaan, Absensi, Perkenalan, Pembagian Kelompok,

Penyampaian Maksud & Tujuan, Kontrak Belajar, Analisa Sejarah & Analisa Keadaan (Penggalian masalah).

Pertemuan ke-2 Konsep Pertanian Konvensional Vs Konsep Pertanian Organik Berkelanjutan, Permainan/Dinamika, Pengantar PET

Pertemuan ke-3 Sifat Tanah, Uji Tekstur Tanah, Uji Daya Kapiler, Uji

Kemampatan Tanah, Uji Kemampuan Mengikat Air (KMA), Uji Aerasi Tanah

Pertemuan ke-4 Biologi tanah, Pembuatan MOL (Mikro Organisme Lokal), Dekomposisi, Kimia tanah, Uji Daya Hantar Listrik (Kapasitas Tukar Kation Tanah), PH

Pertemuan ke-5 Dasar gagasan dan prinsip SRI, Uji benih bernas

Pertemuan ke-6 Praktek persemaian, penanaman, pengairan, PHT, Evaluasi,

Rencana dan rumusan tindak lanjut penerapan Studi Ekologi Tanah dan SRI, Kesan & Pesan Peserta, Penutupan.

Pelatihan yang ideal berlangsung selama enam kali pertemuan, masing-masing selama enam jam dengan metode partisipatif. Metode partisipatif membangun hubungan dan memperkuat proses penelitian petani dengan menjadikan pengembangan teknologi suatu proses kolektif dan mengembangkan proses penelitian secara eksplisit, sistematis, memperkuat kemampuan analitis, kesadaran, dan rasa percaya diri petani (Reijntjes, 1999). Pelatihan tersebut menggunakan alat dan bahan yang sederhana seperti botol air mineral, balon dan


(44)

37 plastik. Pemandu utamanya adalah Ir. Alik, pemandu lainnya adalah yang telah dilatih oleh Pak Alik seperti dari Dinas Pertanian dan dari KTNA.

4.2 Adopsi Teknologi SRI di Kabupaten Tasikmalaya

Pola usahatani SRI di Kabupaten Tasikmalaya berkembang sebagai respon terhadap perubahan ekologi tanah dan lingkungan serta tingginya harga pupuk kimia, sehingga dengan meminimumkan penggunaan pupuk kimia dan mensubstitusinya dengan pupuk organik dapat meringankan biaya usahatani dan menjaga ekologi tanah dan lingkungan ( Wardana et al., 2005).

Penerapan SRI sebelumnya diberikan melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan Training of Trainer (TOT) sehingga teknologi SRI sangat efektif diserap atau diadopsi oleh petani. Selama ini motivator SRI, disamping memperoleh informasi SRI dari internet, juga memperolehnya dari Sekolah Lapang yang diadakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tasikmalaya. Sekolah Lapang ini secara spesifik telah mampu mengubah cara pandang petani dalam pengelolaan lahan pertaniannya. Sekolah lapang juga efektif dalam mengubah kebiasaan berdasarkan rutinitas menjadi kebiasaan yang produktif dan kreatif serta pola pikir yang mengarah ke pertanian ramah lingkungan.

Petani di Kabupaten Tasikmalaya menunjukkan rasa antusias yang cukup besar untuk menerapkan pertanaman SRI, sehingga secara bertahap jumlah dan luasan (petani dan pertanaman) terus berkembang. Namun demikian, petani masih merasakan kekhawatiran terhadap risiko dalam penerapan SRI di lahan mereka, terutama dalam melakukan penerapan komponen SRI yang dianjurkan. Akibatnya saat ini perkembangan luasan usahatani yang dilakukan oleh petani relatif masih terbatas pada sebagian lahan yang dimiliki serta melakukan adopsi komponen SRI secara bertahap. Penerapan SRI ini merupakan suatu proses pembelajaran bagi petani. Berkaitan dengan risiko tersebut, di lokasi kajian ini juga masih ada para petani yang belum atau tidak tertarik dengan pola SRI ini.

Adanya kegiatan kelompok peserta program SRI Ciramajaya yang terencana dan rutin sebagai upaya untuk bertukar pengalaman serta menambah


(45)

38 ilmu pengetahuan, telah mendorong SRI untuk diterapkan dalam usahatani. Secara umum, penggunaan pupuk organik dalam Sri telah mengurangi biaya bagi petani untuk pembelian pupuk anorganik, terutama dalam kondisi kenaikan harga pupuk serta beberapa kasus kelangkaan pasokan. Penggunaan Mikroorganisme Lokal (MOL) sebagai pengganti pestisida telah banyak membantu mengurangi penggunaan biaya untuk kegiatan PHT.

Hal lain yang berkaitan dengan penggunaan bahan organik dari bahan yang ada di sekitar petani adalah kenyataan bahwa bahan organik relatif masih cukup tersedia sehingga memungkinkan lingkungan ekologi menjadi terjaga dan bersih. Prinsip dasar pengetahuan tentang kesehatan tanah, air dan lingkungan di sekitarnya yang diperoleh dari materi dan pengalaman pembelajaran SLPHT sebelumnya, telah menuntun pada penerapan kearifan lokal masyarakat di lingkungan komunitas SRI. Penggunaan pupuk dan pestisida dari bahan-bahan nabati tersebut juga diyakini oleh para petani komunitas SRI dapat menyebabkan tanah menjadi gembur serta pertumbuhan tanaman menjadi lebih bagus. Penggunaan pupuk organik menjadikan tanah semakin sehat dan subur serta dapat meningkatkan hasil gabah.

4.3 Kondisi Aktual Penerapan SRI oleh Petani di Kabupaten Tasikmalaya

Teknik budidaya padi organik SRI berbeda dengan teknik budidaya padi konvensional. Perbedaan ini sangat nyata dan mendasar yang membuat metode SRI tidak selaras dengan metode konvensional. Petani responden (80 persen) berpendapat bahwa metode SRI tidak selaras dengan metode konvensional. Ketidakselarasan dengan cara konvensional ini membuat metode SRI sulit untuk diterima dan dilaksanakan petani meskipun metode SRI ini sangat rasional. Petani harus memahami dulu untuk melaksanakannya melalui pelatihan PET & SRI.

Ketidakselarasan ini membuat metode SRI terkesan rumit. Petani responden (100 persen) berpendapat bahwa pada awal pelaksanaan metode SRI memang rumit, namun pada musim berikutnya sudah tidak rumit lagi karena telah terbiasa hanya perlu ketelatenan. Petani responden (100 persen) berpendapat bahwa metode SRI membutuhkan pengorbanan berupa ketelatenan dan kesabaran


(46)

39 dalam melaksanakannya, pengorbanan tersebut terbayar dengan produksi yang tinggi. Berdasarkan penelitian ini apabila petani tersebut sudah benar-benar paham dan mengaplikasikannya sesuai dengan prinsip maka petani tersebut tidak ingin kembali lagi ke metode konvensional.

Teknik budidaya padi organik non- SRI tidak berbeda dengan padi non organik konvensional, budidaya padi organik diberi masukan bahan kimia organik sedangkan budidaya padi non organik masukannya berupa bahan kimia non organik(Andoko, 2002). Teknik budidaya padi organik SRI berbeda dengan padi konvensional. Responden mengetahui bahwa ada cara-cara tertentu yang diajarkan pada saat pelatihan PET&SRI. Prinsip dasar SRI yang diberikan pada waktu pelatihan PET-SRI adalah:

1). Benih bernas, sehat dan bermutu;

2). Benih disemai di tanah : bahan organik = 1 : 1 dengan kondisi lembab 3). Benih ditanam umur muda 7-10 hari

4). Benih ditanam tunggal 5). Benih ditanam dangkal

6). Jarak tanam lebar minimal 25x25 cm

7). Menggunakan Mikro Organisme Lokal (MOL) 8). Pengairan macak-macak

9). Penyiangan sering

10). Menggunakan pupuk organik, dan 11). Menggunakan pestisida organik

Namun aplikasi dilapangan ada sedikit perbedaan disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan petani. Pemaparan berikut adalah perbandingan antara teori padi organik SRI dengan aplikasinya oleh petani di lapangan.

4.3.1. Pemilihan Varietas dan Benih

Petani bebas memilih varietas yang akan ditanam dan tidak ada paksaan untuk menanam varietas-varietas tertentu. Musim tanam 2007/2008 petani menanam varietas sintanur, ciherang dan 64. Petani cenderung menyukai IR-64 dan Ciherang untuk dikonsumsi, sedangkan sintanur yang merupakan varietas


(47)

40 aromatik menurut petani terlalu pulen, lengket dan wanginya tajam, sehingga mereka menanamnya hanya untuk memenuhi permintaan pasar.

Kebutuhan untuk 0,14 hektarbiasanya memerlukan 0,7 kg-1 kg benih atau untuk satu hektar lahan diperlukan 7 kg-10 kg benih sedangkan padi konvensional 40 kg benih. Dengan demikian petani dapat menghemat benih sampai 30 kg/ha atau sampai dengan 75 persen. Benih diperoleh petani dengan beberapa cara diantaranya : (1) bantuan Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya yang didistribusikan melalui balai penyuluhan pertanian (BPP) di tiap kecamatan; (2) bibit dari hasil panen padi sebelumnya; atau (3) membeli dari toko/petani lain.

Gambar 3. Proses Seleksi Benih Dalam Larutan Garam

Petani yang tidak menerapkan metode SRI umumnya tidak melakukan seleksi mutu benih sebelum semai, namun petani yang menerapkan budidaya padi SRI melakukan seleksi benih dengan baik. Cara pemilihan benih yang baik tersebut adalah: Benih berlabel atau hasil pembenihan padi sendiri tingkat I, buatlah larutan garam dalam wadah dengan cara memasukkan butir telur dan larutan garam sampai telur tersebut mengambang dalam larutan air garam. Angkat telur dan masukkan benih ke dalam larutan garam sebentar. Benih yang baik adalah benih yang tenggelam dalam larutan garam tersebut sebaliknya benih yang tidak baik adalah benih yang melayang atau mengambang dalam larutan garam. Angkat segera benih yang tenggelam, basuh dengan air dan masukkan ke dalam karung goni dan direndam satu malam di dalam air mengalir supaya perkecambahan benih bersamaan.


(48)

41 Cara pemilihan benih tersebut telah sesuai dengan anjuran Departemen Pertanian dalam memilih benih yang baik, yaitu:

a. Tidak mengandung gabah hampa, potongan jerami, kerikil, tanah dan hama gudang,

b. Warna gabah sesuai aslinya dan cerah,

c. Bentuk gabah tidak berubah dan sesuai aslinya, d. Daya perkecambahan 80 persen

Pengujian yang aplikatif tersebut membuat petani mudah untuk memahami dan mempraktekan teori pemilihan benih yang baik.

4.3.2. Persemaian

Persemaian dikerjakan bersamaan dengan pengolahan lahan, sehingga pada saat benih sudah siap tanam, lahan pun sudah siap untuk ditanam. Persemaian dikerjakan dalam baki/nampan/pepitiagar memudahkan pengamatan, tidak memerlukan tempatyang luas dapat disimpan di halaman rumah dan mempercepat proses pemindahan bibit ke sawah sehingga benih tidak stres seperti cara konvensional.

Benih yang sudah berkecambah ditanam di persemaian berupa wadah nampan atau pepiti dengan media tanam tanah dan bahan organik dengan perbandingan 1:1. Media tersebut diciprati air sampai lembab. Benih disebar merata tidak terlalu padat kemudian ditaburi tipis dengan tanah. Lama persemaian 7-10 hari.

Petani yang tidak menerapkan metode SRI, persemaian dilakukan di sawah dengan luas persemaian mencapai 3-5 persen luas total sawah yang akan ditanami. Bidang persesmaian diolah dengan cara dibajak dan igaru, lalu dibuat bedengan sepanjan 5-6 meter levar 1-2 meterdan tinggi 20-25 cm. Sebelum penyemaian lahan diberi pupuk SP-36 sebanyak 10 gram/meter persegi. Benih ditaburkan dengan kerapatan75 gram/meter persegi. Penyemaian berlangsung selama 20-25 hari.


(49)

42 4.3.3. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah mulai dilakukan setelah panen. Jerami bekas panen tidak dibakar atau dibuang melainkan dikomposkan dengan cara dipotong kecil-kecil, dicampur dengan potongan batang pisang dan bisa ditambah dedak, kemudian diberi cairan Mikro Organisme Lokal (MOL) buatan sendiri untuk mempercepat proses pembusukan.

MOL adalah ramuan dari bahan organik yang ada disekitar petani. Bahan-bahan MOL berbeda-beda tergantung adanya Bahan-bahan dan tujuan dari pembuatannya. MOL bisa sebagai katalisator dalam pembusukan pupuk kompos dan sebagai pupuk organik cair. Bahan-bahan untuk campuran kompos tidak harus itu saja tetapi disesuaikan dengan bahan yang ada. Sambil menunggu proses pembuatan pupuk kompos selama dua minggu, tanah dibajak menggunakan kerbau atau traktor. Kerbau atau traktor tersebut disewa dari petani lain atau dari kelompok tani.Semua responden mengatakan bahwa pengolahan tanah dengan menggunakan kerbau hasilnya lebih baik dibanding menggunakan traktor, karena tanah akan dibolak-balik dan ukuran tanahnya tidak terlalu kecil, sedangkan menggunakan traktor ukurannya terlalu kecil atau hancur sehingga kalau kering akan keras. Benamkan pupuk organik yaitu pupuk kompos (jerami, dll) dan pupuk kandang 5-10 ton/ha. Air macak-macak supaya pupuk tidak hanyut. Pengolahan Tanah Kedua, yaitu tanah dicangkul halus atau digaru atau ditraktor, diratakan/digarok, air tetap macak-macak/tidak diairi, endapkan semalam kemudian digarit. Lahan siap untuk ditanam.

Semua responden melaksanakan hal ini meskipun teknisnya sedikit berbeda-beda, yang terpenting sesuai dengan prinsip organik SRI. Pada saat pelatihan pun pemandu tidak dipaksa harus melakukan suatu hal tetapi dibebaskan dan dikondisikan untuk kreatif asal masih sesuai dengan prinsip-prinsipnya. 4.3.4. Penanaman

Penanaman dilakukan ketika umur benih 7-10 hari, ditanam tunggal dengan jarak tanam antara 30 x 30 cm sampai 35 x 35 cm. Kedalaman tanam 0,5-1 cm dan ditanam tunggal per lubang tanam. Namun di lapangan banyak


(1)

121

Lampiran 1. Pembagian Wilayah Kabupaten Tasikmalaya Berdasarkan Satuan Wilayah

Pembangunan (SWP)

Keterangan:

SWP 1

SWP 4

SWP 2

SWP 5


(2)

122

Lampiran 2. Lokasi Daerah Penelitian

Keterangan:


(3)

123

Lampiran 3. Daftar Mikro Organisme Lokal (MOL) yang Digunakan Oleh Petani SRI

No. Kegunaan Bahan-bahan Cara Membuat Dosis per ha

1. Unsur P dan K tinggi

Tulang ikan, buah-buahan, air beras, air kelapa muda atau nira.

Tulang ikan dan buah–buahan di tumbuk sampai halus, setelah itu dicampurkan semuanya kedalam air beras dan air kelapa muda, lalu di difermentasi selama 15 – 20 hari, kemudian disaring maka bahan siap digunakan

1 liter MOL dicampur dengan air 10 liter 2. Zat pertumbuhan untuk mempertinggi tanaman/ZPT Iwung, bonggol pisang, air kelapa (tebu), air beras

Iwung dan bonggol pisang di cincang sampai halus, lalu dicampurkan dengan air kelapa dan air beras lalu di fermentasikan selama 15 – 20 hari, kemudian MOL di saring maka bahan siap digunakan

1 liter MOL dicampur dengan 7 – 10 liter air

3. Mengobati daun merah pada

tanaman, dan untuk

membuat daun padi menjadi lebar, batang kuat, dan bulir padi menjadi besar

Kotoran hewan 2 kg, terasi 2 ons, kepiting sawah 10 ekor, air tebu (air kepala muda, air nira) dan air 3 liter

Kotoran hewan direndam dalam air, sementara terasi dan kepiting ditumbuk dan dicampurkan dengan air tebu, dan didiamkan selama 3 hari, setelah itu maka disaring dan kedua ramuan itu dicampurkan maka ramuan siap untuk digunakan

1 liter MOL dicampurkan dengan 10 – 14 liter air

4. Unsur N tinggi

Daun kalikiria, bonggol pisang, air nira (air kelapa muda/airtebu)

Daun kalikiria dan bonggol pisang dicincang setalah itu dicampurkan dengan air nira, dan di diamkan selama 15 hari maka bahan sudah dapat digunakan.

1 liter MOL dicampur dengan 7 – 10 liter air

5. Vitamin Buah – buahan yang manis (misal: buah pepaya,

jambu), air nira

Buah – buahan di cincang dan dicampur dengan air nira, dan didiamkan selama 3 hari, setelah itu dicampur dengan air maka dapat digunakan

1 liter MOL dicampurkan dengan 10 liter air

6. Sebagai protein / TSP)

Keong mas (telor keong mas), air kelapa muda

Keong mas ditumbuk sampai halus, dan dicampur dengan air kelapa muda, dan diamkan selama 7 hari, setelah itu siap digunakan

1 liter MOL dicampur dengan air 7 – 10 liter


(4)

124

Lampiran 4. Daftar Mikro Organisme Lokal (MOL) yang Digunakan Oleh Petani SRI

(Lanjutan)

No Kegunaan Bahan – bahan Cara Membuat Dosis per ha

7. Mengandung KCl

Jerami, daun iwung, tulang – tulang, bawang putih, air nira

Jerami, daun iwung, tulang – tulang, dan bawang putih ditumbuk sampai halus, dan dicampur dengan air nira dan didiamkan selama 15 hari, setelah itu siap digunakan

1 liter MOL dicampur dengan 10 liter air

8. Mikro Organisme Nabati, didalam mempercepat proses membuat kompos

Sari buah yang telah tua dan masak, air kelapa muda, (gula pasir yang diencerkan / air nira)

Sari buah dicampur dengan air kelapa muda dengan perbandingan 1:1, dan diamkan selama 3 hari, setelah itu siap digunakan

1 liter MOL dicampurkan dengan 10 liter air

9. Mikro Organisme Nabati, didalam mempercepat poses membuat kompos

Kacang kedelai, air kelapa muda (gula

pasir yang

diencerkan / air nira)

Kacang kedelai ditumbuk dan dicampurkan dengan air kelapa muda

1 liter MOL dicampurkan denga 10 liter air

10. Pestisida organik (untuk wereng, walang sangit, dan kupu – kupu putih)

Gadung, daun tembakau, terasi

Gadung dicincang sampai halus, lalu diperas dan diambil airnya. Tembakau direbus dengan air kemudian ditambahkan terasi. Kemudian bahan ini dicampurkan dan didiamkan selama 7 hari

1 liter MOL dicampurkan dengan 10 liter air

11. Pestisida organik (tikus)

Gadung, terasi Gadung dibelah-belah dan dilumuri terasi. Kemudian disimpan di sawah

50 buah gadung

12. Pestisida botanis (hama wereng, ulat, walangsangit, dan serangga)

Cucian beras 1 lt, air cuka 10 sendok makan, perasan air gadung 10 sendok makan, perasan air jahe 10 sendok makan, air tape 30 sendok (air nira)

Semua bahan dicampurkan dan didimakan selama 15 hari, maka setelah itu bahan siap digunakan

1 liter MOL dicampurkan air 10 liter air


(5)

125

Lampiran 5. Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usahatani Padi Metode SRI dan Konvensional

per Ha di Lokasi Kajian, Kabupaten Tasikmalaya

Uraian Harga (Rp/Satuan) Pola SRI (n = 30) Pola Konvensional (n=30)

Volume Nilai Volume Nilai

a. Pengolahan Tanah

- Mesin 466.578,00 2 933.156,00 2 933.156,00

- Manusia 0 0 0 0 0

b. Tanam dan cabut benih 10.000,00 14 140.000,00 22 220.000,00

c. Pengendalian hama 10.000,00 5 50.000,00 3 30.000,00

d. Pemupukan 10.000,00 8 80.000,00 7 70.000,00

e. Pengairan 10.000,00 3 30.000,00 3 30.000,00

f. Pengendalian gulma 10.000,00 46 460.000,00 26 260.000,00


(6)

Dokumen yang terkait

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Petani Pasca Peralihan Jenis Tanaman Dari Kopi ke Jeruk

15 138 127

Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Petani Terhadap Luas Tanam Bawang Merah Di Kabupaten Dairi

3 48 108

Dampak Pembangunan Irigasi Terhadap Sosial Ekonomi Petani Padi Sawah di Kabupaten Simalungun&quot;, studi kasus Desa Totap Majawa, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun

3 61 116

Perkembangan Teknologi Budidaya Padi Sawah Yang Diterapkan Petani Untuk 5 Tahun Terakhir SertaDampaknya Terhadap Sosial Ekonomi Petani di DesaLubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

1 50 146

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani Padi Sawah Dalam Metode SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) (Studi kasus : Desa Paya Bakung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang)

3 58 57

Dampak Pelaksanaan Kaderisasi Serikat Petani Indonesia (Spi) Basis Simpang Kopas Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Tani Di Desa Huta Padang Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten Asahan

0 39 191

TEMPAT HIBURAN KARAOKE DI KABUPATEN PATI (Kajian Terhadap Dampak Sosial Ekonomi Bagi Masyarakat Kabupaten Pati)

6 54 104

Telaah Sosial dan Ekonomi Petani Padi Organik

0 9 90

(ABSTRAK) TEMPAT HIBURAN KARAOKE DI KABUPATEN PATI (Kajian Terhadap Dampak Sosial Ekonomi Bagi Masyarakat Kabupaten Pati).

0 0 2

AGROINDUSTRIALISASI PADI SAWAH BERBASIS KEARIFAN LOKAL (KAJIAN ATAS BUDIDAYA PADI DI KABUPATEN TASIKMALAYA DAN KABUPATEN BANDUNG)

0 0 9