Perubahan Paradigma Petani DAMPAK SOSIAL
84 produksi yang harus “digenjot” untuk menghasilkan tingkat produksi yang tinggi
adalah suatu paradigma yang salah. Selama ini petani menganggap bahwa peningkatkan produksi pertanian berbanding lurus dengan peningkatan
penggunaan pupuk dan obat-obatan. Implikasinya pengeluaran untuk kedua faktor produksi tersebut, khususnya pupuk,menjadi dominan dalam struktur biaya
produksi. Pertanian padi di Kabupaten Tasikmalaya secara khusus dengan merujuk pada paradigma tersebut, implementasi kebijakan pembangunan
pertanian telahmenampilkan pupuk dan obat-obatan sebagai faktor-faktor produksi utama. Dalam hal ini berlaku suatu anggapan kuat bahwa tingkat
produksi padi terutama ditentukan olehtingkat penggunaan dosis dan komposisi pupuk dan obat-obatan. Khusus untukfaktor produksi pupuk, anggapan ini bahkan
sempat membentuk suatu RumusPetani yang menggariskan bahwa harga gabah harus sebanding dengan hargapupuk.
Hingga saat ini, salah satu keluhan utama petani padi adalah soal harga pupuk yang tinggi, dalam arti tidak sebanding dengan harga gabah. Petani padi di
Kabupaten Tasikmalaya khususnya di Kecamatan manonjaya, Cisayong, Sukaraja, Tanjungjaya, dan Mangunreja secara umum telah menyadari bahwa
pupuk kimia dan obat-obatan pertanian bukan lagi resep jitu untuk peningkatanproduktivitas, tetapi sebaliknya menjadi ancaman sinambung bagi
produktivitas padi itu sendiri. Pupuk telah menjenuhkan struktur tanah sehingga tindakan pemupukanuntuk selanjutnya tidak menghasilkan dampak optimal,
ditandai dengan gejalamenurunnya produktivitas lahan sawah. Obat-obatan pertanian, khususnya pestisida,secara periodik telah memicu lahirnya mutan-
mutan hama dan virus tanaman padiyang resisten terhadap racun. Artinya, dengan kondisi seperti itu, pupuk dan obat-obatanpertanian tidak bisa lagi diklaim sebagai
faktor produksi superior, yangmampu menaklukkan pembatas atau kendala alami dalam proses produksi. Dalamkenyataan, penggunaan pupuk dan obat-obatan
telah masuk pada kondisi overintensifikasidan over-eksploitasi lahan sehingga justru bersifat counter-productive.
Peningkatan produksi yang disebabkan oleh penggunaan pupuk dan obat- obatan anorganik ternyata selama ini lebih banyak menguntungkan petani yang
85 memiliki lahan besar, sedangkan petani kecil dan buruh tani mayoritas petani di
Kabupaten Tasikmalaya relatif kurang menikmatinya. Kondisi ini adalah sebagai akibat dari prosestransfer penguasaan lahan dari petani kecil yang tidak mampu
membiayai teknologiintensifikasi kepada petani besar. Berdasarkan kenyataan ini paradigma lama petani terhadap pola usahatani
yang diusahakannya selama ini menjadi titik buntu dalam mengatasi kedua masalah dasar pertanian padi, yaitu penurunan relatif pada aspek produktivitas
usahatani dan kesejahteraan petani. Itulah krisis paradigma yang sesungguhnya berakar pada dua anggapan yang kurang tepat, yaitu pertama anggapan bahwa
untuk meningkatkan produksi maka penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan harus ditingkatkan, kedua adalah klaim bahwa benih, tanah, dan tenaga kerja
merupakan faktor-faktor produksi yang setara dengan pupuk dan obat-obatan pertanian.
Ketiga faktor tersebut sesungguhnya bukanlah faktor atau sarana produksi melainkan unsur dasar pembentuk pertanian yang merujuk pada suatu inti
budaya sebagai simpulnya. Faktor produksi sejati adalah pupuk dan obat-obatan. Itu sebabnya mengapa sumbangan kedua faktor itu selalu menjadi yang paling
signifikan dalam setiap pemodelan produksi. Permasalahan setiap memasuki musim tanam padi di Kabupaten Tasikmalaya pada umumnya hampir sama
dengan permasalahan di tempat lainnya, yaitu selalu berkisar pada masalah harga kelangkaan pupuk dan obat-obatan dan setiap memasuki musim panen selalu
berkisar pada masalah rendahnya harga gabah dibanding harga pupuk obat- obatan. Sedangkan inti permasalahan sosial yang menyangkut relasi triangular
antara unsur-unsur dasar pertanian, yaitu benih, tanah, dan tenaga manusia selalu diabaikan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, petani mulai mengubah paradigmanya dari pertanian anorganik menjadi pertanian organik yang tidak tergantung
terhadap pupuk dan obat-obatan kimiawi dan lebih menekankan kepada pertanian berkelanjutan. Paradigma baru atau alternatif yang mulai dipahami oleh petani di
Kabupaten Tasikmalaya saat ini adalah revitalisasi dari paradigma pertanian asli. Pertanian asli, atau dalam arti negatif sering disebut pertanian
86 tradisional, terbentuk dari tiga unsur dasar yaitu benih, tanah, dan tenaga dalam
suatu bingkai sosial budaya. Salah satu dari ketiga unsur dasar ini tidak boleh bernilai nol, karena jika ada yang demikian, maka resultannya menjadi nol juga.
Selama ini tanah dianggap sebagai mesin produksi dan manusia tenaga hanya sebagai objek dalam kegiatan pertanian, bukan sebagai subjek yang melaksanakan
kegiatan usahatani. Pola terbaru dari pertanian asli ini adalah pertanian organik yang kini
mulai berkembang di Kabupaten Tasikmalaya dalam bentuk penerapan sistem SRI pada kegiatan usahatani. Pola pertanian asli tersebut memiliki satu kesamaan
yaitu tidak menggunakan faktor produksi berupa pupuk dan obat-obatan kimiawi. Kendati ketiga unsur dasar pertanian tersebut berinteraksi secara triangular dalam
suatu bingkai budaya, faktor sosial budayalah yang lebih banyak memberi bentuk atau pola pada interaksi antara ketiga unsur dasar tadi.
Budaya merumuskan bagaimana benih harus dihubungkan dengan tanah dan bagaimana tenaga harus berperan dalam hal itu. Termasuk dalam perumusan
tadi adalah pemilihan jenis-jenih benih yang cocok dengan sifat dan ciri tanah tertentu, atau keputusan mengubah sifat dan ciri tanah agar cocok dengan jenis
benih tertentu. Benih yang ditanam, lalu tumbuh dan membuahkan hasil di atas tanah adalah proses sekaligus karya budaya. Paradigma ini sangat berbeda dengan
paradigma lama petani dimana status benih, tanah, dan tenaga petani tidak lebih dari sekadar faktor produksi, sama seperti pupuk dan obat-obatan kimiawi dan air
irigasi. Asumsi ini menganggap bahwa teknologi pupuk dan obat-obatan dapat mengatasi keterbatasan benih, tanah, dan tenaga petani. Artinya, tidak masalah
jika benih tidak unggul, tanah tidak subur, dan tenaga petani terbatas karena semua masalah itu dapat diatasi dengan kemajuan teknologi pupuk dan obat-
obatan. Kondisi ini menyebabkan biaya produksi pertanian padi secara
keseluruhan menjadi mahal. Pemupukan memang dapat meningkatkan kesuburan tanah, namun pada titik tertentu, pemupukan yang terus-menerus menyebabkan
tanah jenuh, sehingga bukan saja strukturnya menjadi rusak tetapi juga memberikan respon balik negatif berupa penurunan angka peningkatan
87 produktivitas. Itulah yang terjadi selama ini dengan lahan pertanian sawah di
Kabupaten Tasikmalaya khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Sehingga sekarang sebenarnya sudah saatnya untuk menekan penggunaan pupuk sampai
tingkat serendah mungkin. Paradigma baru petani merupakan interaksi triangular antara unsur-unsur
dasar benih, tanah, dan tenaga petani. Dalam hal ini petani memandang bahwa benih merupakan salah satu unsur terpenting dalam kegiatan usahatani dan harus
dikelola secara benar. Tanah merupakan wadah bagi benih tanaman untuk tumbuh, oleh karena itu tanah harus memiliki kemampuan untuk memberikan
nutrisi bagi tanaman dan mampu mereproduksi nutrisi tersebut dengan sendirinya. Tenaga manusia merupakan subjek yang memiliki azasi dalam pengelolaan
lahannya dan berhak memperoleh hasil yang optimal dari hasil usahanya tersebut. Faktor produksi lainnya dan air irigasi merupakan faktor supportif untuk tanah,
benih dan tenaga petani. Petani padi di Kabupaten Tasikmalaya secara umum memandang ketiga
unsur tadi harus ditingkatkan peranannya dimana penerapan sistem SRI pada lahan mereka merupakan salah metode yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut.
Petani memandang bahwa pertanian organik dengan menggunakan sistem SRI ini dapat melindungi tanah, meningkatkan daya tumbuh benih dan tentunya dapat
meningkatkan kesejahteraan petani yang mengelolanya. Petani padi yang telah lama menerapkan pola penanaman padi dengan
menggunakan sistem SRI telah memahami bahwa penerapan model SRI ini telah mengubah lingkungan dan juga kualitas padi yang dihasilkan. Padi SRI ini secara
umum telah memenuhi prinsip kesehatan, ekologi, dan perlindungan baik itu untuk petani produsen maupun bagi konsumen. Petani yang berada di wilayah
aliran sungai Ciramajaya rata –rata baru memulai pengelolaan padi dengan
menggunakan model SRI 2 kali Musim Tanam, umumnya telah menyadari bahwa penerapan SRI ini dapat mempertahankan keseimbangan ekologi tanah
dalam jangka panjang.
88 Tabel 31. Perubahan Paradigma Petani Dalam Kegiatan Usahatani Padi
No. Paradigma Lama Petani
Paradigma Baru Petani 1.
Benih merupakan faktor produksi
Benih merupakan makhluk hidup yang harus dirawat bagaikan ”bayi” sehingga benih dapat
dapat menghasilkan tanaman padi yang baik 2.
Tanah sebagai mesin produksi
Tanah merupakan
media tanam
yang senantiasa harus dijaga kemampuannya dalam
mereproduksi tingkat keseburunnya sendiri, sesuai dengan kondisi ke-alamiahannya.
3. Tenaga manusia sebagai
objek pelaku untuk mengurus faktor produksi
lainnya Tenaga manusia sebagai subjek yang menjadi
pusat dalam kegiatan usahatani yang didukung oleh faktor produksi dalam kegiatan
usahataninya
4. Penggunaan pupuk dan
obat sebagai faktor utama dalam kegiatan usahatani
Pupuk dan obat sebagai pelayan bagi benih dan tanah.
5. Penggunaan bahan-bahan
kimiawi untuk memberikan kesuburan
dan perlindungan kepada tanah dan tanaman
Penggunaan bahan-bahan organik untuk menunjang tanah dalam mengembalikan
kesuburannya sendiri dan melindungi tanaman dengan pertolongan musuh alami
6. Hasil panen sebanyak-
banyaknya untuk pemenuhan kebutuhan
pasar Hasil panen yang sehat sesuai dengan prinsip
kesehatan, ekologi dan perlindungan yang dapat melindungi petani, konsumen dan
lingkungan
Sumber : hasil wawancara dan FGD dengan petani peserta SRI Berikut adalah beberapa prinsip penerapan SRI yang telah dipahami oleh
petani padi SRI di Kabupaten Tasikmalaya : 1.
Prinsip kesehatan : Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan
menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan manusia dan juga hewan. Peran pertanian SRI baik dalam produksi, pengolahan,
distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam
tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian metode SRI ini dimaksudkan untuk menghasilkan padi yang bersih dari bahan
–bahan kimiawi. Untuk itu, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida,
obat-obatan kimiawi yang dapat berefek merugikan kesehatan.
89 2.
Prinsip ekologi adalah prinsip prinsip yang meletakkan pertanian organik SRI dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa
produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Pengelolaan organik harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal.
Sarana produksi sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan-bahan dan energi secara efisien guna
memelihara, meningkatkan kualitas, dan melindungi sumber daya alam. 3.
Prinsip perlindungan menyatakan bahwa metode SRI ini harus mampu mencegah terjadinya resiko merugikan dengan menerapkan teknologi tepat
guna dan menolak teknologi yang tak dapat diramalkan akibatnya, seperti rekayasa genetika genetic engineering. Segala keputusan harus
mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses-proses yang transparan
dan partisipatif.