175 perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan permukiman
daerah asal yang menjadi tujuan PTKLNPSL. Proses penting selanjutnya, juga bersambungan dengan sub-program
sebelumnya, adalah bagaimana memberikan wadah bagi TKLN purna yang kembali ke daerah asal untuk berperan dalam perbaikan kualitas
sumberdaya alam dan lingkungan permukiman mereka. Melalui pembentukan wadah ini, maka diharapkan proses yang terjadi dapat
melembaga ke dalam komunitas masyarakat setempat. Jebakan dalam pengembangannya adalah, proses ini tidak boleh bertentangan dengan
semangat pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Oleh karenanya, pemerintah sebagai pemangku kawasan perlu
menempatkan pemberdayaan TKLN ini juga dalam tataran perencanaan pembangunan, dengan demikian maka keterlibatan
TKLN ini digagas sejak proses awal pembangunan tersebut. Dengan demikian diharapkan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan
lingkungan permukiman di daerah asal TKLN tidak berkembang dalam proses yang tidak terkontrol.
4. Pengembangan Kawasan Perdesaan Daerah Asal TKLN dan
Kemitraan
Dalam kerangka PTKLNPSL, pengembangan kelembagaan merupakan sarana penting untuk mempertemukan antara potensi yang
ada dengan aktivitas-aktivitas perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan di desa-desa yang menjadi basis pemberangkatan TKLN
dengan desa-desa sekitarnya yang mendukung potensi dan aktivitas kegiatan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang
dapat menjadi landasan pengembangan kelembagaan dalam PTKLNPSL yang diarahkan pada penguatan kapasitas kelembagaan
dalam komunitas, antar-komunitas, dan daya jangkau serta ketersediaan lembaga pelayanan, keuangan dan pendanaan publik.
Kebijakan tersebut difokuskan kepada proses pembelajaran partisipatif yang diarahkan untuk menghasilkan aksi bersama kolektif yang
176 produktif oleh kelembagan pemerintahan desa, badan
permusyawaratan desa, lembaga kemasyarakatan, kelembagaan usaha ekonomi kecil, badan usaha milik desa, dan koperasi di dalam
komunitas desa, antar-komunitas desa, dan dengan kelembagaan publik lainnya di luar kawasan perdesaan.
Pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi berskala kecil dan menengah perlu menjadi sasaran utama dalam PTKLNPSL.
Melalui pengembangan kelompok-kelompok seperti itu, diharapkan akan mampu menurunkan angka pengangguran, meningkatkan daya
beli masyarakat, dan pada gilirannya mampu berdampak ganda terutama memberikan peluang pengembangan kegiatan ekonomi lokal
dan usaha-usaha produktif di komunitas perdesaan yang kemudian pada gilirannya potensi mereka dapat diarahkan kepada upaya-upaya
pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk pengembangan kelompok-kelompok sosial ekonomi tersebut,
berbagai pemangku kepentingan yang lain dapat berperanserta melalui pendekatan hubungan kelembagaan dan jejaring sosial. Jejaring
pengembangan kelompok-kelompok sosial-ekonomi dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai pemangku kepentingan
sebagai suatu bentuk pengembangan kapital sosial. Di samping itu, pengembangan kelembagaan menjadi sangat penting dalam
pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena dapat menekan biaya dimana sampai sejauh ini pengembangan tersebut memerlukan
biaya yang tinggi. Salah satu alternatif pengembangan kelembagaan sosial tersebut
adalah dengan pendekatan Jejaring Kelembagaan Kolaboratif mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat lokalitas, menunjukkan
bahwa implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisipatif, adanya komitmen yang kuat, dan mensinergikan
kekuatan-kekuatan yang ada sangat membantu memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya pengembangan
usaha-usaha produktif di kawasan komunitas perdesaan.
177 Pengembangan upaya-upaya perbaikan sumberdaya alam dan
lingkungan yang berbasiskan komunitas daerah asal pemberangkatan TKLN diharapkan dapat melibatkan pemangku kepentingan yang lain
kelembagaan kolaboratif, seperti organisasi pemerintah, pihak swasta dan berbagai LSM. Meskipun demikian, jejaring ini perlu
diperhatikan untuk tidak mengadopsi pendekatan birokratis atau teknokratis. Keberhasilan jejaring sebagai media dan sarana
perumusan kebijakan menjadi sangat penting, meski harus dicatat bahwa ini semua tergantung kepada komitmen semua pemangku
kepentingan dalam jejaring tersebut. Temuan lapang menunjukkan bahwa terdapat beragam kelembagaan dalam suatu komunitas
perdesaan, meskipun sangat sedikit jumlahnya, yang bergerak dalam upaya-upaya perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan yang
berbasiskan komunitas dan telah melembaga. Jejaring kelembagaan kolaboratif yang dikembangkan harus mampu menjalin hubungan
berdasarkan prinsip kesetaraan dengan institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu, sistem jejaring yang terbentuk perlu
mempertimbangkan mekanisme pada struktur tradisional, karena mereka yang akan menyaring penduduk yang ingin masuk dan
mekanisme tersebut yang akan menarik uang bagi yang masuk. Perlu diingat bahwa aturan-aturan main yang menghambat pasar agar
dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Dalam hal pendanaan kegiatan produktif, peranan pemerintah lokal
lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat
lapisan bawah atau pengusaha kecil di kawasan perdesaan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa harus dimulai dengan penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM
yang bergiat dalam pemberdayaan masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha produktif.
178 Apabila dilandasi dengan respons yang baik serta prinsip-prinsip
partisipatori, maka hasil pemikiran pemangku kepentingan di tingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaringan di tingkat
komunitas perdesaan dan lokal, sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat tanggapan dari seluruh masyarakat tanpa
harus diformalkan. Dalam jangka pendek, untuk membangun kembali hubungan antar-
kelembagaan diperlukan suatu proses-proses kebijakan untuk memperkuat hubungan kemitraan tersebut. Proses-proses kebijakan
tersebut perlu dirumuskan melalui suatu proses inisiasi dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan
mengarah pada sistem tata kelola berbasis kemitraan, yakni hubungan melalui tata-pengaturan dari berbagai pemangku kepentingan berbasis
“kekuatan-kekuatan” masyarakat, swasta, dan pemerintah untuk membangun kembali dan memperkuat hubungan antar-kelembagaan.
Pada aras makro, kebijakan untuk memperkuat hubungan difokuskan kepada upaya-upaya untuk memberikan insentif-insentif kelembagaan
berupa kebijakan dari pemerintah pusat dan lokal provinsi dan kabupaten untuk menciptakan “ruang” bagi masyarakat untuk
berpartisipasi. Peran serta dalam dinamika kelembagaannya, pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur di kawasan pedesaan
dan fasilitasi program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi berbagai pihak berkepentingan dalam hubungan kemitraan
tersebut. Proses-proses kebijakan ini akan menjadi peran yang banyak dilakukan oleh pemerintah pusat dan lokal provinsi dan kabupaten.
Pada aras mikro, proses-proses kebijakan yang dirumuskan difokuskan pada upaya meningkatkan kapasitas kelembagaan melalui
implementasi program-program pemberdayaan dan peningkatan partisipasi warga komunitas. Secara institusional, program-program
pemberdayaan dan peningkatan partisipasi komunitas perdesaan tersebut adalah untuk memperkuat kelembagaan lokal, seperti
kelembagaan kelompok tani sehamparan dan kelembagaan koperasi
179 sebagai mitra pemangku kepentingan lainnya dalam kerangka
kerjasama dan kesetaraan. Pengembangan PTKLNPSL tidak cukup hanya berlandaskan pada
peranserta warga komunitas perdesaan dan berbagai pemangku kepentingan. Akan tetapi lebih dari itu PTKLNPSL perlu
dikonstruksikan pada suatu fondasi sosiologis yang kuat dan berkelanjutan. Fondasi sosiologis tersebut adalah manifestasi dari
peranserta warga komunitas perdesaan dan berbagai pemangku kepentingan dalam suatu kemitraan antar-kelembagaan. Dalam
konteks membangun kembali kemitraan antar-kelembagaan yang berbasis pada komunitas perdesaan, kebijakan makro dan kebijakan
mikro untuk PTKLNPSL perlu dilaksanakan secara paralel dan sinergis. Artinya, upaya-upaya penguatan kapasitas kelembagaan yang
dilakukan oleh berbagai pihak berkepentingan harus didukung sepenuhnya oleh pemberian insentif-insentif kelembagaan oleh
pemerintah pusat dan lokal. Asumsi dasar pengembangan kemitraan antar-kelembagaan ini adalah
bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah dan desa adalah proses demokratisasi di tingkat daerah yang akan diikuti dengan
perubahan pola-pola peranserta antara organisasi dan kelembagaan dalam pembangunan di tingkat daerah kabupatenkota hingga
komunitas desadusun. Artinya, penyerahan wewenang dari pusat ke daerah tidak hanya kepada organisasi pemerintah yang otonom tetapi
juga kepada kelembagaan masyarakat, sehingga secara demokratis masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk mengatur
organisasi dan kelembagaanya sendiri. Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah, dan otonomi desa
tanpa menghapuskan wewenang pemerintah pusat serta pemberdayaan komunitas perdesaan dipahami sebagai suatu hasil dari
interaksi atau hubungan sebab-akibat antara “proses pembangunan yang bottom-up” yang dalam kajian ini diartikan sebagai
pengembangan upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
180 berbasis komunitas perdesaan dan “proses pembangunan yang top-
d own” yang dalam kajian ini dipahami sebagai implementasi
kebijakan-kebijakan pemerintah lokal. Artinya, komunitas perdesaan yang berdaya diindikasikan tidak hanya oleh tingkat pendapatan,
tetapi lebih dari itu sampai sejauh mana dinamika warga komunitas hidup dengan bertumpu pada kelembagaan di tingkat komunitas dan
lokal yang berkelanjutan yang kemudian mampu memberikan dampak ganda baik pada aktivitas ekonomi dan usaha-usaha produktif di
tingkat komunitas perdesaan maupun pada upaya-upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis kepentingan
masyarakat lokal di daerah asal TKLN. Pendekatan berikutnya dalam memberdayakan komunitas perdesaan
dan mengembangkan kelembagaan berkelanjutan adalah melalui suatu kolaborasi antar-kelembagaan berdasarkan kepercayaan trust
sehingga terbentuk suatu hubungan kelembagaan atau jejaring. Agar jejaring tersebut selalu menjalankan prinsip-prinsip partisipatif dan
“berakar” pada kepentingan masyarakat di tingkat akar rumput, maka jejaring tersebut harus dibangun, dipelihara, dan dikembangkan
dengan berbasis pada komunitas. Dalam jejaring tersebut kelembagaan-kelembagaan dipandang sebagai kapital sosial yang jati
dirinya harus dipertahankan walaupun mengalami proses interaksi dengan kelembagaan lain dan proses perkembangan. Demikian pula
dalam jejaring tersebut pola-pola hubungan antar kelembagaan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal dipandang sebagai
suatu strategi pengembangan kapital sosial. Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, kajian ini berhasil
mengidentifikasi pandangan-pandangan yang khas dari berbagai pemangku kepentingan di lokasi kasus, Kecamatan Tanggeung
umumnya dan Desa Kertajaya khususnya. Pada aras kebijakan pemerintah lokal, rumusan untuk kemitraan antar-kelembagaan
merupakan pandangan berbagai pemangku kepentingan mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Sedangkan pada aras perbaikan
181 sumberdaya alam dan lingkungan berbasis komunitas, rumusan untuk
kemitraan kelembagaan merupakan pandangan warga komunitas perdesaan. Pandangan di tingkat komunitas perdesaan adalah
pengembangan kelembagaan yang kooperatif dan usaha-usaha produktif yang bersumber dari sinerji beragam kelembagaan di
komunitas desa dan sinerji beragam kelembagaan antar-komunitas desa dalam kawasan perdesaan. Pandangan di tingkat lokal atau
kabupaten adalah membangun pola hubungan kelembagaan secara vertikal antara kelembagaan komunitas perdesaan dengan
kelembagaan pelayanan dan pembiayaan keuangan publik. Berlandaskan pada pokok-pokok permasalahan, pendekatan dalam
kemitraan antar-kelembagaan di kawasan perdesaan, dan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan, maka ada tiga butir gagasan pokok
untuk mengembangkan kemitraan antar-kelembagaan di kawasan perdesaan: 1 membangun dan mengembangkan kelembagaan
kooperatif dan produktif guna mengelola dan memperbaiki sumberdaya alam dan lingkungan di tingkat komunitas desa yang
merupakan kolaborasi antar-kelembagaan dan berbasis pada usaha- usaha ekonomi produktif komunitas desa; 2 membangun dan
mengembangkan kelembagaan kooperatif dan produktif yang merupakan kolaborasi antar-kelembagaan pengelola dan pelaku
perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan antar-komunitas; dan 3 membangun dan mengembangkan jejaring antara kelembagaan usaha-
usaha pengelolaan dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan dengan kelembagaan pelayanan dan pendanaan publik sebagai suatu
kapital sosial yang menjalin hubungan kelembagaan antara kelembagaan di tingkat komunitas dan kelembagaan di tingkat
kabupaten dan provinsi. Dengan suatu fasilitasi dari pememerintah daerah, dinas-dinas
sektoral, pemerintah kecamatan, dan tokoh-tokoh masyarakat, warga di tingkat komunitas desa dapat membangunan dan mengembangkan
secara partisipatif dan dengan prinsip-prinsip bottom up suatu
182 kelembagaan kooperatif dan produktif atau merevitalisasi
kelembagaan yang sudah ada dan berkembang di desa guna mengembangkan upaya-upaya pengelolaan dan perbaikan sumberdaya
alam dan lingkungan tempat tinggal mereka. Peranan dan fungsi dari kelembagaan kooperatif di tingkat komunitas
desa tersebut adalah: 1 sebagai lembaga keuangan desa yang membantu pengadaan sumberdaya keuangan finansial atau “modal”
bagi warga komunitas dalam melaksanakan dan mengembangkan usaha-usaha produktif untuk kemudian mengarahkan kegiatannya
pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; 2 sebagai lembaga usaha-usaha produktif dan ekonomi desa yang mampu
menciptakan lapangan kerja dan usaha di tingkat komunitas desa; dan 3 sebagai unit usaha kelembagaan koperasi primer di tingkat
kawasan perdesaan. Kelembagaan kooperatif dan produktif ini merupakan suatu kapital
sosial yang berbasis komunitas perdesaan. Meski demikian, dalam menjalankan peranan dan fungsinya kelembagaan ini secara struktural
menjadi unit usaha dari kelembagaan kooperatif di tingkat kawasan perdesaan. Oleh karena itu, pemangku kepentingan stakeholders
yang berperan dalam memberdayakan kelembagaan ini haruslah melibatkan pemerintah kabupaten dan dinas sektoral. Sedangkan dari
kelembagaan non-pemerintah adalah lembaga-lembaga swadaya masyarakat LSM.
Untuk memelihara dan mengembangkan gagasan dan implementasi gagasan kemitraan antar-kelembagaan tersebut di atas, maka secara
vertikal perlu dibangun dan dikembangkan suatu jejaring kolaborasi kelembagaan yang berbasis komunitas perdesaan. Jejaring tersebut
merupakan suatu media pertukaran informasi, komunikasi, dan pengembangan dan implementasi gagasan antar pemangku
kepentingan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip: kesetaraan, hubungan subjek setara subjek, partisipatif, demokratis, komitmen,
183 dan cenderung informalitas yang lebih berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan tidak hanya pada peningkatan produksi. Oleh karena itu, strategi mengembangkan PTKLNPSL membangun
jejaring kolaborasi kelembagaan ini menjadi prioritas. Bahkan upaya pengembangan gagasan tersebut mulai dari kelembagaan kooperatif
dan produktif di tingkat komunitas perdesaan sampai dengan membangun kemitraan antar-kelembagaan harus dalam “kerangka”
jejaring kolaborasi kelembagaan tersebut. Jejaring seperti ini, di satu sisi menjadi “media produktif” menuangkan gagasan dan
implementasinya, membangun kerjasama antara kelembagaan secara horizontal dan vertikal dalam konteks PTKLNPSL, di sisi lainnya
dapat berperan sebagai suatu kontrol sosial dalam mengimplementasikan gagasan-gagasan tersebut.
Konsekuensinya, di antara kelembagaan atau stakeholders dalam jejaring tersebut secara periodik dan atas dasar kesepakatan harus
mampu berperan sebagai “pengelola” PTKLNPSL yang dapat “memelihara” jejaring kolaborasi antar-kelembagaan tersebut dengan
memelihara komunikasi antar-kelembagaan baik dalam forum-forum tatap muka dan diskusi maupun melalui jaringan internet dan media
lainnya. Dengan demikian pengembangan kemitraan antar-kelembagaan untuk
PTKLNPSL memerlukan kebijakan-kebijakan dari pemerintahan lokal yang diarahkan upaya membangun kemitraan antar-kelembagaan
dalam komunitas desa; membangun kemitraan antar-kelembagaan antar-komunitas desa dalam kawasan perdesaan; dan membangun
jejaring atau pola hubungan kelembagaan secara vertikal antara kelembagaan komunitas desa dengan kelembagaan-kelembagaan
pelayanan dan pendanaan publik. Diharapkan, dengan tiga strategi seperti ini PTKLNPSL yang dibangun dapat berperan menggerakkan
pertumbuhan ekonomi lokal di kawasan perdesaan secara berkelanjutan.
184
6.3. Sinergi Pembiayaan Pengelolaan dan Pengembangan
PTKLNPSL
Sebagus apapun kelembagaan yang akan dibangun, pada akhirnya semuanya terpulang kepada mekanisme pembiayaan yang sustainable guna mendukung
keberlanjutan kelembagaan dimaksud. Terkait dengan penyediaan dana ini, maka pembiayaan sebaiknya tidak dengan cara membebani TKLN Indonesia baik
langsung maupun tidak langsung, akan tetapi dengan upaya penggalian dana bersama dan memanfaatkan dari sumber-sumber luar seperti pendanaan dari
negara donor berupa hibah dan sejenisnya. Mekanisme lain yang mungkin ditempuh adalah dengan adanya anggaran dari APBN sehingga dana yang ada
merupakan bentuk transfer payment dari satu kelompok masyarakat pembayar pajak kepada TKLN yang memanfaatkan fasilitas kelembagaan ini. Adapun
peluang sumber dana dari pelaksanaan program tersebut antara lain adalah: 1 APBNAPBD; 2 Dana Perlindungan US 15 per TKLN; 3 Remitance; 4
Donatur dari Masyarakat RI di luar negeri; 5 Komunitas TKLN. Berdasarkan studi yang dilakukan di kabupaten kasus, dengan alasan-alasan
keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis, maka dapat diidentifikasi bahwa pengembangan PTKLNPSL dapat dilakukan dalam suatu kawasan perdesaan
yang merupakan “lintas kecamatan”, “lintas kabupatenkota”, dan “lintas provinsi”. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan pemerintah lokal yang
dapat memfasilitasi dibangunnya suatu kerjasama antar-kabupatenkota dalam suatu provinsi dan kerjasama antar-kabupatenkota antar-provinsi. Dalam konteks
ini peranan pemerintah pusat untuk memfasilitasi pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL adalah penting, khususnya dalam memfasiltasi
kerjasama antar-provinsi. Agar PTKLNPSL berlangsung dengan efisien, efektif, dan berkelanjutan
maka diharapkan pemerintah daerah masing-masing kabupatenkota dan provinsi dapat menganggarkan program pengembangan PTKLNPSL tersebut
dalam rencana kerja pembangunan melalui APBN dan APBD. Disamping itu, oleh karena proses pengembangan PTKLNPSL dilaksanakan melalui suatu proses
partisipatif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, maka terbuka peluang bahwa pembiayaan pengelolaan dan pengembangan PTKLNPSL