161 proporsional. Dalam prinsip berbagi ini juga mengandung arti
penyerahan artinya tiap pihak di samping siap memberi juga siap menerima sumberdaya orang lain.
2. Pemberdayaan TKLN
Temuan kajian menunjukkan bahwa hingga saat ini keterlibatan masyarakat di daerah asal TKLN dalam ekologi atas lingkungan
permukiman dan sumberdaya alam mereka masih relatif rendah. Keterlibatan yang relatif rendah tersebut cenderung disebabkan
ketidakberdayaan masyarakat di daerah asal TKLN yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat aksesibilitas warga daerah asal TKLN
tersebut terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan kebijakan pembangunan selama ini. Oleh karena itu, upaya meningkatkan peran
serta masyarakat di daerah asal TKLN tersebut perlu dilakukan dengan proses pemberdayaan melalui pendistribusian kekuasaan atau
power-sharing dari “kelompok-kelompok” yang memiliki akses
kepada masyarakat di daerah asal TKLN yang belum dapat berpartisipasi. Berkaca pada struktur dan kultur masyarakat di Desa
Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, maka agar proses peningkatan kapasitas masyarakat melalui upaya-upaya pemberdayaan berjalan
tanpa menimbulkan pertentangan atau konflik, perlu disediakan landasan bagi kebijakan-kebijakan oleh pemerintah daerah yang
melakukan upaya pemberdayaan warga komunitas perdesaan dengan Positive Sum Perspective
bukan dengan Zero Sum Perspective. Dalam hal ini, proses pemberdayaan ditujukan untuk membantu
masyarakat di daerah asal TKLN agar lebih berdaya dalam pengambilan keputusan dan menentukan tindakan yang akan mereka
lakukan terkait diri, sumberdaya alam dan lingkungan mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam
melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia
miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
162 Pendekatan lain yang dapat juga digunakan adalah melalui pemaknaan
pemberdayaan secara konseptual pada pembahasan tentang bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas di daerah asal TKLN
berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan diri, sumberdaya alam dan lingkungan
sesuai dengan keinginan mereka. Prinsip ini pada intinya mendorong masyarakat untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan
dalam kaitan dengan upaya mengelola sumberdaya alam dan lingkungan mereka, sehingga masyarakat mempunyai kesadaran dan
kekuasaan penuh untuk merancang lingkungan ekologisnya. Selama ini, peranserta masyarakat perdesaan, seperti juga yang
sebelumnya terlihat di Desa Kertajaya Kecamatan Tanggeung, hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya masyarakat hanya
dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat menjadi
terbatasi hanya pada implementasi atau penerapan dari program yang turun dari pemerintah semata; masyarakat dengan demikian tidak
dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya,
partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis”.
Terhadap pengertian partisipasi di atas, seyogyanya dilakukan tindakan korektif dalam kerangka upaya pencarian definisi komunitas
pedesaan khususnya di daerah asal TKLN yang lebih berciri lokal, aktif, dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya
kreatif dalam diri masyarakat sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif, atau seperti yang
dikemukakan oleh Paul 1987 sebagai berikut: “..... partisipasi merujuk pada sebuah proses aktif
dimana kebermanfaatan berkelanjutanlah yang menjadi panduan dan arahan bagi pelaksanaan pembangunan
dan bukannya hanya sebatas manfaat sempit dari pelaksanaan kegiatan dalam jangka pendek saja.”
163 Mengikuti pengertian di atas, maka keterlibatan komunitas perdesaan
di daerah asal TKLN dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman seyogyanya dirintis mulai dari tahap
pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil, dan evaluasi. Partisipasi pada gilirannya akan membangkitkan komunitas
perdesaan untuk mulai membuka mata akan situasi dan masalah, khususnya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang
mereka hadapi serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga akan membantu
masyarakat untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka.
Kemampuan masyarakat di daerah asal TKLN untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan upaya pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan permukiman daerah asal ditentukan dengan mengandalkan potensi yang mereka miliki sehingga pemberdayaan
disini menjadi semangat atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif:
“...... partisipasi berkait dengan pendistribusian kekuasaan dalam komunitas, yang mana kekuasaan
tersebut memungkinkan masyarakat untuk menentukan kebutuhan yang mana dan milik siapa yang akan
dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya yang ada” Curtis, et al, 1978.
Kebijakan yang ada selama ini dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan cenderung menafikan komponen pemberdayaan
padahal pemberdayaan merupakan bagian penting dalam mewujudkan partisipasi komunitas perdesaan daerah asal TKLN yang aktif dan
kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu kepada kemampuan komunitas perdesaan untuk mendapatkan dan
memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumberdaya alam dan lingkungan yang penting. Sintesa antara pengertian pemberdayaan dan
partisipasi akhirnya menghasilkan pengertian:
164 “..... Hal yang sesungguhnya memberi makna bagi
partisipasi secara umum adalah upaya kolektif oleh masyarakat untuk menggabungkan daya mereka beserta
segala sumberdaya yang menurut mereka penting untuk mencapai tujuan yang mereka rancang bagi diri mereka
sendiri. Dalam hal ini partisipasi dipandang sebagai proses aktif dimana peserta terlibat secara aktif dalam
merancang inisiatif dan aksi yang didasarkan pada pemikiran dan kepentingan mereka sendiri dan bukannya
hanya melibatkan mereka semata-mata dalam aksi yang telah dirancangkan dan direncanakan sebelumnya oleh
orang lain” Percy-Okunla, 1986.
Oleh karena itu, pemberdayaan dan partisipasi bagi komunitas perdesaan di daerah asal TKLN dalam perancangan dan pelaksanaan
upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan permukiman merupakan dua konsep yang erat kaitannya dan dalam konteks ini
pernyataan Craig dan Mayo 1995, bahwa: “empowerment is road to participation”
adalah sangat relevan. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah tersendiri
yang berkaitan dengan hakikat dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau lapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu
dan kelompok memiliki daya. Akan tetapi kadar daya itu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling terkait seperti pengetahuan, kemampuan, status, dan gender. Faktor-faktor yang saling terkait tersebut pada
akhirnya membangun pemaknaan yang dikotomis tentang “subyek” penguasa dan “obyek” yang dikuasai. Bentuk relasi sosial yang
dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek tersebut itulah yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan.
Pemberdayaan merupakan proses “pematahan” dari hubungan atau relasi subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya
pengakuan subyek akan kemampuan atau daya yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirkan
dayakuasa flow of power dari subyek ke obyek. Pemberian kuasa, kebebasan, dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberinya
165 kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumber
yang ada merupakan salah satu manifestasi dari mengalirnya daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat
mewujudkan harapannya dengan diberinya pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa individu dan kelompok tersebut memiliki
daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat berwujud suatu upaya dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai
daya yang ada padanya serta dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini
merupakan upaya atau cita-cita untuk mensinerjikan masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari
pemberdayaan adalah “beralihnya fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai obyek menjadi subyek yang baru”, sehingga relasi
sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara “subyek” dengan “subyek” yang lain. Dengan demikian, proses
pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek.
Meskipun “mengalirnya daya atau kuasa” ini merupakan faktor yang penting dalam mewujudkan pemberdayaan, tetapi implementasinya
justru tidak semudah seperti yang diperkirakan serta mengandung banyak perdebatan. Di satu sisi, bila daya kuasa ditinjau dalam
dimensi distributif maka daya kuasa bersifat zero-sum dan sangat kompetitif. Apabila yang satu mempunyai daya kuasa maka yang
lain tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya, berarti pihak lain kehilangan. Dalam hubungan daya seperti ini, aktor yang
berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin
dapat dilakukan dengan mengurangi daya kuasa si pemegang kekuasaan, maka pasti si penguasa akan berusaha mencegah proses
pemberdayaan itu. Sebaliknya yang berlaku pada sisi dimensi generatif. Daya kuasa
dapat bersifat positive-sum, artinya pemberian daya pada pihak lain
166 dapat meningkatkan daya sendiri. Apabila daya suatu unit sosial
secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan
masyarakat di daerah kantong TKLN secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu pemerintah daerah.
Seringkali, mengalirnya daya untuk mengalih-fungsikan komunitas perdesaan, yang tak berdaya, yang semula obyek menjadi subyek ini
tidak dapat terwujud dengan baik. Kondisi tersebut dapat menimbulkan daya tandingan dari obyek yang dipakai untuk
menantang konfigurasi daya yang sudah mapan. Obyek biasanya akan dibantu oleh pihak luar yang berkepentingan sama. Proses tersebut
juga berkaitan dengan penciptaan aset, yaitu menciptakan suatu dasar ekonomi untuk kelompok yang selama ini tersingkir. Asumsinya,
dengan peningkatan taraf hidup melalui penciptaan aset tersebut, lapisan miskin akan memiliki makna keterlibatan yang lebih kuat di
dalam proses pembangunan. Gagasan ini yang menjadi dasar untuk mengubah paradigma berpikir warga TKLN purna dan berbagai
stakeholders lainnya.
Berdasarkan pemikiran di atas maka secara operasional, peningkatan kapasitas warga TKLN purna pada tahap ini “bergerak” dari
pemahaman sisi dimensi generatif, yang merupakan suatu proses perubahan dengan menempatkan kreativitas dan prakarsa warga
TKLN purna yang sadar diri dan terbina sebagai titik tolak. Dengan pengertian tersebut peningkatan kapasitas warga TKLN purna
mengandung dua elemen pokok, yakni: menjadikan warga TKLN purna yang memiliki kemandirian dan partisipasi. Dalam konteks ini,
yang berorientasi memperkuat kelembagaan komunitas perdesaan, maka peningkatan kapasitas warga komunitas merupakan proses
pemberdayaan, yang tahap awal untuk menuju kepada partisipasi warga komunitas khususnya dalam proses pengambilan keputusan
untuk menumbuhkan kemandirian komunitas perdesaan dalam pengembangan PTKLNPSL. Dengan kata lain, peningkatan kapasitas
167 warga komunitas perdesaan dilakukan agar warga komunitas
perdesaan mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian tetapi tetap mampu bersinergi dengan pemangku kepentingan lainnya dalam
pengembangan PTKLNPSL. Berdasarkan fakta empiris dan pemikiran tersebut di atas, maka
kebijakan peningkatan kapasitas TKLN untuk pengembangan PTKLNPSL, dalam hal ini warga komunitas perdesaan, diarahkan
kepada upaya mengimplementasikan proses aktif dan inisiatif yang diambil oleh warga TKLN purna sendiri, dibimbing oleh cara berfikir
mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses lembaga dan mekanisme dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
Implikasi kebijakan adalah pertama, dalam pengembangan PTKLNPSL warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah
dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi dalam PTKLNPSL merupakan proses
pembentukan kekuatan untuk membangunan kawasan perdesaan mereka sendiri. Titik tolaknya adalah memutuskan, bertindak,
kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar dalam pengembangan PTKLNPSL.
Dengan kemampuan warga TKLN purna berpartisipasi dalam PTKLNPSL diharapkan mereka dapat mencapai kemandirian, yang
dapat dikategorikan sebagai “kemandirian material”; “kemandirian intelektual”; dan “kemandirian manajerial” pengembangan
PTKLNPSL. Kemandirian material dalam PTKLNPSL adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar serta
cadangan dan mekanisme keberlanjutan pengembangan komunitas perdesaan. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar
pengetahuan otonom oleh komunitas perdesaan yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi penetrasi top-down
yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Sedangkan kemandirian manajerial adalah kemampuan otonom
warga komunitas untuk merancang dan mengelola kegiatan kolektif
168 agar ada perubahan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan di kawasan perdesaan. Dengan demikian upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam
PTKLNPSL merupakan suatu upaya menumbuhkan peranserta dan kemandirian sehingga masyarakat baik di tingkat individu, kelompok,
kelembagaan, maupun komunitas memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, memiliki akses pada sumberdaya
alam dan kebijakan, memiliki kesadaran kritis, mampu melakukan pengorganisasian dan kontrol sosial dari segala aktivitas
pembangunan komunitas perdesaan.
6.2.5. Rancangan Program