Desa Kertajaya: Satu Daerah Asal TKLN di Kabupaten Cianjur

91 terjadi di satu desa. Proses tersebut membuktikan, bahwa yang semula migrasi disebabkan oleh kemiskinan, saat ini prosesnya yang mengalirkan remitan telah membawa peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup di desa asal.

4.5.1. Desa Kertajaya: Satu Daerah Asal TKLN di Kabupaten Cianjur

Desa Kertajaya terletak di Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat Gambar 4.8.. Luas wilayah desa ini sekitar 301,13 hektar ini terdiri dari 65 hektar lahan permukiman, 35 hektar digunakan untuk ladang, 200,46 hektar dimanfaatkan untuk pertanian dan sisanya 30,67 hektar digunakan untuk peruntukan lainnya. Wilayah administrasi Desa Kertajaya terdiri dari tiga dusun dengan enam RW Rukun Warga dan 24 RT Rukun Tetangga. Adapun batas wilayah Desa Kertajaya adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Desa Tanggeung Kec. Tanggeung Sebelah Timur : Desa Tanggeung Kec. Tanggeung Sebelah Selatan : Kecamatan Karangtengah Sebelah Barat : Desa Cimanggu Kec. Cimanggu Jarak dari Desa Kertajaya ke pusat kecamatan hanya sejauh 6 kilometer yang dapat ditempuh selama setengah jam. Sedangkan jarak tempuh ke pusat Kabupaten Cianjur relatif cukup jauh, yaitu 80 kilometer yang dapat di tempuh dengan minibuscolt selama 3-4 jam. Fasilitas kendaraan umum yang sering dimanfaatkan masyarakat Desa Kertajaya adalah motor ojek dan kendaraan umum angkot. Namun keberadaan kedua jenis kendaraan umum itu pun terbatas karena tidak beroperasi selama 24 jam padahal desa ini terletak tidak jauh dari jalan propinsi yang menghubungkan Kota Kabupaten Cianjur dengan Kecamatan Sindang Barang yang terletak di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa. Keadaan tersebut pada umumnya menimbulkan kesulitan bagi masyarakat setempat dalam menjual hasil pertanian mereka. Kondisi ini diketahui kemudian menimbulkan cukup banyak bermunculannya pedagang pengumpul. 92 Sumber: Cianjur Dalam Angka 2006 Diolah Gambar 4.8. Lokasi Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur Keberadaan infrastruktur di Desa Kertajaya secara umum masih tergolong belum lengkap. Sarana perdagangan berupa pasar masih belum terdapat di desa ini. Masyarakat pada umumnya melakukan kegiatan perniagaannya di pasar yang terletak di pusat kecamatan. Fasilitas kesehatan yang dimiliki desa ini pun belum ada, keadaan yang juga ditemui di desa-desa sekitar. Puskesmas yang memadai hanya dapat ditemui di pusat kecamatan. Namun begitu, kondisi ini sudah lebih baik dibanding 20 tahun yang lalu. Saat ini sudah dapat ditemui praktek bidan dan paraji, sebutan masyarakat untuk dukun beranak. Sarana pendidikan yang dapat ditemui di Desa Kertajaya sudah sampai pada jenjang SMP, sedangkan untuk melanjutkan ke jenjang SMAsederajat, tersedia Madrasah Aliyah di kota kecamatan. Khusus untuk lembaga pendidikan tinggi, seperti umumnya masyarakat di Cianjur Bagian Selatan, hanya tersedia di Kota Kabupaten Cianjur. Masih identik dengan daerah lainnya di Cianjur Bagian Selatan, fasilitas yang cukup lengkap dapat ditemui di Desa Kertajaya adalah sarana peribadatan bagi 93 Umat Islam. Banyak ditemui langgar dan mesjid serta pondok pesantren yang menjadikan keadaan masyarakat Desa Kertajaya tampak religius. Kemiskinan dan Migrasi Mencari Kerja di luar Negeri . Penduduk Desa Kertajaya menurut catatan pemerintah setempat, pada tahun 2006 berjumlah 4.188 jiwa yang terdiri dari 2.040 orang laki-laki dan 2.144 orang perempuan, kondisi yang membentuk rasio jenis kelamin yang cukup berimbang. Namun menurut sejumlah masyarakat, terutama para orang tua, jumlah tersebut tidak tepat karena sebetulnya masyarakat Desa Kertajaya lebih didominasi oleh kaum perempuan. Tampaknya keberadaan mereka yang terletak di pelosok-pelosok desa membuat mereka tidak tersentuh oleh kegiatan pendataan dan sensus. Tabel 4.4. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenis Kelamin Golongan Umur Tahun Jenis Kelamin Jumlah Pria Wanita 0-5 241 245 486 10,9 6-7 39 41 80 1,9 8-13 277 273 550 13,2 14-19 219 223 442 10,6 20-35 539 542 1081 26,1 36-55 543 549 1092 26,1 55 186 180 366 8,8 2040 2144 4184 100 Menurut umur, keberadaan jumlah penduduk Desa Kertajaya banyak terdiri dari balita 0-5 tahun dan angkatan usia produktif 20-55 tahun. Dari piramida penduduk di Tabel 4.4. ditunjukkan Desa Kertajaya termasuk ke dalam kategori desa dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami transisi. Dari 4184 penduduk Desa Kertajaya pada tahun 2006 tersebut, terdapat 186 penduduk yang saat ini sedang bekerja ke luar negeri. Mereka terdiri dari 128 orang bekerja di Arab Saudi dan sekitarnya, 42 orang bekerja di Malaysia, 6 orang bekerja di Singapura dan 4 orang bekerja di Brunei Darussalam. Tidak ada data yang pasti mengenai pertumbuhan jumlah TKLN yang berangkat dari desa ini setiap Sumber: Monografi Desa Kertajaya 2006 Diolah 94 tahunnya. Informasi yang didapat dari Pemerintah Desa Kertajaya hanya menyebutkan bahwa trend pertumbuhannya cenderung meningkat, ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah bus yang digunakan ketika musim pemberangkatan TKLN yang biasanya terjadi setelah Hari Raya Idul Fitri. Pernah terjadi periode sepi pemberangkatan yaitu pada saat terjadi krisis keamanan di Teluk Persia pada Tahun 1990-1991, namun selain periode itu jumlah pemberangkatan TKLN selalu meningkat setiap tahunnya. Ketika hal yang sama ditanyakan kepada Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Cianjur, jawabannya pun tidak berbeda. Data yang ada hanya menunjukkan kondisi empat tahun terakhir, itupun detail yang bisa didapat hanya jumlah dan negara tujuan TKLN untuk satuan kecamatan, dengan Kecamatan Tanggeung dicatat memberangkatkan 422 orang TKLN pada tahun 2006. Angka tersebut, masih menurut Dinas Ketenagakerjaan, hanya yang tercatat secara resmi. Jumlah sebetulnya diperkirakan mencapai sekitar lima ratus orang. Selain menjadi TKLN, jenis mata pencaharian yang umum ditekuni oleh masyarakat Desa Kertajaya adalah bertani. Tercatat ada 970 buruh tani dan 843 petani pemilik lahan. Menurut masyarakat setempat, kepemilikan lahan di Desa Kertajaya sudah banyak berpindah tangan. Pada umumnya pemilik lahan yang berada di desa tersebut berasal dari luar desa, termasuk kota Kecamatan Tanggeung yang jaraknya cukup dekat dari wilayah Desa Kertajaya. Sistem pembagian hasil yang umum digunakan masyarakat di desa ini adalah sistem maro dimana antara pemilik lahan dengan petani penggarap mendapat bagian yang sama. Sedangkan bagi buruh tani upahan, nilai pembayaran yang umum berlaku di Desa Kertajaya adalah Rp 10.000HOK. Gambar 4.9 . Kegiatan Pertanian Masyarakat Desa Kertajaya 95 Peringkat kedua mata pencaharian dominan adalah berdagang dimana terdapat 82 orang warga yang tercatat berprofesi sebagai pedagang. Pada umumnya mereka berdagang kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitarnya. Satu hal yang menarik, pada umumnya para pedagang ini seringkali merangkap profesi sebagai sopir kendaraan umum. Menurut pengakuan mereka, berdagang adalah aktifitas sampingan yang mereka lakukan untuk menambah penghasilan dari kegiatan utama mereka yaitu sebagai sopir kendaraan umum yang melayani rute perjalanan Tanggeung-Cianjur. Di luar kedua jenis mata pencaharian dominan tersebut, masyarakat Desa Kertajaya banyak juga yang menekuni bidang jasa dan pertukangan seperti penjahit, montir, sopir, tukang kayu dan tukang batu. Selengkapnya mengenai gambaran proporsi mata pencaharian penduduk Desa Kertajaya di Gambar 4.10. Komposisi Mata Pencaharian Masyarakat 200 400 600 800 1000 1200 Buruh Tani Petani Pedagangw irasw asta Pegaw ai Negeri Sipil Pensiunan Penjahit Montir Sopir Pramuw isma Karyaw an Sw asta Tukang Kayu Tukang Batu Guru Jumlah Gambar 4.10. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 Diolah 96 Jumlah angkatan kerja Desa Kertajaya mencapai 2.290 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat pengangguran sebesar 863 orang. Dari keseluruhan angkatan kerja yang memiliki pekerjaan, 30 persen diantaranya bekerja sebagai TKLN yang ditempatkan di Arab Saudi, Yaman, Brunai Darussalam, Malaysia dan sebagainya. Mereka yang bekerja sebagai TKLN inilah yang kemudian ketika pulang dapat membangun dan memperbaiki rumah mereka. Rumah mereka ini kebanyakan berjenis rumah tembok yang berciri kota dengan lantai keramik dan bahkan kepemilikan parabola. Mereka inilah yang secara perlahan mengubah gambaran permukiman yang semula kumuh menjadi tampak “kekotaan”. Menurut masyarakat setempat, penguasaan lahan pertanian yang sempit merupakan penyebab utama banyaknya masyarakat Desa Kertajaya yang menjadi buruh tani, atau kalaupun menjadi petani pemilik lahan, luasnya tidak seberapa. Saat ini, pekerjaan sebagai TKLN yang dipandang sebagai solusi yang dapat membawa masyarakat keluar dari kesulitan perekonomian. Lihat gambaran komposisi penguasaan aset lahan di Desa Kertajaya di Gambar 4.11. Komposisi Penguasaan Aset Lahan 100 200 300 400 500 600 700 Tidak memiliki tanah 0,1 Ha 0,1 – 0,2 Ha 0,2 – 0,3 Ha 0,3 – 0,4 Ha 0,4 – 0,5 Ha 0,5 – 0,6 Ha 0,6 – 0,7 Ha 0,7 – 0,8 Ha 0,8 – 0,9 Ha 0,9 – 1 Ha 1 Ha Jumlah Gambar 4.11. Komposisi Penguasaan Lahan Masyarakat Desa Kertajaya Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 Diolah 97 Sebagian besar masyarakat 651 orang memiliki lahan hanya 0,1 hektar dan hanya 15 orang yang mempunyai lahan diatas 1 hektar. Hal ini menunjukkan adanya pemusatan penguasaan lahan yang membuat sempitnya peluang mata pencaharian pertanian untuk berkembang. Umumnya masyarakat mengusahakan sawahnya dengan sistem dua kali tanam setahun diselingi periode penanaman palawija yang biasanya berupa jagung atau kacang-kacangan. Meski ada kecenderungan pemusatan penguasaan lahan pada satuan individu, namun apabila melihat secara umum pada satuan kawasan desa, jumlah lahan pertanian mengalami peningkatan signifikan selama delapan tahun terakhir. Jumlah lahan pertanian meliputi sawah irigasi, sawah tadah hujan, ladang, kebun, tambak dan hutan rakyat meningkat dari 300 hektar pada tahun 1998 menjadi 364 hektar pada tahun 2006. Kebanyakan dari jumlah lahan pertanian baru ini digunakan untuk membuka hutan rakyat. Hal ini terkait erat dengan pertumbuhan industri meubel furnitur yang tumbuh pesat di Desa Kertajaya. Kebutuhan akan kayu sebagai bahan baku meubel membuat hutan kayu ini berkembang cepat. Kayu yang umumnya ditanam adalah jenis albasia yang umur tanamnya pendek sehingga dapat cepat menghasilkan. Gambaran trend peningkatan luasan lahan pertanian Desa Kertajaya disajikan pada Gambar 4.13. Gambar 4.12. Pertanian Sebagai Peruntukan Utama Penggunaan Lahan Masyarakat Desa Kertajaya 98 Sa w ah Be rir iga si Ha Sa wa h Ta dah H uj an Ha Ko lam Ta m ba k Ha Ke bu n La da ng Ha Hu ta n Ra kya t H a 1998 2006 224 6 42 92 202 4 46 58 202 16 4 38 40 50 100 150 200 250 1998 2002 2006 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Kertajaya masih relatif rendah. Hanya 8 orang yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana, 11 orang hingga jenjang diploma, sementara sisanya bervariasi mulai dari tidak tamat SD hingga tamat SLTA. Bahkan jumlah penduduk yang tidak tamat SD mencapai 213 orang. Menurut masyarakat setempat, kondisi ini umumnya diakibatkan kurangnya wawasan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Daerah Cianjur Selatan secara umum menurut masyarakat Desa Kertajaya berada dalam kondisi relatif terisolir. Selain karena akses jalan ke daerah yang lebih maju Cianjur Kota atau Bandung cukup jauh dan kondisinya jelek, akses terhadap informasi pun tidak begitu mudah. Televisi baru dapat dinikmati masyarakat pada pertengahan tahun 90-an bersamaan dengan masuknya listrik ke daerah-daerah terpencil di Cianjur Selatan termasuk kawasan Kecamatan Tanggeung. Selain itu, sarana pendidikan yang tidak memadai sebagaimana dijelaskan sebelumnya juga membuat tidak tersedianya pilihan bagi masyarakat untuk melanjutkan sekolah, khususnya jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun, seperti umumnya daerah lain di Cianjur Selatan, meskipun tingkat pendidikan umum masyarakat relatif masih rendah tapi hal sebaliknya ditemui untuk pendidikan agama. Hal ini tidak lepas dari peran pondok-pondok pesantren Gambar 4.13. Trend Pertambahan Luas Lahan Pertanian di Desa Kertajaya Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 Diolah 99 Sumber: Data Monografi Desa Kertajaya 2006 Diolah yang banyak sekali dijumpai. Selengkapnya mengenai kondisi pendidikan masyarakat Desa Kertajaya disajikan pada Gambar 4.14. Jumlah 100 200 300 400 500 Tidak tamat SD SD Tidak tamat SLTP SLTP Tidak tamat SLTA SLTA D1 D2 D3 S1 Jumlah Bila dibandingkan dengan 24 kabupaten di Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Cianjur memang memiliki nilai terendah dalam mengenai partisipasi warga dalam mengikuti pendidikan dasar Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 2007. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini dapat terjadi. Salah satunya adalah akses pendidikan yang terbatas, semisal jumlah gedung sekolah dan sarana prasarana transportasinya. Gambaran umum keadaan pendidikan di Kabupaten Cianjur ini dapat dijadikan gambaran mengenai keadaan pendidikan di Kecamatan Tanggeung yang masih membutuhkan perhatian lebih. Data yang ada mengenai aksesibilitas penduduk Kabupaten Cianjur terhadap saran pendidikan juga menunjukkan bahwa nilai aksesibilitas penduduk terhadap sarana pendidikan merupakan yang terendah dari seluruh kabupaten dan kota se-Jawa Barat Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 200. Nilai yang didapat Kab. Cianjur hanya mencapai 7. Bandingkan dengan nilai rata-rata Propinsi Jawa Barat yang mencapai 45 dari total 100. Gambar 4.14. Komposisi Masyarakat Desa Kertajaya Berdasarkan Jenjang Pendidikan 100 Provinsi Jawa Barat perlu dicatat menjadi provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah BPS, 2007. Dengan keadaan yang demikian, tidaklah mengherankan melihat kondisi penduduk di Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung pada umumnya. Sebagian besar mereka termasuk keluarga miskin. Dengan segala keterbatasan ini tidak heran apabila Indeks Pembangunan Manusia IPM di Kabupaten Cianjur sendiri digolongkan rendah dengan nilai sekitar 67. Padahal nilai IPM Propinsi Jawa Barat sendiri mencapai 71 Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 2007. Rendahnya nilai IPM ini bisa menjadi indikator terbatasnya kualitas SDM yang dimiliki Kab. Cianjur bila dibandingkan dengan rata-rata Propinsi Jawa Barat. Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan yang dihadapi oleh masyarakat, dan keberhasilan dari TKLN yang pulang dari bekerja di luar negeri menjadikan bekerja ke luar negeri menjadi idaman hampir seluruh angkatan kerja di Desa Kertajaya. Aliran orang pergi dan pulang ke dan dari luar negeri kemudian menjanjikan banyak perubahan dan harapan. Remitan dan Perbaikan Kesejahteraan. Pada umumnya uang remitan yang dibawa hasil kerja di laur negeri, pertama kali digunakan penduduk untuk membangun rumah. Ketika mereka telah memiliki rumah, uang remitan tersebut ada yang digunakan untuk dijadikan modal usaha, seperti membeli bibit pohon kelapa dan ditanam di lahan-lahan yang dipunyai agar hasilnya dapat dipetik pada masa depan. Menurut Bapak IN 48 tahun pohon kelapa semakin banyak dari tahun ke tahun. Bapak IN membeli bibit pohon kelapa dari hasil upah kerja istrinya sebagai TKW di Saudi Arabia 1 . Sebagian besar penduduk yang anggota keluarganya pernah atau sedang bekerja sebagai TKW memiliki sedikitnya satu pohon kelapa. Hasil pohon kelapa ada yang dijual namun juga ada yang digunakan untuk konsumsi sendiri. Beberapa penduduk yang pernah bekerja di luar negeri, juga memanfaatkan halaman rumahnya untuk berkebun buncis, singkong dan jagung. Seperti ibu SK 5 tahun, memiliki kebun buncis, singkong dan jagung di halaman samping rumahnya dari hasil upah kerjanya di Saudi Arabia selama 2 tahun. Dari 1 Bapak IN saat ini memiliki usaha 30 pohon kelapa. 101 hasil kebun inilah kemudian ibu SK menghidupi keluarganya 2 . Sedangkan Ibu SJ lebih memilih untuk membeli sepetak sawah dari hasil upah kerjanya selama 5 tahun di Saudi Arabia. Hasil sawah tidak dijual, namun dikonsumsi sendiri dengan tenaga kerja utama keluarga. Selain memanfaatkan upah kerja untuk menanam pohon kelapa dan membuka kebun, banyak juga penduduk desa yang mencoba beternak kambing atau ayam. Ibu SK selain memiliki kebun buncis, singkong dan jagung, juga memiliki kambing dan ayam. pada saat wawancara dilakukan peneliti sempat mencicipi hasil kebun jagung ibu SK. Ibu QR 55 tahun juga memanfaatkan upah kerjanya untuk beternak kambing. Dari hasil inilah kemudian penduduk Pasir Galih mampu membiayai sekolah anak-anak mereka dan memenuhi kebutuhan keluarga sehari- hari. Uang remitan yang digunakan penduduk saat ini berperan besar untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Dengan uang remitan banyak penduduk yang dapat memanfaatkan halaman rumahnya sekaligus menambah penghasilan keluarga. Dan hal ini sangat membantu bagi rumah tangga yang anggota keluarga mereka tidak lagi bekerja sebagai TKW. Remitan ini juga dapat dipergunakan oleh anggota keluarga mereka untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk memenuhi keluarga, untuk biaya sekolah anak, untuk membelli tanah, dan kebanyakan digunakan untuk memperbaiki rumah mereka. Dalam kasus terakhir, yaitu memperbaiki rumah, bila dilihat di aras rumah tangga, kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk kontribusi remitan terhadap pengelolaan lingkungan. Dengan rumah yang lebih baik, maka kebersihan atau sanitasi rumah pun akan lebih baik, hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk pengelolaan lingkungan. Untuk kasus desa Kertajaya, dari berbagai responden yang telah berhasil diwawancarai, sebagian dari mereka menggunakan uang hasil bekerja di luar negeri untuk memperbaiki rumah, bahkan ada salah seorang responden yang bernama Ibu RS 39 tahun yang bercita-cita ingin membuat septic tank untuk rumahnya. Walaupun cita-cita ini terlihat sepele, tetapi dengan ini sanitasi keluarganya akan lebih terjamin, sekarang ia telah memiliki rumah panggung sendiri beserta TV dan perabotan. Di Desa Kertajaya, ada TKLN yang berhasil di 2 Saat ini suami ibu SK bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak tentu dan sangat minim. 102 luar negeri, tetapi ada pula yang kurang berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan. Mereka yang berhasil di luar negeri dapat mempergunakan uang mereka untuk membenguna rumah atau hanya sekedar memperbaiki. Seperti juga Ibu RS, Ibu MK 44 tahun telah berhasi memperbaiki rumahnya menjadi rumah beton dengan dua lantai yang disertai sistem sanitasi yang baik. Selain dilihat di aras rumah tangga, kontribusi remitan dalam pengelolaan lingkungan juga dapat di lihat di tingkat lingkungan tempat mereka tinggal. Rata- rata para TKLN yang terdapat di Desa Kertajaya mempergunakan uang mereka untuk menyumbang pembangunan tempat peribadatan, yaitu masjid. Mereka tidak secara langsung menyumbang dalam perbaikan lingkungan permukiman, seperti reboisasi hutan yang ada di sekitar mereka, karena hutan tersebut merupakan hutan Perhutani, jadi perbaikan hutan yang dilakukan merupakan hasil dari Perhutani. Kontribusi remitan terhadap pengelolaan lingkungan permukiman di desa Kertajaya muncul karena remitan ini mereka pergunakan untuk usaha mereka di bidang pertanian. Seperti Ibu DH 38 tahun yang mempergunakan uangnya untuk menambah modal usaha pertanian. Dalam pengelolaan pertanian terdapat beberapa usaha untuk menjaga kestabilan lingkungan, hal ini dilakukan melalui pengelolaan irigasi pertanian yang dilakukan oleh mitra cai. Untuk memperoleh jasa dari mitra cai tersebut para petani harus membayar dalam bentuk hasil panen, besarnya pembayaran tergantung dari luasan lahan. Sampai saat ini Ibu DH telah berhasil menambah luas lahan garapannya, hal ini dibantu juga dari remitan yang diperoleh dari anaknya DD yang sampai sekarang masih bekerja di Arab Saudi. Bagi kebanyakan TKLN memang sulit untuk dapat mencapai keadaan seperti Ibu DH tersebut, karena uang yang mereka peroleh hanya cukup untuk biaya perbaikan rumah, konsumsi sehari-hari dan juga untuk biaya pendidikan keluarga. Perbaikan Mutu Lingkungan Permukiman. Dalam berbagai wawancara dengan masyarakat Desa Kertajaya khususnya mereka yang pernah menjadi TKLN di luar negeri, selalu muncul sebuah pertanyaan yang secara umum mendapatkan jawaban seragam: “Apa yang BapakIbu gunakan dengan penghasilan yang didapat dari bekerja di luar negeri?” Pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa penghasilan mereka dari bekerja di luar negeri digunakan untuk salah satu dari tiga hal: membeli tanah, menyekolahkan anak atau membeli 103 sepeda motor. Tetapi selain satu dari ketiga jawaban itu, ada satu jawaban yang selalu muncul: untuk memperbaiki rumah. Dari pengamatan sekilas memang dijumpai bahwa ciri yang paling melekat dari sebuah rumah tangga yang salah satu anggotanya pernah bekerja ke luar negeri adalah dari bentuk bangunan rumahnya. Perbedaan yang paling terlihat dari bentuk rumah seorang TKLN dibanding rumah masyarakat lainnya adalah lantainya yang berkeramik, bangunan yang sudah berdinding sempurna hingga ke atas tidak setengah dinding dan setengah bilik, warna cat rumah yang lebih bervariasi dan umumnya bukan berwarna putih, serta kepemilikan antena parabola. Menurut TKLN itu sendiri, kepemilikan rumah pribadi menunjukkan kesuksesan seseorang setelah bekerja di luar negeri. Gambar 4.15. Rumah Penduduk Yang Bekerja Sebagai TKLN Dapat dikatakan bahwa bentuk dan fasilitas rumah yang dimiliki warga yang bekerja sebagai TKI jauh lebih baik dari warga yang tidak ikut menjadi TKLN. Perbandingan jenis dinding dan lantai rumah antara rumahtangga TKLN dan non-TKLN berdasar survei pada masing-masing 60 rumahtangga menunjukkan bahwa umumnya bangunan rumah TKLN berlantai ubin atau teraso dan berdinding tembok, sedangkan yang bukan TKLN kebanyakan berlantai kayu atau tanah dan berdinding kayu atau bahkan bilik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 4.5. dan 4.6. 104 Tabel 4.5. Perbandingan Jenis Lantai Rumah antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Jenis Lantai Rumah Rumahtangga TKLN Rumahtangga non TKLN Jumlah Jumlah Teraso 6 10.00 0.00 Ubin 46 76.67 1 1.67 Semen 8 13.33 27 45.00 KayuTanah 0 0.00 32 53.33 Total 60 100.00 60 100.00 Tabel 4.6. Perbandingan Jenis Dinding Rumah antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Jenis Dinding Rumah Rumahtangga TKLN Rumahtangga non TKLN Jumlah Jumlah Dinding 52 86.67 11 18.33 Papan 0 0.00 22 36.67 Dinding-Papan 8 13.33 5 8.33 Bilik 0 0.00 22 36.67 Total 60 100.00 60 100.00 Bentuk rumah warga yang tidak menjadi TKLN jauh lebih sederhana. Bangunannya terbuat dari bilik, berlantai tanah, sedikit menggunakan warna- warna cat, dan tidak memiliki parabola. Antena parabola penting bagi warga karena dengan antena biasa mereka tidak dapat menangkap tayangan televisi. Gambar 4.16. Kondisi Fisik Bangunan Rumah Warga Yang Tidak Menjadi TKLN 105 Beberapa warga memanfaatkan pekarangan dan rumah mereka sebagai tempat berusaha. Hal ini juga tampak dari banyaknya warga yang menjadi pedagang. Umumnya mereka yang tidak dapat menyewa kios memanfaatkan rumah dan pekarangannya sendiri. Jenis usaha yang ada cukup beragam, antara lain bengkel, perlengkapan pertanian, jasa penjemuran padi, warung, wartel, dan sebagainya. Hal ini juga menjadi penciri yang membedakan antara rumahtangga TKLN dengan non-TKLN bahwa rumahtangga TKLN umumnya memanfaatkan pekarangan mereka untuk mengusahakan kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Gambarannya disajikan pada Tabel 4.7. Kondisi ini jarang ditemui di rumahtangga non-TKLN. Temuan lapangan menunjukkan bahwa rumahtangga non-TKLN terkendala aspek permodalan untuk mengusahakan hal serupa. Tabel 4.7. Perbandingan Jenis Usaha Sampingan antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Jenis Usaha Sampingan Rumahtangga TKLN Rumahtangga non TKLN Jumlah Jumlah Bengkel 7 11.67 0.00 Toko Saprodi 3 5.00 0.00 WarungToko Kelontong 14 23.33 4 6.67 PenjemuranPenggilingan 4 6.67 0.00 Tidak Berusaha 32 53.33 56 93.33 Total 60 100.00 60 100.00 Gambar 4.17. Aktifitas Warga Yang Memanfaatkan Pekarangan Untuk Usaha 106 Rumah di Desa Kertajaya, dan juga di banyak desa pada umumnya tidak memiliki tata letak yang terencana. Mereka membangun rumah sesuai dengan dimana tanah mereka berada. Namun terdapat beberapa daerah yang menurut kesepakatan warga tidak boleh dibangun apapun. Kawasan ini biasanya berupa hutan lindung yang berfungsi untuk menyimpan air. Disamping itu juga terdapat beberapa tempat yang dikeramatkan oleh warga sekitar. Salah satu ciri dari lingkungan permukiman yang sehat adalah tersedianya sanitasi yang layak bagi warga. Adanya sanitasi ini dapat menjaga kesehatan penghuninya. Bentuk sanitasi berupa adanya kamar mandi, jamban, sumur, dan selokan. Hanya beberapa kepala keluarga saja yang memiliki jamban yang memadai. Sebagian besar rumah penduduk tidak memilikinya. Hal seperti ini memang membahayakan bagi kesehatan warga. Meskipun demikian masih terdapat beberapa rumah yang memiliki jamban sendiri. Gambar 4.18. Aktifitas Warga Membuat Kakus Gambar 4.19. Selokan Warga Sebagai Bentuk Sanitasi 107 Selokan juga merupakan salah satu bentuk sanitasi. Selokan pada permukiman berguna menyalurkan air limbah rumah tangga ke tempat pembuangan. Sebagian besar permukiman warga telah memiliki selokan. Air selokan ini mereka alirkan ke kali yang cukup besar yang melalui desa mereka. Meskipun telah memiliki selokan, namun limbahnya tetap saja bermuara di sungai. Dalam jangka pendek akibatnya belum tampak, namun bila tindakan ini tidak dikendalikan akan mengakibatkan pencemaran air sungai. Sebagai sumber air bersih, warga mengandalkan dari sumber air PAM dan air sumur. Hanya beberapa warga yang mengandalkan air PAM sebagai sumber air bersih. Sebagian besar lainnya mengandalkan air sumur. Namun tidak setiap kepala keluarga memiliki sumur sendiri. Beberapa sumur digunakan secara bersama-sama oleh beberapa kepala keluarga. Selain dari permasalahan di atas, ketersediaan air bersih cukup memadai bagi warga. Gambar 4.20. Aktifitas Warga Membuat Sumur Sistem persampahan merupakan masalah tersendiri bagi warga. Banyak jenis sampah yang dihasilkan dari rumah tangga warga, namun penanganannya sangat sederhana. Warga tidak memisahkan antara sampah organik dan anorganik.Ada tiga perlakuan warga dalam menangani sampah: dibiarkan saja sampai terurai sendiri, dikubur dalam tanah, dibakar, atau dibuang ke sungai. Tidak ada perlakuan khusus antara sampah organik dengan anorganik. Sampah yang dihasilkan tiap rumah tangga dikelola masing-masing. Tidak ada petugas khusus yang mengambil sampah dari warga, layaknya di permukiman perkotaan. Mereka memiliki tempat khusus untuk membuang sampah. Tempat ini berupa 108 galian tanah dengan besar lebih kurang 2 x 2 meter dengan kedalaman dua meter. Seluruh sampah yang dihasilkan dikumpulkan di lubang itu. Bila dirasa sudah cukup banyak, sampah lalu dibakar, atau ditimbun dengan tanah. Meskipun sampah di Kecamatan Tanggeung ini sepintas tidak menimbulkan permasalahan, tidak berarti tingkat kesehatan warga di kecamatan ini telah terjamin. Data yang dimiliki Pemerintah Jawa Barat mengindikasikan persentase penduduk Kabupaten Cianjur yang mengalami sakit masih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya Statistik Pembangunan Jawa Barat 2003 – 2007. Hal yang sama juga terjadi di Kecamatan Tanggeung. Hal ini diperparah dengan keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan yang ada. Salah satu contohnya adalah pusat kesehatan seperti Puskesmas yang hanya terdapat di kecamatan saja. Keadaan ini menyebabkan warga mengalami kesulitan dalam mengakses sarana kesehatan umum. Kondisi bangunan dan lingkungan rumah yang bersih dan sehat juga menjadi penciri rumahtangga TKLN yang membedakannya dengan rumahtangga non-TKLN. Disajikan gambarannya pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Perbandingan Kondisi sanitasi rumah antara rumahtangga responden TKLN dan non TKLN Kondisi Rumah Sehat Rumahtangga TKLN Rumahtangga non TKLN Jumlah Jumlah Sarana MCK dan septic tank 46 76.67 4 6.67 Saluran Pembuangan Air 54 90.00 18 30.00 Sumur 24 40.00 0.00 Tempat Pembuangan Sampah 12 20.00 2 3.33 Ventilasi Udara 60 100.00 45 75.00 Secara umum, antara sebelum dan setelah berangkat kerja, kondisi rumahtangga TKLN memiliki perbedaan kualitas dalam beberapa aspek. Perbedaan-perbedaan tersebut, berdasarkan beragam aspek yang ditemui selama penelitian di lapang disajikan dalam Tabel 4.9. 109 Tabel 4.9. Perbedaan Berbagai Aspek Kehidupan Rumahtangga Antara Sebelum dan Sesudah Menjadi TKLN Aspek Sebelum menjadi TKLN Setelah menjadi TKLN Kondisi Bangunan Rumah Umumnya berlantai kayu atau semen, bahkan tak jarang hanya tanah tanpa pelapis apapun. Dinding kebanyakan berupa anyaman bilik atau papan, tidak menggunakan cat berwarna. Berlantai keramik dengan dinding sempurna yang sudah diplester dan menggunakan cat menjadi ciri paling utama, selain itu biasanya juga sudah dilengkapi dengan pagar dari besi atau alumunium. Kondisi Sanitasi Rumah Sumber air bersih didapat dari sungai atau kali yang juga sekaligus sebagai sarana MCK. Bangunan rumah jarang sekali yang dilengkapi dengan saluran pembuangan limbah rumah tangga, umumnya limbah dibiarkan mengalir begitu saja ke pekarangan, termasuk juga berbagai sampah padat. Bangunan rumah jarang sekali dilengkapi dengan saluran ventilasi udara Membuat dan memakai sumur sebagai sumber air. Sarana MCK permanen berupa kamar mandi, WC dan septic tank juga biasanya dapat ditemukan. Tempatnya beragam, ada yang di dalam rumah namun ada juga yang memisah dari rumah utama. Selokan yang mengalirkan limbah rumahtangga, tempat pembuangan dan pembakaran sampah juga sudah dibangun. Keberadaan Sumber Nafkah Sampingan Jarang yang memiliki sumber nafkah sampingan, umumnya mengandalkan pada hasil pertanian sawah atau menjadi buruh tani bagi yang tidak memiliki lahan Mampu membuat warung kelontong yang letaknya menyatu dengan rumah utama, atau membeli mesin penggilingan dan membuka jasa penggilingan padi. Namun kebanyakan setelah menjadi TKI mampu memiliki sepeda motor sehingga mendapat penghasilan tambahan dari pekerjaan menjadi ojek Kepemilikan aset produksi pertanian Banyak yang tidak memiliki lahan pertanian. Kalaupun ada, biasanya hanya berupa lahan sawah yang umumnya memiliki luasan sempit, jarang yang sampai mencapai luasan 1 hektar Memiliki lahan sawah yang cukup luas, biasanya setelah dua kali berangkat bekerja masing-masing periode selama dua tahun maka luas sawahnya mencapai diatas satu hektar. Untuk hasil pemberangkatan setelah itu, biasanya dipergunakan untuk membeli lahan yang dijadikan kebun kelapa atau tanaman kayu keras sengon, albasia dan jati Kondisi Pendidikan Anak Hanya mampu menyekolahkan anak hingga tingkat SD Mampu menyekolahkan anak hingga ke tingkat sekolah kejuruan yang ada di kota kecamatan atau bahkan ke kota kabupaten Membawa Gagasan Baru Yang Dipamerkan. Selain remitan yang diterangkan di atas, para TKLN juga mendapatkan remitan lain, yaitu remitan 110 sosial. Remitan sosial yang mereka dapatkan kebanyakan adalah kemampuan mereka dalam berbahasa. Setelah mereka kembali ke kampung halaman kemampuan bahasa di tempat kerja, umumnya berbahasa Arab ini kurang mereka rasakan manfaatnya, padahal seperti Ibu MK dan Ibu DH yang bercerita bahwa dengan keterampilannya tersebut mereka telah membantu warga-warga kampungnya untuk menceritakan pengalaman mereka, serta mereka mengajarkan bahasa Arab sehari-hari. Orang-orang seperti Ibu MK dan Ibu DH sebenarnya dapat diberdayakan sebagai tenaga memberikan nasihat kepada para calon TKLN, karena dari pengalam beberapa responden yang lain, pelatihan yang diajarkan di PT kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di luar negeri, seperti contohnya pendidikan bahasa yang diajarkan di PPTKIS kurang sesuai dengan apa yang dibutuhan. Untuk itu selain pendidikan di PPTKIS, dibutuhkan juga tenaga yang berpengalaman soal kehidupan sebenarnya di luar negeri tersebut. Tenaga Kerja Luar Negeri yang pulang ke daerah asal, banyak juga yang mengalami perubahan dari segi perilaku, cara berpakaian, cara bergaul, dan sebagainya. Contoh yang dikemukakan oleh seorang tokoh desa, antara lain: • TKW yang pulang berani untuk memeluk atau cium pipi ketika bertemu kembali dengan sponsor, “Waktu saya ketemu TKW yang “umroh”, mereka yang ketika di sana memakai baju gamis hitam dan penutup muka, langsung menegur saya, membuka penutup mukanya dan langsung memeluk saya. Terus pas di bandara Indonesia, mereka langsung memeluk, cium pipi kiri dan kanan, bahkan sama supir juga kaya’ gitu.” • Dari segi pakaian, TKLN menggunakan pakaian ala Arab Saudi hanya jika berada di Saudi saja. Tetapi ketika kembali ke daerah asal, mereka malah menggunakan pakaian yang disebutkan sebagai pakaian yang mengumbar aurat. • Ada TKW yang menjadi terampil bercakap dengan berbagai bahasa. Hal tersebut karena ketika bekerja para TKLN tersebut sering diajak oleh majikan dalam perjalanan ke berbagai negara. Umumnya TKLN tersebut bekerja di Abu Dhabi, Qatar dan Jordania, sedangkan TKLN yang bekerja di Arab Saudi kurang menguasai bahasa selain bahasa Arab, karena di sana 111 mereka sama sekali tidak boleh keluar rumah untuk bersosialisasi dengan tetangga, bahkan berbelanja harus dengan majikan atau diantar sopir. Gaya hidup baru dari TKLN pulang lebih digambarkan dengan berpakaian yang kebarat-baratan, pemilikan barang-barang yang mahal seperti kamera dan telepon genggam, kemampuan membangun rumah permanen. Meskipun demikian, ada juga tersirat dari simbol-simbol itu, para TKLN membawa pulang sejumlah gagasan baru. Namun, hal tersebut tidak terus berkembang karena sebagian mereka yang pulang cenderung berupaya untuk kembali bekerja ke luar negari, atau malahan memotivasi maraknya warga lain untuk menjadi TKLN. Selain kemampuan berbahasa dan cara berpakaian, ternyata pemberangkatan bekerja ke luar negeri juga mengajarkan pada Tenaga Kerja Luar Negeri hal-hal lain. Dari berbagai wawancara yang dilakukan, didapat bahwa TKLN umumnya belajar mengenai sistem sanitasi rumahtangga yang baik, cara mengoperasikan berbagai alat elektronik rumahtangga khususnya bagi TKLN yang menjadi pembantu rumahtangga, cara mengasuh dan membesarkan anak yang benar khususnya TKLN yang menjadi baby sitter, juga cara memasak berbagai jenis masakan manca negara khususnya TKLN yang menjadi juru masak. Indikasi Pemeliharaan dan Perbaikan Mutu SDA. Temuan yang menarik adalah aliran TKI ke luar negeri yang membawa peningkatan pada aliran uang di daerah asal, diketahui juga berdampak pada pemeliharaan dan perbaikan mutu SDA. Hal yang bermula dari seorang sponsor TKLN yang selalu berhasil memberangkatkan dan memulangkan TKLN berhasil ke rumah di Desa Kertajaya. Sponsor ini lalu selalu “menghadiahkan” kepada TKLN yang pulang satu set perabot rumahtangga. Oleh karena begitu banyak yang ia berangkatkan, maka penyediaan perabot rumahtangga menjadi kegiatan usaha sendiri. Timbul permasalahan kemudian bahwa ternyata sumberdaya kayu sulit didapat di sekitar Kecamatan Tanggeung, bahkan secara umum di seluruh kawasan Cianjur Selatan. Menurut informasi yang didapat di lapangan, konon penjarahan kayu besar- besaran terjadi pada tahun-tahun 1997-2000. Ketika itu, sejumlah besar lahan hutan milik sebuah perusahaan swasta yang berafiliasi pada nama seorang putra 112 penguasa orde baru yang kala itu berkuasa ramai dijarah oleh warga masyarakat. Penebangan liar ini kemudian juga terjadi pada lahan milik Perum Perhutani dan juga hutan rakyat. Hingga akhirnya, saat ini sulit sekali mendapatkan bahan baku kayu dalam jumlah besar dan berkala di Cianjur Selatan. Dari kebutuhan menyediakan bahan baku kayu untuk perabotan tersebut timbul gagasan untuk membeli dan menanami lahan-lahan tidak produktif untuk dijadikan “hutan” penyedia bahan pembuatan perabot rumahtangga. Saat ini, sponsor tersebut telah berhasil menanam ribuan pohon jati di sepanjang kecamatan Kawasan Pagelaran sampai Sindang Barang. Menurut informasi yang didapat dari pemerintah Kecamatan Tanggeung, sponsor ini telah menanami lebih dari 120 hektar lahan kosong bekas penebangan hutan liar yang kemudian ditanaminya dengan kayu sengon dan albasia. Dari 120 hektar lahan tersebut, 52 hektar diantaranya terdapat di Desa Kertajaya. Kemampuannya menanam begitu banyak lahan ini dimungkinkan karena adanya akumulasi dana remitan di tangan sponsor, berupa uang gaji sebesar tiga bulan gaji awal. Sedangkan untuk para TKLN, mereka tidak dapat berkontribusi secara berarti, karena prioritas penggunaan uang mereka adalah untuk memperbaiki rumah, sedangkan untuk usaha yang dapat berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan tidak terlalu mereka prioritaskan, atau meskipun ada namun jumlahnya tidaklah signifikan. Usaha penanaman ini pada akhirnya telah menjaga kualitas lingkungan ketersediaan cadangan air bagi keperluan warga. Desa Kertajaya memiliki cadangan air, berupa Situ Cibadak dengan luas 13 hektar. Dengan pola penanaman yang menghitung keperluan ekonomi dan ekologis maka keberadaan Situ tetap terjaga. Situ ini selain digunakan sebagai sumber air bersih bagi warga, juga digunakan untuk mengairi sawah, baik yang terdapat di Desa Kertajaya maupun juga di desa sekitar mengikuti aliran saluran irigasi yang ada. Selain dirawat oleh warga sekitar, situ ini juga telah mendapat perhatian dari pemerintah dengan dilakukannya pemasangan fasilitas pintu air untuk mengatur irigasi. 113 Gambar 4.21. Situ Cibadak Berkat penanaman di sekitar lingkungan situ, maka kondisi jumlah air dan tinggi permukaan Situ Cibadak hingga kini dapat terus dipertahankan dalam taraf yang mampu mengaliri saluran irigasi yang mengairi persawahan yang ada di Desa Kertajaya dan desa sebelahnya yaitu Desa Cimanggu. Tercatat ada 202 hektar luas lahan sawah irigasi yang terdapat di Desa Kertajaya dan 46 hektar luas sawah irigasi yang terdapat di Desa Cimanggu serta 48 hektar luas lahan sawah yang baru dicetak sejak tahun 2000. Lahan sawah seluas tersebut di atas hingga saat ini masih dapat dialiri dengan cukup oleh air yang berasal dari Situ Cibadak ini. Satu bukti bahwa penanaman lahan di sekitar Situ berdampak signifikan menjaga jumlah air di Situ Cibadak. Berdasarkan temuan kajian di lapangan, secara umum terdapat beberapa perbedaan kondisi baik pada danau maupun hutan di sekitarnya. Perbedaan ini terlihat nyata apabila dibandingkan antara kondisi saat ini dengan kondisi pada periode sebelum tahun 1995. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Kertajaya dan aparat pemerintahan setempat, maka perbedaan tersebut meliputi: 1 luasan lahan hutan yang ada di kawasan kecamatan, 2 jenis dan jumlah tanaman yang ditanam, 3 proses erosi tepian danau, 4 luasan lahan sawah yang 114 dialiri oleh irigasi, dan 5 variasi tinggi air danau. Secara jelas, aspek-aspek tersebut dijelaskan pada Tabel 4.10. Tabel 4.10. Perbedaan Kondisi Hutan dan Danau antara Tahun 1995 dan Tahun 2008 Aspek Tahun 1995 Tahun 2008 Luasan lahan hutan 40 hektar di seluruh Desa Kertajaya data Desa Kertajaya 92 hektar di seluruh Desa Kertajaya data Desa Kertajaya Jenis dan jumlah tanaman Umumnya didominasi kayu albasia, jumlahnya tidak terlalu banyak dan biasanya hanya dibiarkan tumbuh dengan sendirinya Semenjak banyak dilakukan proses pembibitan, mulai ditanami kayu kamper dan jati. Selain itu masyarakat juga banyak yang menanam kelapa. Proses erosi tepian danau Sering terjadi longsor di bibir danau. Pada musim hujan, permukaan air danau cenderung berwarna cokelat karena lumpur. Longsor sudah tidak pernah lagi terjadi. Begitupun pada musim hujan, permukaan air danau tetap berwarna hijau. Luasan lahan sawah yang dialiri Berdasar data Potensi Desa, diketahui bahwa pada tahun 1995 terdapat 202 hektar luas lahan sawah irigasi di Desa Kertajaya dan 46 hektar di Desa Cimanggu Berdasar data Potensi Desa, diketahui bahwa pada sepanjang tahun 1995 - 2008 terdapat pertambahan 48 hektar luas lahan sawah irigasi baru Variasi tinggi air danau Perbedaan tinggi permukaan air danau antara musim kemarau dengan musim penghujan dapat mencapai lebih dari tinggi orang dewasa atau sekitar dua meter Perbedaan tinggi permukaan air danau antara musim kemarau dengan musim penghujan hanya mencapai setengah meter Di lokasi sekitar Situ Cibadak, lahan-lahan yang tadinya terbiarkan kosong kemudian banyak ditanami, sehingga warga juga menjaga ketersediaan air tanah dan mencegah erosi. Beberapa warga menanam pohon jati dan albasia. Sponsor ini kemudian tidak hanya mengembangkan penanaman, tetapi mulai melakukan pembibitan yang bersambungan dengan pengolahan kayu menjadi perabot dan memasarkannya ke TKLN. Pembibitan ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dinas pertanian setempat. Kegiatan ini cukup berkembang dan mulai mendorong juga para pemilik lahan dengan luas diatas satu hektar pada umumnya selain mengembangkan pertanian padi sawah juga menanam berbagai jenis kayu keras. Melalui pengamatan, ditemukan bahwa cukup banyak ditemui usaha pembibitan dan pembudidayaan tanaman albasia dan jati yang umumnya dimanfaatkan untuk industri meubel yang terdapat di kota kecamatan. Pola pembibitan bersama 115 anggota masyarakat lain ini kemudian berkembang menjadi kelembagaan kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik sang sponsor pemilik lahan yang membutuhkan bibit kayu maupun masyarakat yang bermitra dengannya dalam menyediakan bibit. Sang sponsor tidak perlu lagi bersusah- susah mendatangkan bibit kayu yang sebelumnya harus didatangkan dari Jawa Tengah dan Lampung. Sponsor tersebut cukup membeli pada masyarakat di sekitarnya. Masyarakat pun mendapatkan untung karena selain memiliki kegiatan yang produktif secara ekonomis juga karena permodalannya pun mendapat bantuan dari sang sponsor dalam bentuk pinjaman. Pelaksanaan pembibitan ini dilakukan memanfaatkan pekarangan rumah-rumah masyarakat. Baru setelah bibit berusia dua tahun kemudian dipindahkan ke lahan yang siap ditanami. Gambar 4.22. Pohon Jati dan Albasia yang Ditanam 116

4.5.2. Perbaikan Prasarana Desa