Informan 11 “enggak, sehingga kalau dia enggak lapor enggak bisa dipaksa-
paksa yang bisa adalah meminta kesukarelaan”
“nah itu yang dibuat oleh aturan teman-teman di ISPA, nah kemaren
kita menyelasiakan
pencatatan dan
pelaporan diPuskesmas yang peacatatan seperti itu aku minta hilang karena
di catat di bagian umum dari situ datanya diambil boleh nah jangan buat pencatatan lagi nanti tugasnya banyak”
Berdasarkan informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pencatatan dan pelaporan di lakukan di Puskesmas. Akan tetapi untuk
Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, berdasarkan pernyataan informan 8 kasus pneumonia tidak ditemukan di
Puskesmas tersebut dan tidak ada pelaporan dari klinik swasta, sehingga kasus pneumonia balita di Puskesmas tersebut tidak ada.
Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional, berdasarkan pernyataan informan 5 dan 6 mengakui bahwa, Puskesmas
Baktijaya dan Serpong 1 menerima laporan dari klinik swasta jika ada kasus pneumonia balita. Sedangkan menurut Informan ahli kegiatan
pencatatan di puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali dan pelaporan dari klinik swasta bersifat sukarela.
5. Faktor Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan dalam penemuan kasus pneumonia balita berperan penting, karena sebagian besar kegiatan tersebut dilaksanakan
oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Adapun faktor petugas kesehatan yang diteliti yaitu jenis kelamin petugas, pelatihan petugas,
pendidikan petugas, lama kerja dan pengetahuan petugas. Dalam
penelitian ini, untuk mengetahui informasi tersebut, maka peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam dan
kuesioner. Berikut ini adalah penjelasan mengenai faktor petugas kesehatan.
1. Jenis Kelamin Petugas
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tabel 5.1, jenis kelamin petugas penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS semua
petugas adalah perempuan. Sedangkan untuk kepala Puskesmasnya yaitu 2 laki-laki dan 2 perempuan. Sehingga tidak ditemukan adanya
perbedaan terkait faktor jenis kelamin petugas dalam penemuan kasus pneumonia, baik Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
maupun Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang disampaikan informan ahli
bahwa, antara perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan tugas ada perbedaannya. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang
tegas dalam menjalakan suatu program program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau naluri keibuan yang sangat dibutuhkan
bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita. Berikut ini adalah pernyataan informan ahli mengenai hal
tersebut:
Informan 11 “saya tidak tahu persis secara teori tapi sepengalaman saya kalau
laki-laki lebih intens dan tegas gitu, tapi kalau merawat balita lebih teliti kepada perempuan”
2. Pelatihan Petugas
Pada dasarnya pelatihan petugas Puskesmas dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman, sehinga petugas
mempunyai keterampilan yang baik dalam pelayanan kesehatan. Selain itu, jika petugas tidak terlatih, akan kesulitan pada saat
tatalaksana pneumonia terutama untuk mengetahui adanya TTDK Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam. Sedangkan petugas
yang sudah dilatih akan terbiasa dalam menangani kasus pneumonia. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui apakah penangung jawab P2
ISPA dan petugas MTBS sudah terlatih atau tidak, maka peneliti melakukan wawancara mendalam, dengan menanyakan apakah
petugas sudah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita atau MTBS.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan diketahui bahwa, salah satu petugas di Puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional dalam
penemuan kasus
pneumonia sudah
pernah mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan
6, petugas sudah mengikuti pelatihan beberapa kali yang diselanggarakan dinas kesehatan. Oleh karena itu, penemuan kasus di
Puskesmas tersebut dapat mencapai target cakupan yang sudah ditetapkan secara nasional. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan
beberapa informan, yang mendukung informasi tersebut.
Informan 1 “kalau petugas yang di MTBS ya dilatih jadi enggak semua, ini
baru bu leny itu aja sih” “dinas provinsi kalau disini khusus bu Leny saja kan enggak
semua, ya sudah siapa yang dilatih ngajarin temannya, kalau yang dilatih bu Leny setahu saya harusnya juga melatih staf yang lain”
Informan 2 “seharusnya sudah”
“ setahu saya dia senior dan harusnya sudah”
Informan 5 “kalau saya belum, nah itu dokter lia itu dulunya pernah megang
program ISPA diare di situ gintung untuk pelatihan khususnya sepertinya sudah ada Bu euis dulu dia itu sudah pernah dilatih”
“dari dinas , namun masih kabupaten soalnya posisinya itu bu euis dulunya yang megang program ISPA diare, yang baru td itu bu
euis kayaknya dia itu sudah pernah mengikuti pelatihan kalau yang dokter lia itu kayaknya belum tapi dia sudah megang ISPA
diare itu”
Informan 6 “sering”
“ya itu itu aja kayak gitu, penatalaksanaan ISPA dan Diare itu aja paling ya intinya ya apa namanya cara pemeriksaanya gimana itu
itu aja sih saya juga bosen itu itu aja” Berbeda dengan Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional
dalam penemuan kasus pneumonia, petugas P2 ISPA dan petugas MTBS di Puskesmas tersebut, salah satunya ada petugas yang sudah
mendapatkan pelatihan. Sedangkan, Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional, sebagian besar petugasnya belum
mendapatkan pelatihan mengenai pneumonia balita. Hanya terdapat satu petugas MTBS yaitu dokter yang pernah mendapatkan pelatihan
di Puskesmas sebelumnya, dan baru 5 bulan bekerja di Puskesmas
Pisangan. Adapun informasi mengenai hal tersebut, dapat terlihat dari hasil wawancara berikut:
Informan 3 “kalau pelatihan belum, pelatihan kan enggak gampang ya nanti
kalau dinas mengadakan pelatihan lagi gantian” Informan 4
“hemm saya kira di sini petugasnya banyak yang belum di latih
MTBS ya” “belum, disini belum ada yang terlatih. Tapi mereka udah punya
modul- modulnya .kan klasifikasinya sudah ada”
Informan 7 “belum ada”
“belum ada untuk P2 ISPA, kita belum ada”
Informan 8 “Blm pernah, belum ada”
“ya enggak tahu, mungkin dari Dinkesnya”
Informan 9 “pernah dulu perwakilan dari Puskesmas Jombang”
“itu kan pedoman dari Kemenkes”
“pedoman MTBS, semuanya ada ya dari Kemenkes aja sih” Informan 10
“belum ada sejauh ini, belum ada jadi hanya buku pedoman
MTBS” “belum”
“dari dinasnya kayaknya belum mengadakan pelatihan itu” Menurut informan ahli, seharusnya petugas Puskesmas sudah
mendapatkan pelatihan atau setidaknya memahami sebatas mana penemuan kasus pneumonia balita, yaitu dengan melakukan pelatihan
kecil di Puskesmas pada saat loka karya mini. Sehingga tidak diperlu
dana yang besar untuk mengadakan pelatihan tersebut. Berikut pernyataan mengenai pentingnya pelatihan petugas.
Informan 11 “iya, kader saja dilatih, petugas juga seharusnya tahu sebatas
mana penemuan kasus pneumonia balita gitu”
“emang perlu anggaran kalau pelatihan gitu, karena gini pengalaman saya menjelaskan tentang apa penemuan pneumonia
dibahas di loka karya jadi petugas ISPA menjelaskan bagaimana pneumonia balita, loka karya dilaksanakan setiap bulan sebetulnya
pelatihan itu cukup begitu gitu enggak perlu ada hari pelatihan khusus”
Berdasarkan informasi-informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa, banyak petugas yang belum mendapatkan pelatihan mengenai
pneumonia balita bahkan penanggung jawab program P2 ISPA dan petugas MTBS belum pernah dilatih terutama di Puskesmas yang tidak
berhasil mencapai target nasional. Sama halnya dengan kepala Puskesmas, semua kepala Puskesmas belum pernah mendapatkan
pelatihan mengenai pneumonia balita. Menurut informan ahli pelatihan petugas dapat dilakukan pada saat loka karya mini dengan berbagi
pengalaman dari petugas yang sudah pernah mendapatkan pelatihan.
3. Pendidikan Petugas