Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita Petugas Puskesmas

vaksin, dan lebih dari 90 dari kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia sampai dewasa akhir News Medical, 2011. World Health Organization WHO memperkirakan terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74 115,3 juta dari 156 juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44 populasi anak balita di dunia pertahun World Pneumonia Day, 2012. Berdasarkan data WHOUNICEF tahun 2009 dalam “Pneumonia: The Forgotten Killer of Children”, Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri pneumokokus UNICEF, WHO, 2009 .

E. Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita

Cakupan penemuan pneumonia balita adalah jumlah kasus pneumonia balita yang ditemukan di suatu wilayah kerja puskesmas dari estimasi jumlah balita diwilayah kerja puskesmas tersebut. target yang ditemukan adalah 10 dari populasi balita. Adapun perhitungan rumusnya adalah sebagai berikut: Angka cakupan penemuan pneumonia Balita di Indonesia pada tahun 2000, berkisar antara 20-36. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 2000-2004 adalah 86, sedangkan pada periode 2005-2009 pencapaian target cakupan sebesar 46-86, Masih jauh dari target cakupan yang ditetapkan oleh Kemenkes. Tujuan khusus pengendalian pneumonia balita yaitu tercapainya cakupan penemuan pneumonia balita pada tahun 2010 sebesar 60, tahun 2011 sebesar 70, tahun 2012 sebesar 80, tahun 2013 sebesar 90 dan tahun 2014 sebesar 100 Kemenkes, 2012.

F. Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita

Program P2 ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit menular yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA, terutama pneumonia infeksi paru akut pada usia di bawah lima tahun. Program P2 ISPA dikembangkan dengan mengacu pada konsep menajemen terpadu pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan berbasis wilayah. Konsep terpadu meliputi penanganan pada sumber penyakit, faktor risiko lingkungan, faktor risiko perilaku dan kejadian penyakit dengan memperhatikan kondisi lokal Kemenkes, 2012.

1. Arah dan Tujuan Pengendalian ISPAPneumonia

Pelaksanaan program P2 ISPA ditujukan pada kelompok usia Balita, yaitu bayi 0- 12 bulan dan anak balita 1 tahun ≤ 5 tahun dalam bentuk upaya penanggulangan penyakit pneumonia. Pemilihan kelompok balita sebagai target populasi program didasarkan pada kenyataan bahwa angka mortalitas dan morbiditas ISPA pada kelompok umur balita masih tinggi di Indonesia. Di samping itu keberhasilan upaya program P2 ISPA dapat mempunyai daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di Indonesia Kemenkes, 2012. Dengan menitikberatkan pelaksanaan upaya pada penanggulangan penumonia maka program P2 ISPA dapat disebut sebagai program P2 ISPA untuk penanggulangan Balita Rita, 2002.

2. Tujuan dan Sasaran

a. Tujuan Umum Tujuan umum pengendalian penyakit ISPA adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia. b. Tujuan Khusus 1 Pengendalian Pneumonia Balita a Tercapainya cakupan penemuan balita sebagai berikut tahun 2010: 60, tahun 2011:70, tahun 2012:80, tahun 2013: 90, tahun 2014: 100 b Menurunkan angka kematian pneumonia balita sebagai kontribusi penurunan angka kematian bayi dan balita, sesuai dengan tujuan MDGs 44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup dan indikator nasional angka kematian bayi 34 menjadi 23 per 1.000 kelhiran hidup. 2 Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah. a Tersusunnya dokumen rencana kontijensi kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014. b Tersusunnya pedoman dan petunjuk pelaksanaan penanggulangan pandemi influenza pada akhir tahun 2014. c Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza pada akhir tahun 2014. d Tersusunya pedoman latihan Exercise dalam kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza pada akhir tahun 2014. 3 Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di rumah sakit dan puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun 2014. 4 Faktor risiko ISPA Terjalinnya kerjasamakemitraan dengan unit program atau institusi yang kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya pneumonia Kemenkes, 2012. c. Sasaran 1 Pengendalian Pneumonia Balita a Balita ≥ 5 tahun 2 Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah. a Pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan terkait di pusat dan daerah. b Unit-unit esensial, swasta, media massa serta lembaga swadaya masyarakat. 3 Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun a Kelompok umur ≥ 5 tahun di fasilitas pelayanan kesehatan. 4 Faktor risiko ISPA a Lintas program dan lintas sektor b Masyarakat Kemenkes, 2012.

3. Kebijakan dan Strategi Program

a. Kebijakan Untuk mencapai program penemuan kasus pneumonia maka ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut: 1 Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat untuk membangun komitmen dalam pencapain tujuan pengendalian ISPA. 2 Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3 Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana pnemonia Balita sesuai dengan standar disemua fasilitas pelayanan kesehatan. 4 KIE pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. 5 Ketersediaan logistik pengendalian ISPA menjadi tanggung jawab pusat dan daerah. 6 Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui kerjasama dan jejaring dengan lintas program, lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah lintas nasional maupun internasional. 7 Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan sumber daya, pembinaansupervisi, sistem pemantauan dan evaluasi program serta sosialisasi pemberdayaan masyarakat. 8 Autopsi verbal dilakukan dalam rangka menentukan penyebab kamatian Balita. 9 Penyusunan rencana kontijensi kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza semua tingkat. 10 Rencana pengendalian pneumonia disususn berbasis bukti evidence based Kemenkes, 2012. b. Strategi Strategi pengendalian ISPA di Indonesia adalah sebagai berikut: 1 Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan disemua tingkat dengan melaksanakan advokasi dan sosialisasi pengendalian ISPA dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan global. 2 Penguatan jejaring internal dan eksternal LPLS, profesi, perguruan tinggi, LSM, ormas swasta, lembaga internasional, dan lain-lain. 3 Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif. 4 Peningkatan mutu pelayanan melalui ketersediaan tenaga terlatih dan logistik. 5 Peningkatan peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia balita dan pencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan. 6 Pelaksanaan autopsi balita di masyarakat. 7 Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza melalui penysusunan rencana kontijensi disemua jejaring, latihan exercise, penguatan surveilans dan penyiapan sarana prasarana. 8 Pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap dengan sistem komputerisasi berbasis web. 9 Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan berkala. 10 Evaluasi program dilaksanakan secara berkala Kemenkes, 2012.

4. Kegiatan Program P2 ISPA

Kegiatan program P2 ISPA yang harus dilakukan berdasarkan buku pedoman pengendalian ISPA adalah sebagai berikut Kemenkes, 2012: a. Advokasi dan sosialisasi b. Penemuan dan tatalaksana pneumonia balita, kegiatannya antara lain: penemuan penderita pneumonia, perkiraan jumlah penderita pneumonia balita perkiraan pneumonia balita, target penemuan penderita pneumonia dan tatalaksana Pneumonia balita c. Ketersediaan Logistik d. Supervisi e. Pencatatan dan pelaporan f. Kemitraan dan jejaring g. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia h. Pengembangan program i. Autopsi verbal j. Monitoring dan evaluasi

5. Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS

MTBS singkatan dari Manajemen Terpadu Balita Sakit atau Integrated Management of Childhood Illness IMCI dalam bahasa Inggris adalah suatu pendekatan yang terintegrasiterpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-5 tahun balita secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatancara menatalaksana balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak balita di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti puskesmas, Pustu, Polindes, Poskesdes, dan lain-lain Depkes, 2008. Kegiatan MTBS memliliki 3 komponen khas yang menguntungkan yaitu: a. Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana balita sakit petugas kesehatan non-dokter yang telah terlatih MTBS dapat memeriksa dan menangani pasien balita b. Memperbaiki sistem kesehatan banyak program kesehatan terintegrasi didalam pendekatan MTBS c. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan balita sakit berdampak meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan Direktoran Bina Kesehatan Anak, 2009.

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia

Menurut Kemenkes 2012 Rendahnya angka cakupan penemuan kasus pneumonia Balita disebabkan karena sumber pelapoan rutin terutama berasal dari puskesmas, hanya beberapa provinsi dan kabupatenkota yang mencakup rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. penyebablainnya yaitu program deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian besar tenaga belum terlatih, serta kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupatenKota ke provinsi Kemenkes, 2012. Cakupan penemuan penderita pneumonia di puskesmas berhubungan dengan beberapa faktor diantaranya yaitu faktor petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di puskesmas, faktor sarana penunjang kegiatan program P2 ISPA berupa ketersediaan sound timer untuk mendiagnosa pneumonia, buku pedoman pelaksana program P2 ISPA, bagan tatalaksana penderita ISPA, media untuk penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu balita yaitu berupa poster dan lembar balik flip chart, ketersediaan obat- obatan untuk penderita ISPA serta kegiatan pemantauan program P2 ISPA yaitu berupa supervisi yang dimaksud untuk memeriksa kegiatan pelaksanaan program apakah telah sesuai dengan yang telah digariskan oleh kebijaksanaan program Dharoh, 2013. Dari penjelasan sebelumnya dijelaskan bahwa penemuan pneumonia berhubungan dengan beberapa faktor, salah satunya adalah petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan atau hasil dari kinerja petugas. Menurut Stephen P. Robbins 1986 yang dikutif oleh I Gusti Agung Rai 2008 bahwa kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama. Pada pihak lain Ahuya 1996 dalam kutipan yang sama, menjelaskan kinerja adalah cara perseorangan atau kelompok dari suatu organisasi menyelesaiakan suatu pekerjaan atau tugas. Dari kedua istilah tersebut terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada dua hal yaitu proses dan hasil yang dicapai. Maka berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang berhubungan dengan kinerja. Gibson 2006 menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Diagram skematis yang mempengaruhi perilaku dan kinerja seperti pada gambar berikut: Gambar 2.1 Teori perilaku dan kinerja Sumber: Gibson 1987 dalam Gibson 2006 Faktor Individu 1. Kemampuan dan keterampilan - Mental - Fisik 2. Latar belakang - Keluarga - Tingkat sosial - Pengalaman 3. Demografi - Umur - Etnis - Jenis kelamin Perilaku individu apa yang dikerjakan Faktor organisasi 1. Sumber daya 2. Kepemimpinan 3. Imbalan 4. Struktur 5. Desain pekerjaan Faktor Psikologis 1. Persepsi 2. Sikap 3. Kepribadian 4. Beban kerja 5. Motivasi Kinerja hasil yang diharapkan Teori dari Gibson tersebut menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yakni variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Variabel individu terdiri dari subvariabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi, subvariabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai hubungan tidak langsung dengan perilaku dan kinerja. Variabel psikologis terdiri dari subvariabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut gibson banyak dipengaruhi keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur. Berdasarkan teori Gibson tersebut Yaslis Ilyas 2002 menyatakan dalam kinerja teori, penilaian dan penelitian, ketiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja pada akhirnya akan berpengaruh pada kinerja personal. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas. Menurut Notoatmodjo 2003 dalam Tangkilisan 2005, bahwa kinerja tergantung pada ability kemampuan pembawaan, capacity kemampuan yang dapat dikembangkan, help bantuan untuk terwujudnya performance, incentive insentif material maupun non material, environment lingkungan dan evaluation evaluasi. Berdasarkan beberapa teori tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan pneumonia oleh petugas puskesmas adalah berkaitan dengan teori kinerja di atas. Menurut penelitian Nurcik 2002, dengan menggunakan teori Gibson didapatkan hasil penelitian yaitu, ada hubungan yang kuat dan bermakna secara sendiri-sendiri antara, pelatihan OR=6,26 P=0,000; 95 CI 2,20-17,87, sarana penatalaksanaan penderita ISPA OR 3,08 ;P=0,033; 95 CI 1,09-9,67, dan supervisi lebih dari 2 kali OR 4,80 ;p=0,001;95 CI 1,76-13,12 dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Peneliti lainnya yang menggunakan kerangka teori Gibson, menunjukkan bahwa 91,67 puskesmas mempunyai cakupan rendah dan beban kerja p=0,012 mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan secara statistik yaitu, pelatihan, pengetahuan, supervisi dan kelengkapan sarana program P2 ISPA Agusman, 2001.

1. Faktor Petugas Kesehatan

a. Jenis Kelamin Menurut Hungu 2007 jenis kelamin seks adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang tegas dalam menjalankan suatu program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja petugas kesehatan Mulyaningsih, 2013. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat ahli yang menyatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dengan jenis kelamin laki-laki dalam kepuasaan kerja. Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbedaan yang konsisten dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi dan sosiabilitas dan kemampuan belajar Rival dan Mulyadi, 2010. b. Pelatihan Petugas Pelatihan menurut Sihula dalam Hasibuan, 2008 adalah suatu proses pendidikan pendek dengan menggunakan prosedur sistematik dan terorganisir sehingga karyawan operasional belajar pengetahuan teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Azwar 2002, tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan sehingga lebih percaya diri dalam menyelenggarakan tugas selanjutnya. Pelatihan merupakan usaha untuk menghilangkan terjadinya kesenjangan gap antara unsur-unsur yang dimiliki oleh seorang tenaga kerja dengan unsur-unsur yang dikehendaki organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki tenaga kerja dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya Notoatmodjo, 2003. Kementrian Kesehatan 2012 menegakan bahwa pelatihan kesehatan dilakukan melalui pelatihan teknis program dan teknis fungsional secara berjenjang disemua tingkat administrasi untuk menunjang profesionalisme. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan peningkatan mutu kualitas pelayanan kesehatan, pelatihan berperan penting untuk peningkatan kualitas. Penelitian Ivantika 2001 di Bandung menyatakan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, memiliki peluang 1,353 kali lebih besar untuk mendapat cakupan program yang lebih tinggi dibandingakn dengan petugas yang tidak mendapat pelatihan. Berbeda dengan penelitian Sonara 2005, Pudjiastuti 2002 menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan yang pernah diikuti petugas kesehatan dengan dengan cakupan yang harus dicapai, dalam hal ini cakupan penemuan pneumonia balita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena selam ini pelatihan yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi tuntutan program semata tanpa mempertimbangkan perencanaan proses belajar mengajar dengan matang serta asas manfaat yang diperoleh. Disamping itu adanya kendala operasional untuk menerapkan hasil penelitian tersebut di lapangan menyebabkan keterampilan yang telah diperolah petugas lama-kelamaan menjadi minimal kembali Sonara, 2005. Dalam program P2 ISPA, pelatihan yang diberikan kepada petugas kesehatan di puskesmas meliputi pelatihan tatalaksana penderita ISPA terintegrasi dengan pelatihan MTBS dan pelatihan manajemen program P2 ISPA Kemenkes, 2012. c. Pendidikan Pendidikan adalah tugas untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, pengertian dan keterampilan dari para personil sehingga mereka lebih dapat berkualitas Notoatmodjo, 2003. Dengan pendidikan, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja profesional, bertanggung jawab, dan produktif. Pengembangan dan peningkatan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan Kemenkes,2010 karena menurut Flippo dalam Hasibuan 2008, pendidikan berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh. Lingkungan disini adalah pelayanan kesehatan yang diartikan sebagai proses dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pernyataan lainnya Hersey dan Blanchard dalam Sinora, 2005 yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal dan non- formal dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan dan berperilaku. Namun demikian, penelitian Ivantika 2001, Sinora 2005 dan Dharoh, dkk 2014 menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan petugas dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Selain itu hasil penelitian Duhri, dkk 2013 menyebutkan bahwa petugas P2TB yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi belum tetntu memilki kinerja yang baik. d. Lama Kerja Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja dapat merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan petugas tersebut dari berbagai segi kehidupan organisasional, misalnya dikaitkan dengan produktivitas kerja siagian, 2002. Menurut wahyudi 2006 pengalaman seorang tenaga kerja utuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut. Pada umumnya, semakin lama orang bekerja maka pengalaman bekerjanya akan bertmbah luas, sehingga orang tersebut akan menjadi semakin terampil dalam melaksanakan pekerjaannya. Dengan demikian, produktivitasnya diharapkan juga akan semakin tinggi. Tetapi lamanya masa kerja tersebut di satu sisi akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerjanya. Hal ini tentu saja tergantung pada kepribadian dan motivasi masing-masing individu. Pada individu yang memilki dedikasi dan etos kerja yang tinggi, maka status lama kerja justru akan meningkatkan kualitas pekerjaanya, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan. Penelitian Ivantika 2001 menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama kerja pengelola P2 ISPA dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Berbeda dengan penelitian Sonara 2005 tidak ada hubungan yang bermakana antara lama masa kerja petugas pelaksana MTBS dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. e. Pengetahuan petugas Pengatahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka overt behavior. Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Proses adopsi perilaku, menurut Rogers dalam Notoatmodjo, sebelum seseorang mengadopsi sesuatu, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan yaitu Notoatmodjo, 2003: 1 Awareness kesadaran, individu menyadari adanya stimulus. 2 Interest tertarik, individu mulai tertarik kepada stimulus. 3 Evaluation menimbang-nimbang, individu menimbang- nimbang tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Pada tahap ini subjek memiliki sikap yang lebih baik. 4 Trial mencoba, individu sudah mulai mencoba perilaku baru. 5 Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap dan kesadarannya terhadap stimulus. Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif, mencakup 6 tingkatan, yaitu: a Tahu know: Tahu dapat diperhatikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. b Memahami comprehension: diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. c Aplikasi application: diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya real. d Analisis analysis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen- komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. e Sintesis synthesis: suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan dan dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f Evaluasi evaluation: berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria tertentu Notoatmodjo, 2007 Dalam program P2 ISPA, petugas kesehatan harus memiliki pengetahuan tentang tatalaksana kasus penderita ISPA dan tentang kebijakan program P2 ISPA, sehingga diharapkan petugas mampu memberikan pelayanan yang baik. Menurut Wawan 2010, peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pengetahuan formal saja, tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan informal seperti mengikuti pelatihan, membaca buku pedoman atau media elektronik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Adnan 2013 bahwa pengetahuan berhubungan dengan keterampilan petugas dalam tatalaksana pneumonia balita. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Duhri, dkk 2013 yang menyebutkan bahwa pengetahuan memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja petugas P2TB.

2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang

Sarana merupakan salah satu perangkat administrasi, yaitu sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan administrasi Azwar,2002. Sarana terdiri dari peralatan, obat dan bahan habis pakai serta dana. Sementara menurut pendapat tokoh lain sarana termasuk dalam elemen struktur yang meliputi bangunan fisik fasilitas dan peralatan. Saran dalam program P2 ISPA untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana kasus penderita meliputi obat, alat bantu hitung, barang cetakan dan buku pedoman. a. Ketersediaan alat diagnostik Ketersediaan sound timer sebagai alat bantu hitung nafas dalam program P2 ISPA sebenarnya sangat diperlukan karena alat tersebut digunakan untuk membantu petugas dalam mengklasifikasikan penderita ISPA dengan tepat melalui penghitungan frekuensi nafas dalam 1 menit. b. Ketersediaan Barang Cetakan Logistik media cetak yang disediakan program P2 ISPA untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi terdiri dari buku pedoman program P2 ISPA, pedoman autopsi verbal, buku tatalaksana penderita ISPA terintegrasi dengan MTBS, buku pedoman ISPA untu kader , poster dan lembar balik. Penelitian Leida dalam Sinora, 2005 menunjukkan bahwa puskesmas yang mempunyai barang cetakan mengenai ISPA berpeluang untuk lebih berkualitas dalam tatalaksana kasus dibandingkan puskesmas yang tidak tersedia barang cetakan mengenai ISPA. Hal ini sejalan dengan penelitian Sinora 2005 menyatakan bahwa, ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan barang cetakan pada puskesmas pelaksna MTBS dengan penemuan penderita penumonia di Kabupaten Cianjur. Besarnya kemungkinan adanya hubungan antara ketersediaan barang cetakan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia ini disebabkan karena barang cetakan berperan penting sebagai salah satu bahan informasi dan bahan acuan dalam tatalaksana kasus. c. Bagan Tatalaksana Bagan tatalaksana yang terpasang diruang periksa yang berisi petunjuk mengenai cara pemeriksaan terhadap penderita dengan batuk dan kesukaran bernapas pada balita, penentuan klasifikasi dan tindakan yang harus dilakukan , akan membantu petugas pada saat menangani kasus ISPA. Rasmuson, 1988, dalam Sinora, 2005. d. Media penyuluhan Media komunikasi, informasi dan edukasi, salah satunya berupa lembar balik merupakan suatu alat komunikasi yang efektif, yang telah dicoba terutama pada negara-negara berkembang untuk perubahan yang positif. Adapun media penyuluhan Elektronik dan Cetak menurut pedoman P2 ISPA adalah tersedianya DVD tatalaksana pneumonia balita, TV spot dan radio spot tentang pneumonia balita, poster, lefleat, lembar balik, kit advokasi dan kit pemberdayaan masyarakat Kemenkes, 2012. e. Media Pencatatan dan Pelaporan Pencatatan dan Pelaporan yang baik, dinilai dari data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan sangat diragukan kebenarannya, oleh karena itu perlu adanya media pencatatan dan pelaporan Rajab, 2009. Adapun macam-macam media pencatatan dan pelaporan menurut pedoman P2 ISPA adalah sebagai berikut Kemenkes, 2012: 1 Stempel ISPA merupakan alat bantu untuk pencacatan penderita pneumonia balita sebagai status penderita 2 Register harian pneumonia 3 Formulir laporan bulanan.

3. Faktor Lain

a. Perencanaan Program

Suatu kegiatan yang dilaksanakan di puskesmas dimulai dengan perencanaan, agar kegiatan yang dijalankan terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan, adapun pengertian perencanaan adalah sebagai berikut, perencanaan menurut Drucker adalah suatu proses yang diorganisasi dan dilaksanakan secara sistematis dengan menggunakan pengetahuan yang ada sesuai keputusan yang telah ditetapkan bersama. Keberhasilan pelaksanaan dapat dilihat dari perbandingan antara hasil yang dicapai dengan target yang telah ditetapkan Herijulianti, dkk, 2002. Sedangkan menurut Goetz, perencanaan adalah kemampuan memilih satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan yang telah tersedia dan dipandang paling tepat untuk mencapai tujuan. Dari berbagai pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkandiputuskan bersama Herijulianti, dkk, 2002. Berdasarkan penelitian Warsihayati 2002 menunjukkan bahwa pembuatan rencana kerja tahunan memberikan pengaruh terhadap cakupan kasus pneumonia balita disuatu puskesmas. Sedangkan penelitian Dharoh, dkk 2014 menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan program dengan penemuan penderita pneumonia balita. Menurut Koontz dan O’Donnel dalam Sukarna 1992 dan Hasibuan 1990 menyebutkan prinsip-prinsipasas perencanaan adalah prinsip membantu tercapainya tujuan, efisiensi dari perencanaan, pengutamaan perencanaan, prinsi pemerataan perencanaan, patokan perencanaan, kebijaksanaan pola kerja, prinsip waktu, tata hubungan perencanaan, prinsip alternatif, prinsip pembatasan faktor, prinsip keterikatan, prinsip flexibilitas, prinsip ketetapan arah, prinsip Perencanaan strategi. Berdasarkan uraian prinsip tersebut, Sukarna 1992 menyimpulkan sebagai berikut: a. Perencanaan merupakan fungsi utama dari pada manajer. Pelaksanaan pekerjaan tergantung kepada baik-buruknya suatu perencanaan. b. Perencanaan harus diarahkan terhadap tercapainya tujuan. Oleh karena itu apabila tujuan tidak tercapai mungkin disebabkan oleh kurang sempurnanya perencanaan. c. Perencanaan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan objektif dan rasional untuk mewujudkan adanya kerja sama yang efektif d. Perencanaan harus mengandung atau dapat memproyeksi kejadian-kejadian pada masa yang akan datang. e. Perencanaan harus memikirkan dengan matang tentang budget, program, policy, procedure, methode dan standar, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

b. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita

Dalam kegiatan pengendalian pneumonia balita, kegiatan penemuan kasus pneumonia balita adalah kegiatan inti. Penemuan kasus pneumonia merupakan salah satu strategi dalam pengendalian pneumonia. Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif maupun pasif. Penemuan kasus secara pasif dilaksanakan diseluruh Unit Pelayanan Kesehatan UPK yang ada dengan melihat data jumlah penderita yang datang untuk berobat ke UPK tersebut Kemenkes, 2012. Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh petugas UPK aktif dilaksanakan oleh petugas dengan mendatangi pasien di wilayah kerja UPK berdasarkan kriteria klinis. Penderita dinyatakan positif berdasarkan gejala klinis kemudian dilakukan konfirmasi dari laboratorium darah dan sputum serta hasil rotgen thorax. Data dari hasil konfirmasi laboratorium rotgen dan pemeriksaan gejala klinis kemudian dikumpulkan yang kemudian dikirim untuk dilakukan analisis dan pelaporan data Handayani, 2012. Penelitian Handayani 2012 yang dilakukan di seluruh puskesmas Kota Semarang menyebutkan bahwa penemuan kasus yang dilakukan puskesmas di Kota Semarang adalah penemuan kasus secara pasif. Selain itu menurut penelitian lainnya yaitu penelitian, Dharoh dkk 2014 menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program dengan cakupan penemuan kasus penderita pneumonia balita. Hal sama juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Marisa 2011 bahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program dengan angka bebas jentik di Kota Semarang. Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut: a. menayakan balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas. b. melakukan pemeriksaan dengan melihat Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam TDDK dan hitung napas. c. melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan unur 2 bulan dan 2 bulan - 5 tahun d. melakukan klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernapas; pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia Kemenkes, 2012.

c. Tatalaksana Pneumonia Balita

Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia. Menurut Hasil penelitian Hidayati dan Wahyono 2011 diketahui bahwa terdapat hubungan antara tatalaksana pelayanan MTBS dengan kejadian pneumonia balita atau penemuan kasus pneumonia. Tabel 2.1 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan Sumber: Kemenkes, 2012 Setelah penderita pneumonia balita ditemukan dilakukan tatalaksana sebagai berikut: a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol, amoksilin selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol dan salbutamol. b. Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2 hari setelah mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan. c. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat Kemenkes, 2012. Tabel 2.2 Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan ≤ 5 tahun Sumber: Kemenkes, 2012

d. Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dan Pelaporan merupakan kegiatan yang harus disperhatikan oleh tenaga kesehatan khususnya epidemiolog dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik bagi individu, keluarga dan masyarakat. Untuk dapat melakukan kegiatan Pencatatan dan Pelaporan dengan baik, maka dibutuhkan data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan sangat diragukan kebenarannya Rajab, 2009. Pengertian Pencatatan dan Pelaporan menurut Kron dan Gray, pencatatan dan pelaporan adalah mengkomunikasikan secara tertulis kepada tim kesehatan lain yang memerlukan data kesehatan atau data epidemiologi secara teratur. Jika disimpulkan pencatatan dan pelaporan mempunyai arti sebagai berikut: a Suatu kegiatan mencatat dengan berbagai alatmedia tentang data kesehatan yang diperlukan sehingga terwujud tulisan yang bias dibaca dan dapat dipahami isinya. b Salah satu kegiatan administrasi kesehatan yang harus dikerjakan dan dipertanggungjawabkan oleh petugas kesehatan khususnya epidemiolog. c Kumpulan Informasi kegiatan upaya pelayanan kesehatan yang berfungsi sebagai alatsarana komunikasi yang penting antar petugas kesehatan Sutomo, 2010. pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan kasus pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan berdasarkan kategori kelompok umur untuk mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian dan pencegahan pneumonia. Data hasil analisis kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan mingguan ke pusat, serta dilakukan umpan balik dan penyebarluasan informasi kepada publik berupa buletin, website dan laporan hasil kegiatan penemuan kasus WHO, 2011 dalam Handayani, 2012.

e. Motivasi Petugas

Motivasi menurut Walgito 2002 adalah kekuatan yang terdapat dalam diri organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suryabrata 2000 menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan. Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan pengertian motivasi yaitu suatu dorongan dalam diri individu karena adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agusman 2001 mengenai cakupan penemuan pneumonia balita, menemukan bahwa faktor motivasi p=0,040 mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Selain itu hasil penelitan Sabuna 2011 dan Dharoh, dkk 2014 menyebutkan bahwa motivasi petugas p=0,020 mempunyai hubungan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita atau tatalaksana pneumonia balita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa motivasi kerja p=0,02 berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas Rosita, dkk, 2013.

f. Kepemimpinan Kepala Puskesmas

Terry dalam azwar, 2002 menyatakan bahwa kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh yang dimilki oleh seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut secara sukarela mau dan bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepemimpinanan yang ditetapkan oleh seorang pemimpin dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong semangat kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal Hasibuan, 2001. Pelaksanaan kepemimpinan cenderung menumbuhkan kepercayaan partisipasi, loyalitas dan internal motivasi para bawahan dengan cara persuasif. Hasil penelitian Sinora 2005, menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepemimpinan pada puseksmas pelaksana MTBS dengan cakupan penemuaan penderita pneumonia balita. Sedangkan hasil penelitian Rosita, dkk 2013 menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan p=0,04 berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas. penelitian ini juga didukung dengan penelitian Ivantika 2001 menyebutkan bahwa kepemimpinan kepala puskesmas p=0,034 mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Selain itu setiap kepala puskesmas mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Adapun gaya kepemimpinan kepala puskesmas yaitu gaya kepemimpinan partisipasi, gaya kepemimpinan konsultasi, gaya kepemimpinan instruksi dan gaya kepemimpinan delegasi. Menurut Thoha 2009 gaya kepemimpinan konsultasi memilki esensi dimana pimpinan dan bawahan saling bergantian dalam hal pemecahan masalah. Pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan instruksi berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa isi perintah, bagaimana cara mengerjakan perintah, bilamana waktu memulai, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya, dan dimana tempat mengerjakan perintah agar keputusan dapat diputuskan secara efektif. Kepemimpinan partisipasi dalam menjalankan fungsi partisipasi, pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Sedangkan kepemimpinan delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang dalam membuat atau menetapkan keputusan Dimyati, 2014. Berdasarkan hasil penelitian Salam, dkk 2013 diketahui bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan instruktif, konsultasi, partisipasi dan delegasi dengan kinerja di puskesmas. Selain itu penelitian Parawangsyah 2012 menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan berdasarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan disiplin kerja.

g. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh Umar, 2002. Berdasarkan hasil penelitian penelitian Warsihayati 2002 menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi di puskesmas tidak memberikan pengaruh terhadap cakupan penemuan kasus pneumonia balita.

H. Pemantauan Wilayah Setempat

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak PWS KIA adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA disuatu wilayah kerja secara terus menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan komplikasi kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir dengan komplikasi, bayi, dan balita. Dengan manajemen PWS KIA diharapkan cakupan pelayanan dapat menjangkau seluruh sasaran di suatu wilayah kerja sehingga kasus dengan pneumonia balita dapat ditemukan sedini mungkin untuk dapat memperoleh penanganan yang memadai Kemenkes, 2010.

1. Kegiatan Surveilans dengan Penemuan Pneumonia

Definisi dan kegiatan PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens. Menurut WHO, Surveilens adalah suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat Kemenkes, 2010. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens ada kaitannya dengan penemuan pneumonia balita, jika kegiatan surveilans sudah optimal dan dilaksanakan dengan baik maka kegiatan penemuan pneumonia dapat mencapai indikator.

2. Peran Kader

Kegiatan PWS KIA atau pelaksanaan surveilans dalam penemuan pneumonia balita, tidak lepas dari peran kader kesehatan disetiap wilayah puskesmas. Kader adalah seorang tenaga sukarela yang direkrut dari, oleh dan untuk masyarakat, yang bertugas membantu kelancaran pelayanan kesehatan Public Health, 2014. Menurut Depkes RI 2003, berbagai peran kader, khususnya pada kegiatan Posyandu, antara lain: 1. Melakukan pendekatan kepada aparat pemerintah dan tokoh masyarakat. 2. Melakukan Survey Mawas Diri SMD bersama petugas yang antara lain untuk melakukan kegiatan pendataan sasaran, pemetaan, serta mengenal masalah dan potensi. 3. Melaksanakan musyawarah bersama masyarakat setempat untuk membahas hasil SMD, menyusun rencana kegiatan, pembagian tugas, dan jadwal kegiatan.

I. Puskesmas

1. Pengertian Puskesmas

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten atau kota UPTD. Puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional dinas kesehatan kabupaten atau kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia Sulastomo, 2007. Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarkan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat Depkes, 2004.

2. Fungsi Puskesmas

Berikut fungsi puskesmas berdasarkan lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128MenkesSKII2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat Depkes, 2004: a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. b. Pusat pemberdayaan masyarakat Puskesmas selalu berupaya agar masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat serta berperan aktif untuk hidup lebih sehat. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab puskesmas meliputi: a Pelayanan kesehatan perorangan b Pelayanan kesehatan masyarakat

3. Upaya Puskesmas

Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni Depkes, 2004: a. Upaya Kesehatan Wajib Upaya kesehatan wajib Puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah: 1 Upaya Promosi Kesehatan 2 Upaya Kesehatan Lingkungan 3 Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana 4 Upaya Perbaikan Gizi 5 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular 6 Upaya Pengobatan b. Upaya Kesehatan Pengembangan Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni: 1 Upaya Kesehatan Sekolah 2 Upaya Kesehatan Olah Raga 3 Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat 4 Upaya Kesehatan Kerja 5 Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut 6 Upaya Kesehatan Jiwa 7 Upaya Kesehatan Mata 8 Upaya Kesehatan Usia Lanjut c. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan masyarakat serta upaya pencatatan dan pelaporan tidak termasuk pilihan karena ketiga upaya ini merupakan pelayanan penunjang dari setiap upaya wajib dan upaya pengembangan Puskesmas Depkes, 2004. Upaya kesehatan pengembangan puskesmas dapat pula bersifat upaya inovasi, yakni upaya lain di luar upaya puskesmas tersebut di atas yang sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovasi ini adalah dalam rangka mempercepat tercapainya visi puskesmas Depkes, 2004.

J. Petugas Puskesmas

Petugas puskesmas yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan penderita penyakit adalah, dokter puskesmas, perawat, dan bidan. Dokter puskesmas yang merangkap sebagai kepala puskesmas, mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai seorang dokter dan manajer artinya tanggung jawab seorang dokter tidak hanya mengobati orang sakit saja, tetapi jauh lebih besar yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan dari masyarakat di dalam wilayah kerjanya. Perawat yang bertugas di bagian Poli umum puskesmas mempunyai tanggung jawab melaksanakan pelayanan pengobatan jalan yaitu memeriksa dan mengobati penderita penyakit menular secara pasif. Bidan puskesmas mempunyai tanggung jawab melaksanakan pelayanan KIA dan KB, salah satu diantaranya yaitu melaksanakan pemeriksaan berkala kepada ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak di puskesmas. Untuk beberapa puskesmas yang kekurangan tenaga perawatnya, maka tenaga bidan seringkali di tempatkan di bagian poli umum puskesmas begitu pula sebaliknya. Petugas pemegang program P2 ISPA adalah petugas paramedis yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas termasuk pencatatan dan pelaporan P2 ISPA.

K. Kerangka Teori