Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEMUAN KASUS PNEUMONIA BALITA DI PUSKESMAS KOTA TANGERANG

SELATAN TAHUN 2015

SKRIPSI

Oleh:

Lina Sri Marlinawati (1111101000122)

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2015

Lina Sri Marlinawati NIP. 1111101000122


(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, September 2015

Lina Sri Marlinawati, NIM : 1111101000122

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015

xxi+ 188 halaman, 13 tabel, 10 gambar, 7 lampiran

ABSTRAK

Pneumonia adalah penyebab kematian balita tertinggi di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lainnya seperti AIDS, malaria, campak sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian dengan target cakupan penemuan kasus pneumonia balita. Pada tahun 2014, dari 25 puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan, hanya 3 puskesmas yang mampu memenuhi target penemuan kasus pneumonia balita (100%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif pendekatan

mixed methods (kualitatif dan Kuantitatif) dengan desain studi kasus. Informan dalam penelitian adalah kepala puskesmas, penanggung jawab program P2 ISPA petugas MTBS serta informan ahli. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen yang dilakukan di Puskesmas Kota Tangerang Selatan yaitu puskesmas yang berhasil mencapai target penemuan kasus pneumonia balita (Puskesmas Baktijaya dan Serpong 1) dan puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional (Puskesmas Kranggan dan Pisangan).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas yaitu penyusunan rencana program, kegiatan program, pencatatan dan pelaporan, faktor petugas kesehatan (pelatihan, pengetahuan, dan lama kerja petugas), motivasi kerja, kepemimpinan kepala puskesmas, ketersediaan media cetak dan media penyuluhan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh dengan penemuan kasus pneumonia yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, tatalaksana MTBS dan kegiatan evaluasi.

Simpulan, agar cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas kota Tangerang Selatan mencapai target, dapat dilakukan dengan meningkatkan pembinaan dan pelatihan kepada penanggung jawab P2 ISPA dan petugas MTBS mengenai pengetahuan pneumonia balita. Puskesmas juga


(4)

perlu melakukan kegiatan penemuan kasus secara aktif dengan melakukan pelacakan kasus dan kunjungan rumah penderita pneumonia balita.

Kata kunci : Pneumonia balita, Cakupan penemuan, Puskesmas Daftar Bacaan : 59 (1987-2014)


(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE SCHOOL OF PUBLIC HEALTH

DEPARTEMENT EPIDEMIOLOGY Undergraduate Thesis, September 2015 Lina Sri Marlinawati, NIM : 1111101000122 xxi+ 188 pages, 13 tables, 10 images, 7 attahments

Factors That Affecting The Discovery Of Pneumonia Cases in Toddlers At Public Health Center South Tangerang City 2015

Abstract

Pneumonia is the highest cause of toddlers mortality in the world, more than any other diseases such as AIDS, malaria, and measles, so it is necessary to control with a target coverage of pneumonia cases in toddlers. In 2014, 25 public health centers in South Tangerang, only 3 health centers that were able to meet the target of the discovery pneumonia cases in toddlers (100%). This study aims to determine the factors that influence the findings pneumonia cases in toddlers in Public Health Centers South Tangerang City.

This research is a descriptive epidemiological mixed methods approach (qualitative and quantitative) with a case study design. Informants in this study was the head of the clinic, person in charge of P2 ISPA program IMCI officer and expert informants. Data collected by interview, observation and document review conducted in Public Health Center South Tangerang City to reach the target of the discovery infant pneumonia cases (PHC Baktijaya and Serpong 1) and Public health centers were not successful (PHC Kranggan and Pisangan).

Results showed that the factors that influence the discovery of pneumonia cases in toddlers at the public health center are programming, activities program, recording and reporting, health workers factors (training, knowledge, and working time), motivation, the head public health center’s leadership, availability of print and reach media. While the factors that do not affect the discovery of pneumonia cases are gender, education level, management of IMCI and activies evaluation.

The conclusion is, in order to th coverage of pneumonia cases in toodlers at South Tangerang health center reaches the target, it can be done by improving guidance and training to the person in charge of P2 ISPA and IMCI officer on toddler pneumonia knowledge. PHC also need to conduct a finding case actively by doing cases tracking and visit the home of the toddlers who is suffering from pneumonia..


(6)

(7)

(8)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk Pencipta-ku. Allah SWT, yang selalu

memberikan apa yang hamba-Nya butuhkan tanpa diminta.

Juga untuk kedua orangtua dan keluarga tercinta, tanpa kasih dan sayang

mereka, aku takkan mampu menjadi seperti sekarang.

Serta untuk para Pejuang Toga yang terus berusaha melawan rasa kantuk dan

malas dalam mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan agar lolos ketahapan

kehidupan selanjutnya.

≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈

(5) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan. (6) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Lina Sri Marlinawati

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 06 Januari 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 22 Tahun

Agama : Islam

. HP : 089646455576

Alamat : Kp. Kebon Kelapa No. 19, Rt. 04/ 006, Ds. Buaranjati, Kec. Sukadiri, Kab. Tangerang, Banten

Alamat Email : lina.srimarlinawati@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. S1 Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta :2011-2015

2. SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang :2008-2011

3. MTs. Daarul Muqimien Buaran Jati Tangerang :2005-2008

4. SD Negeri 01 Buaran Jati Tangerang :1999-2005

5. TK Dharma Aeni Pekayon Tangerang :1997-1999

Riwayat Organisasi :

1. Anggota PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia) ESA (Epidemiology Students Association) periode 2013-2014

2. Anggota Divisi Syiar, Komisariat Dakwah FKIK periode 2012-2013 3. Anggota di Lembaga Dakwah Kampus UIN Jakarta periode 2011- 2012 4. Sekertaris Departemen Pendidikan Ikatan Remaja Masjid Nurul Falah periode

2009-2010


(10)

KATA PENGANTAR

ةتاكربو ها ةمحرو كي ع اسلا Alhamdulillaahi robbil „aalamiin, segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan ridho sehingga melancarkan proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan”.

Terdapat beberapa hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini, namun atas Rahmat-Nya bantuan berbagai pihak akhirnya tulisan ini dapat diselesaikan. Atas segala bantuan tersebut, pada kesempatan kali ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. H. Arif Sumantri, S.K.M., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Minsarnawati Tahangnaca, SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing 1 dan Penanggung Jawab Peminatan Epidemiologi, yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan berdiskusi. Terima kasih ibu, semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu.


(11)

4. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku dosen pembimbing 2 skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan serta bimbingannya sehingga tugas akhir ini selesai. Terima kasih ibu, semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu.

5. Kedua orang tua, Ibu Marwati dan Bapak Nurali, kasih sayang dari beliau begitu menginspirasi dan menjadi motivasi begitu berharga bagi penulis. Aldi Rojali dan Taufik Rozki yang selalu memberikan semangat kepada penulis, untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Ibu Hoirun Nisa, Ph. D selaku dosen peminatan epidemiologi,

7. dr. Sholah Imari selaku dosen peminatan epidemiologi dan informan ahli dalam penelitian ini.

8. Kepala Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1, Kranggan dan Pisangan, terima kasih sudah diberikan izin penelitian.

9. Para Informan di Puskesmas Bakti Jaya, Serpong 1, Kranggan dan Pisangan, terima kasih untuk waktu dan informasi yang sudah diberikan. 10.Putri Anggraeni (pipi), terima kasih untuk bantuannya dari mulai magang, pengumpulan data sampai penyusunan skripsi. Terima kasih banyak pi.

11.Putri Widyastuti (PW) dan Sukma Mardiyah, terima kasih banyak untuk koreksiannya di skripsi ini, sehingga penulis mengetahui begitu banyak kesalahan dalam penulisan

12.Teman-teman Kostn Balans, Fuji, Annisa Azhima, Risa, Ka Omi, Dani, terima kasih atas motivasi dan dukungannya selama ini.


(12)

13.Teman-teman Epideiologi 2011: Ila, Kiki Iis, Rini, Upit, Nayla, Lia, Desy, Fica, Dina, Denok, Safira, Anjar, Lela, Siti, Kemal, Karim, Falah, Dea yang selalu menghibur, memberi dukungan lewat doa atau berbagai bantuan.

14.Sarah Ajeng, terima kasih atas koreksian abstrak bahasa inggris.

15.Lusi, Uus, Syifa, Iis, Isti yang selalu menyediakan waktu untuk berbagi suka dan duka.

16.Kak Lutfi, Kak Tika, Kak Nida dan Kak Putri, terima kasih atas arahan dan sarannya.

17.Pejuang toga, teman-teman Kesmas 2011 serta semua pihak yang tidak dapatdisebutkan satu persatu.

Penulis menyadari, skripsi ini belum mencapai kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik yang membangun dari Pembaca. Semoga tulisan ini bermanfaat.

ةتاكربو ها ةمحرو كي ع اسلاو Jakarta, September 2015


(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... v

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 7

Pertanyaan Penelitian ... 8

Tujuan ... 9

Manfaat ... 11

Ruang Lingkup ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

Definisi ISPA dan Pneumonia ... 13

Hubungan ISPA dan Pneumonia ... 14

Klasifikas dan Tatalaksana Pneumonia ... 14

Epidemiologi Pneumonia ... 15

Cakupan Penemuan Pneumonia ... 16

Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita ... 17

1. Arah dan Tujuan Pengendalian ISPA/Pneumonia ... 17

2. Tujuan dan Sasaran ... 18

3. Kebijakan dan Strategi Program ... 21

4. Kegiatan Program P2 ISPA ... 24

5. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 24

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cakupan Penemuan Pneumonia ... 26

1. Faktor Petugas Kesehatan ... 29

2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang ... 37


(14)

1. Kegiatan Surveilans dengan Penemuan Pneumonia ... 52

2. Peran Kader ... 53

Puskesmas ... 53

1. Pengertian Puskesmas ... 53

2. Fungsi Puskesmas ... 54

3. Upaya Puskesmas ... 55

Petugas Puskesmas ... 57

Kerangka Teori ... 58

BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 61

A. Kerangka Pikir ... 61

B. Definisi Istilah ... 66

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 73

A. Desain Penelitian ... 73

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 73

C. Informan Penelitian ... 74

1. Informan Utama ... 75

2. Informan Pendukung ... 75

3. Informan Ahli ... 75

D. Instrumen Penelitian ... 76

1. Kualitatif ... 76

2. Kuantitatif ... 77

E. Data dan Sumber Data ... 77

1. Data Primer ... 77

2. Data Sekunder ... 77

F. Pengumpulan Data Penelitian ... 79

1. Pengumpulan Data ... 79

2. Tahap Pengumpulan Data ... 81

G. Triangulasi Data ... 82

1. Sumber ... 82

2. Metode ... 82

H. Pengolahan dan Analisis Data ... 85

1. Kualitatif ... 85

2. Kuantitatif ... 86

BAB V HASIL PENELITIAN ... 87

A. Karakteristik Informan Penelitian ... 87

B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 88

C. Gambaran Umum Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan ... 90


(15)

D. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di

Puskesmas ... 93

1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ... 94

2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ... 99

3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS ... 104

4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan ... 109

5. Faktor Petugas Kesehatan ... 115

6. Motivasi Petugas ... 124

7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas ... 127

8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana ... 129

9. Kegiatan Evaluasi ... 136

BAB VI PEMBAHASAN ... 142

A. Keterbatasan Penelitian ... 142

B. Faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas ... 143

1. Perencanaan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ... 143

2. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita ... 147

3. Tatalaksana Pneumonia Balita/MTBS ... 151

4. Kegiatan Pencatatan dan Pelaporan ... 155

5. Faktor Petugas Kesehatan ... 159

6. Motivasi Petugas ... 172

7. Kepemimpinan Kepala Puskesmas ... 175

8. Ketersediaan Sarana dan Prasarana ... 177

9. Kegiatan Evaluasi ... 181

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 184

A. Simpulan ... 184

B. Saran ... 189

DAFTAR PUSTAKA ... 193 LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur < 2

Bulan ... 45

Tabel 2.2 Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur 2 Bulan ≤ 5 Tahun ... 46

Tabel 3.1 Definisi Istilah ... 66

Tabel 4.1 Daftar Tempat penelitian ... 74

Tabel 4.2 Informan Penelitian ... 76

Tabel 4.3 Pengumpulan Data Penelitian ... 78

Tabel 4.4 Triangulasi Data Penelitian ... 83

Tabel 5.1 Karakteristik Informan ... 88

Tabel 5.2 Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 ... 92

Tabel 5.3 Pengetahuan Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 ... 123

Tabel 5.4 Motivasi Kerja Petugas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 ... 126

Tabel 5.5 Kepemimpinan Kepala Puskesmas dalam Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014 ... 128

Tabel 5.6 Observasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana dalam Kegiatan Penemuan Kasus Pneumonia Balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015 ... 132


(17)

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Teori Perilaku Kinerja dari Gibson (1987) ... 27

Gambar 2.2 Kerangka Teori ... 60

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 65

Gambar 5.1 Stempel ISPA ... 133

Gambar 5.2 Register Harian Pneumonia ... 133

Gambar 5.3 Formulir Laporan Bulanan ... 133

Gambar 5.4 Buku Pedoman P2 ISPA ... 134

Gambar 5.5 Pedoman Tatalaksana Pneumonia/MTBS ... 134

Gambar 5.6 Media Poster Pneumonia ... 134


(19)

DAFTAR SINGKATAN

1. AIDS :Acquired Imuno Deficiency Syndrome

2. Binwil :Bina Wilayah 3. BP :Balai Pengobatan 4. Depkes :Departemen Kesehatan 5. Dinkes : Dinas Kesehatan 6. Form :Formulir

7. ISPA :Infeksi Saluran Pernapasan Akut 8. KB :Keluarga Berencana

9. Kememkes :Kemenkenterian Kesehatan 10.Kesling :Kesehatan Lingkungan 11.KIA :Kesehatan Ibu dan Anak 12.KLB :Kejadian Luar Biasa 13.Lokbul :Loka Karya Bulanan 14.Lokmin :Loka Karya Mini 15.LP :Lembaga Pemerintah 16.LS :Lembaga Swasta

17.LSM :Lembaga Swadaya Masyarakat 18.MTBS :Manajemen Terpadu Balita Sakit 19.OB :Office Boy

20.ORMAS :Organisasi Kemsyarakatan


(20)

22.P2PL :Program Pengendalian Penyakit Lingkungan 23.PAUD :Pendidikan Anak Usia Dini

24.PKM :Pusat Kesehatan Masyarakat 25.POA :Plan of Action

26.Posyandu :Pos Pelayanan Terpadu 27.Promkes :Promosi Kesehatan

28.Puskesmas :Pusat Kesehatan Masyarakat 29.PWS :Pemantauan Wilayah Setempat 30.Riskesdas :Riset Kesehatan Dasar

31.SD :Sekolah Dasar

32.SDM :Sumber Daya Manusia 33.SK :Surat Keputusan

34.SKM : Sarajana Kesehatan Masyarakat 35.SMD :Survey Mawas Diri

36.Tangsel :Tangerang Selatan 37.TB :Tuberkolosis

38.TDDK :Tarikan Dinding Dada Bagian Bawah Ke Dalam 39.TK :Taman Kanak-kanak

40.UKS :Unit Kesehatan Sekolah 41.UPTD :Unit Pelaksana Teknis Daerah 42.WHO :World Health Organization


(21)

Daftar Lampiran

Lampiran 1 Persetujuan Menjadi Informan

Lampiran 2 Pedoman Wawancara Mendalam

Lampiran 3 Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Utama

Lampiran 4 Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Pendukung

Lampiran 5 Matriks Hasil Wawancara Mendalam dengan Informan Kunci

Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40%-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Salah satu penyakit ISPA yang menjadi target program pengendalian ISPA adalah pneumonia (Setyati, 2014).

Pneumonia adalah penyebab kematian balita tertinggi di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lainnya seperti AIDS, Malaria, Campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita / 15 detik) dari 9 juta total kematian balita. Diantara 5 kematian balita, 1 diantaranya meninggal karena pneumonia. Di negara berkembang (termasuk Indonesia), 60% kasus pneumonia disebabkan oleh bakteri, sedangkan di negara maju disebabkan oleh virus. Oleh sebab itu pneumonia juga disebut pembunuh anak nomor 1 (the number one killer of children). Di negara berkembang pneumonia merupakan penyakit terabaikan (the neglegted disease) atau terlupakan (the forgotten disease). Banyak anak meninggal karena pneumonia, namun sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap


(23)

masalah tersebut (UNICEF, WHO, 2009). Kurangnya perhatian tersebut disebabkan gejala pasti pneumonia anak tidak mudah diketahui sehingga diperlukan kecermatan petugas kesehatan dalam mendeteksinya.

World Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang kejadian pneumonia anak-balita sebesar 151,8 juta kasus pneumonia per tahun, sekitar 8,7% (13,1 juta) diantaranya pneumonia berat. Di dunia terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (World Pneumonia Day, 2012).

Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2013, angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 1,19%, pada kelompok bayi angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,20%. Pneumonia juga selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama dan berkontribusi tinggi terhadap angka kematian balita di Indonesia (Kemenkes, 2013). Kematian yang disebabkan pneumonia merupakan peringkat teratas kematian pasien di fasilitas kesehatan (Kemenkes, 2012).


(24)

Menurut Riskesdas 2013, periode prevalens pneumonia balita (Kejadian pneumonia sebulan terakhir) di Indonesia sebesar 18,5 per 1000 balita. Di provinsi Banten, periode prevalens pneumonia balita berdasarkan diagnosis/gejala berada di atas rata-rata periode prevalens nasional yaitu sebesar 18,7 per 1000 balita. Sedangkan menurut Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2014 diketahui bahwa penyebab kematian balita tertinggi adalah pneumonia. Dengan prevalensi pneumonia balita sebesar 42,3 per 1000 balita (Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2014).

Salah satu upaya penurunan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan pneumonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan upaya penemuan dan tatalaksana penderita, pada tahun 2014 cakupan nasional yang telah ditetapkan Kemenkes yaitu 100%. Pada tahun 2013 cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Indonesia mencapai 23,52%, sedangkan provinsi Banten hanya mencapai 29% dari target penemuan kasus pneumonia balita yang sudah ditetapkan. Hal ini menyebabkan tidak ada satupun provinsi yang mencapai target tersebut. Setiap wilayah mempunyai perkiraan kasus pneumonia pada balita sebesar 10% dari jumlah balita di wilayah tersebut. Untuk menjalankan upaya tersebut, penemuan kasus dilaksanakan melalui kegiatan yang menunjang upaya masyarakat untuk mencari pengobatan kasus pneumonia secara tepat dan deteksi dini oleh petugas kesehatan. Selain itu perlu dilakukan dan dioptimalkan penemuan dan tatalaksana penderita di rumah tangga


(25)

dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat pelayanan kesehatan tingkat pertama atau dasar (puskesmas pembantu dan pelayanan kesehatan di desa) dan di sarana kesehatan rujukan (rumah sakit) (Kemenkes, 2012).

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan mempunyai 25 puskesmas. Pencapaian penemuan kasus pneumonia di Kota Tangerang selatan pada tahun 2014 menurun sebelumnya pada tahun 2013 sebesar 44% menjadi 42,4%, pencapaian angka penemuan kasus tersebut sangat jauh dari target nasional dan hanya ada 3 puskesmas yang mempunyai angka penemuan kasus pneumonia balita di atas target nasional diantaranya Puskesmas Serpong I, Puskesmas Pondok Aren dan Puskesmas Bakti Jaya. Dengan demikian ada 22 puskesmas yang tidak mencapai target penemuan penderita pneumonia (Dinkes Tangerang Selatan, 2014). Pencapaian angka penemuan kasus terebut sangat jauh berbeda dengan penemuan kasus di Dinkes Kabupaten Tangerang pada tahun 2013,dengan angka penemuan sebesar 84,06% lebih tinggi dari Dinkes Tangerang Selatan (Dinas Kabupaten Tangerang, 2014). Padahal Kota Tangerang Selatan, dalam hal pelayanan kesehatan lebih modern dan mempunyai mobilitas yang tinggi dari pada Kabupeten Tangerang

Menurut Kementrian Kesehatan (2012), rendahnya angka penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara lain: sumber pelaporan rutin terutama berasal dari puskesmas, hanya beberapa dan Kabupaten/Kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan


(26)

kesehatan lainnya. Deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian besar tenaga belum terlatih, kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi.

Berdasarkan laporan magang oleh peneliti pada tahun 2015, dengan teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan analisis data, mengenai pelaksanaan program P2 ISPA tahun 2014 di Puskesmas Pamulang, salah satu puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan. Diketahui bahwa rendahnya penemuan pneumonia balita karena kegiatan P2 ISPA belum berjalan dengan baik seperti: deteksi kasus di puskesmas belum optimal, penemuan penderita secara aktif belum berjalan dengan baik, pencatatan kasus, pelacakan dan pemantauan dengan kunjungan rumah belum berjalan dengan baik, sarana dan prasarana serta sumber pelaporan rutin dari penyelenggaran pelayanan kesehatan swasta yang belum terlaporkan.

Hasil penelitian kuantitatif yang dilakukan Dharoh, dkk (2014) menunjukkan, bahwa faktor–faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita adalah motivasi (p=0,020). Sedangkan pendidikan (p=1,000), pengetahuan (p=1,000), perencanaan (p=1,000), pelaksanaan (p=0,292), dan penilaian (p=0,567) tidak ada hubungan dengan cakupan penemuan kasus pneumonia pada balita. Sedangkan menurut penelitian lain faktor yang berpengaruh adalah: profesionalisme petugas P2 ISPA puskesmas, pelatihan program P2 ISPA dan supervisi pengelola program P2 ISPA Kabupaten/ Kota ke puskesmas


(27)

(Nurcik, 2000). Penelitian lainnya menemukan bahwa pengetahuan, ketersediaan sarana, pencatatan laporan kasus pneumonia, kerjasama lintas program dan pelayanan standar P2 ISPA, mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita (Irmawati, 2012). Semua penelitan tersebut hanya menggunakan pendekatan kuantitatif, sehingga perlu digali lebih mendalam dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, mengenai faktor yang mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita, pendekatan kualitatif dilakukan untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita yang tidak bisa diukur dengan pendekatan kuantitatif.

Sehubungan dengan uraian tersebut, dengan ini penulis memandang perlu untuk meneliti lebih lanjut dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (mixed methods) mengenai faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di wilayah kerja masing-masing Puskesmas Kota Tangerang Selatan, penelitian ini dilakukan di puskesmas karena puskesmas sebagai sarana kesehatan terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat merupakan ujung tombak dalam mencapai pembangunan kesehatan yang optimal dan akan mencapai target nasional apabila seorang petugas mampu menjalankan program puskesmasnya dengan baik. Selain itu penelitian kualitatif dalam studi epidemiologi sekarang ini lebih kekinian terutama


(28)

epidemiologi sosial dan epidemiologi perencanaan kesehatan untuk dapat memecahkan masalah kesehatan di Puskemas dan masyarakat.

Adapun puskesmas yang akan diteliti adalah puskesmas yang mempunyai angka penemuan kasus pneumonia yang rendah pada tahun 2014 yaitu Puskesmas Pisangan, Puskesmas Kranggan dan puskesmas dengan penemuan pneumonia balita yang mencapai target nasional (100%) yaitu Puskesmas Serpong 1 dan Puskesmas Bakti Jaya. Dengan tujuan dapat mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2015.

B. Rumusan Masalah

Penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang Selatan masih terbilang rendah, sehingga tidak mencakup sasaran kasus yaitu balita atau 10% dari jumlah balita yang ada. Menurut beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita adalah peran petugas kesehatan (tenaga terlatih, tingkat pendidikan, pengetahuan petugas, lama memegang program P2 ISPA, motivasi petugas, kepemimpinan kepala puskesmas), ketersediaan sarana kesehatan (alat dianostik, media cetak/buku cetakan terkait program P2 ISPA, bagan tatalaksana peneumonia/MTBS) dan kegiatan supervisi, evaluasi, pencatatan dan pelaporan, perencanaan kegiatan dan kegiatan penemuan kasus yang dilakukan serta kegiatan tatalaksana kasus. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif


(29)

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan pneumonia di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015.

C. Pertanyaan Peneliti

1. Bagaimana penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014?

2. Bagaimana perencanaan program kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015? 3. Bagaimana kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas

Kota Tangerang Selatan tahun 2015?

4. Bagaimana pengaruh kegiatan pencatatan dan pelaporan dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?

5. Bagaimana pengaruh kegiatan tatalaksana pneumonia atau MTBS dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?

6. Bagaimana pengaruh faktor petugas kesehatan (jenis kelamin petugas, Pelatihan petugas, pendidikan Petugas, lama memegang program P2 ISPA, pengetahuan petugas) dalam penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?

7. Bagaimana pengaruh faktor motivasi dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?


(30)

8. Bagaimana pengaruh faktor kepemimpinan kepala puskesmas dalam penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015?

9. Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana (media cetak/buku cetakan dan media penyuluhan) dalam penemuan penderita pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015? 10. Bagaimana kegiatan evaluasi dalam penemuan kasus pneumonia

balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2014

b. Mengetahui perencanaan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

c. Mengetahui kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

d. Mengetahui kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015


(31)

e. Mengetahui kegiatan tatalaksana penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

f. Mengetahui faktor petugas kesehatan (jenis kelamin petugas, pelatihan petugas, pendidikan Petugas, lama memegang program P2 ISPA, pengetahuan petugas, motivasi petugas dan kepemimpinan kepala puskesmas) dalam kegiatan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

g. Diketahuinya faktor motivasi mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

h. Diketahuinya faktor kepemimpinan kepala Puskesmas yang mempengaruhi cakupan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

i. Mengetahui ketersediaan sarana dan prasarana (media cetak/buku cetakan dan media penyuluhan) dalam kegiatan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015

j. Mengetahui kegiatan evaluasi dalam kegiatan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015.


(32)

E. Manfaat

1. Bagi Dinas Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau saran dan bahan pertimbangan dalam merencanakan pembuatan program penemuan kasus pneumonia balita serta menyempurnakan pelaksanaan penemuan kasus pneumonia di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Selain itu , sebagai bahan evaluasi program P2 ISPA di Dinas Kota Tangerang Selatan.

2. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau saran untuk program penemuan kasus pneumonia balita di puskesmas sehingga dapat meningkatkan cakupan penemuan kasus pneumonia balita. Selain itu juga dapat dimanfaatkan oleh kepala puskesmas bagaimana cara memimpin bawahannya di puskesmas agar petugas termotivasi dalam pekerjaanya di puskesmas kinerja

3. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diharapkan bermanfaat sebagai referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan faktor determinan penemuan kasus pneumonia balita.


(33)

4. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau pertimbangan bagi penelitian lainnya dalam mengembangkan penelitian serupa.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif pendekatan mixed methods (kualitatif dan Kuantitatif), desain studi kasus. Informan utama dalam penelitian adalah kepala puskesmas, dengan triangulasi sumber yaitu penanggung jawab program P2 ISPA di puskesmas dan petugas MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli di Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2015 dengan memilih masing-masing 2 puskesmas yang mempunyai penemuan kasus pneumonia balita yang rendah yaitu Puskesmas Pisangan, Puskesmas Kranggan dan 2 puskesmas yang mempunyai penemuan kasus pneumonia balita yang tinggi yaitu Puskesmas Serpong 1, Puskesmas Bakti Jaya.


(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Pneumonia

Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan merupakan penyakit saluran pernapasan akut yang sering menyebabkan kematian (UNICEF, WHO, 2009; Kemenkes, 2010). Penyebab p neumonia adalah infeksi bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia mengakibatkan jaringan paru mengalami peradangan. Pada kasus pneumonia, alveoli terisi nanah dan cairan menyebabkan kesulitan penyerapan oksigen sehingga terjadi kesulitan bernafas (Rudan, 2008).

Anak dengan pneumonia menyebabkan kemampuan paru mengembang berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar tidak terjadi hipoksia. Apabila pneumonia bertambah parah, paru akan menjadi kaku dan timbul tarikan dinding bawah ke dalam (Ni Nyoman, 2013). Anak dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia dan sepsis. Akibatnya kemampuan paru untuk menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tidak bisa bekerja (UNICEF, WHO, 2006).


(35)

B. Hubungan ISPA dan Pneumonia

ISPA dan Pneumonia sangat erat hubungannya terutama pada Balita. ISPA yang berlanjut dapat menjadi pneumonia hal tersebut sering terjadi pada balita terutama apabila mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis (Rudan, 2008, Mardjanis, 2010). Oleh karena itu, jika balita menderita ISPA perlu mendapatkan penanganan segera, agar penyakit tidak berlanjut menjadi pneumonia.

C. Klasifikasi pneumonia balita

Program Pengendalian Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat (Kemenkes, 2012). Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis, dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada Balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin. Semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik (Setyati, 2014).

Klasifikasi berdasarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada bagian bawah, bunyi nafas (stridor):


(36)

1. Pneumonia

Batuk, demam lebih dari 380 C disertai sesak nafas. Frekuensi nafas lebih dari 40 x / menit, ada tarikan dinding dada bagian bawah. Pada auskultasi didapati bunyi stridor pada paru. 2. Non Pneumonia

Bila bayi dan Balita batuk, demam 380

C tidak disertai nafas cepat lebih dari 40 x / menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada bunyi stridor pada paru (Kemenkes, 2012). Program P2 ISPA mengklasifikasi kasus keadaan ke dalam 2 kelompok usia yaitu dibawah 2 bulan (Pneumonia berat dan bukan Pneumonia). Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun menjadi pneumonia berat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, pneumonia dan bukan pneumonia.

D. Epidemiologi Pneumonia

Epidemologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk perbandingan sangat sedikit, terutama di negara berkembang. Pneumonia adalah penyakit umum di semua bagian dunia dan penyebab utama kematian pada masa neonatus. WHO memperkirakan bahwa 1 dari 5 kematian bayi baru lahir disebabkan pneumonia. Lebih dari dua juta anak balita meninggal setiap tahun di seluruh dunia (E-jurnal, 2013). WHO juga memperkirakan bahwa sampai dengan 2 juta kematian yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dapat di cegah dengan


(37)

vaksin, dan lebih dari 90% dari kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Kematian akibat pneumonia umumnya menurun dengan usia sampai dewasa akhir (News Medical, 2011).

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak-balita sebesar 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, yaitu: India 43 juta, China 21 juta, Pakistan 10 juta, Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria sebesar 6 juta kasus, mencakup 44% populasi anak balita di dunia pertahun (World Pneumonia Day, 2012). Berdasarkan data WHO/UNICEF tahun 2009 dalam “Pneumonia: The Forgotten Killer of Children”, Indonesia

menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Diperkirakan sekitar separuh dari total kasus kematian pada anak yang menderita pneumonia di dunia disebabkan oleh bakteri pneumokokus (UNICEF, WHO, 2009).

E. Cakupan Penemuan Kasus Pneumonia Balita

Cakupan penemuan pneumonia balita adalah jumlah kasus pneumonia balita yang ditemukan di suatu wilayah kerja puskesmas dari estimasi jumlah balita diwilayah kerja puskesmas tersebut. (target yang ditemukan adalah 10% dari populasi balita). Adapun perhitungan rumusnya adalah sebagai berikut:


(38)

Angka cakupan penemuan pneumonia Balita di Indonesia pada tahun 2000, berkisar antara 20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 2000-2004 adalah 86%, sedangkan pada periode 2005-2009 pencapaian target cakupan sebesar 46%-86%, Masih jauh dari target cakupan yang ditetapkan oleh Kemenkes. Tujuan khusus pengendalian pneumonia balita yaitu tercapainya cakupan penemuan pneumonia balita pada tahun 2010 sebesar 60%, tahun 2011 sebesar 70%, tahun 2012 sebesar 80%, tahun 2013 sebesar 90% dan tahun 2014 sebesar 100% (Kemenkes, 2012).

F. Program P2 ISPA untuk Pengendalian Pneumonia Balita

Program P2 ISPA adalah suatu program pemberantasan penyakit menular yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA, terutama pneumonia (infeksi paru akut) pada usia di bawah lima tahun. Program P2 ISPA dikembangkan dengan mengacu pada konsep menajemen terpadu pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan berbasis wilayah. Konsep terpadu meliputi penanganan pada sumber penyakit, faktor risiko lingkungan, faktor risiko perilaku dan kejadian penyakit dengan memperhatikan kondisi lokal (Kemenkes, 2012).

1. Arah dan Tujuan Pengendalian ISPA/Pneumonia

Pelaksanaan program P2 ISPA ditujukan pada kelompok usia Balita, yaitu bayi (0-12 bulan) dan anak balita (1 tahun ≤ 5


(39)

tahun) dalam bentuk upaya penanggulangan penyakit pneumonia. Pemilihan kelompok balita sebagai target populasi program didasarkan pada kenyataan bahwa angka mortalitas dan morbiditas ISPA pada kelompok umur balita masih tinggi di Indonesia. Di samping itu keberhasilan upaya program P2 ISPA dapat mempunyai daya ungkit dalam penurunan angka kematian bayi di Indonesia (Kemenkes, 2012). Dengan menitikberatkan pelaksanaan upaya pada penanggulangan penumonia maka program P2 ISPA dapat disebut sebagai program P2 ISPA untuk penanggulangan Balita (Rita, 2002).

2. Tujuan dan Sasaran a. Tujuan Umum

Tujuan umum pengendalian penyakit ISPA adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia. b. Tujuan Khusus

1) Pengendalian Pneumonia Balita

a) Tercapainya cakupan penemuan balita sebagai berikut (tahun 2010: 60%, tahun 2011:70%, tahun 2012:80%, tahun 2013: 90%, tahun 2014: 100%) b) Menurunkan angka kematian pneumonia balita

sebagai kontribusi penurunan angka kematian bayi dan balita, sesuai dengan tujuan MDGs (44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan


(40)

indikator nasional angka kematian bayi (34 menjadi 23 per 1.000 kelhiran hidup).

2) Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah.

a) Tersusunnya dokumen rencana kontijensi kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza di 33 provinsi pada akhir tahun 2014. b) Tersusunnya pedoman dan petunjuk pelaksanaan

penanggulangan pandemi influenza pada akhir tahun 2014.

c) Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza pada akhir tahun 2014.

d) Tersusunya pedoman latihan (Exercise) dalam kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza pada akhir tahun 2014.

3) Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun

Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di rumah sakit dan puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33 provinsi pada akhir tahun 2014. 4) Faktor risiko ISPA


(41)

Terjalinnya kerjasama/kemitraan dengan unit program atau institusi yang kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya pneumonia (Kemenkes, 2012). c. Sasaran

1) Pengendalian Pneumonia Balita a) Balita (≥ 5 tahun)

2) Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah.

a) Pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan terkait di pusat dan daerah.

b) Unit-unit esensial, swasta, media massa serta lembaga swadaya masyarakat.

3) Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun

a) Kelompok umur ≥ 5 tahun di fasilitas pelayanan kesehatan.

4) Faktor risiko ISPA

a) Lintas program dan lintas sektor b) Masyarakat (Kemenkes, 2012).


(42)

3. Kebijakan dan Strategi Program a. Kebijakan

Untuk mencapai program penemuan kasus pneumonia maka ditetapkan kebijakan operasional sebagai berikut:

1) Advokasi kepada pemangku kepentingan di semua tingkat untuk membangun komitmen dalam pencapain tujuan pengendalian ISPA. 2) Pengendalian ISPA dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3) Peningkatan penemuan kasus dan tatalaksana

pnemonia Balita sesuai dengan standar disemua fasilitas pelayanan kesehatan.

4) KIE pengendalian ISPA melalui berbagai media sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.

5) Ketersediaan logistik pengendalian ISPA menjadi tanggung jawab pusat dan daerah. 6) Pengendalian ISPA dilaksanakan melalui

kerjasama dan jejaring dengan lintas program, lintas sektor, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non pemerintah lintas nasional maupun internasional.


(43)

7) Meningkatkan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan sumber daya, pembinaan/supervisi, sistem pemantauan dan evaluasi program serta sosialisasi pemberdayaan masyarakat.

8) Autopsi verbal dilakukan dalam rangka menentukan penyebab kamatian Balita.

9) Penyusunan rencana kontijensi kesiapsiagaan dan respon pandemi influenza semua tingkat. 10) Rencana pengendalian pneumonia disususn

berbasis bukti (evidence based) (Kemenkes, 2012).

b. Strategi

Strategi pengendalian ISPA di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan disemua tingkat dengan melaksanakan advokasi dan sosialisasi pengendalian ISPA dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan global.

2) Penguatan jejaring internal dan eksternal (LP/LS, profesi, perguruan tinggi, LSM, ormas swasta, lembaga internasional, dan lain-lain).


(44)

3) Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif.

4) Peningkatan mutu pelayanan melalui ketersediaan tenaga terlatih dan logistik. 5) Peningkatan peran serta masyarakat dalam

rangka deteksi dini pneumonia balita dan pencarian pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

6) Pelaksanaan autopsi balita di masyarakat. 7) Penguatan kesiapsiagaan dan respon pandemi

influenza melalui penysusunan rencana kontijensi disemua jejaring, latihan (exercise), penguatan surveilans dan penyiapan sarana prasarana.

8) Pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap dengan sistem komputerisasi berbasis web.

9) Monitoring dan pembinaan teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan berkala. 10) Evaluasi program dilaksanakan secara berkala


(45)

4. Kegiatan Program P2 ISPA

Kegiatan program P2 ISPA yang harus dilakukan berdasarkan buku pedoman pengendalian ISPA adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2012):

a. Advokasi dan sosialisasi

b. Penemuan dan tatalaksana pneumonia balita, kegiatannya antara lain: penemuan penderita pneumonia, perkiraan jumlah penderita pneumonia balita (perkiraan pneumonia balita), target penemuan penderita pneumonia dan tatalaksana Pneumonia balita c. Ketersediaan Logistik

d. Supervisi

e. Pencatatan dan pelaporan f. Kemitraan dan jejaring

g. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia h. Pengembangan program

i. Autopsi verbal

j. Monitoring dan evaluasi

5. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

MTBS singkatan dari Manajemen Terpadu Balita Sakit atau Integrated Management of Childhood Illness

(IMCI dalam bahasa Inggris) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana balita sakit dengan


(46)

fokus kepada kesehatan anak usia 0-5 tahun (balita) secara menyeluruh. MTBS bukan merupakan suatu program kesehatan tetapi suatu pendekatan/cara menatalaksana balita sakit. Kegiatan MTBS merupakan upaya yang ditujukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan anak balita di unit rawat jalan kesehatan dasar seperti puskesmas, Pustu, Polindes, Poskesdes, dan lain-lain (Depkes, 2008).

Kegiatan MTBS memliliki 3 komponen khas yang menguntungkan yaitu:

a. Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana balita sakit (petugas kesehatan non-dokter yang telah terlatih MTBS dapat memeriksa dan menangani pasien balita)

b. Memperbaiki sistem kesehatan (banyak program kesehatan terintegrasi didalam pendekatan MTBS) c. Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam

perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan balita sakit (berdampak meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan kesehatan) (Direktoran Bina Kesehatan Anak, 2009).


(47)

G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penemuan Kasus Pneumonia Menurut Kemenkes (2012) Rendahnya angka cakupan penemuan kasus pneumonia Balita disebabkan karena sumber pelapoan rutin terutama berasal dari puskesmas, hanya beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. penyebablainnya yaitu program deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian besar tenaga belum terlatih, serta kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupaten/Kota ke provinsi (Kemenkes, 2012).

Cakupan penemuan penderita pneumonia di puskesmas berhubungan dengan beberapa faktor diantaranya yaitu faktor petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan di puskesmas, faktor sarana penunjang kegiatan program P2 ISPA berupa ketersediaan sound timer untuk mendiagnosa pneumonia, buku pedoman pelaksana program P2 ISPA, bagan tatalaksana penderita ISPA, media untuk penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu balita yaitu berupa poster dan lembar balik (flip chart), ketersediaan obat-obatan untuk penderita ISPA serta kegiatan pemantauan program P2 ISPA yaitu berupa supervisi yang dimaksud untuk memeriksa kegiatan pelaksanaan program apakah telah sesuai dengan yang telah digariskan oleh kebijaksanaan program (Dharoh, 2013).

Dari penjelasan sebelumnya dijelaskan bahwa penemuan pneumonia berhubungan dengan beberapa faktor, salah satunya adalah petugas sebagai pelaksana pelayanan kesehatan atau hasil dari kinerja petugas. Menurut Stephen P. Robbins (1986) yang dikutif oleh I Gusti


(48)

Agung Rai (2008) bahwa kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama. Pada pihak lain Ahuya (1996) dalam kutipan yang sama, menjelaskan kinerja adalah cara perseorangan atau kelompok dari suatu organisasi menyelesaiakan suatu pekerjaan atau tugas. Dari kedua istilah tersebut terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada dua hal yaitu proses dan hasil yang dicapai. Maka berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang berhubungan dengan kinerja.

Gibson (2006) menyampaikan model teori kinerja dan melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Diagram skematis yang mempengaruhi perilaku dan kinerja seperti pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Teori perilaku dan kinerja

Faktor Individu

1. Kemampuan dan

keterampilan

- Mental

- Fisik 2. Latar belakang

- Keluarga

- Tingkat sosial

- Pengalaman

3. Demografi

- Umur

- Etnis

- Jenis kelamin

Perilaku individu (apa yang dikerjakan)

Faktor organisasi 1. Sumber daya

2. Kepemimpinan

3. Imbalan

4. Struktur

5. Desain pekerjaan

Faktor Psikologis 1. Persepsi 2. Sikap 3. Kepribadian 4. Beban kerja 5. Motivasi Kinerja


(49)

Teori dari Gibson tersebut menyatakan bahwa terdapat 3 kelompok yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yakni variabel individu, variabel organisasi, dan variabel psikologis. Variabel individu terdiri dari subvariabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi, subvariabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai hubungan tidak langsung dengan perilaku dan kinerja. Variabel psikologis terdiri dari subvariabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut gibson banyak dipengaruhi keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur.

Berdasarkan teori Gibson tersebut Yaslis Ilyas (2002) menyatakan dalam kinerja (teori, penilaian dan penelitian), ketiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja pada akhirnya akan berpengaruh pada kinerja personal. Perilaku yang berhubungan dengan kinerja adalah berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.

Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Tangkilisan (2005), bahwa kinerja tergantung pada ability (kemampuan pembawaan), capacity

(kemampuan yang dapat dikembangkan), help (bantuan untuk terwujudnya


(50)

environment (lingkungan) dan evaluation (evaluasi). Berdasarkan beberapa teori tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan cakupan penemuan pneumonia oleh petugas puskesmas adalah berkaitan dengan teori kinerja di atas.

Menurut penelitian Nurcik (2002), dengan menggunakan teori Gibson didapatkan hasil penelitian yaitu, ada hubungan yang kuat dan bermakna secara sendiri-sendiri antara, pelatihan (OR=6,26 P=0,000; 95% CI 2,20-17,87), sarana penatalaksanaan penderita ISPA (OR 3,08 ;P=0,033; 95% CI 1,09-9,67), dan supervisi lebih dari 2 kali (OR 4,80 ;p=0,001;95% CI 1,76-13,12) dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita. Peneliti lainnya yang menggunakan kerangka teori Gibson, menunjukkan bahwa 91,67 % puskesmas mempunyai cakupan rendah dan beban kerja (p=0,012) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan secara statistik yaitu, pelatihan, pengetahuan, supervisi dan kelengkapan sarana program P2 ISPA (Agusman, 2001).

1. Faktor Petugas Kesehatan a. Jenis Kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seorang laki-laki pada dasarnya mempunyai sifat yang tegas dalam menjalankan suatu program. Sedangkan seorang perempuan memiliki sifat atau


(51)

naluri keibuan yang sangat dibutuhkan bagi petugas kesehatan terutama petugas MTBS pada saat memeriksa balita.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kinerja petugas kesehatan (Mulyaningsih, 2013). Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat ahli yang menyatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dengan jenis kelamin laki-laki dalam kepuasaan kerja. Perempuan dan laki-laki juga tidak ada perbedaan yang konsisten dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi dan sosiabilitas dan kemampuan belajar (Rival dan Mulyadi, 2010). b. Pelatihan Petugas

Pelatihan menurut Sihula (dalam Hasibuan, 2008) adalah suatu proses pendidikan pendek dengan menggunakan prosedur sistematik dan terorganisir sehingga karyawan operasional belajar pengetahuan teknik pengerjaan dan keahlian untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Azwar (2002), tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan sehingga lebih percaya diri dalam menyelenggarakan tugas selanjutnya.

Pelatihan merupakan usaha untuk menghilangkan terjadinya kesenjangan (gap) antara unsur-unsur yang dimiliki


(52)

oleh seorang tenaga kerja dengan unsur-unsur yang dikehendaki organisasi. Usaha tersebut dilakukan melalui peningkatan kemampuan kerja yang dimiliki tenaga kerja dengan cara menambah pengetahuan dan keterampilannya (Notoatmodjo, 2003).

Kementrian Kesehatan (2012) menegakan bahwa pelatihan kesehatan dilakukan melalui pelatihan teknis program dan teknis fungsional secara berjenjang disemua tingkat administrasi untuk menunjang profesionalisme. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan peningkatan mutu kualitas pelayanan kesehatan, pelatihan berperan penting untuk peningkatan kualitas.

Penelitian Ivantika (2001) di Bandung menyatakan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya, memiliki peluang 1,353 kali lebih besar untuk mendapat cakupan program yang lebih tinggi dibandingakn dengan petugas yang tidak mendapat pelatihan. Berbeda dengan penelitian Sonara (2005), Pudjiastuti (2002) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan yang pernah diikuti petugas kesehatan dengan dengan cakupan yang harus dicapai, dalam hal ini cakupan penemuan pneumonia balita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena selam ini pelatihan yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi tuntutan


(53)

program semata tanpa mempertimbangkan perencanaan proses belajar mengajar dengan matang serta asas manfaat yang diperoleh. Disamping itu adanya kendala operasional untuk menerapkan hasil penelitian tersebut di lapangan menyebabkan keterampilan yang telah diperolah petugas lama-kelamaan menjadi minimal kembali (Sonara, 2005).

Dalam program P2 ISPA, pelatihan yang diberikan kepada petugas kesehatan di puskesmas meliputi pelatihan tatalaksana penderita ISPA (terintegrasi dengan pelatihan MTBS) dan pelatihan manajemen program P2 ISPA (Kemenkes, 2012). c. Pendidikan

Pendidikan adalah tugas untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, pengertian dan keterampilan dari para personil sehingga mereka lebih dapat berkualitas (Notoatmodjo, 2003). Dengan pendidikan, seseorang diharapkan menjadi pribadi yang cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja profesional, bertanggung jawab, dan produktif.

Pengembangan dan peningkatan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (Kemenkes,2010) karena menurut Flippo (dalam Hasibuan 2008), pendidikan berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan kita secara menyeluruh. Lingkungan disini adalah pelayanan kesehatan yang diartikan


(54)

sebagai proses dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pernyataan lainnya Hersey dan Blanchard (dalam Sinora, 2005) yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal dan non-formal dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan dan berperilaku.

Namun demikian, penelitian Ivantika (2001), Sinora (2005) dan Dharoh, dkk (2014) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan petugas dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Selain itu hasil penelitian Duhri, dkk (2013) menyebutkan bahwa petugas P2TB yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi belum tetntu memilki kinerja yang baik.

d. Lama Kerja

Masa kerja seseorang dalam organisasi perlu diketahui karena masa kerja dapat merupakan salah satu indikator tentang kecenderungan petugas tersebut dari berbagai segi kehidupan organisasional, misalnya dikaitkan dengan produktivitas kerja (siagian, 2002). Menurut wahyudi (2006) pengalaman seorang tenaga kerja utuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya melaksanakan pekerjaan tersebut.

Pada umumnya, semakin lama orang bekerja maka pengalaman bekerjanya akan bertmbah luas, sehingga orang tersebut akan menjadi semakin terampil dalam melaksanakan


(55)

pekerjaannya. Dengan demikian, produktivitasnya diharapkan juga akan semakin tinggi. Tetapi lamanya masa kerja tersebut di satu sisi akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerjanya.

Hal ini tentu saja tergantung pada kepribadian dan motivasi masing-masing individu. Pada individu yang memilki dedikasi dan etos kerja yang tinggi, maka status lama kerja justru akan meningkatkan kualitas pekerjaanya, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan.

Penelitian Ivantika (2001) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara lama kerja pengelola P2 ISPA dengan cakupan penemuan penderita pneumonia. Berbeda dengan penelitian Sonara (2005) tidak ada hubungan yang bermakana antara lama masa kerja petugas pelaksana MTBS dengan cakupan penemuan penderita pneumonia.

e. Pengetahuan petugas

Pengatahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng. Proses adopsi perilaku, menurut Rogers dalam Notoatmodjo, sebelum


(56)

seseorang mengadopsi sesuatu, di dalam diri orang tersebut terjadi suatu proses yang berurutan yaitu (Notoatmodjo, 2003):

1) Awareness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus.

2) Interest (tertarik), individu mulai tertarik kepada stimulus.

3) Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbang-nimbang tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Pada tahap ini subjek memiliki sikap yang lebih baik.

4) Trial (mencoba), individu sudah mulai mencoba perilaku baru.

5) Adoption, individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap dan kesadarannya terhadap stimulus.

Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif, mencakup 6 tingkatan, yaitu:

a) Tahu (know): Tahu dapat diperhatikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

b) Memahami (comprehension): diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar.


(57)

c) Aplikasi (application): diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real).

d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e) Sintesis (synthesis): suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan dan dapat meringkas, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f) Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria tertentu (Notoatmodjo, 2007)

Dalam program P2 ISPA, petugas kesehatan harus memiliki pengetahuan tentang tatalaksana kasus penderita ISPA dan tentang kebijakan program P2 ISPA, sehingga diharapkan petugas mampu memberikan pelayanan yang baik.

Menurut Wawan (2010), peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pengetahuan formal saja, tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan informal seperti mengikuti


(58)

pelatihan, membaca buku pedoman atau media elektronik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Adnan (2013) bahwa pengetahuan berhubungan dengan keterampilan petugas dalam tatalaksana pneumonia balita. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian Duhri, dkk (2013) yang menyebutkan bahwa pengetahuan memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja petugas P2TB.

2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Penunjang

Sarana merupakan salah satu perangkat administrasi, yaitu sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan administrasi (Azwar,2002). Sarana terdiri dari peralatan, obat dan bahan habis pakai serta dana. Sementara menurut pendapat tokoh lain sarana termasuk dalam elemen struktur yang meliputi bangunan fisik fasilitas dan peralatan.

Saran dalam program P2 ISPA untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana kasus penderita meliputi obat, alat bantu hitung, barang cetakan dan buku pedoman.

a. Ketersediaan alat diagnostik

Ketersediaan sound timer sebagai alat bantu hitung nafas dalam program P2 ISPA sebenarnya sangat diperlukan karena alat tersebut digunakan untuk membantu petugas dalam mengklasifikasikan penderita ISPA dengan tepat melalui penghitungan frekuensi nafas dalam 1 menit.


(59)

b. Ketersediaan Barang Cetakan

Logistik media cetak yang disediakan program P2 ISPA untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi terdiri dari buku pedoman program P2 ISPA, pedoman autopsi verbal, buku tatalaksana penderita ISPA (terintegrasi dengan MTBS), buku pedoman ISPA untu kader , poster dan lembar balik.

Penelitian Leida (dalam Sinora, 2005) menunjukkan bahwa puskesmas yang mempunyai barang cetakan mengenai ISPA berpeluang untuk lebih berkualitas dalam tatalaksana kasus dibandingkan puskesmas yang tidak tersedia barang cetakan mengenai ISPA. Hal ini sejalan dengan penelitian Sinora (2005) menyatakan bahwa, ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan barang cetakan pada puskesmas pelaksna MTBS dengan penemuan penderita penumonia di Kabupaten Cianjur.

Besarnya kemungkinan adanya hubungan antara ketersediaan barang cetakan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia ini disebabkan karena barang cetakan berperan penting sebagai salah satu bahan informasi dan bahan acuan dalam tatalaksana kasus.


(60)

c. Bagan Tatalaksana

Bagan tatalaksana yang terpasang diruang periksa yang berisi petunjuk mengenai cara pemeriksaan terhadap penderita dengan batuk dan kesukaran bernapas pada balita, penentuan klasifikasi dan tindakan yang harus dilakukan , akan membantu petugas pada saat menangani kasus ISPA. (Rasmuson, 1988, dalam Sinora, 2005).

d. Media penyuluhan

Media komunikasi, informasi dan edukasi, salah satunya berupa lembar balik merupakan suatu alat komunikasi yang efektif, yang telah dicoba terutama pada negara-negara berkembang untuk perubahan yang positif. Adapun media penyuluhan (Elektronik dan Cetak) menurut pedoman P2 ISPA adalah tersedianya DVD tatalaksana pneumonia balita, TV spot dan radio spot tentang pneumonia balita, poster, lefleat, lembar balik, kit advokasi dan kit pemberdayaan masyarakat (Kemenkes, 2012).

e. Media Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dan Pelaporan yang baik, dinilai dari data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan sangat diragukan kebenarannya, oleh karena itu perlu


(61)

adanya media pencatatan dan pelaporan (Rajab, 2009). Adapun macam-macam media pencatatan dan pelaporan menurut pedoman P2 ISPA adalah sebagai berikut (Kemenkes, 2012):

1) Stempel ISPA merupakan alat bantu untuk pencacatan penderita pneumonia balita sebagai status penderita 2) Register harian pneumonia

3) Formulir laporan bulanan. 3. Faktor Lain

a. Perencanaan Program

Suatu kegiatan yang dilaksanakan di puskesmas dimulai dengan perencanaan, agar kegiatan yang dijalankan terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan, adapun pengertian perencanaan adalah sebagai berikut, perencanaan menurut Drucker adalah suatu proses yang diorganisasi dan dilaksanakan secara sistematis dengan menggunakan pengetahuan yang ada sesuai keputusan yang telah ditetapkan bersama. Keberhasilan pelaksanaan dapat dilihat dari perbandingan antara hasil yang dicapai dengan target yang telah ditetapkan (Herijulianti, dkk, 2002).

Sedangkan menurut Goetz, perencanaan adalah kemampuan memilih satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan yang telah tersedia dan dipandang paling tepat


(62)

untuk mencapai tujuan. Dari berbagai pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan/diputuskan bersama (Herijulianti, dkk, 2002). Berdasarkan penelitian Warsihayati (2002) menunjukkan bahwa pembuatan rencana kerja tahunan memberikan pengaruh terhadap cakupan kasus pneumonia balita disuatu puskesmas. Sedangkan penelitian Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan program dengan penemuan penderita pneumonia balita.

Menurut Koontz dan O’Donnel dalam Sukarna (1992) dan Hasibuan (1990) menyebutkan prinsip-prinsip/asas perencanaan adalah prinsip membantu tercapainya tujuan, efisiensi dari perencanaan, pengutamaan perencanaan, prinsi pemerataan perencanaan, patokan perencanaan, kebijaksanaan pola kerja, prinsip waktu, tata hubungan perencanaan, prinsip alternatif, prinsip pembatasan faktor, prinsip keterikatan, prinsip flexibilitas, prinsip ketetapan arah, prinsip Perencanaan strategi.

Berdasarkan uraian prinsip tersebut, Sukarna (1992) menyimpulkan sebagai berikut:


(63)

a. Perencanaan merupakan fungsi utama dari pada manajer. Pelaksanaan pekerjaan tergantung kepada baik-buruknya suatu perencanaan.

b. Perencanaan harus diarahkan terhadap tercapainya tujuan. Oleh karena itu apabila tujuan tidak tercapai mungkin disebabkan oleh kurang sempurnanya perencanaan.

c. Perencanaan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan objektif dan rasional untuk mewujudkan adanya kerja sama yang efektif

d. Perencanaan harus mengandung atau dapat memproyeksi kejadian-kejadian pada masa yang akan datang.

e. Perencanaan harus memikirkan dengan matang tentang budget, program, policy, procedure, methode dan standar, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. b. Kegiatan Program Penemuan Kasus Pneumonia Balita

Dalam kegiatan pengendalian pneumonia balita, kegiatan penemuan kasus pneumonia balita adalah kegiatan inti. Penemuan kasus pneumonia merupakan salah satu strategi dalam pengendalian pneumonia. Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif maupun pasif. Penemuan kasus secara pasif dilaksanakan diseluruh Unit Pelayanan


(64)

Kesehatan (UPK) yang ada dengan melihat data jumlah penderita yang datang untuk berobat ke UPK tersebut (Kemenkes, 2012).

Penemuan kasus secara aktif dilaksanakan oleh petugas UPK aktif dilaksanakan oleh petugas dengan mendatangi pasien di wilayah kerja UPK berdasarkan kriteria klinis. Penderita dinyatakan positif berdasarkan gejala klinis kemudian dilakukan konfirmasi dari laboratorium darah dan sputum serta hasil rotgen thorax. Data dari hasil konfirmasi laboratorium rotgen dan pemeriksaan gejala klinis kemudian dikumpulkan yang kemudian dikirim untuk dilakukan analisis dan pelaporan data (Handayani, 2012).

Penelitian Handayani (2012) yang dilakukan di seluruh puskesmas Kota Semarang menyebutkan bahwa penemuan kasus yang dilakukan puskesmas di Kota Semarang adalah penemuan kasus secara pasif. Selain itu menurut penelitian lainnya yaitu penelitian, Dharoh dkk (2014) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pelaksanaan program dengan cakupan penemuan kasus penderita pneumonia balita. Hal sama juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Marisa (2011) bahwa tidak


(65)

ada hubungan antara pelaksanaan program dengan angka bebas jentik di Kota Semarang.

Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut:

a. menayakan balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas.

b. melakukan pemeriksaan dengan melihat Tarikan Dinding Dada bagian bawah Ke dalam (TDDK) dan hitung napas. c. melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan unur

<2 bulan dan 2 bulan -< 5 tahun

d. melakukan klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernapas; pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia (Kemenkes, 2012).

c. Tatalaksana Pneumonia Balita

Pola tatalaksana penderita yang dipakai dalam pelaksanaan pengendalian ISPA untuk penanggulangan pneumonia pada balita didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi Indonesia. Menurut Hasil penelitian Hidayati dan Wahyono (2011) diketahui bahwa terdapat hubungan antara tatalaksana pelayanan MTBS dengan kejadian pneumonia balita atau penemuan kasus pneumonia.


(66)

Tabel 2.1

Tatalaksana Penderita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur < 2 Bulan

(Sumber: Kemenkes, 2012)

Setelah penderita pneumonia balita ditemukan dilakukan tatalaksana sebagai berikut:

a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: kotrimoksazol, amoksilin selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol dan salbutamol.

b. Tindak lanjut bagi penderita yang kunjungan ulang yaitu penderita 2 hari setelah mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.

c. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat (Kemenkes, 2012).


(67)

Tabel 2.2

Tatalaksana Anak Batuk dan atau Kesukaran Bernapas Umur

2 Bulan ≤ 5 tahun

(Sumber: Kemenkes, 2012)

d. Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dan Pelaporan merupakan kegiatan yang harus disperhatikan oleh tenaga kesehatan (khususnya epidemiolog) dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik bagi individu, keluarga dan masyarakat. Untuk dapat melakukan kegiatan Pencatatan dan Pelaporan dengan baik, maka dibutuhkan data dan informasi yang tepat dan akurat, karena tanpa adanya hal tersebut hasil kegiatan pencatatan dan pelaporan tersebut akan sangat diragukan kebenarannya (Rajab, 2009).


(68)

Pengertian Pencatatan dan Pelaporan menurut Kron dan Gray, pencatatan dan pelaporan adalah mengkomunikasikan secara tertulis kepada tim kesehatan lain yang memerlukan data kesehatan atau data epidemiologi secara teratur. Jika disimpulkan pencatatan dan pelaporan mempunyai arti sebagai berikut:

a) Suatu kegiatan mencatat dengan berbagai alat/media tentang data kesehatan yang diperlukan sehingga terwujud tulisan yang bias dibaca dan dapat dipahami isinya.

b) Salah satu kegiatan administrasi kesehatan yang harus dikerjakan dan dipertanggungjawabkan oleh petugas kesehatan (khususnya epidemiolog).

c) Kumpulan Informasi kegiatan upaya pelayanan kesehatan yang berfungsi sebagai alat/sarana komunikasi yang penting antar petugas kesehatan (Sutomo, 2010).

pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan kasus pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan berdasarkan kategori kelompok umur untuk mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian dan pencegahan pneumonia. Data hasil analisis kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan mingguan ke pusat, serta dilakukan umpan balik dan penyebarluasan informasi kepada publik berupa buletin, website dan laporan hasil kegiatan penemuan kasus (WHO, 2011 dalam Handayani, 2012).


(69)

e. Motivasi Petugas

Motivasi menurut Walgito (2002) adalah kekuatan yang terdapat dalam diri organisme itu bertindak atau berbuat dan dorongan ini biasanya tertuju pada suatu tujuan tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suryabrata (2000) menyatakan motivasi suatu keadaan dalam diri individu yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.

Berdasarkan pengertian dari beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan pengertian motivasi yaitu suatu dorongan dalam diri individu karena adanya suatu rangsangan baik dari dalam maupun dari luar untuk memenuhi kebutuhan individu dan tercapainya tujuan individu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agusman (2001) mengenai cakupan penemuan pneumonia balita, menemukan bahwa faktor motivasi (p=0,040) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan pneumonia balita.

Selain itu hasil penelitan Sabuna (2011) dan Dharoh, dkk (2014) menyebutkan bahwa motivasi petugas (p=0,020) mempunyai hubungan dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita atau tatalaksana


(70)

pneumonia balita. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa motivasi kerja (p=0,02) berhubungan dengan kinerja tenaga kesehatan di puskesmas (Rosita, dkk, 2013).

f. Kepemimpinan Kepala Puskesmas

Terry (dalam azwar, 2002) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah hubungan yang tercipta dari adanya pengaruh yang dimilki oleh seseorang terhadap orang lain sehingga orang lain tersebut secara sukarela mau dan bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Kepemimpinanan yang ditetapkan oleh seorang pemimpin dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong semangat kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal (Hasibuan, 2001). Pelaksanaan kepemimpinan cenderung menumbuhkan kepercayaan partisipasi, loyalitas dan internal motivasi para bawahan dengan cara persuasif.

Hasil penelitian Sinora (2005), menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepemimpinan pada puseksmas pelaksana MTBS dengan cakupan penemuaan penderita pneumonia balita. Sedangkan hasil penelitian Rosita, dkk (2013) menyebutkan bahwa gaya kepemimpinan (p=0,04) berhubungan dengan kinerja


(71)

tenaga kesehatan di puskesmas. penelitian ini juga didukung dengan penelitian Ivantika (2001) menyebutkan bahwa kepemimpinan kepala puskesmas (p=0,034) mempunyai hubungan yang bermakna dengan cakupan penemuan penderita pneumonia balita.

Selain itu setiap kepala puskesmas mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Adapun gaya kepemimpinan kepala puskesmas yaitu gaya kepemimpinan partisipasi, gaya kepemimpinan konsultasi, gaya kepemimpinan instruksi dan gaya kepemimpinan delegasi.

Menurut Thoha (2009) gaya kepemimpinan konsultasi memilki esensi dimana pimpinan dan bawahan saling bergantian dalam hal pemecahan masalah. Pemimpin yang mempunyai gaya kepemimpinan instruksi berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diputuskan secara efektif. Kepemimpinan partisipasi dalam menjalankan fungsi partisipasi, pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya.


(72)

Sedangkan kepemimpinan delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang dalam membuat atau menetapkan keputusan (Dimyati, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Salam, dkk (2013) diketahui bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan (instruktif, konsultasi, partisipasi dan delegasi) dengan kinerja di puskesmas. Selain itu penelitian Parawangsyah (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara gaya kepemimpinan berdasarkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dengan disiplin kerja.

g. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh (Umar, 2002). Berdasarkan hasil penelitian penelitian Warsihayati (2002) menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi di puskesmas tidak memberikan pengaruh terhadap cakupan penemuan kasus pneumonia balita.


(1)

orang ya kita membangun motivasinya tetap ada" e. Pengetahuan petugas

a) Menurut Bapak, apakah pengetahuan petugas

berpengaruh dalam

pencapaian penemuan kasus pneumonia balita?

“iya pengetahuan akan membangun motivasi”

6

Motivasi petugas

b. Menurut Bapak, apakah motivasi petugas di puskesmas dapat mempengaruhi pencapaian penemuan kasus pneumonia balita di puskesmaa?

“semua orang kan memiliki motivasi, tapi pada era sekarang ini orang yang bekerja akan diukur pada apa itu dia harus melaporkan kinerjanya kan dia sekarang dibayar lebih, saya bekerja di puskesmas gitu kalau kamu bekerja segini mendapatkan angka segini, kalau ukur kinerja itu maka kamu dibayar bonus tambahan sekian , sekarang semuanya seperti itu karena menteri penertiban aparatur negara memformulasikan pegawai negeri dibayar sesuai dengan kinerjanya”

7

Kepemimpinan kepala puskesmas b. Menurut Bapak, kepemimpinan

seperti apa yang seharusnya dimilki oleh kepala puskesmas sebagai pimpinan?

“yang jelas tuntutan kita itu kepada kepala puskesmas yang mempunyai

kemampuan manajemen sama epidemiologi, epidemiologi nanti masuknya kepada pasiennya karena bayak teman-teman kita kepala puskesmas orientasinya klinik jadi enggak tahu medan pertempuran jadi kalau ada pasien di periksa secara klinik, enggak begitu jeli mereka kasusnya berapa itu mengakibatkan dia sendiri enggak punya orientasi public health, kalau itu bias puskesmas walaupun nanti petugasnya lihai-lihai”


(2)

8

Ketersediaan sarana dan prsarana c. Menurut Bapak, apakah ketersediaan

media penyuluhan dan media cetak sebagai penunjang program penemuan kasus pneumonia balita, disetiap puskesmas harus ada? apakah media penyuluhan diadakan oleh pemerintah atau kebijakan masing-masing puskesmas?

d. Apakah puskesmas boleh melakukan pengadaan seperti poster atau media penyuluhan lainnya?

“saya enggak tahu tapi urusan pengadaan ada dinas kesehatan walaupun sebetulnya puskesmas boleh melakukan pengadaan di undang-undangnya kan gitu tetapi untuk melakukan pengadaan tenaga yang mengadakan pengadaan harus ada itu di SK kan sama bupati nah tapi kalau di puskesmas enggak ada , boleh melakukan pengadaan sendiri tetapi namanya penyuluhan kan butuh di copy itu yang dilakukan temang-teman puskesmas di copy atau kreasi mungkin dianggarkan dengan dana yang tidak begitu banyak gitu, kalau kreatif masyarakat juga”

“iya, kecuali kalau dia yang kreatif yang membuat posternya lalu dikirimkan ke kabupaten bisa”

9

Kegiatan evaluasi

c. Menurut Bapak, kegiatan evalusi seperti apa yang seharusnya dilaksanakan oleh puskesmas ? Berapa kali seharusnya puskesmas mengadakan kegiatan tersebut ?

d. Pada saat kegiatan evaluasi, apakah petugas puskesmas harus hadir semua dalam kegiatan tersebut?

“puskesmas itu, kalau evaluasi kan setahun puskesmas harus melakukan

monitoring itu monitoring itu artinya gini melakukan evaluasi sampai bulan ini saya sudah mencapai berapa banyak, kemudian mengidentifikasi daerah-daerah mana yang sebetulnya perlu diperhatikan atau pneumonia yang perlu menjadi perhatian salah satunya tadi kebalik, jumlah yang kasusnya banyak berarti sudah sukses yang tidak ada kasusnya berarti tidak sukses berarti yang dikunjungi malah yang enggak banyak kasusnya dengan melakukan evaluasi banyak faktor bisa kematian kondisi lingkungan itu menjadi bahan monitoring”

“iya kan melakukan evaluasi bulanan untuk membangun motivasi menginatkan teman-teman, kalau ada berita segini suapay menjadi perhatian”


(3)

Gambar Ruangan Poli Anak

Gambar Laporan Kasus


(4)

Gambar Pada Saat Wawancara


(5)

Gambar Formulir MTBS


(6)