petugas yang sudah terlatih dalam tatalaksana pneumonia balita atau MTBS. Sedangkan, untuk penemuan kasus pneumonia balita boleh
dilakukan oleh siapa saja yang sudah mendapatkan pengetahuan mengenai pneumonia balita. Dengan demikian untuk petugas
Puskesmas diharapkan dapat melaksanakan tatalaksana pneumonia balita atau MTBS sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
Kemenkes, guna untuk menemukan kasus pneumonia balita sedini mungkin di Puskesmas.
4. Pencatatan dan Pelaporan
Definisi pencatatan dan pelaporan menurut Kron dan Gray, adalah mengkomunikasikan secara tertulis kepada tim kesehatan lain yang
memerlukan data kesehatan atau data epidemiologi secara teratur Sutomo, 2010. Pencatatan dan pelaporan dalam kegiatan penemuan
kasus pneumonia balita, mencakup analisis data yang dilakukan berdasarkan kategori kelompok umur. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pengambilan kebijakan dalam rangka pengendalian dan pencegahan pneumonia Kemenkes, 2012. Kegiatan pencatatan dan
pelaporan dalam penelitian ini adalah kegiatan pencatatan yang dilakukan oleh P2 ISPA, baik data dari puskesmas maupun klinik
swasta. Berikut ini adalah pembahasan mengenai kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional.
Gambaran kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui bahwa Puskesmas tersebut melakukan kegiatan pencatatan kasus pneumonia secara rutin, setelah jam pelayanan. Kasus tersebut
dicatatat di formulir register pneumonia yang sudah disediakan oleh Dinkes. Adapun kegiatan pencatatan bertujuan untuk mengetahui ada
atau tidaknya kasus pneumoni dan untuk mengetahui pasien yang tidak melakukan kunjungan ulang ke puskesmas selama 2 hari setelah
berobat. Puskesmas tersebut juga memperoleh laporan kasus pneumonia
dari klinik-klinik swasta, praktek bidan dan balai pengobatan, jika ditemukan kasus pneumonia di wilayah kerja puskesmas. Namu
laporan kasus dari klinik tersebut, tidak dicatatat berdasarkan MTBS. Hal tersebut dilaporkan ke puskesmas setiap bulan, dan biasanya
puskesmas yang menjemput data kasus tersebut atau dikenal dengan istilah jemput bola.
Kegiatan pelaporan kasus pneumonia di Puskesmas yang berhasil mencapai target nasional dilaksanakan setiap bulan. Dengan mengikuti
alur pelaporan yang sudah ditentukan oleh Dinkes. Format pelaporan yang harus diisi oleh petugas puskesmas antara lain adalah usia, alamat
dan klasifikasi pneumonia. Laporan tersebut harus dikerjakan oleh penanggung jawab program, agar Dinkes mengetahui penemuan kasus
pneumonia disetiap puskesmas. Gambaran kegiatan pencatatan dan pelaporan di puskesmas yang
tidak berhasil mencapai target nasional. Berdasarkan hasil penelitian,
diketahui bahwa puskesmas tersebut telah melakukan pencatatan dan pelaporan. Namun, kasus pneumonia tidak ditemukan di puskesmas
tersebut. Hal ini mungkin terjadi, karena petugas di puskesmas tersebut belum mendapatkan pelatihan dan kurang memahami mengenai
tatalaksana pneumonia. Sehingga di puskesmas tersebut tidak ada catatan kasus pneumonia.
Alur pelaporan kasus pneumonia di puskesmas yang tidak berhasil hampir sama dengan puskesmas yang berhasil mencapai target
nasional. Perbedaanya puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional tidak ditemukan kasus pneumonia, sehingga laporan kasus
pneumonia setiap bulannya nol dan hanya terdapat 1 kasus saja di tahun 2014. Dengan adanya hal ini, seharusnya penannggung jawab P2
ISPA di Dinkes melakukan supervisi ke puskesmas tersebut. Selain itu, puskesmas tersebut tidak menerima laporan dari klinik
swasta mengenai kasus pneumonia, meskipun puskesmas melakukan kegiatan pencarian kasus ke klinik-klinik swasta. Seharusnya petugas
dari Dinkes melakukan pembinaan atau pemantauan untuk mengetahui hambatan apa saja yang ada di puskesmas tersebut. Sehingga
pencapaian target penemuan kasus tidak tercapai. Dapat disimpulkan bahwa di Puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional sulit
menemukan kasus pneumonia balita dan tidak adanya pelaporan dari klinik swasta.
Pencatatan dan pelaporan adalah bagian dari kegiatan surveilans di puskesmas.
Surveilens adalah
suatu kegiatan
sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis
dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan
evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat Kemenkes, 2010. Selain itu, kegiatan surveilans dapat dilaksanakan secara aktif dan
pasif. Surveilans
pasif adalah
kegiatan yang
mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi data yang berasal dari puskesmas
yaitu dengan menunggu pasien datang ke Puskesmas. Sedangkan kegiatan surveilans aktif datanya diperoleh dari penemuan kasus di
masyarakat seperti deteksi kasus di Posyandu. Dalam penelitian ini, baik puskesmas yang berhasil maupun yang tidak berhasil mencapai
target nasional, keduanya belum melaksanakan kegiatan surveilans, akan tetapi hanya melakukan bagian pencatatan dan pelaporan.
Sehingga bukti berbasis data belum ada, padahal dari hasil kegiatan surveilans dapat dimanfaatkan untuk membuat perencanaan program
selanjutnya yang berdasarkan evidence base. Menurut penelitian kuantitatif yang dilakukan oleh Ningrum
2006, diketahui bahwa petugas yang terlambat dalam melakukan pencatatan dan pelaporan kasus, akan menjadi salah satu faktor
penyumbang ketidakberhasilan program di puskesmas. Sedangkan
menurut informan ahli kegiatan pencatatan di puskesmas seharusnya tidak dilakukan berkali-kali dan pelaporan dari klinik swasta bersifat
sukarela. Dengan demikian, sebaiknya puskesmas melakukan kegiatan
pencatatan dan pelaporan dengan memanfaatkan waktu secara efektif dan efesien. Selain itu, perlu dilaksanakan surveilans berbasis
puskesmas, baik secara pasif maupun aktif, sehingga kegiatan surveilans di puskesmas tidak hanya pencatatan dan pelaporan saja.
Untuk Dinkes perlu diadakannya kegiatan supervisi atau pembinaan di puskesmas yang tidak berhasil mencapai target nasional
5. Faktor Petugas Kesehatan