33 Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk
memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian, namun untuk pohon kayu-kayuan tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana
dan prasarana seperti membangun rumah, leuit lumbung padi, dan sarana Ibadah.
4.2.2.3. Pengelolaan Hutan
Menurut Marina 2011, kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan hutan diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian,
Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi
mendatang, dan
tidak boleh
berubah keutuhannya,
yang memiliki
keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air leuweung sirah cai dan
pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di
hutan. Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk
kayu bakar dan membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan, rotan dan sebagainya.
Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan, masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang ditebangnya sesuai
dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan digunakan untuk lahan
garapan masyarakat, baik berupa ladang huma, sawah, maupun talun kebun. Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan
kayu masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan usaha untuk
mendekati lebak cawane tujuan akhir perpidahan Kasepuhan yang didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting uga yang diperkirakan
terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang, Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.
34
4.3. Sistem Religi di Kasepuhan
Incu-putu masyarakat Kasepuhan SRI pada hakekatnya telah beragama Islam sejak dahulu, tetapi dalam pelaksanaan ritual Kasepuhan masih
dicampurkan dengan sunda-wiwitan seperti adanya kemenyan, mengundang leluhur guna keselamatan dalam kegiatan. Menurut Sulhi sebagai ustadz di
Kasepuhan yang di tugaskan oleh Kementrian Agama yang ada di Kabupaten Sukabumi bahwa masyarakat Kasepuhan SRI dalam beragama mengaku
Slampangan dika Gusti Rasul. Slampangan dika Gusti Rasul diartikan sebagai masyarakat Kasepuhan beragama Islam, mempercayai Nabi Muhammad sebagai
Rasul. Karena diharuskan masyarakat Kasepuhan SRI sampai saat ini beragama Islam sebatas pengakuan dan keyakinan dalam hati, namun sangat sedikit dalam
pelaksanaan peribadatan. Abah ASNsebagai pemimpin di Kasepuhan SRI ketika diskusi dengan
Bapak Ustadz Sulhi mengenai Incu-putu yang sangat jarang melaksanakan peribadatan kecuali shalat Jum
‟at, dan jawab Abah: “Incu-putu mah tos pada gede, masa kudu disuruh-suruh ku
Abah, kan Abah geus nyontokeun ngiringan shalat Jum’at, cuman incu-putu tacan ngarti mun solat
Jum’at jeung solat lima waktu teh wajib”.
Dalam tatanan kehidupan agama di Kasepuhan dikenal adanya Kiyai
Marhaba dan Kiyai Kamaitan. Kiyai Marhaba adalah berfungsi sebagai pemimpin dalam pelaksanaan selamatan atau upacara adat yang ada di Kasepuhan SRI
dilaksanakan di dalam Imah Gede, Kiyai Marhaba adalah julukan bagi seseorang yang biasa membacakan do‟a-do‟a dan orang tersebut adalah seorang Panghulu
atau juga Dukun Kasepuhan. Kiyai Kamaitan juga sama fungsinya dengan Kiyai Marhaba namun
memimpin selametan dalam bidang pertanian huma dan hanya pelaksanaannya juga di ladang tidak dilangsungkan dalam Imah Gede, serta langsung di pegang
oleh urusan Pamakayaan