17 Weber membedakan otoritas atas tiga tipe berdasarkan keyakinan legitimasi yang
memvalidasikan mereka, yakni: 1.
Otoritas yang dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Tatanan sosial saat ini dipandang sebagai suci, abadi dan tidak bisa dilanggar dalam
“otoritas tradisional”. Orang atau kelompok dominan biasanya didefinisikan oleh warisan, dianggap telah ditetapkan sebelumnya
untuk memerintah yang lain. 2.
Otoritas kharismatis, dimana seorang pemimpin dan misinya sebagai diilhami oleh Tuhan atau kekuatan supranatural. Ketaatan kepada
pemimpin dan keyakinan bahwa keputusannya meliputi semangat dan cita-cita gerakan adalah sumber ketaatan kelompok pada perintah-
perintahnya. 3.
Otoritas legal, yaitu otoritas yang dilegitimasi oleh keyakinan formalitas pada supermasi hukum apapun isi spesifiknya, dalam
system ini kepatuhan tidak disebabkan oleh orang, akan tetapi oleh seperangkat prinsip hukum yang berlaku.
Weber dalam teorinya juga mengemukakan tentang hal-hal yang mendasari legitimasi terhadap kekuasaan penguasa yaitu, kesucian tradisi dan
faktor ketergantungan kepada penguasa. Ketergantungan yang lebih mendasar dari rakyat terhadap penguasanya adalah ketergantungan ekonomi. Russel memandang
bahwa kekuasaan terdapat dalam bentuk kekayaan, tentara, pemerintahan, jasa dan pengaruh. Kekayaan yang diperoleh dapat merupakan hasil dari kekuasaan
dengan mempergunakan kekuatan tentara dan pengaruh. Kekuasaan ekonomi yang sekarang menjadi sumber kekayaan adalah sumber asal semua jenis dari
hasil kekuasaan yang lain, sedangkan kekayaan sendiri diartikan sebagai hak untuk memiliki sesuatu sebagai sumber kesejahteraan yang dapat diatur,
dinikmati, dipindah untuk kesenangan pemiliknya.
2.4. Kelembagaan Sosial di Masyarakat Adat
Koentjaraningrat 1984, menyatakan bahwa kelembagaan atau pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada
aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam
18 kehidupan masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada sistem tata kelakuan
atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Polak dalam Kolopaking et al 2003, Kelembagaan sosial atau social institution
adalah “ suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai
yang penting”. Kelembagaan itu memiliki tujuan untuk mengatur antar hubungan yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting.
Menurut Doorn dan Lammers dalam Kolopaking et al 2003, Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku.
Konsisten dengan itu, maka fungsi kelembagaan sosial adalah: 1.
Memberi pedoman berperilaku pada individumasyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi
masalah-malah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan- kebutuhan,
2. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka
kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara, 3.
Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial social control: artinya pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku
anggotanya, dan 4.
Memenuhi kebutuhan pokok manusiamasyarakat. Menurut Uphoff dalam Kolopaking et al 2003, sampai sejauh ini
memang belum ada yang membedakan secara eksplisit antara institusi dan organisasi. Uphoff menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud
organisasi dan sebaliknya. Tetapi, jelas bahwa kelembagaan adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi
kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi adalah struktur dari peran-peran yang diakui dan diterima.
Pandangan lain melihat kelembagaan sosial sebagai kompleks peraturan- peraturan dan peranan sosial yang mempengaruhi perilaku orang-orang di sekitar
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan penting. Terlepas dari perbedaan antara kedua perspektif tersebut, kunci dalam memahami kelembagaan sosial terletak pada
tekanan akan kebutuhan pokok manusia. Ciri-ciri pokok yang membedakannya